Jjaejaepeach

Haikal tengah terduduk di balkon kamarnya. Setelah seharian ia melaksanakan acara pernikahan, kini Haikal memilih duduk sambil menikmati udara malam.

Lelaki itu menyeruput teh yang sebelumnya Bina buatkan. Lalu di sampingnya ada beberapa surat ucapan selamat atas pernikahannya hari ini.

Hanya beberapa surat dari teman-temennya yang ia bawa saat ini.

Haikal terkekeh, membaca satu per satu isi surat itu.

“Sialan.” Umpatnya lalu terkekeh kala ia membaca surat dari Zidan.

Haikal membaca semuanya, hingga ada satu surat yang terlihat berbeda dari surat lainnya.

Fokus Haikal menelisik surat itu, ia kemudian tercekat kala membaca bagian depan surat itu.

Untuk Haikal, si keras kepala

Haikal tersenyum pelan.

“Itaaa ....” gumamnya, kemudian jemarinya bergerak membuka surat itu.

**

Hari ini merupakan hari pernikahan Haikal bersama perempuan pilihannya.

Lelaki itu berdiri dengan setelan jas hitamnya, menatap perempuan yang kini tengah berada di sampingnya.

Haikal menatap Bina kagum.

Haikal memposisikan dirinya agar berhadapan dengan Bina, ia lalu berucap dengan senyum yang terpatri di wajahnya.

Bina cantik.

Tiba-tiba saja terdengar suara dari arah samping.

“Nah, karena mempelai udah hadap-hadapan ....”

“Cium, cium cium ....” teriak orang-orang disana yang membuat Haikal dan juga Bina terkekeh.

Bina menatap manik kecoklatan milik Haikal.

Tatapannya teduh sekali.

Haikal pun menatap Bina.

“Terima kasih, ya?” Ucap Haikal kemudian ia mengecup pelan kening Bina, lalu tak lama terdengar sorakan bahagia disana.

Haikal menghela napasnya, ada perasaan lega sekaligus kosong. Entahlah, mungkin karena masih ada beberapa hal yang belum pulih sepenuhnya.

Perihal takdir memang tidak ada yang tahu. Bahkan Haikal sendiri pun tidak pernah menyangka jika perempuan yang kini ia pilih untuk menjadi hidupnya adalah sosok yang hanya ia temui satu tahun belakangan.

Begitu juga dengan Ralita, ia pun tidak pernah menyangka jika takdirnya sekarang adalah menyaksikan kebahagiaan seseorang yang selalu punya tempat istimewa di hatinya.

Ralita menunduk pelan, lalu ia berusaha tersenyum memperhatikan kedua mempelai kedua itu dari kejauhan.

Bukan, bukannya Ralita belum ikhlas. Ralita hanya merasa sedikit sesak.

Perempuan itu lalu menghela napasnya, berusaha meredakan sesak yang terus saja berusaha keluar.

mau pulang aja?” tanya Arkanata yang memang sejak tadi ada di samping Ralita.

Ralita menoleh pada Arkanata, lalu ia tersenyum.

“Kamu mau pulang?”

Arkanata hanya memberikan senyumnya pada Ralita. “Ayo pulang aja,” ucap Arkanata yang hanya dibalas anggukan oleh Ralita.

Sebelum pergi, Ralita sempat menatap Haikal beberapa saat, kemudian tak lama ia melangkah pergi dari tempat itu. Meninggalkan semua sesak disana.

Lalu tanpa Ralira tau, ada yang diam-diam tersenyum pahit kala ia melihat Ralita yang sejak awal berdiri jauh di belakang sana.

Haikal, melihat Ralita datang bersama dengan Arkanata.

Lalu tanpa sadar, air mata turun dari pelupuk mata lelaki itu.

Selamat. Selamat menempuh kehidupan baru, Haikal.

Lelaki yang hampir menginjak usia dua puluh sembilan tahun itu tersenyum kala memperhatikan perempuan yang tengah membenarkan helaian rambutnya.

Malam ini, perempuan itu terlihat sangat cantik.

“Udah cantik,” ucap Haikal sambil memperhatikannya.

Perempuan itu menoleh pada Haikal, kemudian terkekeh pelan, “jangan gitu, aku malu,” ucapnya.

Jemari Haikal bergerak untuk mengusap pelan wajah perempuan disampingnya ini. “Udah cantik, ayo keluar,” ucap Haikal yang dibalas anggukan.

Haikal menggenggam tangan perempuan itu dengan erat.

Ini hari bahagianya, dan Haikal akan memberikan semuanya.

Mereka berdua berjalan menuju meja yang sebelumnya sudah Haikal pesan.

Mata Bina bersinar, saat melihat pemandangan malam disana.

“Suka?” Tanya Haikal dan Bina mengangguk sebagai jawaban.

Haikal tersenyum.

Bina cantik.

Tanpa aba-aba, Haikal menggenggam jemari perempuan yang tengah duduk di hadapannya itu. “Hei, selamat hari lagi, ya?” Ucap Haikal lembut, membuat Bina menatap Haikal.

Rasanya hangat.

Sebab, Bina tidak pernah tau rasanya diharga tentang hal-hal kecil seperti ini.

Mata Bina berkaca-kaca mendengar ucapan lembut Haikal, membuat lelaki di hadapannya terkekeh, “jangan nangis, jelek” ucap Haikal yang langsung membuat Bina tertawa.

Haikal memperhatikan perempuannya ini.

“Sayang ....” ucap Haikal pelan.

“Selamat hari lahir, ya? Makasih banyak karena udah hadir di hidup aku,” ucap Haikal yang membuat Bina terdiam.

“Tutup mata kamu,” pinta Haikal membuat Bina mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa?” Tanya Bina sambil menuruti perkataan Haikal.

Lelaki itu beranjak dari duduknya, lalu ia mendekat ke arah Bina. Haikal menuntun Bina agar ia ikut berdiri di hadapannya

“Bin ....” ucap Haikal.

Bina perlahan membuka matanya

“Mau jadi dunia saya sepenuhnya?” Ucap Haikal dengan memberikan sebuah kotak kecil berisi cincin kepada Bina.

