Jjaejaepeach

Ocean menghela napasnya sesaat setelah ia membaca pesan balasan dari Kalingga—kekasihnya.

Berbicara mengenai Kalingga, lelaki itu merupakan sosok yang ia temui ketika dulu ia pertama kali terjun untuk bekerja sebagai model bersama Agnes—sahabatnya.

Ocean tidak akan pernah lupa, bagaimana ia akhirnya bisa bekerja dulu setelah sebelumnya ia mati-matian menghidupi dirinya dan juga Aciel putranya.

Pertama kali ia bertemu Kalingga, lelaki itu sangat baik dan ramah, apalagi ia sangat sopan. Ocean tahu betul jika Kalingga merupakan orang berpendidikan. Apalagi dari tutur bahasanya.

Ocean tidak pernah tahu, jika saat pertama ia masuk ke tempat ia bekerja itu, Kalingga sudah jatuh cinta pada Ocean. Kalingga pernah bilang, jika Ocean cantik.

Waktu itu, Ocean sama sekali tidak pernah berpikir jika Kalingga akan bener-benar mengejarnya untuk waktu yang lama. Hingga akhirnya setelah beberapa tahun kalingga mencoba mendapatkan hati Ocean, perempuan itu luluh juga. Dan sekarang mereka sudah menjalin hubungan kurang lebih 2 tahun lamanya.

Ocean sering mendapatkan cibiran dari orang-orang di sekitar Kalingga. Dan pernah juga beberapa kali ia mendengar pembicaraan tentang dirinya yang dimana mereka mengatakan jika karena Ocean, Kalingga menjadi perjaka tua. Padahal sejak awal, Ocean tidak pernah meminta Kalingga untuk menunggu atau pun terus mengejarnya.

Sebenarnya selama ini Ocean sudah sering mendengar jika Kalingga itu tak cukup hanya dengan satu perempuan saja. Tapi entah kenapa dengan bodohnya ia menerima Kalingga untuk masuk ke hidupnya.

Jika ditanya, apakah Ocean menyayangi Kalingga atau tidak. Maka jawabannya adalah iya. Ocean menyayangi lelaki itu. Apalagi ia merasa jika perhatian-perhatian kecil dari Kalingga membuatnya merasa nyaman sebab tidak pernah ia dapatkan sebelumnya, apalagi setelah ditinggalkan Agam.

Kepala Oceam terasa pening saat ini, kemudian ia memilih untuk bersandar di sofa ruang tengah.

Saat ini waktu menunjukan pukul 8 malam, perempuan itu kembali menghela napasnya, sebab sebentar lagi ia harus menyiapkan segala keperluan untuk dirinya dan Aciel untuk besok hari.

Fokus Ocean teralihkan ketika mendengar suara pintu terbuka dan menampilkan Aciel yang berjalan ke arahnya.

“Ibu …,” panggilnya.

Ocean dengan sigap langsung merentangkan kedua tangannya dan mempersilahkan Aciel masuk ke dalam pelukannya.

Ocean tersenyum kecil ketika melihat Aciel yang tengah mengucek kedua matanya. “Kok bangun?”

Aciel hanya menggeleng dan kemudian memeluk Ocean lagi.

“Kenapa, nak?” Tanya Ocean.

“Ciel sedih, Bu,” ucap anak itu membuat Ocean langsung mengusapkan.

“Sedih kenapa sayang?”

“Barusan Ciel mimpi, terus di mimpi itu ada Ibu sama Ayah lagi makan berdua. Terus Aciel lagi lari-lari diliatin Ayah sama Ibu.”

Ocean terdiam.

“Ibu …,” panggil Ciel yang tengah menyembunyikan wajahnya di leher Ocean.

“Ciel nggak suka sama Om Papa,” gumamnya membuat Ocean menegang.

“Kok nggak suka?” Tanyanya pelan.

“Soalnya barusan di mimpi Ciel Om Papa bikin Ibu nangis,” ucapnya lagi.

Hati Ocean terenyuh.

“Ibu, Ciel gak suka lihat air mata Ibu keluar.”

“Ciel mau sama Ayah mau sama Ibu, nggak mau ada Om Papa,” ucapnya lagi kemudian ia menangis.

Ocean menghela napasnya panjang.

“Sayang, dengerin Ibu. Om Papa itu nggak jahat kok. Ibu gak nangis kok sama Om Papa.”

“Barusan Ciel cuma mimpi. Kan Ciel juga kalau jalan sama Om Papa suka dibelikan mainan banyak, suka ditawarin mau makan apa, mau jajan apa, terus suka ngajak Ciel main juga,” jelas Ocean lembut.

Ciel masih menangis.

“Nanti kalau Bunda menangis, Ciel mau pukul Om Papa!” ucap Ciel yang kini melepas pelukannya dan menatap Ocean sambil menghapus air matanya menggunakan jemari kecilnya itu.

Ocean tersenyum dan mengangguk.

“Iya jagoannya Ibu, terima kasih ya,” ucapnya kemudian ia mengecup wajah Aciel membuat Anak it tertawa.

Lantas ketika mereka sedang tertawa, suara pintu utama terbuka, membuat fokus mereka teralihkan.

“AYAH!!!” Teriak Aciel ketika melihat jika di sana ada Sang Ayah yang datang dengan membawa kantung berisi makanan di kedua tangannya.

