Sama aku, kamu makin hancur.
Hening, hanya terdengar suara denting jam. Lelaki itu melirik ke arah jam di dinding. Saat ini waktu menunjukan pukul setengah satu pagi.
Perlahan Agam bangun dari posisinya dan menyadari jika di sampingnya Aciel tengah tertidur. Sejenak Agam terdiam memperhatikan wajah putranya itu.
Hari demi hari ternyata anak ini mulai tumbuh.
Agam masih sangat ingat ketika dulu ia pertama kali melihat Aciel lahir ke dunia. Tangisan anak itu masih sangat terdengar jelas di pikiran Agam sampai sekarang.
Wajahnya, tangannya dan tubuhnya yang kecil benar-benar masih Agam ingat.
Agam menghela napasnya, perlahan jemarinya juga bergerak mengusap wajah putranya itu.
Kadang kala, setiap kali Agam memperhatikan Aciel, ia benar-benar merasa bersalah. Apalagi mengingat jika karena dirinya, Aciel harus kehilangan rumah.
Rumah yang seharusnya hangat, rumah yang seharusnya kokoh. Aciel kehilangan itu.
Rasa sesak menyeruak, sampai terkadang napaspun terasa sulit.
Agam dengan hati-hati mengecup kening Aciel. Sebelum akhirnya ia berusaha memindahkan Aciel ke kamar tidurnya.
Lelaki itu melangkahkan kakinya dengan sangat hati-hati, takut jika Aciel terbangun.
Agam membuang napasnya lega ketika berhasil memindahkan anak itu.
Agam kembali melayangkan kecupan pada Aciel dan mengusapnya lembut. “Jagoan Ayah, putra Ayah. Tolong tumbuh dengan baik, ya, Nak,” gumam Agam sambil mengusap.
Perlahan Agam pun beranjak keluar meninggalkan Aciel di dalam kamar tidurnya. Kemudian tak lama ia kembali ke ruang tengah.
Lelaki itu kembali melirik ke arah jam, lalu mengarahkan pandanganhya ke tiap sudut ruangan rumah itu. Ia tersenyum ketika netranya menangkap sebuah potret yang masih terpajang di dinding rumah itu.
Potret dirinya, Ocean dan juga Aciel, ketika mereka masih bersama.
Agam tersenyum.
Sejenak memori kebersamaan mereka dulu terlintas.
Lagi-lagi rasa sesak menyeruak.
Seandainya saja dulu Agam bisa mempertahankan Ocean, mungkin saat ini hidupnya akan selalu bahagia.
Agam menghela napasnya ia kemudian beranjak dari duduknya. Berniat untuk pergi memeriksa Ocean.
Perlahan Agam membuka pintu kamar itu. Kamar yang dulunya pernah ia tempati juga.
Di ambang pintu, Agam bisa melihat jika saat ini Ocean sudah tertidur. Lantas dengan hati-hati Agam masuk ke dalam.
Agam berdiri di samping temoat tidur lalu perlahan duduk di tepian.
Tangannya bergerak menarik selimut supaya tubuh Ocean yang tidak terkena selimut tertutupi.
Agam memperhatikan Ocean dalam. Perlahan jemarinya beralih mengusap puncak kepala Ocean dengan sangat hati-hati. Takut jika perempuan ini terbangun.
Lagi dan lagi, suara helaan napas terdengar. Bahkan rasa sesak kembali menyeruak memenuhi ruang dada lelaki itu.
“Capek, ya, Ce?” ucap Agam pelan.
Agam tersenyum tipis. “Maaf ya …,” gumamnya.
“Maaf karena kamu harus nanggung banyak rasa sakit karena aku.”
Tanpa sadar air mata keluar dan berusaha turun dari ujung mata lelaki itu.
Agam menengadah berusaha menahan air matanya.
Agam benar-benar mencintai Ocean.
“Aku tuh sayang banget Ce sama kamu. Sayang banget sampai-sampai aku rela kehilangan kamu,” gumamnya lagi.
“Maaf ya Ocean, maafin aku.”
Agam berkali-kali menggumamkan kata maaf sembari terus mengusap kepala Ocean dengan hati-hati.
Bohong jika Agam mengatakan ia sudah tidak mencintai Ocean. Karena kenyataannya, Agam sangat-sangat mencintai Ocean sampai sekarang.
Jauh di dalam lubuk hatinya, Agam masih ingin terus bersama perempuan ini.
Agam masih ingat pertama kali ia bertemu Ocean. Perempuan dengan seribu kecerobohan yang tanpa sadar memhuat Agam jatuh cinta.
Waktu itu, Agam datang disaat Ocean sedang hancur. Ia datang ketika perempuan itu sedang butuh pelukan.
Agam pikir, selamanya ia akan bersama Ocean. Tapi entah kenapa, setiap kali mereka menginginkan selamanya, lagi-lagi perpisahan yang selalu mereka hadapi.
Agam menatap Ocean dalam sangat dalam.
“Oce …”
“Aku lepasin kamu, karena aku gak mau kamu terus-terusan sakit hati. Karena kalau kamu terus sama kamu, yang ada kamu makin hancur.”
Agam tersenyum, namun senyuman itu terlihat sangat menyakitkan lantaran ia menahan semua rasanya.
Perlahan Agam mendekatkan wajahnya pada Ocean lantas ia mengecup kening perempuan itu cukup lama.
“Makasih karena gak pernah berusaha buat ngejauh. Aku sayang kamu Ocean,” ucap Agam lagi sebelum akhirnya ia menjauhkan wajahnya dan berhenti mengusap.
Agam menarik napasnya dapam berusaha meredakan sesak.
Lelaki itu pun beranjak dari duduknya dan segera pergi dari kamar itu.
Lalu, tanpa Agam sadari sejak tadi Ocean tidak tertidur. Ia mendengar semuanya. Dan bahkan setelah kepergian Agam dari ruangan itu, Ocean menangis.