Bina terdiam melihat Haikal.

“Jadi dunia saya sepenuhnya, ya, Bin?” Pinta Haikal, lalu tanpa pikir panjang, Bina mengangguk dan memeluk Haikal dengan sangat erat.

“Ia, aku mau ....” ucap Bina yang kemudian membuat Haikal tersenyum.

Haikal mendekap tubuh yang lebih kecil darinya itu dengan erat, lalu berkali-kali ia mengucap rasa terima kasihnya pada Bina.

“Makasih, makasih, makasih ...” lirihnya lembut.

Tiba-tiba saja suara aluman musik terdengar, membuat susana disana terasa lebih menenangkan.

Udara malam yang menusuk kulit, membuat Haikal semakin mengeratkan pelukannya pada Bina.

Alunan musik itu membawa keduanya untuk pelan-pelan bergerak mengikuti irama musiknya.

Terlalu asik mereka merasakan kebahagiaan, sampai mereka tidak sadar bahwa sejak mereka memasuki tempat itu, ada Ralita juga disana bersama Arkanata.

Sejak awal Ralita melihat apa yang terjadi antara Haikal dan Bina, di tempat itu, tak jauh dari tempat yang mereka berdua tempati. Ralita ada disana, menyaksikan moment kebahagiaan dua insan itu.

“Ta ....” panggilan itu mengalihkan fokus Ralita.

Sedetik kemudian Ralita tersenyum, “iya Arkan?”

Arkanata, lelaki yang bersama Ralita itu menatap Ralita kagum.

Malam ini, Ralita cantik, sangat cantik.

Tanpa sadar, jemari Arkanata bergerak membenarkan helaian rambuat yang sedikit acak.

“Cantik ....” ucap Arkanata lembut, sedang Ralita hanya tersenyum.

Arkanata tiba-tiba saja beranjak “mau kemana?” Tanya Ralita.

Arkanata tidak menjawab, ia kemudian pergi dari pandangan Ralita.

Ralita terdiam menunggu Arkanata.

Hampir sepuluh menit Arkanata menghilang, dan tiba-tiba saja terdengar suara nyanyian seseorang dari arah belakang Ralita dan ada Arkanata yang berjalan medekat ke arah Ralita.

the look you gave me at first was it only my delusion your pure smile had made me a fool

yesterday, I hated myself for being unable to forget you who had left but now I realize we were meant for each other

Ralita menatap Arkanata yang kini mendekat ke arah Ralita sambil membawa bucket bunga di tangannya.

to you who has come back I will give my everything we will forever more stay the same together

Bersamaan dengan bait terakhir lagu itu, Ralita kemudian beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Arkanata.

Arkanata tersenyum, ia kemudian memberikan bunga itu pada Ralita, lalu Arkanata mengeluarkan kotak kecil dari sakunya.

“Ta ....”

“Ayo mulai semuanya dari awal,”

“Saya sayang kamu, Ralita” ucap Arkanata sambil menampilkan sebuah cincin pada Ralita

Ralita menatap Arkanata dengan matanya yang berkaca-kaca, lalu dengan pelan ia mengangguk.

“Iya, ayo mulai semuanya dari awal,” ucap Ralita yang langsung membuat Arkanata mendekapnya.

Ralita menangis di pundak Arkanata.

Dengan alunan musik yang terdengar menenangkan, kedua insan itu bergerak mengikuti irama musik. Seolah malam ini hanya ada mereka berdua disana.

Rencana semesta kali ini terlalu lucu.

Tanpa Ralita sadari, sejak awal lun Haikal tau jika ada dirinya disana bersama Arkanata.

Dan ya, Haikal diam-diam melihat Ralita yang tengah memeluk Arkanata tak jauh dari tempatnya, begitupun sebaliknya, Ralita juga melihat Haikal yang tengah memeluk perempuannya.

Terkadang, takdir pun memang selucu itu.

Baik Haikal dan Ralita, mereka berdua sama-sama menyaksikan moment kebahagiaannya masing-masing.

Haikal bersama Bina, dan Ralita bersama Arkanata.

Disana, di tempat yang sama.

Lalu, dalam pelukan itu, baik Haikal dan juga Ralita mereka berdua sama-sama bergumam tanpa suara, dengan netra yang saling menatap dari kejauhan.

Be happy, Ta

Be happy, Kal” ​

Haikal memeperhatikan perempuan yang tengah berjalan di hadapannya, sambil mendorong sebuah troli berisikan beberapa makanan dan minuman.

Ini pertama kalinya bagi Haikal melakukan hal seperti ini berdama dengan seseorang. Aneh, bahkan dirinya sendiri pun merasa aneh dengan apa yang tengah ia lajukan saat ini.

“Pak, saya boleh ambil, ini?” Tanya perempuan itu pada Haikal dan tak lama di balas anggukan oleh Haikal.

“Ambil aja Bina,” ucap Haikal membuat Bina-perempuan itu tersenyum senang. “Makasih pak!” Ucapnya.

Tidak, mereka tidak berjalan beriringan. Haikal hanya berjalan di belakang Bina, sambil memperhatikan punggung perempuan itu.

Jujur saja, sejak pertemuan pertama Haikal dengan Bina di depan toserba yang saat itu Bina tengah merokok. Haikal merasa ada yang aneh pada dirinya. Apalagi semenjak Bina bekerja di perusahaan Haikal.

Ada sesuatu dalam diri Haikal yang tanpa sadar terus-terusan mendorong dirinya untuk berada di dekat Bina.

Langkah Haikal berhenti kala netranya melihat Bina yang tengah berdiri tak jauh dari sana.

Tanpa sadar Haikal terkekeh pelan saat Bina tengah memilih satu per satu minuman beralkohol disertai dengan gerakan seolah ia tengah minum.

Haikal mendekat pada Bina, kemudian meraih botol yang Bina pegang, “gak usah beli kayak ginian.” Ucap Haikal tanpa menatap wajah Bina.

Perempuan itu menatap Haikal, kemudian berdecak. “Buat mabok enak tau pak, apalagi kalo lagi stre—“ belum sempat Bina menyelesaikan kalimatnya. Haikal menoyor kening Bina.

