Jjaejaepeach

Agam menghela napasnya ketika berhadapan dengan Aciel.

“Kenapa tiba-tiba mau pulang?”

Aciel terdiam.

“Gak betah, ya di rumah Ayah?” Tanya Agam.

Aciel menggeleng pelan.

“Terus kenapa, Nak? Kenapa mau pulang? Gak seneng, ya di sini sama Ayah?” Tanya Agam lagi.

Aciel menggeleng. “Seneng kok Yah, cuma aku belum ada izin. Meskipun udah nggak ada pelajaran tapi aku gak enak kalau terus-terusan gak hadir,” jawab Aciel pada Agam.

“Ya sudah nanti Ayah yang bicara ke wali kelas kamu. Bisa, kan?”

Aciel terdiam. Ia bingung bagaimana cara menolak.

“Kamu disuruh pulang, ya, sama Ibu kamu?” Tiba-tiba saja Lestari datang dan duduk di samping Agam.

Aciel mengalihkan pandangannya pada Lestari begitu juga Agam.

Terdengar suara helaan napas. Raut wajah Lestari berubah sedih. “Aciel, padahal Ayah kamu itu senang sekali kamu di sini. Dari dulu dia pengen ketemu kamu, tapi gak bisa apa-apa karena keegoisan Ibu kamu,” jelas Lestari.

“Bertahun-tahun Ayah kamu nyoba buat ketemu, tapi berakhir di usir apalagi pas kamu masih kecil.”

Aciel terdiam mendenger penuturan Lestari.

“Kamu gak pernah tau, Nak. Gimana menderitanya Ayah kamu di saat Ibu kamu milih buat pergi,” ucapnya lagi.

Lestari tiba-tiba saja mengusap air matanya. Seolah menunjukan kesedihannya pada Aciel.

“Saya saksinya, Nak. Gimana kesulitannya Ayah kamu di saat dia nyoba buat mertahanin kamu. Iya, kan Mas?” jelas Lestari lagi sambil mengusap tangan Agam.

“Di sini, aja, ya? Sama Ayah. Nadin juga suka kamu di sini,” ucap Lestari tersenyum pada Aciel.

“Sudah cukup nurutin ego Ibumu untuk pisah sama Ayah.”

Lestari duduk memperhatikan Aciel yang tengah menonton tv sambil memakan puding.

Ia menghela napasnya.

Aneh, kenapa Aciel berani sekali?

Kalimat itu berputar di kepala Lestari. Padahal ia tidak pernah mengatakan apapun pada Aciel.

”Kayak gak dididik aja, astaga,” batinnya.

“Ekhem,” Lestari berdehem membuat Aciel menoleh sebentar.

“Itu puding dari kulkas, ya?” Tanya Lestari membuat Aciel menatapnya kemudian ia mengengguk.

“Iya Tante, enak ini. Tante, ya, yang bikin?”

“Iya, saya yang bikin, kesukaan Nadin,” ucap Lestari dengan nada bicaranyabyang terdengar seperti jengkel.

Aciel menatap raut wajah Lestari yang terlihat berbeda.

“Oh. Aku makan, gapapa, Tan? Soalnya tadi Ayah bilang kalau mau makanan cari aja di dapur, terus aku nemu ini,” ucap Aciel.

Lestari menghela napasnya kemudian ia beranjak. “Sebenernya itu khusus buat Nadin sih, tapi ya gimana terlanjur. Abisin aja nanti sama sisanya. Saya bikin lagi buat Nadin.“

“Lain kali, izin saya dulu. Jangan seenaknya ya,” ucap Lestari tersenyum lalu ia pergi dari sana.

Aciel yang tadinya merasa lapar tiba-tiba saja rasa laparnya hilang begitu saja.

“Lah, orang gue disuruh Ayah,” gumamnya kemudian ia memikih menyimpan kembali puding itu.

Ocean menghela napasnya ketika lagi-lagi pesan yang ia kirimkan pada Aciel hanya dibaca tanpa balasan.

Mata Ocean sudah bengkak lantaran semalaman ia terus menangis.

“Gak di bales lagi, ya?” Tanya Jauzan yang duduk di samping tempat tidur Ocean.

