Jjaejaepeach

Lelaki itu berdiri dengan matanya yang enggan menatap perempuan di hadapannya.

Terlihat jelas jika saat ini wajag Ocean sangat sembab. Entah sudah berapa lama perempuan itu menangis.

Suara isakan terdengar jelas memasuki pendengaran Agam. Membuat hatinya ngilu lantaran saat ini Ocean menangis.

Tanpa berkata apapun, Agam langsung saja melangkahkan kakinya dan memeluk Ocean.

Tangisan Ocean mengeras ketika tubuh lelaki itu mendekapnya erat.

Kenapa? Kenapa harus seperti ini? Padahal jauh di dalam lubuj hati Icean, ia juga masih ingin bertahan. Namun di sisi lain, luka batinnya terlalu besar. Sampai-sampai secara tidak sadar rasa sakit yang mendominasi, mengalahkan semua rasa yang sejauh ini sudah ia bangun.

“Maaf …,” hanya itu yang keluar dari bibir Agam sembari terus mendekap Ocean yang menangis.

Sakit, rasanya sakit sekali.

Agam itu sangat mencintai Ocean.

Agam tahu, ia juga sadar jika dari dulu hanya satu yang membuatnya selalu kalah dalam mengambil keputusan.

Bunda.

Bahkan ketika ia sudah mempunyai jalan hidupnya, Agam masih kesulitan untuk sekedar menolak keinginan Bunda.

Iya, memang bodoh. Dan tanpa sadar sikap Agam yang seperti ini membuat Ocean terluka.

Agam kesulitan, begitu juga Ocean. Mereka sama-sama berada di posisi yang sulit.

“Maaf Oce …,” lirih Agam lagi.

“Kamu sebenernya sayang gak sih Gam sama aku?” Ocean tiba-tiba saja bertanya sembari berusaha menatap wajah Agam.

Agam mengangguk.

“Terus kenapa?”

“Kenapa kamu gak pernah nyoba buat nolak semua hal yang Bunda minta? Coba buat lebih tegas. Kenapa?”

Agam terdiam.

“Agam …”

“Aku tuh capek.”

“Aku capek harus nahan-nahan semuanya. Setiap kali aku bilang ke kamu soal Bunda. Kamu selalu jawab dan nyuruh aku buat sabar buat lebih ngertiin Bunda.”

Ocean kembali menangis.

“Aku tahu, mungkin kalau dibandingkan orang lain di luar sana. Perjuangan aku buat luluhin Bunda tuh belum seberapa. Tapi, Gam, rasa sabarku gak sebanyak orang lain. Aku gak punya wadah sebesar itu buat nampung semua rasa sakit karena gak diinginkan.”

“Gelas yang aku punya buat nampung semua itu terlalu kecil, Gam.”

“Berkali-kali aku coba buat bisa lebih kuat dan sabar. Tapi nyatanya aku malah lebih sakit.”

Ocean semakin terisak.

“Dari dulu, Gam.”

“Dari dulu, jatuh cinta sama kamu itu memang gak mudah. Jatuh cinta sama kamu bikin aku banyak terluka karena berusaha buat sempurna. Padahal nyatanya aku gak bisa sempurna, Gam.”

Agam masih saja menunduk tidak berani menatap wajah Ocean.

“Buat sayang sama kamu memang harus terluka sebanyak ini, ya, Gam?”

Ocean mengusap air matanya. “Maaf ya Gam. Karena sama aku, kamu harus nanggung banyak beban. Harus denger cemoohan dari sana-sini. Maaf juga karena aku, citra sempurna yang udah keluarga kamu bangun jadi rusak.”

Netra Ocean beralih menatap Agam yang masih enggan menatapnya. Perlahan jemari Ocean bergerak mengusap wajah Agam.

“Gam …”

Agam menggeleng, ia kemudian menatap Ocean dengan air mata yang sudah banyak keluar. “Ocean nggak …,” gumamnya sambil terus menggelengkan kepalanya.

Agam menggenggam tangan Ocean. “Oce maaf … jangan kemana-mana aku mohon …”

Air mata Ocean kembali jatuh. Lantas dengan berat hati ia menggeleng. “Mungkin sebaiknya gini.”

“Dan dari awal sebaiknya juga kita gak sama-sama, Gam,” ucap Ocean membuat hati Agam hancur.

Agam kembali mendekap Ocean.

Keduanya sama-sama mencintai, namun lagi-lagi keadaan yang selalu memaksa mereka untuk melepas.

“Maaf, ya … maaf aku milih nyerah,” gumam Ocean kemudian ia memeluk Agam erat.

Lantas malam itu, merupakan malam paling hancur. Baik itu untuk Agam dan juga Ocean.

Mereka, kehilangan satu sama lain.

Ocean tertawa keras sambil memukul lengan Agam. “Ih kok balesnya pake Bu, sih.”

Agam tertawa. “Ya kan kamu itu tweetnya pake ‘Yah’ gimana sih,” balas Agam membuat wajah Ocean sedikit memerah.

Jemari Agam perlahan bergerak untuk mengusap puncak kepala perempuan yang sedang duduk di hadapannya itu.

“Kenapa kok liatin?” Tanya Ocean pada Agam, sebab saat ini lelaki itu tengah menatapnya.

Agam menggeleng dan tersenyum. “Gapapa,” jawab Agam.

Mata Ocean balik menatap Agam dan perlahan tangannya pun ikut bergerak mengusap mengikuti apa yang Agam lakukan padanya. “Capek nggak, Gam?” Tanya Ocean.

Agam menggeleng. “Nggak, kenapa gitu?”

Mereka masih saling menatap. “Gapapa, hehe.”

Agam lagi-lagi tersenyum. “Capek aku hilang tiap pulang dan lihat kamu,” balasnya.

Tangan Agam beralih mengusap perut Ocean yang sudah membuncit. “Nanti tambah gak capek lagi kalo anak aku udah lahir, hehe,” Agam menyerengeh.

“Ce …”

“Apa?”

“Sehat terus ya, jangan kecapean. Kamu gak perlu mikirin apa aku capek atau nggak. Selama ada kamu, selama kamu sehat, aku baik-baik aja, serius.”

Ocean menatap Agam mendengarkan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya.

“Nanti, anak kita namanya siapa ya?”

Ocean tampak berpikir begitu juga Agam. “Gimana kalo …”

“Apa?”

“Ogam.”

“Hah? Jelek banget,” sungut Agam membuat Ocean memukulnya.

“OGAM TUH OCEAN AGAM!” Balas Ocean membuat Agam seketika tergelak.

“Ngaco banget kamu.”

Ocean tertawa. “Hahaha, becanda ih.”

Agam hanya menggeleng. “Udah deh nanti nama yang bagus udah aku siapain.”

“Apa?”

“Kepo!” balas Agam sambil mengecup sekilas pipi Ocean.

“Ih gak sopan!” Protes Ocean.

“Masa?”

“Ini masih gak sopan, gak?” Tanya Agam lantas ia segera mengecup kembali kening, pipi dan juga bibir Ocean dengan cepat, menbuat Ocean tertawa.

Perempuan ith lalu menarik wajah Agam dan membalas tiap kecupan itu di titik yang sama.

