Jjaejaepeach

Haikal terkekeh kala melihat Bina berlari kecil untuk membuka pintu gerbang yang terkunci. “Jangan lari eh,” ucap Haikal.

“YEAY! Pulang!” Ucap Bina sambil membuka gerbang, lalu kemudian Haikal memasukkan mobilnya ke dalam rumah.

Lelaki itu turun sesaat setelah selesai memarkirkan mobilnya, ia menghampiri Bina yang berdiri di teras, sambil membawa beberapa kantung barang. “Nih oleh-oleh” ucap Haikal membuat Bina berbinar.

Haikal terkekeh, kemudian mengusap pelan pucuk kepala istrinya itu.

“Eh, kamu tadi di chat mau bilang Bin, apa typo jadi Bun?”

Lagi-lagi Haikal terkekeh, “Bun ...”

“Kok bun?”

“Bunda ....” ucap Haikal lembut kemudian mengecup pelan kening Bina.

Bina tersenyum, ia lalu mendekap tubuh Haikal, “kangen ....” ucap Bina menemggelamkan wajahnya di dada bidang Haikal

“Kamu atau adek yang kangen?” Tanya Haikal.

“Dua-duanya,” ucap Bina mengeratkan pelukannya.

“Gimana dok? Istir saya hamil?” Tanya Haikal yang dibalas senyum serta anggukan oleh dokter di hadapannya.

“Istri bapak mengandung usia 3 minggu,” ucap dokter itu pada Haikal.

Bina terkejut saat mendengar itu, lantaran selama sebulan ini ia tidak mengalami tanda-tanda kehamilan seperti pada umumnya.

“Tapi dok, saya enggak ngerasain tanda hamil, itu kenapa, ya, dok?” Tanya Bina.

“Kalau boleh saya tahu, terakhir menstruasi kapan?”

Bina terdiam sejenak, lalu kemudian ia membulatkan matanya.

“Hampir 2 bulan saya enggak menstruasi dok,” ucap Bina.

Dokter itu tersenyum, “bagi beberapa orang hal seperti ini memang sering terjadi. Banyak juga pasien yang datang ke dokter karena tes yang mereka lakukan menunjukkan hasil positif, padahal sebelumnya mereka tidak merasakan gejala kehamilan. Seperti yang ibu alami,” ucap dokter itu pada Bina.

“Tapi, itu normal kan, dok?” Tanya Haikal.

Dokter tersebut mengangguk, “normal, karena setiap orang memiliki tanda kehamilan berbeda. Meskipun ibu Bina tidak mengalami tanda kehamilan pada umumnya, itu bukan hal aneh, kok. Bapak sama ibu tenang saja,”

“Dok, tapi minggu lalu saya cek, hasilnya itu berkali-kali negatif, lalu kemarin saya cek lagi hasilnya positif. Kira-kira itu kenapa, dok?” Tanya Bina pada Dokter tersebut. Karena memang benar, terakhir kali ia cek, hasilnya menunjukkan hasil negatif. Dan Bina pun tidak menunjukkan gejala kehamilan apapun.

“Untuk hal seperti itu, ada beberapa penyebab kenapa hasilnya bisa negatif. Yang pertama, ibu salah menggunakan tes pack. Melakukan cek terlalu dini, yang dimana kadar HCG dalam urine masih rendah, sehingga masih belum terdeteksi. Ketiga, terlalu banyak minum air putih sebelum pengecekan, baiknya ibu lakukan pengecekan setelah bangun tidur. Keempat, alat yan ibu pakai kurang akurat sehingga menunjukkan hasil negatif,”

Untuk HCG sendiri merupakan Human chorionic gonadotropin hormone. Ini merupakan hormon yang biasa di produksi oleh plasenta, nah dan hormon ini akan di keluarkan melalui urine, sehingga bisa mendeteksi kehamilan. Dan hormon ini yang bisa menyebabkan hasil positif pada tes pack,” ujar dokter tersebut menjelaskan pada Bina dan Haikal.

Haikal mengangguk kala mendengar penjelasan dokter.

