Maaf

Helaan napas terdengar dari perempuan yang kini tengah berdiri di depan pintu rumah yang sudah lama sekali tidak ia lihat.

Jantungnya berdegup kencang, namun perlahan tangannya mulai bergerak memencet tombol bel yang ada di sana.

Tiga kali berbunyi, tidak ada yang membuka pintunya. Sampai akhirnya pada bunyi bel ke-5 pintu pun terbuka menampakkan seseorang yang ia kenal.

“Siap—“ ucapannya ter potong ketika melihat ada Ocean—perempuan itu yang baru saja memencet bel.

Raut wajah wanita paruh baya itu yang tadinya cerah berubah menjadi suram, dan buru-buru ia menutup pintu, namun Ocean berhasil menahannya.

“Mana Aciel, Bun? Saya mau bawa anak saya pulang.

Wanita paruh baya itu menarik napasnya dalam sebelum akhirnya ia pasrah dan melepaskan pintu yang tadinya ingin ia tutup.

“Berani kamu ke sini?” Tanyanya pada Ocean.

“Saya mau bawa pulang anak saya,” ucapnya.

“ACIEL INI IBU NAK!” Ocean berteriak memanggil sang Anak.

“Gak ada. Dia lagi tidur.”

“Pulang kamu, gak tau malu datang ke sini ribut-ribut.”

Ocean menatap wanita itu. Lantas ia menghela napasnya dalam.

“Saya datang baik-baik kok. Di sini saya cuma mau bawa pulang anak saya, salah, ya?”

Wanita paruh baya itu berdecak. “Gak ingat apa kata saya?”

“Saya gak mau cucu saya diurus sama orang yang gak becus.”

“Saya lebih banyak pengalaman dibanding kamu.”

“Terjamin hidup cucu saya kalau di sini. Dia di sana gimana? Sengsara, kesusahan!” ucapnya tanpa henti.

“Kamu kerja sampai sakit pun, di sana cucu saya tetap kesusahan. Hidup pas-pasan. Sudah untung anak saya ngasih kamu rumahnya buat ditempatin.”

Sungguh, hati Ocean terasa sakit mendengar perkataan itu.

Apakah di mata mantan ibu mertuanya ini Ocean sangatlah susah dan payah?”

“Pulang, gak sudi saya lihat kamu,” ucap wanita paruh baya itu pada Ocean.

“Biar Aciel disini. Hidup nyaman, saya bisa kasih segalanya buat cucu saya sendiri.”

“Lebih baik kamu pulang sebelum saya panggil security.”

“Dasar perempuan gak tahu malu!” ucap wanita paruh baya itu kemudian ia menutup pintunya dengan sangat keras meninggalkan Ocean yang masih berdiri di sana.

Lidah Ocean terasa kelu, ia bahkan tidak bisa mengatakan apapun. Padahal sebenarnya banyak hal di kepala yang seharusnya ia luapkan.

Apakah memang Ocena serendah itu? sesusah itu di mata mereka? Sampai-sampai mereka tidak percaya perihal jaminan kenyamanan pada hidup Aciel anaknya.

Ocean menjatuhkan dirinya di depan pintu rumah itu kemudian ia menangis sambil memukul kedua dada sebab terasa samgat sesak

Dan tiba-tiba saja sebuah pelukan menghampiri, memeluk tubuh Ocean dengan sangat erat.

“Ocean maaf … maaf Bunda nyakitin kamu lagi. Maaf harusnya kamu gak sendiri, maaf … ” ucap Agam—lelaki yang baru saja sampai dan kini langsung memeluk Ocean.