Karena Hidup Harus Terus Berjalan.

Lelaki berumur dua puluh delapan tahun itu terduduk di bangku kayu siang itu. Jemarinya tidak berhenti bergerak mengetuk-ngetuk layar ponselnya.

Netranya menelisik setiap bagian dari taman penuh kenangan ini.

Lengkungan indah itu terangkat kala memori-memori masa lalunya tiba-tiba saja berputar. Rasa sesak memenuhi ruang dadanya.

Tempat ini terlalu banyak kenangan, dari mulai pertemuan sampai perpisahan.

Haikal menghela napasnya, berusaha meredakan sesak yang terus saja memaksanya untuk keluar.

Hampir lima belas menit Haikal menunggu kedatangan orang itu. Hingga akhirnya, netra coklat miliknya menangkap sosok itu.

Iya, Ralita tengah berjalan ke arahnya dari sebrang sana.

Degupan jantung Haikal benar-benar tidak beraturan.

Sial

Ralita masih saja terlihat cantik di mata Haikal.

Langkah itu semakin mendekat, dan Haikal terus menatapanya lamat.

Masih sama.

Masih sama seperti pertama bertemu. Ralita terlalu cantik bagi Haikal.

Hi, long time no see” ucap perempuan itu yang membuat lamunan Haikal buyar. Dengan cepat Haikal mengatur mimik wajahnya.

Cantik, selalu cantik

Haikal berdehem, ia kemudian tersenyum singkat pada Ralita.

Ralita menatap Haikal.

Ia merindukannya, sangat.

Netra keduanya bertabrakan. Terlihat banyak sekali di antara keduanya.

“Apa kabar, Haikal?” Ucap Ralita pelan, membuat darah Haikal berdesir.

“Gue ....”

Haikal menghela naoasnya, “gue baik, Ta.” Ucapnya.

“Syukurlah,” Ralita tersenyum.

Haikal terdiam sejenak, sebelumnya akhirnya ia bersuara.

“Jadi, apa yang mau lo jelasin, Ta?” Ucap Haikal yang entah mengapa terdengar sangat menyakitkan bagi Ralita.

Ralita terdiam.

“Ayo jelasin, semuanya.” Ucap Haikal lagi.

Ralita menunduk, kemudian bergumam, “maaf ....” lirihnya pelan.

Haikal menghela napasnya, ia muak dengan kata itu.

“Jelasin, Ta.” Ucap Haikal sekali lagi.

Ralita menatap Haikal.

“Untuk tujuh tahunnya, aku minta maaf ....” ucap Ralita.

“Maaf, maaf, maaf ....” lirih Ralita.

“Maaf karena aku tiba-tiba aja hilang, Haikal .... maaf.” Ucap Ralita yang kininterisak pelan.

Terlalu menyesakkan, begitu juga bagi Haikal.

“Tujuh tahun lalu, disaat aku pergi. Awalnya aku gak berniat buat hilang, Kal. Demi Tuhan.” Ucap Ralita.

Haikal terdiam, membiarkan Ralita menyelesaikan semuanya.

Ralita menghela napasnya. “Terlalu rumit, Haikal.”

”Terlalu banyak ketakutan, Kal.” Ucap Ralita, membuat Haikal mengangkat sedikit alisnya.

“Terlalu banyak ketakutan buat aku.”

“Aku takut ayah ngelakuin hal yang bisa nyakitin kamu, Haikal.”

“Kamu tau? Aku enggak bisa apa-apa Haikal. Ayah selalu bilang kalau dia gak segan buat nyakitin kamu kalau misal aku masih ada hubungan sama kamu.” Ucap Ralita.

“Bahkan kak Dodo pun gak bisa bantah ayah,”

Ralita menghela napasnya.

“Aku tau, aku salah karena gak berusaha buat setidaknya jelasin dari awal.”

“Aku ....”

“Aku takut banget Haikal ....” pertahanan Ralita runtuh, ia kemudian terisak dihadapan Haikal.

“Disana, setiap hari aku nahan buat enggak ngehubungin kamu. Setiap hari aku nahan semuanya biar aku gak nyakitin kamu, Kal ....” lirih Ralita.

“Kalau kamu pikir aku gak tau keadaan kamu selama tujuh tahun itu, kamu salah, Haikal.”

“Aku tau semuanya ....” lirih Ralita yang semakin membuat Haikal terdiam.

Sesak. Sangat menyesakkan.

“Aku tau semuanya, Haikal ...”