“Jadi istri saya sehat, ya dok? Enggak ada yang bermasalah?”

Dokter tersebut mengangguk, “ibu Bina dalam keadaan baik. Hanya saja mungkin seiiring berkembangnya janin, ibu harus lebih hati-hati dalam melakukan aktivitas. Karena janin ibu bisa terbilang cukup rentan mengalami keguguran,” ucap dokter membuat Bina dan Haikal saling menatap.

“Rentan?”

Dokter tersebut mengangguk, “tapi tidak perlu khawatir, asalkan ibu Bina bisa menjadi pola kesehatanya, juga jangan banyak stress ya bu, apalagi ini kehamilan pertama.” Ucap dokter itu yang dibalas anggukan oleh Bina.

Haikal menghela napasnya lega, setidaknya sekarang Bina sehat.

Hampir setengah jam mereka disana. Hingga akhirnya Bina dan Haikal keluar dari ruangan itu.

Haikal menatap Bina dan perutnya bergantian.

“Sehat-sehat ya kalian ....” ucap Haikal sambil mengecup kening Bina.

Haikal buru-buru turun dan berlari ke dalam rumah.

“AKU PULANG!” Teriak ya, lalu tak lama Bina berlari ke arah Haikal dengan air matanya yang sejak tadi tidak berhenti keluar.

Bina berlari kemudian ia memeluk Haikal dengan erat, begitu juga dengan Haikal. Ia mendekap erat tubuh Bina.

“Makasih, makasih, makasih ....” ucap Haikal berkali-kali.

“Kak, aku hamil ....” lirih Bina dalam pelukan itu.

Haikal melepaskan pelukannya, kemudian ia menatap Bina dan mengusap air mata yang mengalir di wajah perempuan itu.

“Tadi pas kamu ngomongin soal jagoan di chat, aku sedih banget ....” lirihnya.

“Karena sebelumnya aku tes enggak isi, berkali-kali pun negatif.”

“Terus, tadi aku iseng cek lagi, dan ternyata ...”

“AKU HAMIL AAAAA” Bina berteriak

“Liat ih, ini garisnya dua, tandanya hamil.”

“Disini, sekarang ada jagoannya atau cantiknya kamu ... “ ucap Bina sambil menunduk perutnya membuat Haikal ikut melihat perut Bina yang masih rata itu.

Haikal tersenyum, ia kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan perut Bina. Jemari lelaki itu bergerak mengusap perut Bina seolah ia sedang Berbicara dengan seseorang.

“Halo anak ayah ....”

“Selamat datang di perut bunda ....” ucap Haikal yang terdengar sangat senang.

Bina yang mendengar itu lalu dengan pelan mengusap rambut Haikal lembut.

“Ngomong dong yang,” ucap Haikal pada Bina yang dibalas kekehan.

“Halo anaknya bunda, makasih udah dateng ke perut bunda hari ini.” Ucap Bina sambil menjatuhkan air matanya.

Haikal tersenyum, lalu ia mengecup pelan perut rata Bina, ia kemudian beranjak dan kembali memeluk Bina.

“Makasih, ya?”

“Makasih banyak.”

“Maaf kalau selama ini aku masih sering bikin kamu sakit. Aku janji, mulai Sekarang aku bakal berusaha biar lebih baik lagi,”

“Makasih sayang, makasih ....” lirih Haikal memeluk Bina dengan samgat erat

#Halo anak ayah

Haikal buru-buru turun dan berlari ke dalam rumah.

“AKU PULANG!” Teriak ya, lalu tak lama Bina berlari ke arah Haikal dengan air matanya yang sejak tadi tidak berhenti keluar.

Bina berlari kemudian ia memeluk Haikal dengan erat, begitu juga dengan Haikal. Ia mendekap erat tubuh Bina.

“Makasih, makasih, makasih ....” ucap Haikal berkali-kali.

“Kak, aku hamil ....” lirih Bina dalam pelukan itu.

Haikal melepaskan pelukannya, kemudian ia menatap Bina dan mengusap air mata yang mengalir di wajah perempuan itu.