“Nakal lo jadi cewek.” Ucap Haikal dingin.

Entah apa yang lucu, tapi tiba-tiba Bina tertawa, membuat Haikal mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa?”

Bina terkekeh pelan, “gapapa sih pak lucu aja.”

“Sebelummnya gak pernah ada yang larang saya buat ngelakuin sesuatu, sekali pun itu beli minuman beralkohol,” ucap Bina terkekeh.

Haikal menatap perempuan itu, kemudian ia menghembuskan napasnya pelan.

“Gak baik buat kesehatan,” ucap Haikal.

Lagi-lagi Bina terkekeh, “Iya tau ....”

“Makasih udah ngingetin, Pak.” Ucap Bina lagi dengan lengkung yang masih terpatri di wajah kecilnya.

Haikal menatap netra Bina. Lalu tanpa sadar Haikal tersenyum.

“Gak usah beli kayak gituan, ya.” Ucap Haikal dengan tangannya yang tiba-tiba saja mengacak pelan pucuk kepala Bina.

Bina lagi-lagi terkekeh, “oke bos!” Ucap Bina membuat Haikal tersenyum.

Bina kembali mendorong trolinya menjauh dari tempat minuman itu, kemudian Haikal kembali melangkah mengikuti Bina, namun sekarang Haikal berjalan beriringan bersama dengan Bina.

he looks fine ....

Udah bahagia, ya, Kal?

Gumam seseorang yang tak sengaja melihat Haikal dengan Bina disana.

Perempuan berusia dua puluh enam tahun itu tersenyum memperhatikan gerak-gerik anak lelaki dihadapannya.

“Hati-hati ya,” ucapnya sedikit berteriak.

Bina, perempuan itu menghela napasnya. Entah kenapa tiba-tiba saja memori di masa lalu terlintas begitu saja.

“Jadi kangen adek ....” gumamnya pelan.

Bina menatap langit sore itu, terlihat cerah.

“Dek, di surga lagi apa deh? Kangen kakak enggak?” Bina bermonolog sendiri.

Perempuan itu diam-diam menjatuhkan air matanya.

“Kakak, kok nangis?” Ucap anak lelaki itu pada Bina, buru-buru ia menghapus air matanya.

Bina mensejajarkan tubuhnya dengan Kenzi, kemudian ia tersenyum sambil mencubit pelan pipi chubby anak itu.

“Kelilipan sayang, gapapa,” ucapnya terkekeh.

Bina berbicara mengatakan kalau ia baik-baik saja, tetapi matanya tidak berhenti mengalirkan air mata.

Kenzi menatap mata Bina, kemudia tangan kecilnya terulur mengusap air mata itu.

“Kakak jangan nangis, ya? Kata ayah kalo nangis nanti digigit semut.” Ucap Kenzi dengan lucunya, membuat Bina terkekeh.

“Iya, kakak enggak nangis.”

Bina tersenyum kemudian ia membawa tubuh kecil Kenzi ke dalam pelukannya.

Dan tanpa Bina sadari, ada Haikal dibelakangnya yang tengah berdiri memperhatikan.

Haikal mendesah pelan kala membaca pesan singkat dari Kiara. Lalu sedetik kemudian dia terkekeh.

“Lo kenapa dah Kal.” Keluhnya mertawakan kebodohannya.

“Ngapain ngirim chat kayak gitu tolol,” gumamnya lagi sambil terkekeh.

Jujur saja, Haikal saat ini sangat bingung dengan perasaannya sendiri. Ia merasa lelah, tapi ia juga kesepian.

Terlalu lelah sampai-sampai terkdang ia tidak sadar, jika hubungannya dengan Kiara ini penuh dengan kemunafikan.

Tapi jauh di lubuk hatinya, Haikal menginginkan Kiara agar bisa menjadi rumahnya. Tapi sayang, kenyataan tidak seperti itu.

Haikal lagi-lagi menghela napasnya, kemudian ia memutuskan untuk keluar dari kobilnyabuntuk sekedar membeli sebungkus rokok guna melepas penat yang selalu menghampirinya.

Butuh waktu beberapa menit bagi Haikal untuk mencari rokok kesukaannya. Kemudian ia bergegas ke kasir untuk membayar belanjaannya itu.

Saat sedang menunggu antrian, netranya teralihkan pada seseorang yang tengah terduduk di depan toko itu.

Haikal melangkah keluar ketika ia selesai dengan belanjaannya. Kemudian maniknya menatap punggung orang yang tengah terduduk itu sekilas.

Terlihat berantakan.

Bodohnya, Haikal malah tidak sengaja tersandung, membuat fokus orang itu terganggu.

Haikal buru-buru berdiri membenarkan isi kresek hitamnya yang berserakan.

Terdengar suara kekehan, membuat Haikal menoleh.

“Kalo jalan tuh pake mata, bukan lutut.” Ucapnya dengan kekehan yang terdengar seperti mengejek.

Haikal beranjak, ia terdiam sejenak sebelum akhirnya ia juga terkekeh.

“Gak sekolah, ya?”

“Dimana-mana jalan tuh kaki, bukan mata.” Balas Haikal membuat orang itu menatap Haikal sinis.

“Gak usah ngerokok kalo masih batuk-batuk.” Sinih Haikal lagi, karena sebelumnya ia melihat jika orang itu tengah menyesap rokoknya namun berakhir dengan batuk.

Lagi, orang itu menatap Haikal sinis. “Freak lo.” Ucapnya.

Haikal hanya tersenym pelan.

“Kalo stress gak usah lampiasin sama rokok. Gak baik” ucap Haikal.

“Lah, itu di kresek lo isinya rokok. Sinting.” Balas orang itu.

Haikal menatap kantung hitam di genggamannya, kemudian ia terkekeh. “Terlanjur gak sehat.” Ucapnya, kemudian Haikal memilih pergi dari hadapan orang itu.

Baru beberapa langkah Haikal menjauh, orang itu bersuara.

“Nama lo siapa?” Tanya orang itu membuat Haikal menoleh lalu sepersekian detik kemudian ia tersenyum.