Ocean menggeleng. “Ya sudah, biarin dulu Aciel menuhin egonya, Oce. Sekarang kamu istirahat. Dokter bilang kamu masih perlu istirahat,” ucap Jauzan sambil mengusap tangan Ocean.

Saat ini, Ocean masih berada di rumah sakit lantaran tempo lalu ketika Aciel marah padanya saat bertemu dengan Agam, Ocean jatuh pingsan. Dan dokter bilang Ocean stress bahkan tekanan darahnya tinggi saat diperiksa di Rumah Sakit. Dan hari ini Ocean akan melakukan cek untuk jantungnya.

Ocean menangis pelan, membuat Jauzan menghela napasnya lantas ia segera memeluk Ocean.

“Udah jangan takut, aku di sini, Ce. Kamu gak sendirian. Aku pastiin Aciel baik-baik aja di sana, jangan kha—“

“Aku khawatir, aku tau gimana jahatnya mereka, Mas. Aku takut Ciel nerima kata-kata yang gak baik dari mereka. Sakit, Mas. Aku gak mau Ciel ngerasain itu,” ucapnya.

“Aku mati-matian besarin Ciel sendirian. Bahkan dulu, pas masih ada kesempatan buat mertahanin aku sama Ciel, Agam nggak ngelakuin itu Mas. Keluarganya pun nggak pernah ada yang bela aku. Tapi sekarang kenapa seolah-olah aku yang salah, kenapa seolah-olah aku yang jahat …,” lirih Ocean di pelukan Jauzan.

“Dari dulu aku emang selalu gagal, Mas. Gagal banggain orang tua, gagal gapai cita-cita, gagal jadi istri, gagal juga aku jadi Ibu Mas …”

Nada bicara Ocean terdengar gemetar, bahkan tangisannya menyiratkan jika semua hal yang Ocean katakan itu benar-benar menyakitkan. Bahkan Jauzan ikut merasakan sakitnya.

“Aku harus kayak gimana lagi, kenapa Tuhan gak pernah adil sama aku, Mas …,” isaknya lagi.

“Stttt, jangan bilang kayak gitu. Tuhan sayang kamu, Dia tau kalo kamu bisa. Kamu nggak sendirian Ocean, ada aku, ada Isha yang sayang sama kamu. Aciel juga sayang kamu. Cuma mungkin untuk saat ini, Aciel masih dikuasi egonya.”

Ocean memeluk Jauzan. Lelaki itu lantas mencium puncak kepala Ocean berkali-kali berusaha menenangkan.

Mata Aciel bergerak memperhatikan sekitarnya. Di sampingnya ada Agam yang berdiri merangkulnya, sedangkan di hadapannya ada Lestari dan juga Nadin.

Senyuman terpancar dari wajah Lestari. “Ya ampun, sudah besar kamu,” ucap Lestari pada Aciel membuat anak itu hanya tersenyum canggung.

Agam tersenyum dan menepuk pundak Aciel. “Nah, ini rumah Ayah, nak,” ucap Agam membuat Aciel kembali memperhatikan sekitarnya.

Asing sekali.

Aciel memperhatikan setiap sudut rumah itu, hungga tiba-tiba saja matanya menangkap sebuah figura yang terpajang di dinding. Ia tersenyum kecil ketika melihat potret Agam, Lestari dan juga Nadin yang tengah tersenyum lebar di dalam figura itu.

Tidak ada dirinya di sana.

Aciel menghela napasnya dalam.

“Nanti kamu tidur di kamar itu, ya,” tunjuk Agam membuat Aciel mengangguk.

Lestari tersenyum lalu ia mendekat dan mengusap kepala Aciel.

“Kamu mirip sekali ya sama Ibumu,” ucap Lestari yang lagi-lagi membuat Aciel tersenyum canggung.

“Iya Tante, hehe,” jawabnya.

“Ah iya, ini Nadin. Adik kamu, putri kesayangannya Ayah kamu,” ucap Lestari lagi membuat Aciel menatap anak kecil yang terpaut usia 9 tahun dengannya.

Nadin tersenyum. “Kenalan Nak, ini Kakak kamu,” ucap Agam membuat Nadin menjulurkan tangannya.