“Eh ada yang ketinggalan,” ucap Agam membuat Ocean mengerutkan keningnya.

“Apa yang ketinggalan?”

Tanpa aba-aba, Agam segera mensejajarkan kepalanya dengan perut Ocean, ia kemudian menempelkan telinganya di perut itu lantas ia mengecupnya.

“Anak ayah lupa belum dikasih cium.”

“Cantik atau gantengnya Ayah. Cepet lahir ya, sampai ketemu …,” ucap Agam sambil beberapa kali melayangkan kecupan penuh sayang.

Ocean tersenyum sambil mengusap kepala Agam lembut.

Ternyata, dari sekian banyaknya kesulitan di hidup Ocean. Ada satu yang Ocean syukuri.

Dicintai dengan begitu banyak oleh dua lelaki kesayangannya.

Ayah dan juga Agam.

Dan Ocean selalu berdoa. Semoga selamanya ia bersama Agam.

Hari ini merupakan hari dimana Ocean melakukan Antenatal Care atau pemeriksaan kehamilan untuk pertama kalinya.

Sejujurnya Ocean sangat takut. Namun Agam berkali-kali menjelaskan pada Ocean jika ini penting untuk kesehatan dirinya dan juga bayi yang sekarang ada di perut Ocean.

Beberapa hari lalu, Agam bahkan sempat marah sebab Ocean menolak melakukan pemeriksaan dengan alasan takut. Tapi, berkat penjelasan Agam Ocean akhirnya luluh dan mau untuk melakukan pemeriksaan ini.

Ocean dan Agam tengah duduk di kursi tunggu—menunggu giliran.

Netra Ocean bergerak memperhatikan sekitarnya. Ia bahkan bersembunyi di balik pundak tegap Agam ketika ia melihat beberapa teman coass Agam yang berjalan di sekitar.

Sebenarnya sekarang, orang-orang di sekitar Agam tahu jika Agam dan Ocean sudah melakukan pernikahan. Bahkan beberapa hari yang lalu Agam mendapat ucapan selamat dari konsulennya.

Agam pikir, orang-orang akan menyudutiannya sebab ia memilih menikah lebih cepat dari rencananya. Namun ternyata ia malah mendapat banyak ucapan selamat dari teman-temannya. Dan beberapa mengirim hadiah pada Agam.

“Kamu nggak malu, ya?” Tanya Ocean pada Agam membuat Agam menoleh ke samping menatap Ocean yang tengah bersembunyi di pundaknya.

“Malu apa?”

“Itu tadi temen-temen kamu,” jawab Ocean.

Agam hanya tersenyum dan menggeleng. “Ngapain harus malu?”

Agam kemudian meraih jemari Ocean dan menggenggamnya. “Aku gak pernah malu punya kamu,” ucap Agam membuat Ocean menghangat.

Netra Ocean kembali bergerak memperhatikan sekitar, sampai tiba-tiba saja namanya dipanggil membuat mereka berdua segera beranjak dan masuk ke dalam ruang pemeriksaan.

Agam tersenyum ketika melihat Dokter Arin, yang kebetulan merupakan dokter kandungan yang mengajar di kampus Agam.

Beliau pun sangat mengenal Agam sebab selama masa Pre-klinik dan klinik, Agam dikenal pintar dan cekatan. Sehingga wajar saja jika beliau sangat ramah pada Agam.

“Ini ya istri kamu yang kemarin kamu ceritain ke saya?” Tanya Dokter Arin membuat Agam mengangguk dan tersenyum.

“Hehe iya, Dok.”

“Hmm ok, kita langsunh saja ya.”

Dokter Arin mengalihkan pandangannya pada Ocean dan tersenyum.

Dokter Arin menanyakan beberapa pertanyaan pada Ocean mengenai identitasnya dari mulai nama sampai pendidikan terakhirnya.

Selain itu, Dokter Arin juga menanyakan beberapa hal yang berkaitan dengan kondisi Ocean dan kandungannya selama ia mengandung. Ini dilakukan untuk memonitor kesehatan ibu dan janin dalam kandungan. Apakah ada hal yang membahayakn atau tidak. Baik itu untuk Ibu dan juga janinnya.

“Selama hamil apa kamu ada keluhan mual, muntah, sakit kepala?”

Ocean menggeleng. “Gak ada Dok.”

“Ada keluhan cepat lelah, sesak napas, perdarahan, atau gelisah?”

Ocean kembali menggeleng. “Gak ada Dok. Dari mulai saya tahu kalau saya hamil, saya gak pernah ngerasain keluhan apa-apa.”

“Tapi kadang saya cuma suka tiba-tiba ngerasa sedih. Tapi gak lama kok. Dan buat keluhan seperti yang dokter tanyakan sebelumnya gak ada Dok.”

Dokter Arin mengangguk paham. Kemudian setelah itu Dokter Arin kembali bertanya pada Ocean mengenai usia awal ketika menarche atau menstruasi. Apakah siklus menstruasi Ocean teratur atau tidak. Menanyakan perihal kapan terakhir kali ia menstruasi yang nantinya berguna untuk mengetahui usia kehamilan dan taksiran persalinan.

Banyak sekali hal yang ditanyakan dalam pemeriksaan kehamilan ini. Dari mulai keluhan, riwayat menstruasi, riwayat kehamilan sekarang, riwayat kehamilan sebelumnya, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, serta riwayat pribadi dan sosialnya.

Semua itu bertujuan untuk menilai apakah pada Ibu dan Janin ada kemungkinan mengalami hal-hal membahayakan atau tidak.

Ocean menggenggam tangan Agam dengan erat. Matanya tak lepas dari Agam. Jantungnya berdetak tak karuan, bahkan peluh pun meluncur di kening perempuan itu.

Agam menoleh pada Ocean lalu mengangguk, jemarinya bergerak mengusap kepala Ocean. “Gapapa sayang,” ucap Agam meyakinkan. Lalu tak lama Ocean berjalan ke kasur pemeriksaan dan membaringkan tubuhnya di sana.

Agam berdiri di sebelah kiri Ocean kemudian ia meraih jemari kecil Ocean dengan lembut dan mengusapnya perlahan.

Ocean mengeratkan genggamannya pada Agam ketika dokter itu mengoleskan gel pada perutnya yang bertujuan untuk melihat isi kandungannya.

Agam hanya tersenyum sambil mengusap tangan Ocean. “Gak bakal sakit sayang, cuma diliat aja bentar,” ucap Agam berusaha menenangkan.

Netra kedua orang itu bergerak ketika dokter menyuruh mereka untuk melihat layar monitor.

“Usia kandungan kamu sudah masuk usia tujuh minggu sebentar lagi delapan minggu,” ucap Dokter Arin.

“Lihat, masih kecil,” ucap Dokter Arin lagi membuat Agam dan Ocean fokus menatap layar monitor.

“Panjang janinnya ini sekitar dua ratus lima puluh mili meter. Usia segini biasanya jantung sudah bisa memompa darah. Terus lihat itu bagian yang saya tunjuk. Sudah keliatan kan raut wajahnya, walau gak terlalu jelas. Nah terus bagian ini, nantinya bakalan kebentuk telinga telinga, ini keliatan dikit banget. Masih sekecik biji kacang, haha,” Dokter Arin tertawa membuat Agam dan Ocean ikut tertawa.