“Saya Haikal.” Ucapnya lalu melangkah pergi dari sama.

“LO GANTENG!” Teriak orang itu lagi membuat Haikal menggeleng pelan sebelum masuk ke dalam mobil.

Haikal menyeruput secangkir kopi dengan sebuah berkas genggamannya. Mata kecoklatannya menelisik, membaca setiap detail yang tertulis di kertas itu.

Di hadapannya, ada Arkanata yang tengah berbicara menjelaskan mengenai tujuan kedatangannya kali ini.

Hampir satu jam mereka membahas tentang pekerjaan. Hingga akhirnya Haikal mengangguk menyetujui pemaparan yang disampaikan oleh Arkanata.

“Oke, saya setuju.” Ucapanya sambil melepas kacamata yang ia pakai.

Arkanata tersenyum mendengar persetujuan dari lelaki dihadapannya.

“Senang bekerja sama dengan anda.” Ucap Arkanata yang kini menjulurkan tangannya untuk bisa berjabat tangan dengan Haikal.

“Terima kasih kembali.” Balas Haikal tersenyum.

“Apakah ada yang ingin disampaikan lagi?” Tanya Haikal sembari bersiap untuk pergi.

Arkanata terdiam.

“Baik, kalau begitu, saya pamit.” Ucap Haikal yang kini beranjak dari duduknya.

Baru saja Haikal melangkah, Arkanata menghentikan langkah kakinya.

“Haikal.” Ucapnya.

Haikal terdiam tanpa menoleh.

“Bukan salah Ralita.” Ucap Arkanata.

“Semuanya salah saya. Pernikahan kami cuma didasari bisnis antar keluarga saya dengan Angkara.”

Haikal masih berdiri tanpa menoleh pada Arkanata. Membiarkan lelaki itu menyelesaikan ucapannya.

“Saya kenal Ralita saat kami berada di semester dua.”

she’s my best friend” ucap Arkanata.

“Ralita selalu menceritakan tentang kamu, Haikal.” Ucapnya, membuat perasaan Haikal ngilu mendengarnya.

“Harusnya saya tidak menjatuhkan hati saya pada Ralita. Seharusnya saya tidak egois dengan meminta kerja sama pada keluarga Angkara.”

“Maaf ....” lirih Arkanata.

“Maaf karena tanpa sadar saya sudah merebut perempuan kesayangan kamu untuk bisa jadi milik saya, dengan dalih berbisnis.” Ucap Arkanata membuat Haikal menoleh.

Lelaki itu kemudian menghela napasnya.

She loves you,” Arkanata berucap dengan pelan

Haikal, lelaki berusia dua puluh delapan tahun itu menatap Arkanata dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan. Ia melangkah mendekati Arkanata.

Jemarinya bergerak lalu menepuk pundak Arkanata.

Haikal terkekeh pelan.“Urusannya dengan saya apa?” Tanya Haikal tegas.

Lagi, Haikal menunjukkan senyum singkatnya.

“Saya sudah selesai dengan Ralita.”

Haikal menatap Arkanata.

“Dan. Saya. Gak. Peduli. Lagi.” Ucap Haikal penuh penekanan.

“Saya sudah tidak peduli perihal perempuan itu. Bukan urusan saya.”

“Sekarang lebih baik anda pergi, urusan kita hanya sekedar bisnis bukan?”

“Terima kasih.” Ucap Haikal lalu kemudian ia melangkah pergi dari sana.

Derap langkah kaki itu mengalihkan fokus Prameswati, kemudian lengkung manis di wajahnya terpatri kala ia melihat Haikal yang berjalan ke arahnya.

“Ibu ....” ucap Haikal yang kini ada di hadapan Prameswati.

Perempuan paruh baya itu tersenyum, kemudian ia merentangan kedua tangannya. Meminta Haikal untuk segera melepaskan segala bebannya.

Haikal tersenyum, kemudian ia membawa tubuhnya untuk masuk ke dalam pelukan hangat itu.

Dan demi apapun, rasanya melegakan.

“Maaf ya, Haikal jarang pulang,” ucap lelaki berusia dua pulang delapan tahun itu.

Prameswati hanya tersenyum.

Putra bungsunya ini sudah dewasa ternyata.

Perempuan itu kemudian melepaskan pelukannya, ia menatap wajah lesu milik putranya itu.

Hati Prameswati mencelos, kala ia menatap manik hitam kecoklatan milik putranya ini.

Terlihat banyak kekosangan serta ketakutan disana.

Seolah paham dengan keadaan si bungsu. Prameswati kemudian menuntun tubuh Haikal untuk duduk di kursi belakang rumah itu. Berharap Haikal merasa lebih baik karena udara sejuk disana.

Haikal terkekeh pelan kala memperhatikan wajah ibu yang terlihat sangat khawatir.

“Ibu, liatin Haikalnya jangan kayak gitu dong.” Ucapnya terkekeh.

Dan entah mengapa, ibu tiba-tiba saja menangis.

“Adek, kenapa jadi lebih kurus?” Lirih Prameswati dengan air matanya yang mengalir.

Haikal terdiam, kemudian ia menunduk memperhatikan badan serta lengannya.

Lelaki itu lalu tersenyum pelan, “Haikal gapapa ibu ....”

“Haikal cuma ....” ucapan Haikal terpotong saat ia merasa sesak yang tiba-tiba.

“Haikal cuma lagi capek aja,” ucapnya tersenyum, berusaha meyakinkan ibu bahwa ia baik-baik saja.

Namun namanya Prameswati, ia tahu jika Haikal tengah berbohong. Karena terlihat dari sorot matanya yang berusaha menghindar.

“Cerita.” Ucap Prameswati.

“Ayo ceritain ke ibu semuanya, keresahan adek, ketakutan adek, dan rasa sakit adek. Ayo bagi ke ibu ....” lirih Prameswati yang kini mengusap pelan wajah bungsunya itu.

Lagi dan lagi, untuk kesekian kalianya. Haikal tidak pernah bisa berbohong perihal ia yang tidak baik-baik saja.