“Halo Kakak,” ucap Nadin dan Aciel meresponnya dengan senyuman kemudian ia mengacak pelan puncak kepala anak itu.

Agam tersenyum. Kemudian ia menatap Lestari.

“Udah masak?”

Lestari mengangguk.

“Aciel, ayo kita makan malam dulu. Pasti capek dan lapar. Sini, Tante udah masak banyak untuk kamu, soalnya Tante pikir kamu harus makan makanan yang enak,” ucap Lestari sambil berjalan ke arah dapur diikuti Agam dan Aciel.

Aciel kemudian duduk di meja makan itu.

“Ini, makan dan pilih ya bebas. Kamu harus banyak makan ini, pipinya kurus banget,” ucap Lestari sambil mengusap wajah Aciel.

“Nanti harus banyak makan, ya. Biar sehat, liat tuh Ayah kamu setiap hari saya masakin jadi makin berisi,” ucap Lestari dibarengi kekehan.

Aciel hanya diam dan masih senyuman canggung yang ia tunjukan.

“Iya, makasih banyak Tante,” ucap Aciel.

“Makan ayo,” sahut Agam.

“Papa, mau makan di samping Papa,” Nadin tiba-tiba berbicara membuat Agam menoleh padanya.

“Eh iya lupa. Aciel sini pindah kursinya jangan di samping Ayah. Itu kursi Nadin,” sahut Lestari membuat Aciel menatap dan tanpa berbicara apapun Aciel pindah dari tempat duduk itu dan digantikan oleh Nadin.

“Biasalah, emang nempel banget dia sama Papanya,” ucap Lestari.

Aciel menghela napasnya. Tak lama mereka pun makan, termasuk Aciel. Dan sepanjang acara makan malam itu, yang Aciel lakukan adalah diam memperhatikan canda gurau keluarga itu.

Aciel benar-benar pulang ketika selesai mengobrol panjang lebar bersama sahabatnya itu.

Sepanjang perjalanan Aciel mengumpat pada dirinya sendiri lantaran ia merasa bersalah pada Ocean.

Anak itu melajukan motornya kencang, ingin cepat-cepat pulang dan memeluk Ocean seerat mungkin.

Perlu waktu sekitar 20 menit untuk Aciel sampai di rumah. Buru-buru ia memarkirkan motornya di garasi dan segera turun.

Dengan langkah kakinya yang cepat Aciel melangkan menuju pintu utama. Namun belum sempat ia membuka pintu, terdengar suara teriakan.

“PERGI!”

Aciel buru-buru membuka pintu itu dan tak lama ia pun terpaku.

“DEMI APAPUN AKU GAK SUDI KAMU KE SINI, PERGI!” Teriak Ocean sambil mendorong seorang laki-laki.

“AYAH!” Teriak Aciel tiba-tiba ketika menyadari siapa yang tengah Ocean usir itu.

Semuanya menoleh pada Aciel. Anak itu berlari dan segera membantu Agam berdiri.

“JANGAN DORONG AYAH!” Aciel berteriak pada Ocean membuat Ocean terhentak.

“CIEL!” Tiba-tiba Jauzan dari belakang Ocean menatap Aciel penuh amarah.

Napas Aciel tak karuan, matanya memerah, tangannya mengepal.

Agam yang kini sudah berdiri menatap Aciel. Ia sadar jika sekarang Aciel tengah melindunginya.

“Kenapa Ibu dorong Ayah?” Tanya Aciel.

“KENAPA?!” Teriak Aciel dengan napasnya yang memburu.

Ocean menangis. “Orang ini, orang ini yang udah ngancurin hidup Ibu,” Ocean menangis sedangkan yang ditunjuk hanya menunduk.

“Saya sudah minta maaf, tapi kamu gak pernah mau memaafkan saya.”

“Saya datang ke sini baik-baik tapi kamu malah usir saya kayak gini,” ucap Agam.

“Salah kalau saya mau bertemu Ciel?”

Mendengar hal itu, emosi Aciel makin meluap.

“Emang bener kata aku. Ibu egois, selalu egois.”

“Ibu pikir yang menderita cuma Ibu? AKU JUGA IBU!”