Suara gelak tawa memenuhi mobil berwarna putih itu. Di tengah macetnya kota sore itu Ocean, Kalingga dan juga Aciel sedang bersama menikmati waktunya.

Saat ini mereka berniat mencari restaurant untuk makan setelah sebelumnya banyak menghabiskan waktu berkeliling dan berkunjung ke beberapa tempat yang sekiranya bagus untuk dikunjungi.

Aciel tertawa, anak itu duduk di tengah di antara Ocean dan Kalingga.

Sambil menyetir, Kalingga terus saja bercanda bersama Aciel, sedangkan Ocean hanya tertawa memperhatikan keduanya.

“Om Papa, sayang tidak sama Ibu?” Tib-tiba saja Aciel bertanya membuat Ocean dan Kalingga yang tadinya tertawa terdiam sejenak.

Kalingga menoleh sekilas kemudian sebelah tangannya mengacak rambut Aciel.

“Sayang dong, memang kenapa?”

Aciel hanya menggeleng.

“Gapapa, soalnya Ciel senang kalau banyak yang sayang sama Ibu,” jawabnya kemudian Aciel memeluk Ocean.

Ocean hanya tersenyum dan kemudian ia mengusap Aciel.

“Ciel juga sayang Ibu,” ucap Ciel kemudian mengecup wajag Ocean.

Kalingga tersenyum. “Om Papa nggak dicium?” Tanya Kalingga lembuat Aciel segera bangkit dan beralih memeluk Kalingga dari samping dan segera melayangkan kecupan pada lelaki itu.

Ocean dan Kalingga terkekeh. “Terima kasih anak ganteng,” jawab Kalingga.

Mereka kemudian kembali tertawa sampai tiba-tiba saja ponsel Kalingga yang memang tidak ia simpan di dalam saku berbunyi. Membuat fokus Ocean dan juga Kali gga bersamaan beralih pada ponsel yang tergeletak itu.

Ocean bisa membaca jelas pesan yang masuk, begitu juga dengan Kalingga.

Kalingga menoleh pada Ocean, kemudian tanpa basa-basi ia langsung berbicara.

“Temen aku itu.”

Waktu menunjukan pukul setengah sepuluh malam. Di halaman rumah itu, 3 orang turun dari mobil berwarna putih.

Gelak tawa terdengar ketika Aciel keluar dari mobil dan digendong oleh Kalingga.

Ocean yang mengikuti dari belakang hanya bisa menggelengkan kepalanya sebab sejak di perjalanan Aciel selalu tertawa bersama Kalingga.

Langkah Ocean terhenti ketika menyadari jika di halaman rumahnya sudah terparkir mobil berwarna hitam.

Napasnya memberat, apalagi ketika Aciel berteriak.

“AYAH!” Teriaknya sambil berusaha turun dari gendongan Kalingga dan berlari menuju arah sang Ayah yang sudah berdiri di ambang pintu masuk.

Lelaki itu mensejajarkan tubuhnya supaya Aciel bisa memeluknya.

Kalingga terdiam sejenak lantas tak lama ia pun berjalan mundur dan segera menggenggam jemari Ocean.

“Aduh jagoan Ayah,” ucap Agam yang terdengar jelas oleh Ocean dan Kalingga.

Agam segera menggendong Aciel.

“Dari mana jagoan? Kayaknya seneng banget,” tanya Agam.

Aciel hanyalah anak kecil. Ia lantas mengangguk kemudian ia menunjuk ke arah Kalingga.

“Iya Ayah, Ciel seneng soalnya tadi Om Papa beliin Ciel sepeda baru, terus diajak makan ke tempat bagus!” Jelas Aciel membuat Agam melirik ke arah Kalingga sehingga membuat lelaki itu tersenyum tipis.

Agam terdiam sejenak kemudian ia segera tersenyum. “Ayah juga punya hadiah buat Ciel, oleh-oleh banyak!” ucap Agam seolah tidak ingin kalah.

“Beneran Yah?” Tanya anak itu membuat Agam mengangguk.

Tanpa basa-basi, Agam pun segera membawa Aciel ke dalam rumah meninggalkan Ocena dan Kalingga.

“Masuk dulu,” ucap Agam tak lama.

Ocean dan Kalingga hanya menghela napasnya.

Ocean melirik ke arah Kalingga. “Maaf ya tiap kali Agam ketemu kamu, dia selalu kayak git—“

“Gapapa,” ucap Kalingga memotong.

Lelaki itu lantas merubah posisinya menjadi berhadapan dengan Ocean.

Jemarinya perlahan bergerak mengusap dan merapikan helaian rambut yang tertiup angin.

“Makasih ya udah mau luangin waktunya,” ucap Kalingga tersenyum.

Ocena mengangguk kemudian ia juga mengusap wajah Kalingga. “Makasih juga udah beliin Ciel sepeda, sama bikin dia seneng. Aku juga makasih karena kamu selalu luangin waktu kamu buat aku sama Ciel,” ucap Ocean.

Kalingga mengangguk. “Iya … gih masuk,” ucapnya, lantas Ocena pun mengangguk.

Kalingga sejenak terdiam sebelum akhirnya ia merentangkan kedua tangannya.

“Boleh peluk dulu?” Tanya lelaki itu.