“Ibu ....” lirih Haikal.

“Capek, adek capek .....” lirihnya lagi yang kemudian disusul oleh tetesan air mata dari ujung matanya.

“Kenapa buat bahagia aja rasanya sulit, bu?” Ucap Haikal.

Prameswati terdiam, membiarkan Haikal mengeluarkan segala sesaknya.

“Tempo lalu, Haikal ketemu Ita, ibu.”

Jujur, mendengar itu, ibu sedikit terhenyak kaget. Karena ibu tahu, selama ini hanya Ralita yang selalu jadi rumah bagi Haikal.

“Haikal ketemu, Ita. Dia cantik bu, dia selalu cantiK ....” lirih Haikal sambil tersenyum pahit.

“Adek ....” ucap Ibu yang kini menggenggam lengan bungsunya itu.

“Haikal udah lepasin semuanya, bu. Haikal udah lepasin Ralita, semuanya bu.” Ucap Haikal yang terdengar sangat menyakitkan bagi ibu.

“Haikal hebat, ya, Bu? Haikal hebat karena udah berhasil berdamai sama semua tentang Ita ....” ucap Haikal.

“Adek ....”

“Adek bahagia?” Tanya ibu tiba-tiba.

Haikal terdiam.

Bukannya anggukan yang ibu dapat, tetapi sebuah gelengan pelan dari Haikal.

“Enggak ibu, Haikal gak bahagia ....” lirihl lelaki itu.

Terlalu rapuh Haikal.

“Rasanya lega karena bisa lepas dari semuanya, tapi disisi lain Haikal juga ngerasa kosong ibu. Haikal gak bahagia ....” ucap Haikal.

“Tapi Haikal gak bisa egois, kan, Bu? Baik Haikal ataupun Ita, kita udah sama-sama punya jalan hidup masing-masing.”

“Haikal gamau, karena keegoisan Haikal sama Ita, kita jadi nyakitin banyak orang.” Ucap Haikal.

Haikal menghela napasnya.

“Tapi bu, sekarang. Gimana caranya Haikal bisa bahagia? Sedangkan yang saat ini Haikal berusaha genggam gak pernah sebaik itu.” Ucap Haikal.

“Kiara ....”

“Kiara gak kayak yang ayah pikirin, ibu.”

Prameswati menghela napasya, kemudian jemarinya bergerak mengusap Haikal.

“Maaf ya? Maaf karena ibu gak bisa lakuin apa-apa perihal kehadiran Kiara di hidup Haikal.”

Haikal menggeleng, “bukan salah ibu.”

Prameswati merasa ngilu, mengetahui bahwa putranya ini tidak bahahia atas apa yang sedang ia jalani.

Maka dari itu, dengan semua kasih sayang juga kehangatannya, ia membawa Haikal kembali kedalam dekapannya.

“Maafin ibu karena ibu gak bisa berbuat banyak hal untuk kebahagiaan kamu ....” ucap ibu pelan.

“Maafin ibu karena gak bisa jadi tameng buat ngehalau semua rasa sakitnya kamu ....”

Ibu mendekap Haikal dengan begitu hangat.

“Dengerin ibu, ya?”

“Untuk bahagia itu perlu waktu. Banyak hal yang harus kita lalui buat bisa mencapai titik paling bahagia.”

“Mungkin sekarang waktunya dimana kamu ngerasa jatuh sejatuh-jatuhnya. Tapi tolong, ya? Tolong jangan lupa. Kalau roda itu terus berputar. Akan ada waktu dimana kamu bisa merasakan apa itu arti dari bahagia.”

“Gak selamanya kita di bawah, dan gak selamanya kita di atas, roda kehidupan terus berputar.”

“Jadi, ibu minta tolong sama adek buat tetap kuat, ya? Kuatin lagi bahunya buat nopang segala beban dimasa depan nanti. Kuatin lagi kakinya buat bisa berdiri kokoh dengan segala beban yang adek tanggung.”

“Pelan-pelan, ya? Biarin waktu yang nyembuhin semuanya.”

“Dan lagi, ibu bangga sama kamu. Terima kasih, ya, sayang?”

“Terima kasih karena sudah tumbuh dengan tidak menjadi egois. Ibu bangga sama kamu ....” ucap ibu yang kini mengecup pelan pucuk kepala Haikal.

“Anak baik, anak hebat. Ibu sayan sekali sama kamu. Jadi tolong tetap kuat ya ganteng. Percaya, kalau semua bakalan baik-baik aja, ok?” Ucap ibu yang dibalas anggukan oleh Haikal.

“Ibu ....”

“Iya?”

“Mau meluk ibu lama, ya? Makasih banyak karena selalu bisa jadi penopang. Haikal sayang ibu.”

Perempuan paruh baya itu tersenyum kala mendengar ucapan putranya itu.

“Ibu juga sayang sekali sama kamu. Terima kasih sudah tumbuh jadi anak baik juga hebat ....”

Lelaki berumur dua puluh delapan tahun itu terduduk di bangku kayu siang itu. Jemarinya tidak berhenti bergerak mengetuk-ngetuk layar ponselnya.

Netranya menelisik setiap bagian dari taman penuh kenangan ini.

Lengkungan indah itu terangkat kala memori-memori masa lalunya tiba-tiba saja berputar. Rasa sesak memenuhi ruang dadanya.

Tempat ini terlalu banyak kenangan, dari mulai pertemuan sampai perpisahan.

Haikal menghela napasnya, berusaha meredakan sesak yang terus saja memaksanya untuk keluar.

Hampir lima belas menit Haikal menunggu kedatangan orang itu. Hingga akhirnya, netra coklat miliknya menangkap sosok itu.

Iya, Ralita tengah berjalan ke arahnya dari sebrang sana.

Degupan jantung Haikal benar-benar tidak beraturan.

Sial

Ralita masih saja terlihat cantik di mata Haikal.

Langkah itu semakin mendekat, dan Haikal terus menatapanya lamat.

Masih sama.

Masih sama seperti pertama bertemu. Ralita terlalu cantik bagi Haikal.