“DARI LAMA AKU NAHAN PERASAAN AKU CUMA KARENA GAK MAU LIAT IBU NANGIS!”

Amarah Aciel memuncak.

“AKU CUMA MAU KETEMU AYAH! SALAH?!”

Dari belakang Agam mencoba menenangkan Aciel.

“Sudah nak, sudah …”

“Ini semua salah Ayah,” ucap Agam.

Ocean menatap Agam lalu ia terkekeh. “Halus sekali omongan kamu, Gam buat narik simpati Ciel. GAK USAH MERASA PALINH TERSAKITI SEDANGKAN DI SINI KAMU YANG BIKIN SEMUNYA HANCUR!”

“CITA-CITA AKU, HIDUP AKU, SEMUANYA KAMU RENGGUT! TAPI SETELAH ITU KAMU BUANG, BUNUH SEKALIAN!” Teriak Ocean dengan isakannya yang sangat kencang.

Mendengar itu Jauzan langsung memeluk Ocean.

“CUKUP!” Teriak Ciel.

“Gak ngerti aku sama Ibu. Selalu bicara sakit, sakit dan SAKIT! Sedangkan aku di sini gak tau apapun. Aku dipaksa buat terus keliatan baik-baik aja padahal nggak.”

“MUAK!”

“Ibu yang bikin semuanya hancur!” ucap Aciel lagi sebelum akhirnya ia memilih pergi dari sana meninggalkan Agam, Ocean dan Jauzan.

Agam menghela napasnya.

“Udah puas bikin Ciel kehilangan rasa kasih sayang? Makasih Ce untuk keegeoisannya. Sekarang Aciel yang jadi korban!” ucap Agam kemudian ia langsung pergi dari sana.

Ocean masih menangis di pelukan Jauzan. Dan tanpa Ocean tahu, Jauzan bersumpah, ia akan membalas semua hal yang pernah Agam lakukan pada Ocean. Ia bersumpah akan melindungi Ocean, dan Ia bersumpah akan membuat semua orang yang menyakiti Ocean meminta maaf padanya.

Pukul 3 sore, dua anak remaja itu tengah menyesap rokoknya masing-masing di rooftop rumah. Sudah hampir 1 jam mereka di sana, membicarakan mengenai masalah yang tengah dihadapi oleh salah satunya.

“Gue gak mau pulang, gue masih ngerasa marah sama Ibu,” ucap Aciel pada Jema—sahabatnya.

Jema hanya diam membiarkan Aciel berbicara sambil terus menyesap rokoknya.

Mata Aciel bahkan sembab.

Jema hanya bisa menggeleng lantaran Jema tahu bagaimana seorang Aciel.

Dia memang terlihat kuat, bahkan seperti anak laki-laki yang tidak pernah menangis. Tapi tidak banyak orang tahu, jika sebenarnya Aciel itu sangat mudah menangis. Jema bahkan pernah memergoki Aciel tengah menangis sambil melihat video kucing.

Aciel dan Jema, mereka sudah berteman sejak sekolah dasar tepatnya kelas 6 SD. Dan sekarang mereka sudah kelas 12 SMA.

Aciel bertemu Jema sebab kebetulan Jema adalah anak yang diadopsi oleh Jaydan dan Agnes, sahabat Ocean.

Setelah Jaydan dan Agnes menikah lama dan tak kunjung mempunyai anak, akhirnya mereka memilih mengadopsi Jema dari panti asuhan, dan berakhir kini mereka tinggal di daerah yang sama.

“Ciel, gue tuh sebenernya gak mau ikut campur. Tapi gue gak bisa liat lo kayak gini.”

“Menurut gue lo kasar banget ke Tante Oce. Maksud gue, lo gak biasanya kayak gini. Sampe-sampe lo bilang kalo Ibu lo egois.”

Aciel menunduk. “Gue gak tau.”

“Ciel, Ciel. Coba lo tenangin dulu diri lo. Gak mungkin Ibu lo kayak gini ke lo. Sengaja misahin lo sama bapak lo itu.”

Aciel menatap Jema. “Kan gue juga anaknya, ngapain dipisahin? Gue juga perlu Ayah,” ucap Aciel menbuat Jema berdecak.

