If It Is You.

Hening, keduanya bungkam ketika keadaan memaksa untuk saling berhadapan.

Ocean—perempuan itu terus menunduk enggan menatap dan membuka suaranya. Dan di hadapannya ada Agam yang sejak tadi hanya menatap Ocean menunggu perempuan itu berbicara.

Hati lelaki itu terasa ngilu ketika ia melihat Ocean—perempuan yang sejak lama ia cintai.

Mata Agam dan Ocean sama-sama sembab sebab sebelumnya mereka sama-sama menangis ketika tadi Agam datang membawa Aciel ke rumah itu.

Banyak perdebatan yang terjadi di antara keduanya, bahkan sebelumnya Ocean berteriak bergitu keras pada Agam meluapkan segala amarahnya ketika membaca pesan yang dikirimkan oleh Bunda padanya.

Sampai akhirnya perdebatan itu berhenti dan membuat mereka duduk berhadapan sekarang di ruang tengah rumah itu.

Diam-diam Ocean menangis tanpa suara ketika ia menunduk. Namun meskipun begitu, Agam tahu jika Ocean menangis lantaran pundaknya terlihat bergetar.

Perlahan tangan lelaki itu bergerak untuk meraih wajah Ocean dan dengan hati-hati menghapus air matanya.

“Udah, jangan nangis teru, Ce. Capek,” ucapnya pada Ocean.

Tangan Agam yang sebelahnya lagi ikut bergerak meraih jemari Ocean dan mengusapnya, berusaha menenangkan perempuan itu.

“Maaf …,” gumam Agam pada Ocean.

Berkali-kali lelaki itu menggumamkan kata maaf. Bahkan mungkin Ocean pun sudah muak mendengar kata itu.

Rasanya makin kesini semuanya terasa semakin melelahkan. Ocean lelah, lantaran secara tidak sadar, Agam selalu berusaha untuk terus menggenggamnya. Padahal sudah jelas jika hubungan mereka itu sudah berakhir.

Iya, Ocean memang tidak bisa memutuskan hubungannya begitu saja dengan Agam, lantaran mau bagaimana pun, Agam tetaplah Ayah dari Aciel anaknya. Namun yang Ocean inginkan itu adalah, Agam berhenti peduli padanya. Sebab Ocean tahu, kepedulian Agam ini pada akhirnya hanya akan membuatnya sakit. Dan karena itu juga Aciel—anak mereka ikut merasa sakit.

“Egois, Gam,” tiba-tiba saja Ocean angkat bicara.

Perlahan kepala perempuan itu terangkat dan menatap Agam. Matanya benar-benar sembab.

Agam menatap Ocean. Pipinya sangat terlihat tirus bahkan ketika Agam menggenggam tangannya, itu terasa kecil. Tidak seperti Ocean yang dulu ketika mereka masih bersama.

Mata Agam berkaca-kaca ketika mereka saling menatap. Agam mengusap wajah Ocean lembut.

Pikirannya berkecamuk.

Agam mencintai Ocean, sangat mencintai Ocean. Tapi di sisi lain, Agam pun sadar jika posisinya ini serba salah.

Ia ingin hidup bersama Ocean, tapi di sisi lain, orang yang Agam sayangi, lebih tepatnya orang yang sudah melahirkannya juga memintanya untuk selalu meninggalkan Ocean.

Agam sadar, jika bersamanya, Ocean bahagia sekaligus sakit.

Tidak hanya itu, baik Ocean atau Agam keduanya pun sadar jika keduanya itu masih sangat mencintai. Namun keadaan selalu memaksa mereka berpisah.

“Egois …,” gumam Ocean lagi sambil menahan tangisnya.

Agam terdiam.

“Berhenti peduliin aku, Gam. Udah cukup, ya?”

“Dari dulu aku minta kamu buat berhenti peduliin aku. Jadi tolong berhenti.”

“Hati aku, jiwa aku, semuanya udah berantakan, udah gak ada bentuknya lagi, Gam.”

“Aku harus sampai kapan lagi nahan-nahan rasa sakit?”

“Tau nggak? Rasanya direndahin? Aku selalu dilihat sebelah mata sama orang-orang sekitar kamu, Gam. Bahkan sampai sekarang, sampai kita udah pisah pun aku masih dianggap penghalang hidup kamu.”

Ocean kembali terisak.

“Aku gak minta apa-apa, Gam. Aku cuma pengen kamu lepas dari aku. Cukup kamu perhatiin Aciel aja, udah.”

“Gak bisa, ya?”

Agam terdiam lantas perlahan ia menggeleng.

“Aku gak bisa biarin kamu gitu aja. Maaf … maaf kalau gara-gara aku, semuanya jadi hancur.”

Ocean terdiam.

“Sulit Ce, sulit buat aku ninggalin kamu gitu aj—“

“Keadaannya udah beda Agam.”

“Tolong jangan egois. Di sini aku pun kesulitan,” jawab Ocean lagi.

“Bunda cuma pengen kamu lepas dari aku. Maka dari itu semuanya bakal baik-baik aja.”

“Jadi, tinggalin aku, Gam.”

“Cukup kamu peduliin Aciel aja, ya?”

“Jangan ikut campur juga sama semua yang aku jalani.”

Agam menunduk lantas ia menangis.

“Gam, jatuh cinta sama kamu, bener-bener bikin semuanya rusak, hancur, gak berbentuk lagi,” ucap Ocean pelan.

Tanpa mengatakan sepatah apapun, Agam menarik Ocean dalam pelukannya.

Ocean terdiam ketika merasakan Agam memeluknya erat.

Peluk ini, ternyata masih terasa sama seperti dulu.

Hangat dan tenang.

Ocean hanya diam sambil berusaha keras menahan tangisnya.

“Maaf kalau karena aku, kamu jadi kayak gini.”

“Aku sayang banget, Ce. Sayang banget sama kamu.”

“Gak bisa ya kita sama-sama lagi?” Tanya Agam.

Ocean menggeleng pelan.

“Udah selesai,” ucap Ocean.

Agam mengeratkan pelukannya.

“Jalanin apa yang seharusnya, ya, Gam? Turutin semua keinginan Bunda kamu. Dia cuma pengeb kamu bahagia, Gam.”

“Tapi bahagiaku cuma ada di kamu, Ce.”

“Tapi bahagianya Bunda kamu, bukan di aku, Gam,” balas Ocean lantas tanpa sadar ia menjatuhkan air matanya.

Lantas ketika mereka sedang saling memeluk, tiba-tiba saja Aciel menghampiri mereka berdua dan memeluk dari samping membuat Agam dan Ocean menoleh seketika.

“Ayah, Ibu … jangan menangis,” ucap anak kecil itu sambil memeluk mereka erat dengan tangan kecilnya.

Ocean semakin menangis dan ia langsung meraih Aciel ke dalam pelukannya.

Aciel menatap kedua orang tuanya secara bergantian. Kemudian jemari kecilnya bergerak mengusap air mata Ocean dan Agam bergantian.

“Ciel gak suka lihat Ayah dan Ibu menangis,” ucapnya pelan.

Agam berusaha keras menahan tangisnya, begitu pula Ocean.

“Iya, maaf ya Ayah dan Ibu menangis,” ucap Agam sambil mencium Aciel.

Aciel mengangguk kemudian ia meraih leher Agam supaya masuk ke dalam pelukannya.

Dan malam itu, mereka berakhir dengan saling memeluk satu sama lain.