“Tadi pas kamu ngomongin soal jagoan di chat, aku sedih banget ....” lirihnya.

“Karena sebelumnya aku tes enggak isi, berkali-kali pun negatif.”

“Terus, tadi aku iseng cek lagi, dan ternyata ...”

“AKU HAMIL AAAAA” Bina berteriak

“Liat ih, ini garisnya dua, tandanya hamil.”

“Disini, sekarang ada jagoannya atau cantiknya kamu ... “ ucap Bina sambil menunduk perutnya membuat Haikal ikut melihat perut Bina yang masih rata itu.

Haikal tersenyum, ia kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan perut Bina. Jemari lelaki itu bergerak mengusap perut Bina seolah ia sedang Berbicara dengan seseorang.

“Halo anak ayah ....”

“Selamat datang di perut bunda ....” ucap Haikal yang terdengar sangat senang.

Bina yang mendengar itu lalu dengan pelan mengusap rambut Haikal lembut.

“Ngomong dong yang,” ucap Haikal pada Bina yang dibalas kekehan.

“Halo anaknya bunda, makasih udah dateng ke perut bunda hari ini.” Ucap Bina sambil menjatuhkan air matanya.

Haikal tersenyum, lalu ia mengecup pelan perut rata Bina, ia kemudian beranjak dan kembali memeluk Bina.

“Makasih, ya?”

“Makasih banyak.”

“Maaf kalau selama ini aku masih sering bikin kamu sakit. Aku janji, mulai Sekarang aku bakal berusaha biar lebih baik lagi,”

“Makasih sayang, makasih ....” lirih Haikal memeluk Bina dengan samgat erat

Bina menghela napasnya kala membaca pesan dari Haikal.

Sial, kenapa dia harus datang?

Jantung Bina berdetak sangat kencang saat terdengar suara bel masuk dari depan pintu rumah.

Diam-diam Bina melihat dari layar cctv, dan benar saja.

Itu, Reno.

“Brengsek ....” lirihnya sambil menggigit jari-jari tangannya pelan.

Bina sangat gugup sekaligus takut.

Kenapa dia harus kembali?

Hampir sepuluh menit bel itu terus berbunyi, Bina menghela napasnya, lalu memberanikan diri membuka pintu itu.

“Hai Bin ....”

long time no see” ucap lelaki bernama Reno yang tengah berdiri di ambang pintu itu.

Buna meneguk salivanya, tangannya sedikit bergetar saat mendengar suara tegas Reno.

Perempuan itu menatap wajah yang sudah lama tidak ia lihat ini.

“Ngapain?” Ucapnya dingin, namun ia mati-matian menahan takutnya.

Reno menatap Bina dari atas sampai bawah. Sebelah alisnya terangkat kala ia memperhatikan setiap bagian dari diri Bina.

“Lo, beneran, Bina?” Tanyanya dengan nada aneh.

Bina menatap Reno.

Lelaki itu kemudian terkekeh, “lo beneran Bina?”

“Kenapa jadi gini? Hahaha,” Reno tiba-tiba saja tertawa.

“Ckck, setelah nikah lo jadi kayak gini, Bin? Alim banget sih? Haha,” ucapnya lagi diiringi tawa.

“Lo mau ngapain kesini?” Tanya Bina lagi.

“Wes, kalem. Gue cuma mau liat lo aja sih, sekalian gue bawa hadiah, nih,” ucap Reno sambil memberikan kantong berwarna kecoklatan yang sedikit besar lalu didepannya.

Bina memutar bola matanya malas, “gak butuh.” Ucapnya.

Reno terkekeh, “iyalah, istir CEO mana butuh ginian,” ucapnya.

“Lo kesini mau apasih?”

Lagi Reno hanya terkekeh.

“Udah dibilang gue kangen sama lo. Setelah hampir 2 tahun gak ketemu, lo tau-tau udah nikah, dan ninggalin gue? Haha”

Bina menghela napasnya, “gue gak pernah ninggalin lo. Justru lo yang ninggalin gue ...” ucapnya sedikit bergetar.

Reno mengaitkan kedua tangan di dadanya, lalu ia terkekeh.