“Tentang kamu yang lulus dengan nilai baik, tentang kamu yang keterima di kampus terbaik, tentang yang punya banyak temen, tentang kamu yang mulai bisnis sejak semester 5, tentang kamu yang mulai dihargai orang-orang, tentang semuanya. Aku tau Haikal ....” ucap Ralita.

Haikal masih terdiam.

“Aku tau aku bodoh, aku terlalu takut buat sekedar minta maaf, aku terlalu takut sama keadaan, aku takut kalau ayah nyakitin kamu lebih jauh lagi, Haikal, aku takut ....” ucap Ralita.

ah

Rasanya terlalu menyesakkan untuk Ralita.

Seandainya semua orang tahu, perempuan ini, ia juga kesulitan. Terlalu banyak tekanan, terlalu banyak ketakutan.

“Maaf ....” lirih Ralita lagi.

“Maaf karena aku enggak bisa nepatin janji aku buat pulang, maaf, Haikal ...” lirihnya lagi semakin membuat Haikal sesak.

Lagi, Ralita terisak.

“Setiap hari, Haikal. Setiap hari aku selalu berdoa biar kamu selalu diberi kebahagiin, aku selalu berdoa kalau kamu baik-baik aja. Aku takut, Kal, aku takut. Aku juga kesulitan, aku takut ....” lirih Ralita yang kini tengah memukul sesak dadanya.

Haikal menatap Ralita yang kini tengah terisak. Ingin sekali ia mendekapnya dengan sangat erat. Ingin sekali Haikal menghapus air matanya.

Tapi terlalu menyakitkan bagi Haikal.

“Setelah semuanya, setelah semua kehilangan, setelah banyak kesakitan. Kenapa harus sekarang, Ta?” Kini, Haikal bersuara dengan nada suara yang terdengar sedikit bergetar.

“Kenapa, Ta?” Tanya Haikal lagi.

Napasnya tiba-tiba saja tidak beraturan, tangannya mengepal berusaha menahan sakit yang selama ini ia tahan sendirian.

“Kenapa baru sekarang? KENAPA TA?!” Tiba-tiba saja Haikal berteriak.

“Liat gue, Ta! Gue disini juga kesulitan!”

“Gue kebingungan, gue hilang arah, Ta. Gue disini setiap hari selalu nunggu kepulangan lo. Setiap hari, Ta. Setiap hari gue selalu berharap kalau suatu saat lo pulang dan datang dengan ngasih pelukan hangat lo lagi. Tapi kenyataannya apa? Kehilangan, Ta. Yang gue dapatkan, lagi-lagi cuma kehilangan.” Ucap Haikal frustasi.

“Disini, Ta. Disini rasanya terlalu sakit!” Ucap Haikal sambil memukul pelan dadanya.

“Tujuh tahun, Ta. Ya Tuhan ....”

“Tujuh tahun gue disini nunggu lo, gue kesulitan. Berdarah-darah gue nunggu lo, Ta. Berdarah-darah gue buat bisa sampai dititik ini dengan harapan yang selalu gue harap jadi kenyataan. Gue sakit Ralita, gue kesulitan. Gue sakit karena gue gak bisa sedikit pun lepasin lo ....” Haikal menarik frustasi rambutnya, berusaha nahan amarah serta kerinduan.

“Maaf ....” lirih Ralita.

Haikal menatap nanar perempuan di hadapannya ini.

Kenapa?

Kenapa ia tidak bisa sedikit pun untuk membenci perempuan ini?”

“Lo jahat, Ta. Lo jahat.”

Ralita terisak.

“Gue tau, hati lo udah bukan buat gue lagi. Bahkan dari dulu, kan?” Tanya Haikal yang dibalas gelengan kuat oleh Ralita.

“Gak gitu, Kal ....” lirih Ralita.

“Terus, kenapa lo malah pulang kepelukan orang lain, Ta?” Tanya Haikal.

“Kenapa?”

Ralita terdiam.

“Kalau emang lo sayang sama gue, kenapa waktu lo pulang lo malah ngasih undangan? Kenapa lo gak jelasin semuanya? Dan kenapa lo malah bersikap seolah selama tujuh tahun ini lo baik-baik aja, kenapa, Ta? KENAPA!” Ucap Haikal dengan nada suaranya yang meninggi.