“Ini juga bagian wajahnya matanya sudah mulai keliatan. Ini bagian alis,” ucap Dokter Arin lagi.

“Mau dengar detak jantungnya?” Tanya Dokter Arin membuat Agam mengangguk.

Benar saja, Dokter Arin memperdengarkan detak jantung bayi itu.

“Terdengar?” Tanyanya menbuat kedua orang itu mengangguk.

“Agam …,” panggil Ocean membuat Agam menoleh.

Agam menatap Ocean panik ketika tiba-tiba saja Ocean menangis saat mendengar detak jantung bayi yang ada di dalam kandungannya. “Ini … ini anak kita, ya?” tanya Ocean dengan matanya yang berkaca-kaca.

Agam mengangguk. “Iya,” ucapnya yang kemudian kembali mengenggam erat tangan Ocean.

Baik Agam dan Ocean, hati mereka menghangat. Rasanya campur aduk. Takut dan haru bercampur jadi satu.

Bahkan tanpa sadar, Agam mengeluarkan air matanya tiap kali ia mendengar detak jantung bayi itu.

Mata Agam tak lepas dari layar monitor. Kemudian ia meraih ponsel miliknya dan mengambil beberapa potret bayinya dari layar monitor itu.

Buah hatinya, darah dagingnya. Ia hidup, detak jantungnya bahkan terdengar sangat menenangkan.

Fokus Agam berubah, ia kini menatap Ocean dan tersenyum. Kemudian ia mengecup tangan Ocean lembut.

Lantas di dalam hati, Agam berjanji. Bahwa ia akan jadi laki-laki yang menjaga perempuannya ini dengan baik. Agam berjanji pada dirinya sendiri, jika selamanya ia akan jadi sosok yang akan selalu Ocean perlukan sepanjang waktu.

Agam berjanji pada dirinya sendiri, jika selamanya ia akan jadi sosok Ayah yang baik untuk anak-anaknya kelak.

“Sehat-sehat ya kamu, jangan kecapean,” ucap Agam yang dibalas anggukan oleh Ocean.

Hari ini, ya? Hari dimana dua manusia itu bersatu dalam satu ikatan resmi, yaitu pernikahan.

Tidak ada orang lain lagi selain mereka.

Agam, Ocean, Farhan, dan juga Ranu—Ayah Agam. Serta beberapa orang di sana yang mempersiapkan jalannya acara.

Tidak seperti orang-orang pada umumnya. Bahkan acara pernikahan ini jauh dari acara pernikahan impian mereka.

Tidak ada tamu undangan, tidak ada dress, jas, souvenir, dan dekorasi yang cantik pun tidak ada. Hanya ada Ocean, Agam yang duduk bersebrangan dengan wali nikah serta saksi.

Jangankan dress dan jas. Ocean datang hanya mengenakan kemeja putih dan Agam pun sama.

Bukan, bukan karena Agam dan Ocean tidak mampu untuk menggelar acara mewah. Hanya saja menurut Ocean, lebih baik dilakukan hanya oleh mereka saja. Meskipun jaug di dalam lubuk hati Agam. Ia tidak ingin seperti ini. Hanya saja, Ocean meminta.

Perempuan itu mengatakan supaya jangan banyak orang yang tahu. Ia tidak ingin membuat Agam malu. Padahal sebenarnya yang Agam inginkan adalah memamerkan pada dunia jika sekarang Ocean resmi menjadi miliknya.

Ocean menyembunyikan ini dari semua orang, termasuk Jaydan, Ekhnat dan juga Agnes.

Agam menoleh pada Ocean yang duduk di sampingnya. Kemudian matanya beralih menatap perut Ocean yang memang masih terlihat rata.

Di hadapan Agam ada Farhan—Ayah Ocean yang sudah bersiap.

Agam menghela napasnya panjang, membuat Ocean menatapnya.

Ocean tersenyum dan mengangguk.

“Saya terima nikah dan kawinnya Alula Oceana binti Farhan Alfarizi, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” Agam mengucapkan kalimat itu dalam satu kali tarikan napas.

“Sah!” ucap salah seorang saksi.

Farhan menunduk dan kemudian ia berusaha menatap putrinya.

Ocean menatap Farhan kemudian tanpa sadar ia menangis. Ocean merasa bersalah sebab ia sudah mengecewakan Farhan.

Agam menoleh pada Ocean, kemudian ia memeluk Ocean. “Jangan nangis, maaf, dan makasih banyak,” ucap Agam pelan sambil mengusap kepala perempuan itu.

Saat tengah memeluk, pundak Agam ditepuk oleh sang Ayah, membuat lelaki itu menoleh.

Ranu tidak mengatakan apapun, hanya ada helaan napas darinya kemudian tak lama ia pun beranjak meninggalkan Agam. Tidak ada ucapan pamit atau pun kata selamat.

Ranu kecewa pada Agam. Tapi meskipun begitu, ia masih berusaha tetap ada untuk putranya itu.

Alih-alih mengutamakan ego akan kekecewaan seperti istrinya, Ranu dengan lapang dada datang menemani Agam meminang Ocean.

Begitu juga dengan Farhan, sebesar apapun rasa kecewanya, ia tidak akan pernah membiarkan Ocean sendirian.

Ocean masih menunduk dan menangis, kemudian Agam kembali memeluknya.

“Kita harus bahagia ya, Ce. I’m here, I’m here.

Ocean mengeratkan pelukannya pada Agam.

“Jadi orang tua yang baik buat anak ini ya, Gam. Aku percaya kamu,” bisik Ocean pada Agam membuat lelaki itu mengangguk lantas ia pun melepas pelukannya, menatap Ocean, lalu mengecup kenjngnya.

Pandangan Agam beralih pada Farhan, dan sedetik kemudian ia beranjak memeluk Farhan.

“Ayah, terima kasih sudah mengizinkan saya menikahi putri Ayah. Saya janji, kalau nanti saya dan Ocean akan jadi orang tua yang baik.”

Farhan menghela napasnya kemudian ia beranjak. “Iya, saya pegang omongan kamu,” ucapnya.

Lalu, mulai hari ini, hari dimana kedua insan itu resmi menjadi suami istri, di dalam hati masing-masing mereka berjanji.

Janji untuk saling menjaga. Janji untuk saling menggenggam satu sama lain. Dan janji untuk menjadi orang tua yang baik, menebus rasa bersalah atas apa yang sudah terjadi pada diri mereka.

Agam menggenggam tangab Ocean ketika mereka baru saja turun di kediaman Ayah Ocean.

Lelaki itu menoleh pada Ocean yang tengah mengatur napasnya. “Tenang, ya? Semuanya bakal baik-baik aja,” ucap Agam berusaha menenangkan, lantas Ocean pun mengangguk.

Genggaman mereka semakin kuat seiring dengan kakinya yang melangkah maju ke dalam rumah yang cukup besar itu.

Ini bukan kali pertama Ocean datang ke rumah ini. Ocean sudah tahu betul semua isi di rumah ini. Sebab ini merupakan rumah sang Ayah. Hanya saja yang membedakan, suasana di rumah ini bagi Ocean tidak pernah terasa hangat. Ia justru selalu merasa dirinya ini hanyalah orang asing, sekali pun sang Ayah dan keluarga barunya itu mengatakan jika Ocean juga bagian dari mereka.