“Lupain, gak penting.” Ucapnya.

Bina lagi-lagi hanya menghela napasnya.

Netra Reno tak henti-hentinya menatap Bina.

Perempuan ini, banyak sekali berubah.

“Apa yang dia lakuin sampe lo bisa berubah kayak gini, Bin?” Tanya Reno dengan nada suaranya yang terdengar dingin namun menusuk.

“Gue gak berubah.” Jawab Bina.

“Berapa banyak uang yang dia kasih sampe lo rela ngerubah diri lo? Apa yang udah dia kasih sama lo, Bina?” Tanya Reno lagi.

Lelaki itu tertawa pelan, “ini bukan lo,”

Bina menghela napasnya.

“Keluar, bukan urusan lo.” Ucap Bina.

Reno hanya tersenyum tipis.

“Ini bukan lo. Lo gak kayak gini.”

“Cara bicara lo, riasan lo, gaya pakaian lo. Semuanya berubah,”

Bina menatap Reno, kemudian ia tersenyum tipis, “ya karena Bina yang dulu udah gak ada, puas?”

“Lo bahagia? Kayaknya enggak sih, tatapan lo gak nunjukin rasa bahagia sama sekali.”

Bina terdiam.

Reno lagi-lagi terkekeh.

“Gue cuma mau liat lo doang, gak usah takut. Gue gak bakal mukul lo. Gue kesini juga mau minta maaf buat kejadian terakhir kali sebelum gue ninggalin lo.”

Reno menghela napasnya, “gue pikir lo bakal tetep jadi Bina yang gue tau, tapi ternyata udah berubah, ya? Haha,”

Tiba-tiba saja jemari Reno bergerak mengacak pelan pucuk kepala Bina, mempuat perempuan itu terpaku.

“Dah, gue balik dulu ....” ucapnya lalu berbalik.

Bina menghela napasnya sambil memeperhatikan tubuh Reno yang mulai menjauh.

Namun, sebelum Reno benar-benar keluar dari rumah itu, ia berteriak.

“JANGAN MAU BERUBAH BUAT ORANG LAIN BIN!” Teriaknya kemudian ia masuk ke dalam mobil dan pergi dari sana.

Bina lagi-lagi terdiam.

“Gue enggak ngerubah apapun ....”

Bina menghela napasnya kala membaca pesan dari Haikal, lalu dengan terpaksa ia melangkahkan kakinya untuk membuka pintu kamar itu.

Bina menatap Haikal malas saat melihat Haikal berdiri di depan pintu kamar itu.

“mana rokoknya?” Tanya Haikal.

“Gak ada rokok.” Jawab Bina.

“Rokok, Bin.” Pinta Haikal lagi.

“Gak ad—“

“MANA ROKOKNYA!” Bentak Haikal membuat Bina terkejut.

Lalu dengan ragu Bina memberikan sebungkus rokok dari sakunya kepada Haikal.

Lelaki itu menatap Bina dengan tatapan marahnya, lalu sedetik kemudian ia meremas rokok itu agar hancur.

Bina terdiam.

“Udah berapa kali aku bilang, Bin. Jangan ngerokok lagi.”

“Kenapa sih? Kenapa selalu rokok yang kamu cari disaat lagi ada masalah?” Tanya Haikal.

Bina menatap Haikal dengan tatapan tidak sukanya.

“Kamu tau enggak alesan aku ngerokok apa?” Tanya Bina dingin.

“Apapun alasannya aku gak su—“

“Gara-gara kamu.” Ucap Bina memotong kalimat Haikal.

Haikal terdiam.

Bina terkekeh.

“Ta, Ta, Ta, Ralita. Selalu aja,” ucap Bina yang kini menatap Haikal.

Demi apapun, Bina tidak ingin marah, namun emosinya begitu menguap.

“Ini Ralita? Wajah aku mirip Ralita, iya? Sampai-sampai kamu salah ngomong, hah?” Ucap Bina sambil menunjuk dirinya sendiri.

“Bukan gitu ....” ucap Haikal.

“ Bina lagi-lagi terkekeh.