Ocean terkekeh lantas mengangguk, ia segera mendekap tubuh Kalingga.

“Makasih Ce,” ucap Kalingga.

Dan tanpa Ocena dan Kalingga sadari, dari dalam rumah wajah Agam memerah, tangannya mengepal, napasnya tak karuan, hatinya sesak, ketika ia menyaksikan kedua insan itu berpelukan.

Agam cemburu.

Hening, keduanya bungkam ketika keadaan memaksa untuk saling berhadapan.

Ocean—perempuan itu terus menunduk enggan menatap dan membuka suaranya. Dan di hadapannya ada Agam yang sejak tadi hanya menatap Ocean menunggu perempuan itu berbicara.

Hati lelaki itu terasa ngilu ketika ia melihat Ocean—perempuan yang sejak lama ia cintai.

Mata Agam dan Ocean sama-sama sembab sebab sebelumnya mereka sama-sama menangis ketika tadi Agam datang membawa Aciel ke rumah itu.

Banyak perdebatan yang terjadi di antara keduanya, bahkan sebelumnya Ocean berteriak bergitu keras pada Agam meluapkan segala amarahnya ketika membaca pesan yang dikirimkan oleh Bunda padanya.

Sampai akhirnya perdebatan itu berhenti dan membuat mereka duduk berhadapan sekarang di ruang tengah rumah itu.

Diam-diam Ocean menangis tanpa suara ketika ia menunduk. Namun meskipun begitu, Agam tahu jika Ocean menangis lantaran pundaknya terlihat bergetar.

Perlahan tangan lelaki itu bergerak untuk meraih wajah Ocean dan dengan hati-hati menghapus air matanya.

“Udah, jangan nangis teru, Ce. Capek,” ucapnya pada Ocean.

Tangan Agam yang sebelahnya lagi ikut bergerak meraih jemari Ocean dan mengusapnya, berusaha menenangkan perempuan itu.

“Maaf …,” gumam Agam pada Ocean.

Berkali-kali lelaki itu menggumamkan kata maaf. Bahkan mungkin Ocean pun sudah muak mendengar kata itu.

Rasanya makin kesini semuanya terasa semakin melelahkan. Ocean lelah, lantaran secara tidak sadar, Agam selalu berusaha untuk terus menggenggamnya. Padahal sudah jelas jika hubungan mereka itu sudah berakhir.

Iya, Ocean memang tidak bisa memutuskan hubungannya begitu saja dengan Agam, lantaran mau bagaimana pun, Agam tetaplah Ayah dari Aciel anaknya. Namun yang Ocean inginkan itu adalah, Agam berhenti peduli padanya. Sebab Ocean tahu, kepedulian Agam ini pada akhirnya hanya akan membuatnya sakit. Dan karena itu juga Aciel—anak mereka ikut merasa sakit.

“Egois, Gam,” tiba-tiba saja Ocean angkat bicara.

Perlahan kepala perempuan itu terangkat dan menatap Agam. Matanya benar-benar sembab.

Agam menatap Ocean. Pipinya sangat terlihat tirus bahkan ketika Agam menggenggam tangannya, itu terasa kecil. Tidak seperti Ocean yang dulu ketika mereka masih bersama.

Mata Agam berkaca-kaca ketika mereka saling menatap. Agam mengusap wajah Ocean lembut.

Pikirannya berkecamuk.

Agam mencintai Ocean, sangat mencintai Ocean. Tapi di sisi lain, Agam pun sadar jika posisinya ini serba salah.

Ia ingin hidup bersama Ocean, tapi di sisi lain, orang yang Agam sayangi, lebih tepatnya orang yang sudah melahirkannya juga memintanya untuk selalu meninggalkan Ocean.

Agam sadar, jika bersamanya, Ocean bahagia sekaligus sakit.

Tidak hanya itu, baik Ocean atau Agam keduanya pun sadar jika keduanya itu masih sangat mencintai. Namun keadaan selalu memaksa mereka berpisah.

“Egois …,” gumam Ocean lagi sambil menahan tangisnya.

Agam terdiam.

“Berhenti peduliin aku, Gam. Udah cukup, ya?”

“Dari dulu aku minta kamu buat berhenti peduliin aku. Jadi tolong berhenti.”

“Hati aku, jiwa aku, semuanya udah berantakan, udah gak ada bentuknya lagi, Gam.”

“Aku harus sampai kapan lagi nahan-nahan rasa sakit?”

“Tau nggak? Rasanya direndahin? Aku selalu dilihat sebelah mata sama orang-orang sekitar kamu, Gam. Bahkan sampai sekarang, sampai kita udah pisah pun aku masih dianggap penghalang hidup kamu.”

Ocean kembali terisak.

“Aku gak minta apa-apa, Gam. Aku cuma pengen kamu lepas dari aku. Cukup kamu perhatiin Aciel aja, udah.”

“Gak bisa, ya?”

Agam terdiam lantas perlahan ia menggeleng.

“Aku gak bisa biarin kamu gitu aja. Maaf … maaf kalau gara-gara aku, semuanya jadi hancur.”

Ocean terdiam.

“Sulit Ce, sulit buat aku ninggalin kamu gitu aj—“

“Keadaannya udah beda Agam.”

“Tolong jangan egois. Di sini aku pun kesulitan,” jawab Ocean lagi.