Dua orang itu duduk di sofa, sambil di sambut oleh Tantri—istri Farhan—Ayahnya Ocean.

Ocean dan Tantri saling menyapa. Dan seperri biasa, istri Ayahnya itu memang baik.

Selang beberapa saat, Farhan datang dan ikut duduk di samping Tantri.

Posisi Agam, Ocean, Tantri dan juga Farhan ini saling berhadapan, hanya terhalang oleh meja.

Agam langsung menyambut tangan Farhan saat lelaki itu tersenyum pada Agam.

“Om, kenalin, saya Agam …,” ucao Agam tersenyum sopan.

Farhan hanya mengangguk tersenyum sambil menepuk pundak Agam, lantas mereka berdua kembali duduk.

Sedikit perbincangan yang mereka lakukan. Dari mulai Agam yang mengenalkan diri sampai beberapa obrolan tak penting yang keluar begitu saja dari mulut mereka. Hingga akhirnya Agam memberanikan diri untuk mengatakan apa yang sebenarnya akan ia sampaikan pada lelaki paruh baya itu.

“Om, sebelumnya kedatangan saya kesini itu karena ada sesuatu hal yang harus segera saya sampaikan pada Om,” ucap Agam.

“Ya silahkan, bicarakan saja,” jawab Farhan tersenyum.

Sebelum berbicara. Agam menoleh pada Ocean, dan kemudian ia meraih tangan perempuan itu.

Ocean hanya menatap Agam takut sambil sesekali menoleh pada Ayahnya.

Agam menarik napasnya dalam.

“Om, sebelumnya saya minta maaf sama Om. Saya izin menyampaikan satu hal yang kemungkinan bisa bikin Om marah dan berakhir benci sama saya.”

Farhan mengangkat sebelah alisnya. Ia kemudian memperhatikan Ocean yang sejak tadi menunduk.

“Ada masalah apa, Nak?” Tanya Farhan lembut.

Agam tiba-tiba saja beranjak dan kemudian ia menghampiri Farhan dan bersimpuh di hadapannya seolah ia meminta ampun.

“Maaf Om, maaf saya salah. Saya udah ngehancurin masa depan anak Om. Maafin saya,” ucap Agam membuat Farhan kebingungan. Lantas lelaki itu pun segera membuat Agam kembali berdiri supaya ia tidak bersimpuh.

“Bicarakan pelan-pelan, saya gak ngerti.”

Ocean tiba-tiba saja ikut duduk di samping Agam sambil memegang kedua kaki Sang Ayah.

“Ayah maafin Ocean …,” lirihnya.

“Ocean …”

“Ocean hamil …”

“Hamil sebelum nikah.”

DEG

Bak dihantam bebatuan yang tajam, jantung Farhan rasanya sakit sekali. Seolah ada ribuan ton batu yang menghantam jantungnya.

Tatapan Farhan kosong, ia menatap dua anak di hadapannya ini yang tengah bersimpuh memohon ampun.

“Maaf, Ayah …,” guman Ocean berkali-kali sampai menangis.

Tantri yang ada di samping Farhan pun sama terkejutnya.

“Om, ini bukan salah Ocean. Ini salah saya.”

“Saya siap jika sekarang Om mukul dan caci maki saya. Tapi jangan pukul Ocean, Om. Dia gak sal—“

“Kapan?” Farhan memotong.

“Kapan kalian ngelakuin itu?” Tanya Farhan lagi.

“S-sekitar tiga minggu lalu Ayah …,” jawab Ocean pelan.

Farhan menyandarkan tubuhnya kemudian ia memijat keningnya.

Dua pasangan itu hanya menunduk di bawah kaki Farhan.

Ocean menahan tangisnya mati-matian. Dan Agam sudah siap jika setelah ini ia akan dipukul habis-habisan oleh Farhan sebab ia sudah merusak putri kesayangannya.

“Maaf Om karena sudah merusak Ocean.”

“Tapi saja janji, saya bakalan tanggung jawab, Om. Dan kedatangan saya kesini juga karena saya ingin meminta izin Om untuk merestui saya dan Ocean.”

“Maaf, maaf karena cara yang saya lakukan ini salah. Dan benar-benar kurang ajar.”

“Saya minta maaf sudah merusak Ocean dan masa depannya.”

“Tapi Om, saya gak akan ninggalin Ocean gitu aja. Saya sayang sama putri Om.”

Agam berbicara menjelaskan dan meminta maaf berkali-kali pada Farhan.

Ocena terisak.

Farhan hanya diam memperhatikan kedua anak itu.

Tiba-tiba saja ia berdiri dari duduknya sambil menarik Ocean dan Agam supaya ikut berdiri.

Ocean hanya menunduk tidak berani menatap Sang Ayah.

“Ayah minta maaf …,” lirih Farhan membuat Agam dan Ocean saling menatap sebab lelaki paruh baya itu tiba-tiba saja mengucap kata maaf.

Farhan menatap Ocean, kemudian ia memeluknya. “Maaf, maaf karena Ayah gak bisa jaga kamu,” lirihnya dalam pelukan itu sambil menangis.

Ocean hanya diam melihat respon Farhan.

“Ayah …”

“Ayah gagal, Ayah gak bisa jaga kamu. Maafin Ayah, nak,” ucap Farhan lagi.

Sungguh, hati Farhan hancur sangat hancur.

Ia marah, ia kecewa, pada Agam, Ocean, dan juga dirinya sendiri.

Tapi, alih-alih memukul dan mencaci maki. Yang Farhan lakukan hanya memeluk tubuh putrinya sendiri sambil meminta maaf.

Iya, Farhan meminta maaf sebab ia merasa gagal. Sebab selama ini ia tidak menjaga Ocean dan malah membiarkannya sendirian.

Farhan gagal menjaga putrinya, putri kesayangannya.

Farhan melepas pelukan itu, kemudian ia menatap Agam.

Agam hanya menunduk.

Alih-alih memukul, Farhan menepuk pundak Agam.

“Tanggung jawab sama apa yang kamu lakukan. Jangan tinggalin putri saya.”

“Perbaikin semua kesalahan yang sudah kalian lakukan. Hadapin.”

Farhan menghela napasnya.

“Saya marah sama kamu, Agam. Tapi saya salut karena kamu mau datang kesini dan bertanggung jawab sama kesalahan kamu.”

Lagi, Farhan menghela napasnya berat.

“Jangan tinggalin Ocean, ya?”

Farhan menatap Ocean. “Maaf Ayah gagal …,” lirihnya sambil menangis.

Ocean dan Agam duduk berhadapan. Ocean yang duduk di tepian kasur sedangkan Agam duduk di kursi kamar itu.

Ocean hanya menunduk dan Agam memijat keningnya, sebab ia merasa sangat pening.

Perempuan itu perlahan mengangkat kepalanya dan menatap Agam.

“Agam …,” lirihnya.

Agam menoleh pada Ocean, lalu tanpa mengatakan papaun ia beranjak dari duduknya dan segera memeluk Ocean. “Maaf Oce, maafin aku …,” gumamnya berkali-kali.