“Lo tau, gak? Hancur, Ta. Gue hancur saat lo bilang kalau kepulangan lo kemarin cuma buat matahin semua harapan gue, sakit, Ta ...” ucap Haikal dengan matanya yang emmerah, napas yang tak beraturan, juga tangan yang terkepal menhana semua amarah bercampur sesak.

“Terus sekarang, setelah semuanya. Lo datang?”

“Apa yang lo mau, Ta?” Tanya Haikal.

“Apa yang lo mau dari gue sekarang, hah?”

“Jawab, Ta!”

Ralita mengepalkan tangannya, berusaha menahan tangisnya. Kemudian dengan berani, ia menatap netra Haikal yang terlihat banyak sekali amarah disana.

“Aku ....”

Lirih Ralita.

“Haikal ....”

“Kasih aku kesempatan buat memperbaiki semuanya, ya?” Ucap Ralita pelan.

Haikal membulatkan matanya. Lalu sedetik kemudian ia tertawa sarkas.

“Kesempatan?”

“Setelah semuanya, Ta? Setelah semua kehilangan dan kesakitan?” Ucap Haikal.

“Lo bilang kesempatan?”

“Segampang itu? Hahahaha.” Haikal tertawa mendengar ucapan Ralita.

Jemari Ralita bergerak menggenggam tangan Haikal.

“Haikal, please. Kasih aku kesempatan buat memperbaiki semuanya, ya? Aku kohon ....” lirih Ralita memohon.

“Kenapa baru sekarang?”

“Kenapa lo baru datang sekarang disaat gue udah mulai ngebangun rumah baru tanpa lo?”

“Kenapa lo baru datang sekatang, disaat gue udah mati-matian buat berdiri kokoh tanpa lo, Ta?” Tanya Haikal lagi yang membuat Ralita terdiam.

“Lo egois, Ralita.” Ucap Haikal penuh penekanan.

“Lo sadar, gak? Keputusan lo barusan udah nyakitin banyak orang, bukan cuma gue.”

Lagi-lagi Haikal tertawa.

“Gue gak ngerti, kenapa lo bisa jadi seegois ini.”

“Lo yang ngelepas, lo yang milih pergi. Dan sekarang lo dengan gampangnya bilang mau memperbaiki semuanya?”

Seriously, Ta? Lo kenapa jadi egois kayak gini?”

Lagi, Ralita menggenggam tangan Haikal.

“Sekali aja, Kal. Aku mau egois, aku gamau lagi kehilangan kamu. Maka dari itu, biarin aku nyembuhin semuanya, ya, Kal? Biarin aku mulai lagi semuanya dari awal, ya?” Lirih Ralita.

Haikal terdiam, ia menatap manik kecoklatan milik perempuan itu.

Haikal, please” lirih Ralita.

Demi apapun, Haikal ingin sekali mendekapnya saat ini juga.

Namun lagi, Haikal sadar. Semuanya salah. Tidak seharusnya Ralita seperti ini. Lantas, dengan berat hati, Haikal melepaskan genggaman tangan Ralita, lalu ia menghela napasnya.

Haikal menggeleng pelan, “enggak, Ta.”

“Gak seharusnya lo kayak gini ....” lirih Haikal.

Ralita menatap Haikal, “haikal ....” lirih Ralita.

Lagi-lagi Haikal menghela napasnya, guna meredakan sesak yang terus menyeruak ke seluruh ruang dadanya.

“Jangan kayak gini ....”

“Lepasin ....”

“Lepasin gue, Ta.” Ucap Haikal membuat tubuh Ralita terasa begitu lemas.

“Haikal ....” lirih Ralita.

Ralita menggeleng, berusaha menepis kenyataan bahwa saat ini Haikal tengah menolaknya untuk pulang.

“Gak seharusnya kita kayak gini.”

“Gak seharusnya lo egois,”

“Ralita ....” lirih Haikal yang tanpa sadar jemarinya bergerak mengusap pucuk kepala perempuan itu.

“Gue bukan lagi milik lo, gue bukan lagi rumah lo. Begitu pun sebaliknya.”

“Jangan, ya? Gak seharusnya lo kayak gini ....”

“Kita udah selesai, Ta. Sejak tujuh tahun lalu, sejak lo memutuskan buat pergi. Kita udah selesai, Ralita.”

“Jadi, jangan berusaha buat balik lagi ke gue, ya? Gue udah bukan rumah lo lagi, Ralita ....” lirih Haikal yang sebenarnya ia juga merasakan sakit luar biasa.