“Bunda cuma pengen kamu lepas dari aku. Maka dari itu semuanya bakal baik-baik aja.”

“Jadi, tinggalin aku, Gam.”

“Cukup kamu peduliin Aciel aja, ya?”

“Jangan ikut campur juga sama semua yang aku jalani.”

Agam menunduk lantas ia menangis.

“Gam, jatuh cinta sama kamu, bener-bener bikin semuanya rusak, hancur, gak berbentuk lagi,” ucap Ocean pelan.

Tanpa mengatakan sepatah apapun, Agam menarik Ocean dalam pelukannya.

Ocean terdiam ketika merasakan Agam memeluknya erat.

Peluk ini, ternyata masih terasa sama seperti dulu.

Hangat dan tenang.

Ocean hanya diam sambil berusaha keras menahan tangisnya.

“Maaf kalau karena aku, kamu jadi kayak gini.”

“Aku sayang banget, Ce. Sayang banget sama kamu.”

“Gak bisa ya kita sama-sama lagi?” Tanya Agam.

Ocean menggeleng pelan.

“Udah selesai,” ucap Ocean.

Agam mengeratkan pelukannya.

“Jalanin apa yang seharusnya, ya, Gam? Turutin semua keinginan Bunda kamu. Dia cuma pengeb kamu bahagia, Gam.”

“Tapi bahagiaku cuma ada di kamu, Ce.”

“Tapi bahagianya Bunda kamu, bukan di aku, Gam,” balas Ocean lantas tanpa sadar ia menjatuhkan air matanya.

Lantas ketika mereka sedang saling memeluk, tiba-tiba saja Aciel menghampiri mereka berdua dan memeluk dari samping membuat Agam dan Ocean menoleh seketika.

“Ayah, Ibu … jangan menangis,” ucap anak kecil itu sambil memeluk mereka erat dengan tangan kecilnya.

Ocean semakin menangis dan ia langsung meraih Aciel ke dalam pelukannya.

Aciel menatap kedua orang tuanya secara bergantian. Kemudian jemari kecilnya bergerak mengusap air mata Ocean dan Agam bergantian.

“Ciel gak suka lihat Ayah dan Ibu menangis,” ucapnya pelan.

Agam berusaha keras menahan tangisnya, begitu pula Ocean.

“Iya, maaf ya Ayah dan Ibu menangis,” ucap Agam sambil mencium Aciel.

Aciel mengangguk kemudian ia meraih leher Agam supaya masuk ke dalam pelukannya.

Dan malam itu, mereka berakhir dengan saling memeluk satu sama lain.

Pintu itu terbuka secara perlahan, menampilkan Agam yang kini berdiri sambil melihat Aciel di dalam kamar itu yanh tengah duduk membelakangi pintu.

Agam menghela napasnya dalam sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menghampiri anak itu.

“Jagoan …,” ucap Agam yang kini mensejajarkan tubuhnya dengan Aciel.

Anak itu menoleh. Agam sedikit terkejut ketika melihat air mata berlinang. Aciel ternyata sedang menangis.

“Loh, kok nangis?” Tanya Agam pada anaknya itu.

Tanpa basa-basi, dengan tangan kecilnya, Aciel meraih leher Agam dan memeluk Agam.

Tangisan yang awalnya tak terdengar lama kelmaan semakin mengeras, membuat Agam segera membawa Aciel ke dalam pangkuannya.

“Kenapa sayang?” Tanya Agam lemhut sambil berusaha meredakan tangisannya.

Aciel memeluk Agam erat. “Kangen Ibu …,”ucap anak kecil itu lirih.

Agam terdiam.

“Ciel gak suka di sini. Nenek jahat, nenek jahat, Ciel gak suka Ayah …,” lirihnya lagi sambil menangis.

“Mau Ibu, Ciel mau Ibu. Mau pulang, nenek jahat,” ucapnya berkali-kali membuat hati Agam ngilu.

Aciel semakin keras menangis membuat Agam panik.

“Iya nak, kita pulang ke rumah Ibu ya,” ucap Agam lagi yang langsung saja membawa Aciel keluar dari kamarnya berniat membawanya pulang ke rumah Ocean saat itu juga.

Namun, belum sempat Agam keluar. Bunda lelaki itu memanggilnya.

“Kemana?”

“Pulang,” jawab Agam singkat.

“AGAM!” Teriak Bunda membuat Agam menghentikan langkahnya.

“Jangan berani kamu bawa Ciel pulang ke perempuan i—“

“Perempuan yang Bunda benci itu, dia Ibu kandung Ciel,” ucap Agam tanpa menoleh pada Bunda, sedangkan Aciel menyembunyikan wajahnya di leher Agam dan memeluknya erat.

Bunda buru-buru meraih Aciel dari dalam pelukan Agam, membuat anak itu menangis sambil berusaha menahan tubuhnya dengan menarik baju Agam.

“BUNDA APAAN SIH!” Agam berteriak sambil berusaha mengambil alih Aciel yang hampir saja Bunda ambil.

“BIARIN CIEL PULANG SAMA OCEAN!” Teriaknya lagi pada Bunda.

“Oh, sudah berani bentak Bunda?” Tanyanya.

Aciel sudah kembali dalam pangkuan Agam. Sedangkan lelaki itu menatap Bunda penuh amarah.

“Aku muak!”