Ocean memeluk Agam erat dan ia menggeleng. “Bukan salah kamu … harusnya aku yang minta maaf,” balas Ocean.

Agam menghela napasnya, ia peluk erat tubuh perempuan itu.

Tadi malam, setelah perbincangan panjang yang mereka lakukan di dalam kamar. Dari yang awalnya obrolan itu menyenangkan sampai akhirnya menjadi serius. Lantas tiba-tiba saja sesuatu terjadi pada mereka.

Dalam keadaan sadar, Agam dan Ocean melakukan hal di luar batas dari apa yang biasanya mereka lakukan.

“Aku tanggung jawab,” ucap Agam pada Ocean.

Ocean menarik baju Agam erat dan menggeleng.

“Nggak, nggak, gak bakal apa-apa.”

“Jangan bilang,” ucap Ocean meminta.

Agam mensejajarkan tubuhnya dengan Ocean. “It’s my fault, Ce. Harusnya aku gak kayak gitu, maaf …,” lirih Agam.

Ocean menjatuhkan air matanya, ia menggeleng. “Bukan salah kamu aja, disini, aku juga sadar Gam,” ucapnya lagi.

“Maaf …,” balas Ocean.

Agam menatap Ocean lekat.

Ah, sial. Yang ia lakukan semalam bersama Ocean benar-benar tidak terkendali. Mereka berdua sama-sama sadar, namun ego mereka untuk melakukan itu terlalu tinggi, hingga Agam hilang kendali atas tubuhnya sendiri.

“Aku tanggung jawab, aku bakal bilang ke Bunda, dan orang tua kamu kalau misal nanti hal itu terjadi.”

Ocean kembali menggeleng. “Jangan Gam, please.”

“Aku takut …,” lirihnya.

Agam kembali menangkup wajah Ocean. “Listen, sedikit pun, aku gak bakal biarin kamu kenapa-napa oke?”

Ocean menunduk. Agam kembali memeluknya.

“Terus masa depan kamu, Gam?”

“Bunda kamu …”

“Bunda kamu pasti bakal marah …”

Agam mengeratkan pelukannya. “It’s okay, itu urusanku.”

Agam mengecup puncak kepala Ocen. “Jangan takut, jangan khawatir. Aku gak bakal kemana-mana. Aku bakal tanggung jawab, aku janji …,” ucap Agam sambil memeluk erat tubuh perempuan itu.

Suara film terdengar di ruangan itu. Dingin dari pendingin ruangan dan hangat dari pelukan berpadu jadi satu.

Agam dan Ocean saat ini tengah bersama menonton film di tempat tinggal Ocean, setelah sebelumnya mereka berdua pergi kesana-kemari berbelanja beberapa barang dan bahan masak yang diperlukan.

Suara tawa keduanya terdengar nyaring memenuhi ruangan. Ocean yang bersandar sambil memeluk Agam dari samping dan Agam yang duduk tegap sambil mengusap tangan Ocean.

Waktu menunjukan pukul sebelas malam. Rasanya baru saja tadi mereka memulai film, tapibternyata sudah hampir memasuki jam malam.

“Kamu gak ngantuk?” Tanya Ocean pada Agam.

Lelaki itu menggeleng kemudian ia menoleh pada Ocean. “Kamu ngantuk?”

Ocean nengangguk pelan. “Iya tapi masih mau sama kamu,” ucap Ocean membuat Agam terkekeh.

Agam mengusap tangan Ocean dan menggenggamnya erat. “Oh iya, katanya mau cerita?” Tanya Agam pada Ocean.

Ocean menepuk keningnya. “Lupa!”

Agam terkekeh. “Ayo cerita.”

“Tapi tentang Jay, gapapa?” Ocean menatap Agam, takut jika pembahasannya ini akan membuat perasaan Agam tidak enak.

“Gapapa sayang,” jawab Agam lembut.

Ocean merubah posisinya menjadi menghadap pada Agam. Begitu juga Agam yang langsung ikut mengubah posisinya berhadapan dengan Ocean.

Agam menatap Ocean lekat, ia memperhatikan setiap gerakan bibir Ocean. Sesekali ia hanya tersenyum ketika mendengar ocehan dari perempuan di hadapannya itu.

Ocean menceritakan semua hal yang akhir-akhir ini terjadi, mengenai hubungannya dengan Jay dan Agnes yang terasa semakin merenggang.

Bahkan, ketika Ocean tengah bercerita, ia hampir saja menangis.

Jemari Agam perlahan bergerak untuk membenarkan helaian rambut Ocean yang sedikit demi sedikit berjatuhan menutup wajahnya.

“Aku kangen mereka tau, Gam sebenernya. Apalagi Agnes, tapi sekarang dia ngehindar terus,” ucap Ocean sambil menunduk.

Agam yang melihat itu hanya bisa menghela napasnya. “Gapapa,” jawabnya.

“Gini Oce …”

“Aku disini juga gak bisa nyuruh Agnes buat gak bersikap kayak gitu ke kamu. Aku paham, rasanya pasti nggak enak, ya?”

Ocean mengangguk dengan wajahnya yang menekuk. “Aku sekarang kayak ngerasa sendiri banget.”

“Kan ada aku?”

Ocean menggeleng. “Bukan, maksudnya di lingkung pertemanan Agam. Kan biasanya aku kemana-mana tuh cuma sama Agnes, terus Jay juga.”

“Ya meskipun hubungan aku sama Jay juga sempet lebih dari temen, tapi kalo diinget, dia temen aku juga. Terus Eknath, dia kan sibuk kerja, aku mau ngajak ketemu juga nggak enak.”

Lagi, Ocean menunduk.

Agam menghela napasnya lagi, ia kemudian tersenyum dan kembali mengusap puncak kepala Ocean.

“Sini …,” ucap Agam membuat Ocean menatapnya heran.

“Apa?”

“Peluk,” ucap Agam lembut kemudian ia merentangkan kedua tangannya mempersilahkan Ocean supaya secepatnya masuk ke dalam dekapannya.

Tanpa berpikir panjang, Ocean segera memeluk Agam erat. Dan Agam pun begitu.

Agam mencoba memberikan ketenangan pada Ocean. Berkali-kali Agam menggumamkan kata tidak apa pada Ocean.

Ocean menyembunyikan wajahnya di dada bidang lelaki itu.

Nyaman, rasanya selalu nyaman dan menenangkan.

“Agam,” panggil Ocean.

“Apa?” Jawab Agam sambil terus mengusap kepala perempuan kesayangannya itu.

“Sayang banget sama kamu.”

“Tau nggak?”

Agam tersenyum. “Iya tau Oce.”

“Jangan kemana-mana ya, Gam. Sekarang aku cuma bisa pegangan sama kamu. Temen-temen aku udah gak bisa, terus Ayah? Dia kan udah punya keluarga baru, prioritasnya bukan aku lagi. Dan Mama? Aku nggak deket sama Mama. Jadi aku sekarang cuma bisa pegangan sama kamu,” jelas Ocean.

Agam melepaskan pelukannya, kemudian ia menatap perempuan itu. Tangannya kembali bergerak untuk mengusap wajah Ocean yang mungil.

“Aku nggak pernah kemana-mana Oce.”

Agam masih menatap lekat Ocean.