“Sebenernya aku gak mau bahas ini, kak. Tapi aku enggak bisa nahan.”

“Kenapa sih?”

“INI BINA, HAIKAL! BUKAN RALITA.” Tiba-tiba saja nada bicara Bina meninggi sambil menunjuk dirinya sendiri.

“INI BINA, BUKAN RALITA!” Ucapnya lagi kemudian air mata keluar dari pelupuk matanya.

Haikal terdiam, lalu dalam diamnya itu ia merutuki kebodohannya sendiri.

“Bukan sekali dua kali kamu kayak gini, kak.”

“Dari dulu juga. Tapi aku diem.”

“Aku pikir setelah sekian lama kamu udah bisa lupa, tapi ternyata enggak.”

“Bahkan disaat status kita udah berubah pun, bisa-bisanya kamu kayak gitu.” Ucap Bina yang kini terisak.

Haikal menghela napasnya, kemudian lenganya bergerak untuk menggenggam tangan perempuan itu.

Bina menepis tangan Haikal.

“Udahlah, kalo gini caranya kita u—“ belum sempat Bina menyelesaikan kalimtanya, Haikal langsung menarik tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya.

“Enggak!” Ucapnya sambil memeluk Bina pelan.

Bina terisak.

“Maaf, maaf ...”

“Jangan ngomong itu, aku gak mau enggak.” Ucap Haikal mengeratkan pelukannya.

“Maaf,”

“Maafin aku ....” lirih Haikal

Bina menghela napasnya sambil memperhatikan sekantung barang yang sebelumnya ia beli.

Perempuan itu kemudian mendudukkan dirinya di depan supermarket itu.

“Ada-ada aja,” kekehnya pelan sambil membuka sekaleng soda yang tadi ia beli.

Bina merogoh saku jaketnya kala mendengar satu panggilan masuk yang ternyata itu dari Haikal.

Bina hanya menatapnya, lalu kemudian memasukanny kembali tanpa menjawab.

Bina lagi-lagi menghela napasnya, ia lalu membuka sebungkus rokok yang ia beli bersamaan dengan soda.

Setelah sekian lama Bina menjauhkan barang ini dari hidupnya, lalu sekarang dengan mudahnya ia kembali.

Tanpa pikir panjang, Bina mengambil sebatang rokok itu, kemudian menyalakannya dan menyesapnya dengan kuat.

Persetan dengan orang-orang yang kini tengah memperhatikannya.

Bina bahkan mengabaikan panggilan telepon masuk dari Haikal.

Perempuan itu kembali menyesap asap rokok agar masuj semakin banyak ke dalam tubuhnya.

Ah, Bina rindu aroma ini.

Perempuan itu terkekeh pelan kala pikirannya tiba-tiba saja teringat ucapan yang dilontarkan Haikal terakhir kali.

“Ta, ta, brengsek.” Gumamnya sambil kembali menyesap rokok itu.

Bina hanya tersenyum miris ketika mengingat perubahan drastis dari Haikal setelah mereka menikah.

Bukannya Bina tidak tahu perihal Haikal yang tidak bisa melupakan perempuannya dulu. Meskipun Bina tidak sepenuhnya tahu tentang apa yang terjadi sebenarnya.

Yang Bina tahu, Ralita ini adalah satu-satu perempuan yang pernah menduduki hati Haikal sepenuhnya.

Ah ralat, bukan pernah, tapi mungkin masih.

Tapi kenapa? Kenapa Haikal memilih dirinya jika kenyataannya ia belum bisa melupakan masa lalunya?

Bina melahap habis rokok itu, kemudian tak lama ia beranjak berniat pulang.

Buru-buru Bina memakan permen dan menyemprotkan parfume kecil yang selalu ia bawa kemanapun, agar sedikit menghilangkan bau asap rokok di tubuhnya

Tak butuh waktu lama, Bina kini sudah sampai di rumah. Perempuan itu melangkah masuk.

Namun baru saja Bina melangkahkan kakinya beberapa langkah, tiba-tiba saja Haikal datang mendekat ke arah ya lalu memeluk Bina.

