Ocean tidak berhenti memainkan ponselnya untuk menelepon Aciel, namun nihin. Puluhan kali ia menelepon namun hanya sambungan ditolak yang Ocean terima, bahkan sekarang ponsel anaknya itu tidak aktif.
Tubuhnya terasa lemas, apalagi ketika ia membaca pesan yang dikirimkan oleh Aciel padanya.
Kenapa? Ada apa?
Ocean terus saja bertanya-tanya, sebab rasanya terlalu tiba-tiba.
Iya, Ocean paham jika belakangan ini Aciel terlihat sangat murung, apalagi sebelumnya Aciel mengatakan jika ia rindu sang Ayah.
Ocean benar-benar khawatir.
Perempuan itu masih berusaha menelepon Aciel dan juga teman-temannya. Namun sayang teman-teman Aciel juga tidak mengetahui keberadaan anak itu.
Pintu rumah tiba-tiba terbuka menampilkan Jauzan yang datang dan masih mengenalan setelan kantornya. Melihat kedatangan Jauzan, lantas Ocean berdiri dan langsung memeluk Jauzan.
“Mas, Aciel …,” ucapnya dengan suara gemetar.
Jauzan tidak banyak berbicara, ia memeluk Ocean erat sambil mengusap berusaha menenangkan.
“Udah aku cari, aku juga udah nyuruh orang buat nyari Ciel. Tenang, ya. Gak bakal gimana-gimana kok.”
“Aku panik, Ciel tiba-tiba marah ke aku,” ucap Ocean sambil menunjukan pesan Aciel pada Jauzan.
Lelaki itu membaca dengan seksama. Ia kemudian menghela napasnya.
Jauzan mengusap air mata Ocean lantas ia membawa Ocean duduk di kursi.
“Aku takut, aku selalu takut kalau Aciel udah bahas Agam,” ucapnya sambil terisak.
“Mas, aku beneran setakut itu,” ucapnya lagi membuat Jauzan kembali memeluk.
“Tenang, ya.”
Jauzan menghela napasnya.
“Aku tau, posisi aku di sini mungkin belum seberharga itu buat Aciel. Bahkan mungkin kehadiran aku juga gak bakal pernah bisa gantiin posisi Ayahnya buat Ciel.”
“Ocean …”
“Anak seumuran Aciel, egonya memang selalu tinggi. Emosinya nggak stabil.”
“Akhir-akhir ini aku juga sadar kalo sikap Ciel beda. Dia murung, dan beberapa kali juga kan dia selalu post tentang hal yang berhubungan sama orang tua.”
Ocean mengangguk.
“Anak itu rindu Ayahnya, Ce. Baik aku ataupun kamu, nggak bakal bisa ngelarang rasa itu buat gak muncul di diri Aciel.”
“Dia masih perlu sosok orang tua.”
“Sudah coba ngobrol tentang Agam ke Aciel?” Tanya Jauzan.
“Maksudnya, obrolin semua hal yang berhubungan sama Agam. Kasih pengertian ke dia alasan ke apa kamu milih pisah.”
Ocean menggeleng. “Aku nggak berani.”
Jauzan menghela napasnya.
“Kenapa?”
Ocean kembali menangis. “Mas, terlalu berat. Aku gak mungkin bilang ke Ciel alasan kenapa dulu aku pisah. Aku nggak mau dia benci Agam gara-gara hal itu.”
“Mas, coba baca lagi chat dia. Ciel bilang aku yang egois karena ngelarang dia buat ketemu Ayahnya.”
“Tapi demi apapun, alasan kenapa aku nggak mau Ciel ketemu Agam karena aku gak mau Ciel sakit hati gara-gara kenyataannya. Aku gak mau anak aku disakitin sama orang-orang di sekitar Agam. Cukup aku aja Mas, Aciel gak boleh. Lagi pula setelah kepergian aku, Agam juga nggak pernah berusaha nyari Ciel. Cuma beberapa kali dan setelah itu dia gak ada usaha apa-apa lagi.”
Ocean menangis, rasanya sangat sesak.
“Aku gagal lagi, Mas, aku gagal jadi Ibu, aku gagal ngasih kebahagiaan buat anak aku …,” isaknya.
Memang benar, sejak memutuskan pergi kala itu, Ocean tidak ingin Aciel menemui Agam, apalagi berhubungan dengan orang-orang di sekitarnya. Sebab Ocean tahu rasanya diinjak-injak dan direndahlan oleh mereka. Terlalu menyakitkan.
“Semuangak yang berkaitan sama Agam itu menyakitkan Mas,” gumamnya dalam pelukan Jauzan.
Lelaki itu menarik napasnya dalam, ia mengeratkan pelukannya lalu mencium puncak kepala Ocean.
“Kita kasih pengertian sama-sama ke Aciel, ya, sayang. Jangan nangis, udah. Nanti kita cari Aciel.”
Ocean mengangguk.
“Dan juga. Kamu nggak gagal kok, kamu hebat, selalu hebat. Kamu Inu yang baik buat Aciel. Jangab karena hal ini, kamu cap diri kamu gagal. Nggak kok, kamu justru hebat.l
“Udah ya, jangan nangis. Hati aku ikut sakit …,” gumam Jauzan pada Ocean.