Dengan napas yang tak beraturan wajah Bunda memerah, merasa jika Agam benar-benar bebal karena melawannya. Sebab selama ini Agam tidak pernah berani memberontak.

“Berani kamu bilang gitu, Gam?”

Napas Agam memburu.

“Ocean lagi Ocean lagi yang kamu bela.”

“Apa perlu Bunda samperin perempuan itu?”

“Perlu Gam?”

“PERLU BUNDA USIR PEREMPUAN ITU SUPAYA JAUH DARI KAMU, HAH?!”

Napas Agam semakin memburu, lantas dengan amarahnya yang berusaha keras ia tahan, Agam menatap Bunda.

“Sekali lagi Bunda nyentuh Ocean. Agam gak bakalan segan buat pergi jauh dari Bunda.”

Lantas setelah mengatakan itu, Agam pergi membawa Aciel. Sedangkan Bunda, dia berteriak memanggil Agam yang kini sudah di dalam mobil.

“Maaf ya Nak, maafin ayah …,” ucap Agam sambil berusaha meredakan tangis Aciel.

“Sekarang kita pulang ke Ibu, ya.”

Kedua mata orang yang kini berdiri berhadapan itu saling menatap.

Ocean, perempuan itu kini tengah menangis di hadapan Agam yang tengah menatapnya lekat.

Sesak, sesak sekali rasanya.

Saat ini Agam dan Ocean tengah berada di depan gerbang rumah Bunda.

Ocean menangis, namun tangisannya hanya sebatas air mata yang terus saja keluar tanpa bisa ia tahan sampai-sampai hanya hening yang terdengar.

Agam menggerakan tangannya perlahan untuk mengusap air mata Ocean.

Lagi-lagi, Agam membuat semuanya terasa menyakitkan.

“Besok, ya? Besok aku janji buat bawa pulang Ciel ke kamu,” ucap Agam berusaha menenangkan.

Ocean yang tadinya menunduk perlahan mengangkat kepalanya menatap Agam. “Aku, serendah itu, ya, Gam? Sampai-sampai Bunda kamu gak percaya buat biarin Ciel tinggal sama aku.”

Agam terdiam.

“Aku ibunya Gam, aku yang ngandung dia, aku ibunya Agam …,” ucap Ocean lirih.

“Aku ngerti, di sini emang aku gak pernah bisa lawan Bunda kamu. Aku juga sadar kok, kalau aku emang bukan perempuan hebat kayak yang lain.”

“Tapi kenapa sih, Gam? Dari dulu, bahkan sampai sekarang ada Ciel, Bunda selalu ngambil orang-orang yang aku sayang?”

Ocean menangis.

“Aku …”

“Aku kehilangan kamu, dan sekarang aku juga harus kehilangan Ciel cuma gara-gara ego Bunda?”

Ocean menjatuhkan dirinya dan kembali menangis, namun kali ini ta gaisannya cukup keras membuat Agam sigap membawa Ocean ke dalam pelukannya.

Agam hanya diam, lantaran ia juga menyadari apa yang tengah terjadi.

Lidah Agam selalu kelu dan berakhir diam setiap kali melihat Ocean menangis. Dan lagi-lagi hanya kata maaf yang keluar.

“Maaf …,” gumamnya.

Agam memeluk Ocean erat. Dan sialnya, rasa sesak sekaligus rindu menyatu ketika Agam memeluk erat tubuh itu.

Tangisan Ocean, Agam benci itu.

Agam benci ketika melihat Ocean menangis, namun ia terlalu payah.

“Aku cuma punya Ciel sekarang …,” lirih Ocean dalam pelukan itu.

“Jadi tolong, tolong jangan bikin aku kehilangan hidup aku, Gam.”

“Udah cukup aku kehilangan kamu karena ego Bunda …”

Ocean kembali menangis, sedangkan Agam, ia terus saja memeluk tanpa mengatakan sepatah kata apapun.

Helaan napas terdengar dari perempuan yang kini tengah berdiri di depan pintu rumah yang sudah lama sekali tidak ia lihat.

Jantungnya berdegup kencang, namun perlahan tangannya mulai bergerak memencet tombol bel yang ada di sana.

Tiga kali berbunyi, tidak ada yang membuka pintunya. Sampai akhirnya pada bunyi bel ke-5 pintu pun terbuka menampakkan seseorang yang ia kenal.

“Siap—“ ucapannya ter potong ketika melihat ada Ocean—perempuan itu yang baru saja memencet bel.

Raut wajah wanita paruh baya itu yang tadinya cerah berubah menjadi suram, dan buru-buru ia menutup pintu, namun Ocean berhasil menahannya.

“Mana Aciel, Bun? Saya mau bawa anak saya pulang.

Wanita paruh baya itu menarik napasnya dalam sebelum akhirnya ia pasrah dan melepaskan pintu yang tadinya ingin ia tutup.

“Berani kamu ke sini?” Tanyanya pada Ocean.

“Saya mau bawa pulang anak saya,” ucapnya.

“ACIEL INI IBU NAK!” Ocean berteriak memanggil sang Anak.

“Gak ada. Dia lagi tidur.”

“Pulang kamu, gak tau malu datang ke sini ribut-ribut.”

Ocean menatap wanita itu. Lantas ia menghela napasnya dalam.