Hi, long time no see” ucap perempuan itu yang membuat lamunan Haikal buyar. Dengan cepat Haikal mengatur mimik wajahnya.

Cantik, selalu cantik

Haikal berdehem, ia kemudian tersenyum singkat pada Ralita.

Ralita menatap Haikal.

Ia merindukannya, sangat.

Netra keduanya bertabrakan. Terlihat banyak sekali di antara keduanya.

“Apa kabar, Haikal?” Ucap Ralita pelan, membuat darah Haikal berdesir.

“Gue ....”

Haikal menghela naoasnya, “gue baik, Ta.” Ucapnya.

“Syukurlah,” Ralita tersenyum.

Haikal terdiam sejenak, sebelumnya akhirnya ia bersuara.

“Jadi, apa yang mau lo jelasin, Ta?” Ucap Haikal yang entah mengapa terdengar sangat menyakitkan bagi Ralita.

Ralita terdiam.

“Ayo jelasin, semuanya.” Ucap Haikal lagi.

Ralita menunduk, kemudian bergumam, “maaf ....” lirihnya pelan.

Haikal menghela napasnya, ia muak dengan kata itu.

“Jelasin, Ta.” Ucap Haikal sekali lagi.

Ralita menatap Haikal.

“Untuk tujuh tahunnya, aku minta maaf ....” ucap Ralita.

“Maaf, maaf, maaf ....” lirih Ralita.

“Maaf karena aku tiba-tiba aja hilang, Haikal .... maaf.” Ucap Ralita yang kininterisak pelan.

Terlalu menyesakkan, begitu juga bagi Haikal.

“Tujuh tahun lalu, disaat aku pergi. Awalnya aku gak berniat buat hilang, Kal. Demi Tuhan.” Ucap Ralita.

Haikal terdiam, membiarkan Ralita menyelesaikan semuanya.

Ralita menghela napasnya. “Terlalu rumit, Haikal.”

”Terlalu banyak ketakutan, Kal.” Ucap Ralita, membuat Haikal mengangkat sedikit alisnya.

“Terlalu banyak ketakutan buat aku.”

“Aku takut ayah ngelakuin hal yang bisa nyakitin kamu, Haikal.”

“Kamu tau? Aku enggak bisa apa-apa Haikal. Ayah selalu bilang kalau dia gak segan buat nyakitin kamu kalau misal aku masih ada hubungan sama kamu.” Ucap Ralita.

“Bahkan kak Dodo pun gak bisa bantah ayah,”

Ralita menghela napasnya.

“Aku tau, aku salah karena gak berusaha buat setidaknya jelasin dari awal.”

“Aku ....”

“Aku takut banget Haikal ....” pertahanan Ralita runtuh, ia kemudian terisak dihadapan Haikal.

“Disana, setiap hari aku nahan buat enggak ngehubungin kamu. Setiap hari aku nahan semuanya biar aku gak nyakitin kamu, Kal ....” lirih Ralita.

“Kalau kamu pikir aku gak tau keadaan kamu selama tujuh tahun itu, kamu salah, Haikal.”

“Aku tau semuanya ....” lirih Ralita yang semakin membuat Haikal terdiam.

Sesak. Sangat menyesakkan.

“Aku tau semuanya, Haikal ...”

“Tentang kamu yang lulus dengan nilai baik, tentang kamu yang keterima di kampus terbaik, tentang yang punya banyak temen, tentang kamu yang mulai bisnis sejak semester 5, tentang kamu yang mulai dihargai orang-orang, tentang semuanya. Aku tau Haikal ....” ucap Ralita.

Haikal masih terdiam.

“Aku tau aku bodoh, aku terlalu takut buat sekedar minta maaf, aku terlalu takut sama keadaan, aku takut kalau ayah nyakitin kamu lebih jauh lagi, Haikal, aku takut ....” ucap Ralita.

ah

Rasanya terlalu menyesakkan untuk Ralita.

Seandainya semua orang tahu, perempuan ini, ia juga kesulitan. Terlalu banyak tekanan, terlalu banyak ketakutan.

“Maaf ....” lirih Ralita lagi.

“Maaf karena aku enggak bisa nepatin janji aku buat pulang, maaf, Haikal ...” lirihnya lagi semakin membuat Haikal sesak.

Lagi, Ralita terisak.

“Setiap hari, Haikal. Setiap hari aku selalu berdoa biar kamu selalu diberi kebahagiin, aku selalu berdoa kalau kamu baik-baik aja. Aku takut, Kal, aku takut. Aku juga kesulitan, aku takut ....” lirih Ralita yang kini tengah memukul sesak dadanya.

Haikal menatap Ralita yang kini tengah terisak. Ingin sekali ia mendekapnya dengan sangat erat. Ingin sekali Haikal menghapus air matanya.

Tapi terlalu menyakitkan bagi Haikal.

“Setelah semuanya, setelah semua kehilangan, setelah banyak kesakitan. Kenapa harus sekarang, Ta?” Kini, Haikal bersuara dengan nada suara yang terdengar sedikit bergetar.

“Kenapa, Ta?” Tanya Haikal lagi.

Napasnya tiba-tiba saja tidak beraturan, tangannya mengepal berusaha menahan sakit yang selama ini ia tahan sendirian.

“Kenapa baru sekarang? KENAPA TA?!” Tiba-tiba saja Haikal berteriak.

“Liat gue, Ta! Gue disini juga kesulitan!”

“Gue kebingungan, gue hilang arah, Ta. Gue disini setiap hari selalu nunggu kepulangan lo. Setiap hari, Ta. Setiap hari gue selalu berharap kalau suatu saat lo pulang dan datang dengan ngasih pelukan hangat lo lagi. Tapi kenyataannya apa? Kehilangan, Ta. Yang gue dapatkan, lagi-lagi cuma kehilangan.” Ucap Haikal frustasi.

“Disini, Ta. Disini rasanya terlalu sakit!” Ucap Haikal sambil memukul pelan dadanya.

“Tujuh tahun, Ta. Ya Tuhan ....”