“Aku ketemu kamu disaat kamu luka kamu masih basah.”

“Aku ketemu kamu disaat kamu lagi ngerasa kalau dunia selalu gak baik sama kamu.”

“Aku ketemu kamu, disaat kamu lagi butuh-butuhnya pelukan, Ocean.”

Agam tersenyum. “Dan aku, nggak akan ninggalin kamu gitu aja.”

I love you, I really do. Jadi jangan khawatir.”

Ocean tidak menjawab ketika Agam kini kembali memeluknya. Ocean hanya memejamkan matanya dan balik memeluk Agam erat.

Beruntung, Ocean beruntung karena ia mempunyai Agam.

“Gam,” ucap Ocean.

“Boleh nggak?”

Agam menatap Ocean. “Apa?”

“Temenin aku tidur,” pinta Ocean.

“Emang boleh?” Tanya Agam.

Ocean menyerengeh. “Boleh lah. Orang kamu kalo kesini kayak gak pernah tiduran bareng aja,” ucap Ocean membuat Agam terkekeh.

“Ya kan kalo tidur bareng semaleman mah nggak,” jawab Agam.

“Yaudah, sekali aja sekarang. Katanya kamu capek?”

“Aku peluk nanti kayak gini,” ucap Ocean lagi yang kini memeluk Agam seperti anak kecil.

Agam Lagi-lagi hanya tertawa. “Yaudah, ayo,” jawab Agam membuat Ocean tersenyum lebar.

“YEAY! Ayo bobo!” ucap Ocean yang kemudian beranjak sambil menarik Agam.

Agam hanya menggeleng sambil terkekeh.

Lantas malam itu, mereka menghabiskan waktunya bersama.

Angin sore rasanya dingin seperti menusuk pori-pori kedua manusia itu.

Agam dan Ocean, dua orang yang saat ini tengah duduk di bangku taman sambil memperhatikan pemandangan danau di depannya.

Ada beberapa orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Entah itu hanya berduaan, bersama hewan peliharaannya, atau yang sedang memotret beberapa spot disana.

Ocean tersenyum tipis kala matanya melihat beberapa anak kecil yang tengah berlarian tak jauh dari tempatnya duduk.

“Ngetawain apa?” Tanya Agam ketika menyadari hika Ocean tengah tertawa.

Ocean menunjuk ke arah anak-anak membuat mata Agam ikut bergerak mengikuti arah telunjuknya.

Agam memperhatian Ocean, lantas tiba-tiba daja ia pun mengacak puncak kepala Ocean gemas.

“Berantak Agam,” sambung Ocean sambil berusaha merapikan kembali rambutnya yang sedikit acak akubat Agam.

Agam hanya terkekeh pelan. “Cantik kok,” jawab Agam membuat Ocean berdecih namun sedikit malu.

Agam menggerakan tangannya untuk menarik tubuh Ocean supaya mendekat. Kemudian ia merangkul dan mengusap bahu Ocean lembut.

Ocean hanya diam mengikuti, kemudian kepalanya ia sandarkan pada pundak lelakinya itu.

Agam menghela napasnya. “Oce,” ucap Agam.

“Hmm.”

“Tau gak?”

Ocean menggeleng. “Nggak.”

“Ish, kan aku belum selesai.”

Ocean tertawa pelan. “Haha iya, apa?”

I don’t love you anymore,”ucap Agam pelan, membuat Ocean langsung menghadapa Agam.

“Gam?”

Agam menoleh pada Ocean.

“Lima kata yang selamanya bakal aku benci.”

“Aku, nggak suka ketika waktu itu kamu ngeluarin lima kata itu.”

Ocean terdiam.

Agam menatap Ocean dalam, jemarinya kembali bergerak mengusap dan membenarkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Ocean akibat tertiup angin.

“Jangan bilang itu lagi, ya, Ce.”

Ocean menunduk, kemudian tak lama ia mengerucutkan bibirnya. “Maaf,” gumamnya.

Agam hanya tersenyum. “Gapapa.”

“Yang penting sekarang kamu masih disini, Ce.”

Sungguh, terkadang Ocean bertanya-tanya. Kenapa bisa ia mendapatkan sosok seperti Agam?

Ocean benar-benar beruntung.

Tiba-tiba saja sesuatu memenuhu pikiran Ocean.

Haruskan ia mengatakannya sekarang?

Raut wajah Ocean berubah gelisah dan Agam menyadarinya. “Kenapa?”

“Hmm? Kenapa apanya?” Tanya Ocean balik.

“Ada yang mau diomongin?”

Sial, Agam terlalu peka untuk semua hal yang terjadi diri Ocean.

Ocean terkekeh. “Kamu emang bisa ngerasa, ya? Tau aja,” ucap Ocean.

Agam hanya tersenyum. Jemarinya perlahan turun dan meraih jemari Ocean yang terlihat lebih mungil dari ukuran jemari tangannya.

“Kenapa sayang?” Tanya Agam lembut.

Ocean perlahan menatap Agam. Ia kemudian menghela napasnya.

“Gam.”

“Apa?”

“Kamu nggak malu, ya? Pacaran sama aku?”

Agam menatap tajam Ocean.

“Ih maksudnya tuh. Aku kan belum kerja, kerja juga kadang aku dapet uang jajan cuma karena bantu edit-edit naskah orang. Itu juga kalo diminta. Atau gak aku cuma dapet uang dari Ayah.”

Ocean menunduk. “Kamu gak malu?”

Agam menggeleng.

Ocean menghela napasnya. “Gam.”

“Hmm?”

“Mau nunggu nggak?” Tanya Ocean.

Agam mengangkat sebelah alisnya. “Nunggu? Maksudnya?”

Mereka saling berpandangan. Lidah Ocean sedikit kelu ketika ingin berbicara. Lantaran ia takut.

“Apa Oce? Nunggu apa?”

Alih-alih berbicara, Ocean malah kembali menunduk.

Agam kembali mengeratkan genggamannya dan berusaha membuat Ocean menatapnya. “Hei ada apa?” Tanya Agam.

“Nunggu apa? Kamu mau kemana?”

Ocean memberanikan diri menatap Agam.

“Gam,” lagi-lagi Ocean memanggil Agam.

“Iya apa Oce? Ada apa?”

“Aku mau ngejar S2.”

Mata Agam membulat. “SERIUS?” ucapnya menaikkan nada suara.

“Ih jangan kenceng-kenceng.”

Mata Agam terlihat berbinar. Ia kemudian langsung memeluk Ocean. “Aku dukung, aku bantu, kamu butuh apa? Bilang sama a—“

“Bukan disini,” jawab Ocean memotong.

Agam mengerutkan dahinya.

“Maksudnya?”

“Bukan disini, Gam.”

“Lah, terus?”

“Jerman,” balas Ocean menunduk.

Agam terdiam berusaha mencerna perkataan Ocean.

“Nggak disini aja?” Tanya Agam.

Ocean menggeleng.

“Kenapa harus Jerman?”

“Ce?”

Ocean menghela napasnya. Ia kemudian mengusap punggung tangan milik kekasihnya itu. “Karena waktu itu, aku mau ngehindar dari semua hal yang berhubungan sama kamu, Gam. Aku mau nyoba buat buka lembaran baru tanpa ngelibatin kamu. Makanya kamu pilih buat lanjut ke luar.”