“Yeu tolol. Pahamin makanya.”

“Kita gak tau apa yang udah Ibu lo laluin dulu. Lo juga jangan nyimpulin sepihak aja.”

“Kalo emang lo ngerasa Ibu lo gak bisa jelasin apa-apa, yaudah tunggu aja. Mungkin Ibu lo belum siap atau mungkin dia takut nyakitin lo,” ucap Jema membuat Aciel lagi-lagi terdiam.

“Orang tua mana sih yang tega nyakitin anaknya, Ciel?” Tanya Jema pada Aciel.

Jema tiba-tiba terkekeh. “Eh ada deh. Orang tua gue contohnya, haha. Masa ninggalin anak kelas 3 SD di panti gitu aja. Hahaha,” ucap Jema tertawa kemudian tak lama ia membuang rokoknya yang sudah habis terisap.

Aciel menatap Jema. “Ah anjing lo, gak usah ngomongin panti. Ini rumah lo sekar—“ ucapan Aciel terpotong.

“Ya nyet, gak usah ceramah,” balas Jema menutup mulut Aciel.

Lantas tak lama mereka pun tertawa bersama.

Jema dan Aciel menatap langit jingga sore itu. Kemudian Jema kembali berbicara.

“Jangan nyakitin Ibu lo yang udah mati-matian ngebesarin lo sendirian ya, Ciel. Kehilangan orang yang di sayang tuh nggak enak, jadi lo harus sayang sama Ibu lo selagi dia ada di sini,. Nanti kalo gak ada lo nyesel, mampus” ucap Jema dan tanpa sadar matanya berkaca-kaca.”

Aciel menarik napasnya dalam. “Iya, gue mau minta maaf ke Ibu. Tapi gue malu …,” gumamnya menunduk.

Jema kemudian menoleh dan berdecak. “Emang anak tolol,” ucapnya lagi membuat Aciel tertawa.

“Bacot.”

Benar, Jema benar.

Kehilangan orang yang kita sayang itu menyakitkan. Jadi sebisa mungkin, hargai keberadaan mereka selagi masih ada.

Ocean tidak berhenti memainkan ponselnya untuk menelepon Aciel, namun nihin. Puluhan kali ia menelepon namun hanya sambungan ditolak yang Ocean terima, bahkan sekarang ponsel anaknya itu tidak aktif.

Tubuhnya terasa lemas, apalagi ketika ia membaca pesan yang dikirimkan oleh Aciel padanya.

Kenapa? Ada apa?

Ocean terus saja bertanya-tanya, sebab rasanya terlalu tiba-tiba.

Iya, Ocean paham jika belakangan ini Aciel terlihat sangat murung, apalagi sebelumnya Aciel mengatakan jika ia rindu sang Ayah.

Ocean benar-benar khawatir.

Perempuan itu masih berusaha menelepon Aciel dan juga teman-temannya. Namun sayang teman-teman Aciel juga tidak mengetahui keberadaan anak itu.

Pintu rumah tiba-tiba terbuka menampilkan Jauzan yang datang dan masih mengenalan setelan kantornya. Melihat kedatangan Jauzan, lantas Ocean berdiri dan langsung memeluk Jauzan.

“Mas, Aciel …,” ucapnya dengan suara gemetar.

Jauzan tidak banyak berbicara, ia memeluk Ocean erat sambil mengusap berusaha menenangkan.

“Udah aku cari, aku juga udah nyuruh orang buat nyari Ciel. Tenang, ya. Gak bakal gimana-gimana kok.”

“Aku panik, Ciel tiba-tiba marah ke aku,” ucap Ocean sambil menunjukan pesan Aciel pada Jauzan.

Lelaki itu membaca dengan seksama. Ia kemudian menghela napasnya.

Jauzan mengusap air mata Ocean lantas ia membawa Ocean duduk di kursi.

“Aku takut, aku selalu takut kalau Aciel udah bahas Agam,” ucapnya sambil terisak.

“Mas, aku beneran setakut itu,” ucapnya lagi membuat Jauzan kembali memeluk.

“Tenang, ya.”

Jauzan menghela napasnya.