“Tujuh tahun gue disini nunggu lo, gue kesulitan. Berdarah-darah gue nunggu lo, Ta. Berdarah-darah gue buat bisa sampai dititik ini dengan harapan yang selalu gue harap jadi kenyataan. Gue sakit Ralita, gue kesulitan. Gue sakit karena gue gak bisa sedikit pun lepasin lo ....” Haikal menarik frustasi rambutnya, berusaha nahan amarah serta kerinduan.

“Maaf ....” lirih Ralita.

Haikal menatap nanar perempuan di hadapannya ini.

Kenapa?

Kenapa ia tidak bisa sedikit pun untuk membenci perempuan ini?”

“Lo jahat, Ta. Lo jahat.”

Ralita terisak.

“Gue tau, hati lo udah bukan buat gue lagi. Bahkan dari dulu, kan?” Tanya Haikal yang dibalas gelengan kuat oleh Ralita.

“Gak gitu, Kal ....” lirih Ralita.

“Terus, kenapa lo malah pulang kepelukan orang lain, Ta?” Tanya Haikal.

“Kenapa?”

Ralita terdiam.

“Kalau emang lo sayang sama gue, kenapa waktu lo pulang lo malah ngasih undangan? Kenapa lo gak jelasin semuanya? Dan kenapa lo malah bersikap seolah selama tujuh tahun ini lo baik-baik aja, kenapa, Ta? KENAPA!” Ucap Haikal dengan nada suaranya yang meninggi.

“Lo tau, gak? Hancur, Ta. Gue hancur saat lo bilang kalau kepulangan lo kemarin cuma buat matahin semua harapan gue, sakit, Ta ...” ucap Haikal dengan matanya yang emmerah, napas yang tak beraturan, juga tangan yang terkepal menhana semua amarah bercampur sesak.

“Terus sekarang, setelah semuanya. Lo datang?”

“Apa yang lo mau, Ta?” Tanya Haikal.

“Apa yang lo mau dari gue sekarang, hah?”

“Jawab, Ta!”

Ralita mengepalkan tangannya, berusaha menahan tangisnya. Kemudian dengan berani, ia menatap netra Haikal yang terlihat banyak sekali amarah disana.

“Aku ....”

Lirih Ralita.

“Haikal ....”

“Kasih aku kesempatan buat memperbaiki semuanya, ya?” Ucap Ralita pelan.

Haikal membulatkan matanya. Lalu sedetik kemudian ia tertawa sarkas.

“Kesempatan?”

“Setelah semuanya, Ta? Setelah semua kehilangan dan kesakitan?” Ucap Haikal.

“Lo bilang kesempatan?”

“Segampang itu? Hahahaha.” Haikal tertawa mendengar ucapan Ralita.

Jemari Ralita bergerak menggenggam tangan Haikal.

“Haikal, please. Kasih aku kesempatan buat memperbaiki semuanya, ya? Aku kohon ....” lirih Ralita memohon.

“Kenapa baru sekarang?”

“Kenapa lo baru datang sekarang disaat gue udah mulai ngebangun rumah baru tanpa lo?”

“Kenapa lo baru datang sekatang, disaat gue udah mati-matian buat berdiri kokoh tanpa lo, Ta?” Tanya Haikal lagi yang membuat Ralita terdiam.

“Lo egois, Ralita.” Ucap Haikal penuh penekanan.

“Lo sadar, gak? Keputusan lo barusan udah nyakitin banyak orang, bukan cuma gue.”

Lagi-lagi Haikal tertawa.

“Gue gak ngerti, kenapa lo bisa jadi seegois ini.”

“Lo yang ngelepas, lo yang milih pergi. Dan sekarang lo dengan gampangnya bilang mau memperbaiki semuanya?”

Seriously, Ta? Lo kenapa jadi egois kayak gini?”

Lagi, Ralita menggenggam tangan Haikal.

“Sekali aja, Kal. Aku mau egois, aku gamau lagi kehilangan kamu. Maka dari itu, biarin aku nyembuhin semuanya, ya, Kal? Biarin aku mulai lagi semuanya dari awal, ya?” Lirih Ralita.

Haikal terdiam, ia menatap manik kecoklatan milik perempuan itu.

Haikal, please” lirih Ralita.

Demi apapun, Haikal ingin sekali mendekapnya saat ini juga.

Namun lagi, Haikal sadar. Semuanya salah. Tidak seharusnya Ralita seperti ini. Lantas, dengan berat hati, Haikal melepaskan genggaman tangan Ralita, lalu ia menghela napasnya.

Haikal menggeleng pelan, “enggak, Ta.”

“Gak seharusnya lo kayak gini ....” lirih Haikal.

Ralita menatap Haikal, “haikal ....” lirih Ralita.

Lagi-lagi Haikal menghela napasnya, guna meredakan sesak yang terus menyeruak ke seluruh ruang dadanya.

“Jangan kayak gini ....”

“Lepasin ....”

“Lepasin gue, Ta.” Ucap Haikal membuat tubuh Ralita terasa begitu lemas.

“Haikal ....” lirih Ralita.

Ralita menggeleng, berusaha menepis kenyataan bahwa saat ini Haikal tengah menolaknya untuk pulang.

“Gak seharusnya kita kayak gini.”

“Gak seharusnya lo egois,”

“Ralita ....” lirih Haikal yang tanpa sadar jemarinya bergerak mengusap pucuk kepala perempuan itu.

“Gue bukan lagi milik lo, gue bukan lagi rumah lo. Begitu pun sebaliknya.”

“Jangan, ya? Gak seharusnya lo kayak gini ....”

“Kita udah selesai, Ta. Sejak tujuh tahun lalu, sejak lo memutuskan buat pergi. Kita udah selesai, Ralita.”

“Jadi, jangan berusaha buat balik lagi ke gue, ya? Gue udah bukan rumah lo lagi, Ralita ....” lirih Haikal yang sebenarnya ia juga merasakan sakit luar biasa.

Disis lain Haikal juga ingin kembali, tapi disisi lain, Haikal juga sadar. Bahwa tidak seharusnya ia selalu berharap dengan apa yang sudah selesai.

“Sekarang keadaannya udah beda.”

“Kita udah punya jalan masing-masing, Ta. Baik lo ataupun gue, kita udah gak bisa sama-sama lagi.”