“Kenapa? Kenapa harus gitu?” Tanya Agam.

“Karena waktu itu, aku takut. Aku takut sama banyak hal. Dan aku pikir, kita gak bakal balik lagi. Tapi nyatanya sekarang aku balik lagi ke kamu,” ucap Ocean menjelaskan.

“Bisa nggak, kalo disini aja?”

Ocean menggeleng. “Nggak bisa Agam.”

“Aku udah nyiapin semuanya. Dan juga, aku gak mau ngerepotin ayah lagi.”

“Ayah udah nyiapin semua yang aku perluin buat disana. Dan kalau aku bilang gak jadi, aku takut ayah mikirnya aku gak bener.”

“Aku gak mau ngecewain ayah juga,” ucap Ocean.

“Terus aku?” Tanya Agam menatap Ocean.

“Aku gimana?”

Ocean menunduk.

“Kita harus jauhan lagi, ya, Ce?”

“Maaf …,” gumam Ocean.

“Maafin aku,” ucapnya lagi.

Agam menghela napasnya. Namun, alih-alih marah. Agam malah mengusap Ocean dan perlahan menarik tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya.

“Ce …,” ucap Agam sambil memeluk Ocean.

I will support you. Semua hal yang berkaitan dengan kamu, aku bakal selalu ada disini buat dukung kamu.”

“Pergi, aku gak bakal ngehalangin kamu buat raih apa yang kamu mau.”

Ocean mengeratkan pelukannya pada Agam sambil menahan tangisnya.

I’m here. I’m not going anywhere. Selamanya aku bakal disini buat kamu. Sekali pun aku harus nunggu seribu tahun, aku bakal nunggu kalo memang itu perlu.”

Agam menarik napasnya dalam lantas tersenyum.

“Jangan nangis, masa mau tinggal di negara orang gampang nangis?”

Agam terkekeh ketika Ocean menangis dalam pelukannya.

Agam lantas melayangkan kecupan pada puncak kepala Ocean.

“Selamat berproses ya, Ocean. Dan kamu harus inget satu hal. Dalam semua hal, dalam setiap proses yang kamu tempuh. Aku disini, Ce. Jadi jangan banyak takut, ok? You’re not alone.

“Tapi janji, Ce.”

“Janji buat pulang, ya?” Pinta Agam kemudian Ocean mengangguk.

“Janji.”

Agam benar-benar menepati ucapannya ketika ia bilang akan pergi menemui Ocean.

Terdengar suara ketukan bel masuk beberapa kali. Dan tak lama pintu itu terbuka menampilkan Ocean yang berdiri memakai kaos berwarna putih dengan rambutnya yang sedikit acak. Bahkan kantung mata perempuan itu terlihat besar dan menghitam.

Ocean tersenyum tipis kala matanya bertatapan dengan Agam yang tengah menatapnya lurus.

Agam menghela napasnya. “Ka—“ belum sempat Agam berbicara. Perempun itu sudah lebih dulu menghamburkan tubuhnya ke dalam pelukan Agam.

Agam terdiam sejenak merasakan pelukan erat dari Ocean.

“Capek …,” lirih Ocean dalam pelukan itu.

Sesak, Agam bisa merasakan sesak hanya dengan mendengar suara lirih perempuan kesayangannya itu.

Perlahan jemari Agam bergerak untuk mengusap pundak Ocean dan balik memeluknya erat.

Terdengar suara isakan dari Ocean yang tengah menyembunyikan wajahnya di leher lelaki itu.

I’m here Ocean, aku disini, kamu bisa nangis sepuasnya,” ucap Agam lembut.

Agam menghela napasya merasakan pelukan yang terasa hanga sekaligus rapuh itu.

Sudah lama, sudah lama sejak terakhir kali ia mencium aroma tubuh Ocean.

Agam merindukannya.

Hati Agam sakit ketika mendengar suara isakan Ocean yang terdengar lirih dan menyakitkan.

Agam tidak mengatakan apapun, ia hanya memeluk Ocean erat, sangat erat. Berusaha mengatakan jika dalam pelukannya Ocean akan selalu aman.

Isakan itu semakin keras, membuat Agam refleks mengeratkan pelukannya. Ia lalu melayangkan kecupan pada puncak kepala Ocean berkali-kali.

Agam benci melihat Ocean menangis.

Ocean terisak, namun perlahan pelukannya melonggar dan tak lama Ocean melepas pelukan itu.

Ocean menunduk, ia kemudian mengusap air matanya.

“Maaf …,” lirihnya.

“Maaf lancang, tiba-tiba meluk kamu,” ucap Ocean masih menunduk.

Agam memperhatikan perempuan di hadapannya, pelahan ia pun mengusap pundak Ocean dan menangkup wajahnya, berusaha menghapus air mata yang keluar.

Ocean terus saja berusaha mengalihkan pandaangannya agar tidak menatap mata Aggam.

Agam menghela napasnya. “Jangan nangis,” gumamnya.

“Jangan nangis Ocean.”

Alih-alih mereda, Ocean malah kembali menangis. Membuat Agam tersenyum dan terlekeh pelan.

Lelaki itu lantas menarik Ocean ke dalam pelukannya.

“Dunia lagi jahat ya, Ce, sama kamu?”

Ocean hanya mengangguk pelan.

“Maaf ya, maaf kamu harus ngalamin itu.”

“Harus laluin banyak hal yang melelahkan.”

Ocean tidak menjawab, ia terdiam merasakan pelukan Agam yang terasa hangat dan menangkan.

Pelukan ini, pelukan yang sampaii kapanpun akan menjadi tempat sembunyi paling aman dari riuhnya dunia.

“Sulit ternyata, Gam,” ucap Ocean yang kembali melepas pelukannya dan menunduk.

“Ternyata aku kesulitan tanpa kamu.”

Ocean terkekeh pelan. “Lemah banget, ya?”

Agam terdiam.

“Maaf, harusnya aku gak kayak gini …,” ucap Ocean lagi.

Perempuan itu menarik napasnya dalam berusaha menahan sesak dan air mata agar tidak keluar.

Ocean perlahan mengangkat wajahnya dan menatap wajah Agam.

Dan sialnya, Agam sedang menatap Ocean dalam, membuat hati perempuan itu terasa ngilu.

“Oce,” Agam memanggilnya.

I’m not going anywhere, right?

“Aku gak pernah kemana-mana.”

Agam menghela napasnya, jemarinya perlahan bergerak membenarkan helaian rambut yang menutupi wajah Ocean.

Ocean tersenyum tipis, ia kembali menatap Agam.

“Gam …,”

“Hmm?” Jawab Agam masih setia mengusap rambut perempuan itu.

“Kenapa kita harus selesai, Gam?” Tanya Ocean dengan wajahnya yang tersenyum.

Agam terdiam. Ocean lantas terkekeh.

“Gara-gara aku, ya?”

“Aku terlalu banyak takut,” sambungnya.

“Aku pura-pura mampu lepasin kamu, padahal aku gak pernah bisa, Gam.”

Ocean menunduk, ia kembali terisak.