“Maaf ...” lirihnya seolah ia tahu apa kesalahannya.

Bina hanya terdiam.

“Maafin aku ....” lirih Haikal lagi.

Bina menghela napasnya, kemudian ia melepas pelukan Haikal.

“Aku mau ke kamar.” Ucap Bina tanpa menatap Haikal.

Haikal terdiam kala Bina melepaskan pelukannya.

“Bin,” ucap Haikal namun Bina malah melangkah menjauh dari Haikal.

“Aku mau istirahat,” ucap Bina tanpa menoleh pada Haikal dan terus melangkah.

“Bina,” panggil Haikal saat Bina berada di tangga menuju kamar.

Bina tidak mengindahkan panggilan Haikal, ia terus melangkah sambil berusaha keras menahan tangisnya.

“Bina!” Teriak Haikal, namun tidak membuat Bina berhenti.

“Bina, kamu ngerokok lagi, hah?!” Teriak Haikal sebelum Bina menghilang dari pandangannya.

Haikal memukul pelan kepalanya.

“Bego lu, Kal,” gumamnya.

Haikal melangkahkan kakinya mendekat ke arah Bina yang tengah menyiapkan makannya. Lalu tanpa aba-aba, Haikal langsung memeluk Bina dari belakang, menenggelamkan wajahnya di pundak perempuan itu.

Bina menoleh kala merasakan pelukan Haikal.

Jemari perempuan itu bergerak mengusap lengan kekar Haikal.

“Kenapa?” Tanya Bina lembut.

“Capek ....” lirih Haikal.

Bina merasa aneh pada sikap Haikal, bukannya tadi Haikal baik-baik saja?

“Hei, kamu kenapa?”

Haikal tidak menjawab, ia hanya mengeratkan pelukannya pada perempuan itu.

“Ada kerjaan lagi?”

Lagi, Haikal tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepalanya pelan.

Bina terkekeh, “yaudah, sini peluk,” ucap Bina yang kini berbalik menghadap Haikal, kemudia ia memeluk tubuh lelaki itu hangat.

Jemari Bina bergerak mengusap-mengusap kepala Haikal seperti seorang ibu yang tengah menenangkan anaknya.

“Kalau capek istirahat aja, ya? Atau mau makan dulu?”

Haikal hanya menggeleng.

Bina menghela napasnya.

“Kamu kenapa, sih?”

Bina melepaskan pelukannya, lalu ia menatap wajah Haikal.

“Kenapa?” Tanya Bina menatap netra lelaki itu.

Haikal hanya menatap Bina, dan lagi, lelaki itu kembali memeluk Bina.

“Mau peluk aja, jangan ngomong apa-apa, ya? Sebentar ...” lirih Haikal yang membuat Bina pasrah lalu kembali mengeratkan peluknya.

“Beneran gapapa?” Tanya Bina lagi.

Haikal menggeleng, “enggak, cuma mau peluk aja,” ucapnya dalam pelukan itu.

Perempuan itu hanya bisa menghela napasnya pelan.

Haikal ini, kenapa sulit sekali terbuka?

Bina bahkan tidak tau, perihal apa yang Haikal rasakan, dan apa yang Haikal sembunyikan.

Terlalu banyak hal yang Haikal sembunyikan dari Bina.

“Makan dulu, ya?”

“Kamu gapapa, kan?” Tanya Bina lagi.

Haikal melepas pelukannya, kemudian ia menatap Bina.

Haikal tersenyum, “gapapa.” Ucapnya sambil menyerengeh.

Bina lagi-lagi menghela napasnya.

“Aneh tau ...”

Haikal terlekeh, “cuma mau peluk doang sih, capek sedikit,” ucap Haikal.

“Yaudah ayo makan,”

Haikal mengangguk, kemudian ia berjalan mendekati meja makan itu.

“Ini makanan kesukaan aku semua, Ta,” ucap Haikal.

Haikal baru saja sampai di rumah, lalu dengan buru-buru ia melangkahkan kakinya untuk masuk ke rumah.

Benar saja, pintu rumah tidak dikunci.

Haikal menghela napasnya.