“Saya datang baik-baik kok. Di sini saya cuma mau bawa pulang anak saya, salah, ya?”

Wanita paruh baya itu berdecak. “Gak ingat apa kata saya?”

“Saya gak mau cucu saya diurus sama orang yang gak becus.”

“Saya lebih banyak pengalaman dibanding kamu.”

“Terjamin hidup cucu saya kalau di sini. Dia di sana gimana? Sengsara, kesusahan!” ucapnya tanpa henti.

“Kamu kerja sampai sakit pun, di sana cucu saya tetap kesusahan. Hidup pas-pasan. Sudah untung anak saya ngasih kamu rumahnya buat ditempatin.”

Sungguh, hati Ocean terasa sakit mendengar perkataan itu.

Apakah di mata mantan ibu mertuanya ini Ocean sangatlah susah dan payah?”

“Pulang, gak sudi saya lihat kamu,” ucap wanita paruh baya itu pada Ocean.

“Biar Aciel disini. Hidup nyaman, saya bisa kasih segalanya buat cucu saya sendiri.”

“Lebih baik kamu pulang sebelum saya panggil security.”

“Dasar perempuan gak tahu malu!” ucap wanita paruh baya itu kemudian ia menutup pintunya dengan sangat keras meninggalkan Ocean yang masih berdiri di sana.

Lidah Ocean terasa kelu, ia bahkan tidak bisa mengatakan apapun. Padahal sebenarnya banyak hal di kepala yang seharusnya ia luapkan.

Apakah memang Ocena serendah itu? sesusah itu di mata mereka? Sampai-sampai mereka tidak percaya perihal jaminan kenyamanan pada hidup Aciel anaknya.

Ocean menjatuhkan dirinya di depan pintu rumah itu kemudian ia menangis sambil memukul kedua dada sebab terasa samgat sesak

Dan tiba-tiba saja sebuah pelukan menghampiri, memeluk tubuh Ocean dengan sangat erat.

“Ocean maaf … maaf Bunda nyakitin kamu lagi. Maaf harusnya kamu gak sendiri, maaf … ” ucap Agam—lelaki yang baru saja sampai dan kini langsung memeluk Ocean.

Hening, hanya terdengar suara denting jam. Lelaki itu melirik ke arah jam di dinding. Saat ini waktu menunjukan pukul setengah satu pagi.

Perlahan Agam bangun dari posisinya dan menyadari jika di sampingnya Aciel tengah tertidur. Sejenak Agam terdiam memperhatikan wajah putranya itu.

Hari demi hari ternyata anak ini mulai tumbuh.

Agam masih sangat ingat ketika dulu ia pertama kali melihat Aciel lahir ke dunia. Tangisan anak itu masih sangat terdengar jelas di pikiran Agam sampai sekarang.

Wajahnya, tangannya dan tubuhnya yang kecil benar-benar masih Agam ingat.

Agam menghela napasnya, perlahan jemarinya juga bergerak mengusap wajah putranya itu.

Kadang kala, setiap kali Agam memperhatikan Aciel, ia benar-benar merasa bersalah. Apalagi mengingat jika karena dirinya, Aciel harus kehilangan rumah.

Rumah yang seharusnya hangat, rumah yang seharusnya kokoh. Aciel kehilangan itu.

Rasa sesak menyeruak, sampai terkadang napaspun terasa sulit.

Agam dengan hati-hati mengecup kening Aciel. Sebelum akhirnya ia berusaha memindahkan Aciel ke kamar tidurnya.

Lelaki itu melangkahkan kakinya dengan sangat hati-hati, takut jika Aciel terbangun.

Agam membuang napasnya lega ketika berhasil memindahkan anak itu.

Agam kembali melayangkan kecupan pada Aciel dan mengusapnya lembut. “Jagoan Ayah, putra Ayah. Tolong tumbuh dengan baik, ya, Nak,” gumam Agam sambil mengusap.

Perlahan Agam pun beranjak keluar meninggalkan Aciel di dalam kamar tidurnya. Kemudian tak lama ia kembali ke ruang tengah.

Lelaki itu kembali melirik ke arah jam, lalu mengarahkan pandanganhya ke tiap sudut ruangan rumah itu. Ia tersenyum ketika netranya menangkap sebuah potret yang masih terpajang di dinding rumah itu.

Potret dirinya, Ocean dan juga Aciel, ketika mereka masih bersama.

Agam tersenyum.

Sejenak memori kebersamaan mereka dulu terlintas.

Lagi-lagi rasa sesak menyeruak.

Seandainya saja dulu Agam bisa mempertahankan Ocean, mungkin saat ini hidupnya akan selalu bahagia.

Agam menghela napasnya ia kemudian beranjak dari duduknya. Berniat untuk pergi memeriksa Ocean.

Perlahan Agam membuka pintu kamar itu. Kamar yang dulunya pernah ia tempati juga.

Di ambang pintu, Agam bisa melihat jika saat ini Ocean sudah tertidur. Lantas dengan hati-hati Agam masuk ke dalam.

Agam berdiri di samping temoat tidur lalu perlahan duduk di tepian.

Tangannya bergerak menarik selimut supaya tubuh Ocean yang tidak terkena selimut tertutupi.

Agam memperhatikan Ocean dalam. Perlahan jemarinya beralih mengusap puncak kepala Ocean dengan sangat hati-hati. Takut jika perempuan ini terbangun.