“Aku tau, posisi aku di sini mungkin belum seberharga itu buat Aciel. Bahkan mungkin kehadiran aku juga gak bakal pernah bisa gantiin posisi Ayahnya buat Ciel.”

“Ocean …”

“Anak seumuran Aciel, egonya memang selalu tinggi. Emosinya nggak stabil.”

“Akhir-akhir ini aku juga sadar kalo sikap Ciel beda. Dia murung, dan beberapa kali juga kan dia selalu post tentang hal yang berhubungan sama orang tua.”

Ocean mengangguk.

“Anak itu rindu Ayahnya, Ce. Baik aku ataupun kamu, nggak bakal bisa ngelarang rasa itu buat gak muncul di diri Aciel.”

“Dia masih perlu sosok orang tua.”

“Sudah coba ngobrol tentang Agam ke Aciel?” Tanya Jauzan.

“Maksudnya, obrolin semua hal yang berhubungan sama Agam. Kasih pengertian ke dia alasan ke apa kamu milih pisah.”

Ocean menggeleng. “Aku nggak berani.”

Jauzan menghela napasnya.

“Kenapa?”

Ocean kembali menangis. “Mas, terlalu berat. Aku gak mungkin bilang ke Ciel alasan kenapa dulu aku pisah. Aku nggak mau dia benci Agam gara-gara hal itu.”

“Mas, coba baca lagi chat dia. Ciel bilang aku yang egois karena ngelarang dia buat ketemu Ayahnya.”

“Tapi demi apapun, alasan kenapa aku nggak mau Ciel ketemu Agam karena aku gak mau Ciel sakit hati gara-gara kenyataannya. Aku gak mau anak aku disakitin sama orang-orang di sekitar Agam. Cukup aku aja Mas, Aciel gak boleh. Lagi pula setelah kepergian aku, Agam juga nggak pernah berusaha nyari Ciel. Cuma beberapa kali dan setelah itu dia gak ada usaha apa-apa lagi.”

Ocean menangis, rasanya sangat sesak.

“Aku gagal lagi, Mas, aku gagal jadi Ibu, aku gagal ngasih kebahagiaan buat anak aku …,” isaknya.

Memang benar, sejak memutuskan pergi kala itu, Ocean tidak ingin Aciel menemui Agam, apalagi berhubungan dengan orang-orang di sekitarnya. Sebab Ocean tahu rasanya diinjak-injak dan direndahlan oleh mereka. Terlalu menyakitkan.

“Semuangak yang berkaitan sama Agam itu menyakitkan Mas,” gumamnya dalam pelukan Jauzan.

Lelaki itu menarik napasnya dalam, ia mengeratkan pelukannya lalu mencium puncak kepala Ocean.

“Kita kasih pengertian sama-sama ke Aciel, ya, sayang. Jangan nangis, udah. Nanti kita cari Aciel.”

Ocean mengangguk.

“Dan juga. Kamu nggak gagal kok, kamu hebat, selalu hebat. Kamu Inu yang baik buat Aciel. Jangab karena hal ini, kamu cap diri kamu gagal. Nggak kok, kamu justru hebat.l

“Udah ya, jangan nangis. Hati aku ikut sakit …,” gumam Jauzan pada Ocean.

Pukul 2 dini hari, Aciel pulang ke rumah dengan wajahnya yang kusut.

Sesak, rasanya sesak sekali. Sebab sebelum ia memutuskan untuk pulang ke rumah, Aciel mencari tahu tentang Ayahnya.

Aciel memasuki ruang tengah, terlihat ada tas dan juga barang milik Jauzan dan Isha. Perlahan ia memeriksa kamar tamu, dan benar saja jika ada Jauzan dan Isha sedang tidur di sana. Lantas tanpa pikir panjang, Aciel langsung berjalan menuju kamar Ocean—Ibunya.

Dibukanya pintu itu pelan-pelan oleh Aciel. Anak itu berjalan mendekati Ocean yang sudah tertidur.

Aciel menghela napasnya kemudian dengan hati-hati ia mulai membaringkan tubuhnya di samping Ocean yang tengah tertidur pulas.