Disis lain Haikal juga ingin kembali, tapi disisi lain, Haikal juga sadar. Bahwa tidak seharusnya ia selalu berharap dengan apa yang sudah selesai.

“Sekarang keadaannya udah beda.”

“Kita udah punya jalan masing-masing, Ta. Baik lo ataupun gue, kita udah gak bisa sama-sama lagi.”

Ralita benar-benar hancur.

“Haikal, jangan gini ....”

Haikal tersenyum, walau sebenarnya ia juga ingin menangis. Namun dengan susah payah ia tetap tersenyum, mengisyaratkan bahwa ia baik-baik saja.

“Genggam apa yang ada di genggaman lo sekarang, Ta. Jangan berusaha genggam apa yang udah hilang dari genggaman lo,”

“Kita udah bukan lagi kita, Ta.”

“Kita ini cuma dua pasang manusia yang pernah mengisi satu sama lain. Kita cuma dua pasang manusia yang pernah berusaha buat naklukin skenario semesta sama-sama. Dan sekarang kita cuma dua pasang manusia asing yang pernah saling memiliki satu sama lain, Ta. Sekarang kita cuma sebatas pernah yang gak akan pernah bisa jadi selamanya ....” ucap Haikal.

“Rumah gue udah bukan lo lagi, walau kenyataannya gue masih merangkak.”

“Lepasin gue, ya, Ta? Udah cukup kesakitanya, udah cukup kehilangannya. Jangan saling nyakitin lagi, ya?“ lirih Haikal yang kini melepaskan genggamannya dari Ralita.

“Kita selesai, Ta.” Ucap Haikal yang kini menghela napasnya bersiap pergi dari sana.

“Udah cukup, semuanya selesai. Jangan lagi.”

“Sekarang lo pulang, ya? Ada yang nunggu lo dengan tulus disana, bahkan mungkin lebih tulus dari gue, Ta.”

Ralita menggeleng, “Haikal jangan ....”

Haikal tersenyum.

“Mulai detik ini. Izinin gue buat ngehapus semua hal tentang lo, Ta. Biarin gue bangun sendiri rumah kokoh tanpa lo.”

Lagi-lagi Ralita menggeleng. Ia tidak ingin kehilangan Haikal lagi.

“Haikal, aku sayang kamu ....” lirih Ralita.

Haikal tersenyum.

“Gue tau, sangat tau. Dan gue juga sayang sama lo, perasaan gue masih sama,” ucap Haikal.

“Jangan kemana-mana Haikal, jangan pergi ....” lirih Ralita.

“Gue sayang sama lo. Maka dari itu, ayo saling merelakan, Ta.”

Ralita terisak.

Haikal lagi-lagi tersenyum.

“Setelah ini, gue harap gak ada lagi kesakitan sama kehilangan, Ta. Setelah ini, gue harap kita bisa bahagia dan berdamai dengan jalan masing-masing.”

Lagi, Haikal tersenyum, dan kini untuk terakhir kalinya, Haikal mengusap air mata perempuan yang selalu menjadi kesayangannya ini.

“Gue harap kita gak ketemu lagi, ya, Ta? Biarin semuanya jadi kenangan dipikiran masing-masing.”

“Gue pamit, ya? Bahagia selalu, Ralita Angkara ..... ” Haikal tersenyum, lalu sedetik kemudian ia melangkah menjauh dari hadapan Ralita.

Ralita menjatuhkan dirinya, ia menangis, terlalu menyakitkan.

Ralita masih menyayangi Haikal. Ralita masih menginginkan Haikal.

Ralita bodoh, ia terlalu bodoh karena terlalu banyak menyia-nyialan kesempatan. Terlalu banyak penyesalan.

Seandainya saja Ralita datang lebih awal, seandainya saja Ralita berani. Mungkin semuanya tidak akan jadi sesakit ini.

Ralita sangat menyesal karena terlalu banyak menyia-nyiakan kesempatannya perihal kepulangan.

Berbeda dengan Haikal.

Dengan seluruh keikhlasannya, Haikal memilih untuk melepaskan.

Setelah banyak kehilangan juga kesakitan. Kini Haikal memilih untuk melepaskan.

Haikal memilih untuk pergi dan merelakan semuanya.

Memang seharusnya begitu.

Biar, biar semuanya usai sampai disini. Karena tidak semua hal yang berjalan sesuai apa yang diharapkan.

Karena hidup harus terus berjalan.

Maka dari itu.

Selamat merayakan kehilangan dan selamat merayakan penyesalan, Ralita.