Lagi dan lagi, suara helaan napas terdengar. Bahkan rasa sesak kembali menyeruak memenuhi ruang dada lelaki itu.

“Capek, ya, Ce?” ucap Agam pelan.

Agam tersenyum tipis. “Maaf ya …,” gumamnya.

“Maaf karena kamu harus nanggung banyak rasa sakit karena aku.”

Tanpa sadar air mata keluar dan berusaha turun dari ujung mata lelaki itu.

Agam menengadah berusaha menahan air matanya.

Agam benar-benar mencintai Ocean.

“Aku tuh sayang banget Ce sama kamu. Sayang banget sampai-sampai aku rela kehilangan kamu,” gumamnya lagi.

“Maaf ya Ocean, maafin aku.”

Agam berkali-kali menggumamkan kata maaf sembari terus mengusap kepala Ocean dengan hati-hati.

Bohong jika Agam mengatakan ia sudah tidak mencintai Ocean. Karena kenyataannya, Agam sangat-sangat mencintai Ocean sampai sekarang.

Jauh di dalam lubuk hatinya, Agam masih ingin terus bersama perempuan ini.

Agam masih ingat pertama kali ia bertemu Ocean. Perempuan dengan seribu kecerobohan yang tanpa sadar memhuat Agam jatuh cinta.

Waktu itu, Agam datang disaat Ocean sedang hancur. Ia datang ketika perempuan itu sedang butuh pelukan.

Agam pikir, selamanya ia akan bersama Ocean. Tapi entah kenapa, setiap kali mereka menginginkan selamanya, lagi-lagi perpisahan yang selalu mereka hadapi.

Agam menatap Ocean dalam sangat dalam.

“Oce …”

“Aku lepasin kamu, karena aku gak mau kamu terus-terusan sakit hati. Karena kalau kamu terus sama kamu, yang ada kamu makin hancur.”

Agam tersenyum, namun senyuman itu terlihat sangat menyakitkan lantaran ia menahan semua rasanya.

Perlahan Agam mendekatkan wajahnya pada Ocean lantas ia mengecup kening perempuan itu cukup lama.

“Makasih karena gak pernah berusaha buat ngejauh. Aku sayang kamu Ocean,” ucap Agam lagi sebelum akhirnya ia menjauhkan wajahnya dan berhenti mengusap.

Agam menarik napasnya dapam berusaha meredakan sesak.

Lelaki itu pun beranjak dari duduknya dan segera pergi dari kamar itu.

Lalu, tanpa Agam sadari sejak tadi Ocean tidak tertidur. Ia mendengar semuanya. Dan bahkan setelah kepergian Agam dari ruangan itu, Ocean menangis.

Dengan langkahnya yang pelan, Agam perlahan masuk berusaha membuka pintu gerbang rumah itu. Tanpa berlama-lama ia memarkirkan mobilnya di dalam garasi.

Ini sudah pukul sebelas malam, dan Agam memilih pulang ke rumah dimana Ocean dan Aciel tinggal.

Agam menghela napasnya sambil sesekali memukul kepalanya pelan lantaran ia benar-benar merasa bersalah.

Tanpa pikir panjang lagi, Agam segera turun dan melangkahkan kakinya ke pintu utama.

Belum sempat Agam mengetuk dan berniat menelepon Ocean supaya dibukakan, pintu itu sudah lebih dulu terbuka menampakkan Ocean yang sudah memakai piyama.

Agam menatap Ocean begitu juga Ocean.

“Tadi ak—“ belum sempat Agam menyelesaikan kalimatnya, Ocean sudah lebih dulu mempersilahkan Agam masuk membuat lelaki itu langsung melangkahkan kakinya ke dalam.

Ocean berjalan dengan Agam yang mengikutinya dari belakang.

“Ciel udah tidur, ke kamar Ciel aja,” jawab Ocean tanpa menoleh pada Agam.

Lelaki itu menghela napas, kemudian tanpa berlama-lama ia segera beranjak ke kamar putranya itu.

Agam melangkah pelan sampai akhirnya ia sampai di kamar Aciel.

Agam menatap Aciel dari ambang pintu kemudian tak lama ia mendekat.

Lelaki itu merebahkan tubuhnya di samping Aciel yang tengah tertidur. Perlahan jemarinya bergerak mengusap kepala anak itu.

“Maaf ya Ayah sudah bikin kamu nunggu,” gumam Agam pelan dengan tangannya yang terus saja mengusap.

“Ciel benci nggak sama Ayah?” Tanya Agam seolah Aciel masih bangun.

Agam mendekatkan wajahnya pada Aciel lantas ia mengecup pipi anak itu berkali-kali sambil menggumamkan kata maaf pada Aciel.

“Ayah sayang sekali sama Ciel,” gumamnya lagi sambil memperhatikan Aciel yang tengah tertidur.

Dan di sisi lain, Ocean memperhatikan Agam dari ambang pintu kamar itu.

Rasanya sesak, setiap kali Ocean meyaksikan adegan seperti ini.

Seharusnya, Aciel tidak merasakan hal seperti ini bukan?

Seharusnya Aciel punya rumah yang nyaman sebab kedua orang tuanya saling mencintai satu sama lain.

Tapi kenyataannya tidak bisa. Ocean hanya bisa menyaksikan kebersamaan seperti ini sesekali.