Tanpa Ocean ketahui, sekarang Aciel memeluknya, tanpa mampu membendung air matanya lagi, sebab sejak tadi, Aciel sudah mati-matian menahan air mata itu.

Katakan saja Aciel lemah, sebab apapun yang berhubungan dengan Ayah, Aciel tidak sanggup.

“Ibu maafin aku ya,” ucapnya sangat pelan dalam pelukan itu.

“Maaf karena aku masih berharap kalau Ayah ada di sini, padahal Ayah orang yang selalu bikin Ibu nangis dan sakit …,” lirihnya.

Tangisan itu sulit sekali dibendung, sampai-sampai untuk bernapaspun Aciel merasa sangat berat.

Ia memeluk Ocean dengan hati-hati.

“Aku kangen Ayah …,” gumamnya lagi.

Mati-matian Aciel menahan tangisannya supaya Ocean tidak bangun.

“Aku nggak minta Ayah buat balik lagi sama Ibu kok. Tapi aku juga mau punya sosok Ayah yang ada di samping aku kayak orang lain.”

Lagi, tangisan anak itu selalu lolos.

Aciel menarik napasnya dalam, lalu tak lama ia beranjak.

“Ciel sayang Ibu …,” gumamnya lagi sambil mengecup kening Ocean hati-hati, sebelum akhirnya ia memilih pergi dari sana dengan matanya yang sembab.

Dan untuk kesekian kalinya, yang bisa Aciel lakukan adalah memendam semua rasa rindunya, bersikap seolah-olah ia baik-baik saja tanpa sosok Ayah.

*”I’M HOME EVERYONE.”

Terdengar suara teriakan dari gadis itu, membuat yang dibelakangnya hanya terkekeh.

“Ih kok sepi?” Tanyanya.

“Di ruang tengah kak biasanya, kamu ngapain teriak di sini,” jawab anak lelaki itu.

Gadis itu menepuk jidatnya. “Oh iya.”

Anak lelaki itu, Aciel lebih tepatnya hanya menggeleng ketika melihat Isha—gadis itu berlari ke arah ruang tengah.

Aciel berjalan mengikuti dari belakang, lantas ia tersenyum ketika melihat suasana di hadapannya.

Ada orang-orang yang ia sayangi sedang berkumpul sekarang.

“Aku pulang,” ucap Aciel sambil berjalan ke arah Ocean.

Perempuan itu menoleh lantas langsung saja mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Aciel. Begitu juga dengan Jauzan—lelaki yang saat ini ada bersama Ocean.

Berbicara mengenai Jauzan. Ia merupakan lelaki yang Ocean temui tak sengaja di sebuah cafe, ketika dirinya tengah sibuk melakukan pekerjaannya di depan laptop untuk project bukunya. Karena setelah kepergian Ocean beberapa tahun silam, ia memutuskan untuk kembali memulai karirnya di dunia kepenulisan, menjadi penulis terkenal namun kali ini ia tidak menyebutkan identitasnya, dan orang-orang tidak tahu, jika buku-buku yang beredar adalah hasil karyanya.

Waktu itu, Jauzan tidak tahu jika Ocean akan membuatnya terpana.

Jauzan sering melihat Ocean di cafe itu. Duduk sendiri dan bergelut dengan layar di depannya selama berjam-jam. Sampai akhirnya suatu hari, Jauzan memberanikan diri untuk duduk di meja Ocean dan mengajak Ocean mengobrol.

Mungkin memang takdir, lambat-laun mereka sering bertemu di tempat itu dan memutuskan untuk berteman. Hingga akhirnya mereka saling jatuh cinta.

Jauzan ini, merupakan seorang Ayah anak satu. Ia hanya hidup berdua bersama putrinya Isha, lantaran perempuan yang ia cintai meninggalkannya ketika ia berjuang untuk melahirkan Isha.

Dan seiiring berjalannya waktu, Jauzan akhirnya bertemu dengan Ocean.

Kini, hubungan mereka sudah berjalan 2 tahun lamanya.

“Lama,” ucap Ocean.

“Tuh, Isha tadi mau mampir makan dulu ramen katanya,” jawab Aciel sambil duduk.

“Papa tadi si Kakak bawa motornya ngebut,” celetuk Isha.