“Aku …”

“Aku masih perlu kamu buat nata semuanya, aku masih perlu kamu buat bikin semuanya jadi lebih baik, Gam. Tapi aku malah bersikap seolah aku mampu tanpa kamu.”

“Padahal …”

“Padahal kenyataannya enggak,” ucap Ocean menunduk.

“Maaf …”

“Maaf Gam, karena latar belakangku gak se-sempurna kamu,” ucap Ocean yang kini menatap Agam tersenyum dengan matanya yang berkaca-kaca.

Agam menggeleng pelan, ia kembali mengusap Ocean dan menghapus air matanya yang jatuh.

“Oce.”

“Aku gak peduli, aku gak pernah peduli sama latar belakang kamu.”

“Aku sayang kamu, karena itu kamu, Ce.”

Agam menarik napasnya dalam.

“Ce, I still love you.”

“Aku sakit Ce, aku benci liat kamu kesusahan sendirian.”

“Aku mau kamu bagi semuanya sama aku, Ce.”

“Aku masih mau terlibat dalam semua hal yang bakal kamu laluin. Aku masih mau terlibat Ocean.”

Ocean menunduk menahan tangisnya.

Sama, Ocean pun masih ingin melibatkan Agam untuk semua hal.

Tapi, apakah ia bisa? Apakah ia berani menghadapi ketakutannya?”

“Ocean …”

“Liat aku,” pinta Agam, membuat Ocean perlahan mengangkat wajahnya dan menatapnya.

“Aku masih perlu kamu.”

“Oce,” lagi, Agam kembali memanggilnya.

“Kita, bisa laluin semuanya bareng-bareng. Trust me.

“Lebih sakit laluin semuanya sendirian, Ocean.”

Agam menghela napasnya, ia benar-benar masih sangat mencintai Ocean.

“Kita …”

“Kita laluin semuanya bareng-bareng, ya, Ce?”

“Jangan pergi sendirian, jangan bikin aku beridri di belakang kamu.”

“Aku mau berdiri di samping kamu, Ce, bukan di belakang.”

Ocean masih menunduk.

”Ocean, kita mulai lagi ya, Ce?”

Ocean perlahan mengangkat wajahnya, dan kembali menatap Agam.

Tatapan Agam terlihat sangat tulus. Bahkan lelaki itu menggenggam erat tangan Ocean.

Ocean tiba-tiba saja menangis, ia kemudian kembali menghamburkan tubuhnya memeluk Agam.

“Agam …”

I’m sorry, sorry for being selfish.

“Aku terlalu merasa kalau aku yang kesulitan, padahal kamu juga sama.”

“Maaf …,” gumam Ocean memeluk Agam erat.

“Ocean, I love you, I really do.

“Jangan kemana-mana lagi, Oce,” guman Agam yang kemudian melayangkan kecupan pada puncak kepala Ocean berkali-kali.

Dan untuk kesekian kalinya, Ocean kalah. Ia kalah, sebab kenyataannya, Agam masih jadi nomor satu sebagai seseorang yang mampu memberinya hangat.

Agam itu rumah bagi Ocean. Begitu pun sebaliknya.

Ocean masih sangat menyayangi Agam. Begitu pun sebaliknya.

Dan satu hal yang Ocean takutkan.

Ia hanya takut, jika suatu saat nanti keadaan yang lagi-lagi merenggut Agam.

Ocean duduk di sudut kamarnya sambil mengepalkan kedua tangan menahan tangis agar tidak terus keluar.

“Iya Agam, aku masih sayang banget sama kamu …,” gumamnya.

Iya benar, Ocean berbohong ketika ia membalas pesan itu. Pesan dimana Agam bertanya padanya apakah ia makasih mencintainya atau tidak.

Ocean berbohong.

Seberapa keras ia menyangkal, kenyataannya perasaan itu masih untuk Agam.

Ocean menangis sampai-sampai matanya membengkak hebat.

Rasa sesak di dada terasa sangat menusuk.

Lagi-lagi kalimat itu terlintas.

You don’t deserve my son.

Ocean menepuk dadanya berusaha menghilangkan rasa sesak. Namun alih-alih menghilang, sesak itu malah semakin bertambah.

Ponsel Ocean berbunyi beberapa kali, menampilkan panggilan dari Agam yang masuk berkali-kali.

Ocean hanya melihat itu tanpa berani menjawab.

Namun, alih-alih berhenti, Agam malah terus menghubunginya sampai-sampai Ocean perlahan membawa ponsel itu dan mengangkatnya.

”Ocean ..” panggil Agam ketika sambungan terhubung.

Ocean membekam mulutnya menahan tangis.

”Bilang kalo yang kamu bilang itu bohong.

Ocean mengangguk.

Oce, jawab …

Ocean menjawab tanpa suara dengan kata maaf.

“Maaf Agam …,” bisiknya pelan sangat pelan bahkan Agam pun tidak bisa mendengar itu.

I love you Ocean. I love you so much.

Oce, don’t leave me ….” terdengar suara Agam yang lirih dari dalam sambungan itu membuat Ocean semakin mati-matian menahan tangisnya.

Oce …,” lagi, Agam memanggilnya.

“Hmm,” jawab Ocean.”

”Please …,” ucap Agam.

Ocean menangis, ia kemudian menghela napasnya menahan tangisnya.

“Agam, istirahat, ya? Jangan mikir hal yang gak penting.”

“Kesehatan kamu sekarang lebih penting.”

I need you, Ce.”

Ocean menunduk lagi-lagi air matanya keluar begitu saja.

“Aku tutup ya Agam.”

“Cepet sembuh …,” ucap Ocean sebelum akhirnya ia mematikan sambungan itu dan kembali menangis.

Katakan saja Ocean egois, tapi terlalu banyak tekanan dalam dirinya yang akhirnya membuat ia mengambil keputusan ini.

Ocean masih menyayangi Agam sangat. Tapi tidak semua hal bisa ia hadapi.

Ocean terlalu takut, apalagi ketika ia menyadari posisinya yang jika disandingkan dengan Agam beserta keluarganya, ia jauh sangat jauh.

Agam berpendidikan sangat tinggi, sedangkan Ocean?

Keluarga Agam sangat harmonis, dan penuh cinta. Sedangkan Ocean?

Mungkin untuk urusan pendidikan Ocean pun mampu melanjutkan hingga ke tahan S2, dan Agam pun sangat mendukungnya.

Tapi bagaimana dengan latar belakang Ocean? Latar belakang keluarganya? Apakah keluarga Agam juga bisa menerimanya?

Banyak hal yang membuat Ocean merasa sangat-sangat tidak pantas untuk Agam.

Bukan hanya sekarang, sejak dulu. Tapi Ocean selalu meyakinkan dirinya jika ia pantas. Sampai akhirnya ucapan Bunda Agam kemarin benar-benar menyadarkannya jika dirinya sangat-sangat tidak pantas untuk Agam.

Ocean terisak sangat keras di kamar itu, sampai-sampai ia tidak sadar, jika waktu sudah berlalu dengan cepat.

Ocean hancur. Ocean sendirian. Tanpa siapapun, tanpa pegangan apapun.

Maka yang bisa Ocean lakukan saat ini adalah berusaha supaya perasaannya untuk Agam menghilang.

Demi kebaikan Agam, dan masa depannya.