Ocean menunduk berusaha menahan tangisnya.

“Gam,” panggil Ocean membuat Agam yang tengah berbaring memeluk Aciel menoleh.

“Minum dulu,” pinta Ocean lantas ia segera berbalik pergi.

Agam hanya mengangguk dan segera beranjak mengikuti langkah kaki Ocean yang berjalan ke arah ruang makan.

Agam memperhatikan Ocean dari belakang. Tubuhnya mengecil.

Tanpa aba-aba, Agam tiba-tiba saja memeluk Ocean dari belakang membuat Ocean terkejut.

“Maaf Ce,” gumamnya menyembunyikan wajahnya di leher Ocean.

Ocean terdiam sejenak sebelum akhirnya ia bergerak berusaha melepas pelukan itu.

“Minum dulu Gam. Aku mau ke kamar. Kamu kalo mau nginep, baju tidur kamu ada di kamar Ciel. Sama minta tolong nanti kunci aja pintunya. Aku mau tidur.”

Agam terdiam melihat Ocean yang enggan menatapnya.

Good night, Gam.”

Ujung Cerita.

Lelaki itu berdiri menatap Ocean yang kini tengah menunduk di hadapannya.

Agam menarik napasnya dalam berusaha menahan sesak. Apalagi ketika ia mengingat jika sekarang mereka sudah resmi bercerai.

“Oce,” panggil Agam.

“Udah lega pisah dari aku?” Tanya Agam pada perempuan itu.

Alih-alih mengangguk Ocean hanya diam dan terus menunduk. Lalu tiba-tiba saja ia terisak dan menggeleng pelan.

Agam lagi-lagi menghela napasnya dalam. Perlahan ia menarik Ocean ke dalam pelukannya tanpa mengatakan apapun.

Keduanya tanpa sadar saling mengeratkan pelukan. Ocean menangis dan menyembunyikan wajahnya di pundak Agam. Begitu juga dengan Agam, ia pun menangis.

Tidak ada yang berbohong ketika mereka mengatakan masih sama-sama saling mencintai. Namun lagi-lagi hanya ini jalan yang bisa mereka lalui.

Agam masih sangat mencintai Ocean. Begitu juga sebaliknya.

Bukan tanpa alasan Agam nenyetujui perceraian ini. Agam terlalu mencintai Ocean sampai ia rela kehilangannya.

Agam berpikir, jika ia terus saja mempertahankan Ocean yang ada malah nantinya perempuan itu semakin sakit. Apalagi mengingat jika Bunda sangat membenci Ocean. Maka dari itu Agam menyetujui permintaan Ocean.

Setidaknya jika berpisah, Ocean bisa jauh dari luka yang sudah keluarganya ukir.

“Maaf …,” gumam Agam memeluk Ocean.

“Maaf aku nyerah,” jawab Ocean sambil mengeratkan pelukannya.

Agam melayangkan kecupannya berkali-kali pada puncak kepala Ocean sebab ia enggan melepas perempuan itu.

Agam masih ingin menghabiskan banyak waktu bersama Ocean tanpa perlu khawatir akan kehilangan.

Ocean masih ingin menghabiskan banyak waktu bersama Agam tanpa perlu khawatir akan rasa sakit.

Mereka masih ingin membangun semua hal bersama. Tapi lagi-lagi tembok besar selalu saja menghalangi.

“Habis ini, aku minta jangan sedih-sedih lagi ya Oce. Maaf kalau selama ini kamu harus ngerasain banyak kesakitan hanya karena mencintai aku.”

“Maaf ya Ocean karena sama aku kamu banyak nanggung rasa sakit. Aku bener-bener minta maaf …,” gumam Agam sambil mengeratkan pelukannya.

Ocean tidak menjawab, ia hanya menangis.

“Janji ya Ce. Janji buat terus jadi orang tua yang baik buat Ciel meski nanti mungkin bakal sulit karena kita udah gak ada ikatan.”

“Aku sayang kamu sayang banget … maaf sekali lagi,” lirih Agam.

Ocean terisak, lalu perlahan ia melepaskan pelukan itu dan memberanikan diri menatap Agam.

Perlahan tangan Ocean bergerak meraih wajah Agam dan mengusap air mata lelaki itu.

“Makasih ya, Gam? Karena kamu selalu berusaha buat bikin aku seneng walau memang kadang sikapku ini egois. Makasih karena gak pernah lupa buat bilang kalau kamu sayang aku. Makasih karena selama ini kamu udah jadi pacar, suami, dan ayah yang hebat banget.”

“Maaf ya Gam, karena akhirnya aku milih buat nyerah.”

“Aku harap setelah ini, baik kamu ataupun aku. Kita sama-sama dapet bahagia baru yang lebih baik.”

“Agam …”

“Makasih banyak,” ucap Ocean lantas ia kembali memeluk Agam.

Agam terisak dalam pelukan itu dan mengeratkan pelukannya. Ia benar-benar mencintai Ocean dan enggan kehilangan. Tapi lagi-lagi kenyataan berkata lain.

Sedalam apapun ia mencintai, kenyataannya hanya perpisahan yang selalu mereka hadapi.

Lantas, ujung cerita mereka disini. Berakhir dengan saling melepas tanpa berusaha untuk tetap mengenggam.