“Bohong!” Jawab Aciel cepat.

“Kamu yang minta, heh!”

Isha tertawa.

“Bercanda Kak, santai sih,” jawabnya membuat Aciel berdecak.

Ocean dan Jauzan hanya menggeleng.

“Kamu mandi dulu gih, abis keringetan,” suruh Ocean pada Aciel.

“Iya bentar Bu,” jawabnya.

“Om, nginep?” Tanya Aciel yang kini beralih menatap Jauzan, membuat yang ditanya mengangguk.

“Iya.”

“Besok Om di kantor sibuk gak?”

“Gak sih, kenapa? Besok kayaknya meeting juga WFH.”

Aciel tersenyum lebar.

“Kenapa kok senyum gitu?” Tanya Ocean aneh.

“Main ps om, besok aku libur, hehe,” jawab Aciel menyerengeh membuat Jauzan tertawa.

“Haha, sudah pasti,” ucapnya.

Mendengar hal itu lantas Ocean menggeleng dan menepuk jidatnya.

“Awas aja ya kalo tengah malem berisik,” sinis Ocean.

“SIAP IBU!” Jawab Jauzan dan Aciel bersamaan lantas mereka pun tertawa.

Waktu menunjukan pukul setengah dua belas malam. Hanya terdengar suara televisi yang menyala, serta suara hujan yang turun di luar.

Lelaki itu bergerak dari duduknya kemudian meraih remote AC untuk ia kecilkan suhunya.

Tak jauh dari tempatnya duduk, ada Ocean yang mungkin sudah tertidur di kursi itu sejak dua jam lalu.

Agam memperhatikan Ocean lama, sampai akhirnya ia memberanikan diri mendekat. Lelaki itu lantas membenarkan selimut di tubuh Ocean.

Jemari Agam bergerak menyelimuti, kemudian ia mensejajarkan tubuhnya dengan duduk di lantai.

Agam menatap Ocean dengan jemari yang mengusap pelan.

Masih, perasaannya masih sama. Ia masih menyayangi Ocean seperti dulu.

Wajah Ocean sedikit mengecil dari biasanya.

Agam hanya tersenyum tipis. Ia bahkan tidak tahu kesulitan apa saja yang sudah Ocean lalui akhir-akhir ini.

“Kuat ya, Ce,” gumamnya pelan.

“Maafin aku kalau selama ini aku selalu nyusahin kamu. Karena aku juga kamu jadi kayak gini.”

Agam masih mengusap perempuan itu.

“Kalau aja dulu kita gak lakuin kesalahan itu. Sekarang kamu pasti udah bisa raih cita-cita kamu yang udah kamu rangkai itu.”

Hatinya sesak. “Andai aja kamu gak ketemu aku, Ce. Mungkin sekarang hidup kamu gak bakalalan ngerasain banyak kesakitan kayak gini,” ucap Agam bermonolog.

“Aku sayang banget sama kamu. Tapi caraku buat lindungin kamu ternyata salah, Ce.”

“Aku nyesel, aku nyesel banget karena dulu aku malah milih lepasin kamu dengan alasan aku yang gak mau nyakitin kamu karena Bunda.”

Agam menarik napasnya dalam.

“Andaikan aja dulu aku terus perjuangin kamu dan bertahan. Kayaknya sekarang kita bakal jadi keluarga kecil yang banyak banget bahagianya, Ce.”

Agam tersenyum tipis, sambil berandai-andai.

Tanpa sadar, air mata mengalir dari mata lelaki itu. Agam berusaha keras menahannya sampai-sampai dadanya terasa sesak.

Ingin sekali Agam memeluk Ocean.

“Oce, meskipun memang kenyataannya kita gak sama-sama, tapi aku bakal terus ada di sini buat kamu sama anak kita. Walau pun memang mungkin hadirnya aku udah gak berharga lagi buat kamu.”

“Aku bakal mastiin kalau kamu dan Ciel bakal baik-baik aja,”gumamnya lagi pelan.

Agam kembali menarik napasnya dalam, sebelum akhirnya ia memilih untuk beranjak dari sana.

“Mimpi indah Ocean, good night,” ucapnya sebelum akhirnya ia pergi dari rumah itu.