Ralita benar-benar hancur.

“Haikal, jangan gini ....”

Haikal tersenyum, walau sebenarnya ia juga ingin menangis. Namun dengan susah payah ia tetap tersenyum, mengisyaratkan bahwa ia baik-baik saja.

“Genggam apa yang ada di genggaman lo sekarang, Ta. Jangan berusaha genggam apa yang udah hilang dari genggaman lo,”

“Kita udah bukan lagi kita, Ta.”

“Kita ini cuma dua pasang manusia yang pernah mengisi satu sama lain. Kita cuma dua pasang manusia yang pernah berusaha buat naklukin skenario semesta sama-sama. Dan sekarang kita cuma dua pasang manusia asing yang pernah saling memiliki satu sama lain, Ta. Sekarang kita cuma sebatas pernah yang gak akan pernah bisa jadi selamanya ....” ucap Haikal.

“Rumah gue udah bukan lo lagi, walau kenyataannya gue masih merangkak.”

“Lepasin gue, ya, Ta? Udah cukup kesakitanya, udah cukup kehilangannya. Jangan saling nyakitin lagi, ya?“ lirih Haikal yang kini melepaskan genggamannya dari Ralita.

“Kita selesai, Ta.” Ucap Haikal yang kini menghela napasnya bersiap pergi dari sana.

“Udah cukup, semuanya selesai. Jangan lagi.”

“Sekarang lo pulang, ya? Ada yang nunggu lo dengan tulus disana, bahkan mungkin lebih tulus dari gue, Ta.”

Ralita menggeleng, “Haikal jangan ....”

Haikal tersenyum.

“Mulai detik ini. Izinin gue buat ngehapus semua hal tentang lo, Ta. Biarin gue bangun sendiri rumah kokoh tanpa lo.”

Lagi-lagi Ralita menggeleng. Ia tidak ingin kehilangan Haikal lagi.

“Haikal, aku sayang kamu ....” lirih Ralita.

Haikal tersenyum.

“Gue tau, sangat tau. Dan gue juga sayang sama lo, perasaan gue masih sama,” ucap Haikal.

“Jangan kemana-mana Haikal, jangan pergi ....” lirih Ralita.

“Gue sayang sama lo. Maka dari itu, ayo saling merelakan, Ta.”

Ralita terisak.

Haikal lagi-lagi tersenyum.

“Setelah ini, gue harap gak ada lagi kesakitan sama kehilangan, Ta. Setelah ini, gue harap kita bisa bahagia dan berdamai dengan jalan masing-masing.”

Lagi, Haikal tersenyum, dan kini untuk terakhir kalinya, Haikal mengusap air mata perempuan yang selalu menjadi kesayangannya ini.

“Gue harap kita gak ketemu lagi, ya, Ta? Biarin semuanya jadi kenangan dipikiran masing-masing.”

“Gue pamit, ya? Bahagia selalu, Ralita Angkara ..... ” Haikal tersenyum, lalu sedetik kemudian ia melangkah menjauh dari hadapan Ralita.

Ralita menjatuhkan dirinya, ia menangis, terlalu menyakitkan.

Ralita masih menyayangi Haikal. Ralita masih menginginkan Haikal.

Ralita bodoh, ia terlalu bodoh karena terlalu banyak menyia-nyialan kesempatan. Terlalu banyak penyesalan.

Seandainya saja Ralita datang lebih awal, seandainya saja Ralita berani. Mungkin semuanya tidak akan jadi sesakit ini.

Ralita sangat menyesal karena terlalu banyak menyia-nyiakan kesempatannya perihal kepulangan.

Berbeda dengan Haikal.

Dengan seluruh keikhlasannya, Haikal memilih untuk melepaskan.

Setelah banyak kehilangan juga kesakitan. Kini Haikal memilih untuk melepaskan.

Haikal memilih untuk pergi dan merelakan semuanya.

Memang seharusnya begitu.

Biar, biar semuanya usai sampai disini. Karena tidak semua hal yang berjalan sesuai apa yang diharapkan.

Karena hidup harus terus berjalan.

Maka dari itu.

Selamat merayakan kehilangan dan selamat merayakan penyesalan, Ralita.

Haikal menghela napasnya kala ia menatap layar ponsel di genggamannya.

Entahlah, rasanya aneh. Haikal merasa rindu sekaligus sesak.

Kenapa?

Kenapa ia harus hadir lagi? Disaat Haikal sudah mulai menghapus kehadirannya.

Sial, rasanya sangat menyesakkan.

Buru-buru Haikal menstabilkan napasnya kala melihat Kiara yang mendekat ke arah mobilnya.

“Maaf lama,” ucao Kiara pada Haikal yang dibalas senyum.

“Gapapa,” ucap Haikal.

Kiara menatap wajah Haikal yang terlihat sedikit sendu dari sebelumnya.

“Kenapa?”

Haikal menatap Kiara kemudian menggeleng pelan.

“Gapapa.” Ucap Haikal tersenyum.

Bukannya percaya, Kiara malah menatap netra Haikal lama.

are you ok?” ucap Kiara lembut.

Entah mengapa tapi ucapan Kiara barusan membuat pertahanan Haikal runtuh, lalu tanpa sadar Haikal menggeleng dan berucap.

no, i’m not,” ucap Haikal lirih.

Lalu tanpa aba-aba, Kiara membawa Haikal kedalam pelukannya, lalu mendekapnya dengan hangat.

it’s okay kamu gak sendiri, gapapa, Kal. Kalau emang gak baik-baik aja gapapa,” ucap Kiara semakin mengeratkan pelukannya.

“Capek, Ki ....” lirih Haikal.

“Pengen bahagia aja rasanya sulit.”

Tanpa berbicara apapun, Kiara hanya mendekap Haikal dengan hangat. Seolah ia sedang berusaha meredakan badainya.

“Capek banget, Ki ....” lirih Haikal lagi.

Rasanya terlalu menyakitkan bagi Haikal.

“Gapapa, gapapa, semuanya bakal baik-baik aja ....” ucap Kiara lembut.