Kenapa?

Kenapa setiap kali ia masuk ke rumah ini perasaannya selalu berubah? Kenapa tidak sehangat dulu?

Lagi, Haikal menghela napasnya.

Langkah Haikal membawanya ke arah dapur untuk menyimpan beberapa jenis makanan yang sebelumnya ia beli.

Setelahnya, Haikal buru-buru masuk ke dalam kamar.

Langkah Haikal terhenti kala ia melihat Bina tengah tertidur tenang, tanpa selimut.

Dengan langkah pelannya, ia mendekat ke arah Bina, kemudian ia menarik selimut agar menutupi tubuh kecil perempuan itu.

Haikal duduk disamping Bina, ia menatapnya lama, lalu jemarinya bergerak mengusap pelan wajah perempuannyang kini menjadi istirnya itu.

Lagi-lagi, Haikal menghela napasnya.

“Maaf ya ....” lirihnya pelan.

Haikal lalu pelan-pelan beranjak dari tepi kasur itu, namun belum sempat Haikal melangkah menjauh, lengannya di genggam oleh Bina yang tiba-tiba saja bangun.

Haikal menoleh, lalu sedetik kemudian ia tersenyum.

“Kapan pulang?” Tanya Bina dengan nada suara seraknya.

Haikal tersenyum, lalu ia kembali duduk di samping Bina, “barusan banget.” Ucap Haikal lembut.

Bina mengucek pelan kedua matanya, berusaha memperjelas fokusnya agar bisa melihat Haikal dengan jelas.

Bina terdiam, lalu jemarinya bergerak mengusap sayang wajah Haikal.

“Kantung matanya gede ....” ucap Bina tersenyum pelan.

“Sini tidur, capek pasti,” ucap Bina yang kini menggeser tubuhnya agar Haikal berbaring disampingnya.

Haikal tidak menjawab, ia hanya tersenyum tipis sambil menatap Bina.

“Sini tidur ...” ucap Bina lagi menepuk pinggiran kasurnya.

Haikal kemudian membaringkan badannya di samping perempuan itu.

Bina terkekeh, saat Haikal yang tiba-tiba saja memeluk tubuh perempuan itu dan menyembunyikan wajahnya di leher Bina.

“Kenapa?” Tanya Bina lembut.

“Capek, ya?”

“Gimana tadi meetingnya? Lancar?” Tanya Bina lagi, namun Haikal tidak menjawabnya.

Lelaki itu hanya mengeratkan pelukannya pada Bina, lalu ia hanya mengangguk pelan.

Bina lagi-lagi terkekeh, “yaudah bobo aja ...” ucap Bina yang kini memeluk Haikal hangat.

Haikal tengah terduduk di balkon kamarnya. Setelah seharian ia melaksanakan acara pernikahan, kini Haikal memilih duduk sambil menikmati udara malam.

Lelaki itu menyeruput teh yang sebelumnya Bina buatkan. Lalu di sampingnya ada beberapa surat ucapan selamat atas pernikahannya hari ini.

Hanya beberapa surat dari teman-temennya yang ia bawa saat ini.

Haikal terkekeh, membaca satu per satu isi surat itu.

“Sialan.” Umpatnya lalu terkekeh kala ia membaca surat dari Zidan.

Haikal membaca semuanya, hingga ada satu surat yang terlihat berbeda dari surat lainnya.

Fokus Haikal menelisik surat itu, ia kemudian tercekat kala membaca bagian depan surat itu.

Untuk Haikal, si keras kepala

Haikal tersenyum pelan.

“Itaaa ....” gumamnya, kemudian jemarinya bergerak membuka surat itu.

Halo Haikal

Haikal tersenyum.

Pertama-tama, selamat atas pernikahannya, ya? Aku ikut seneng :D

gimana? Udah bahagia, ya? Udah gak sedih lagi, ya?

hehe, haikal. Tolong dibaca baik-baik ya

Aku inget pas pertama kita ketemu di lorong perpustakaan sekolah, aku inget waktu itu kamu gak sengaja nabrak aku, terus kamu malah diem aja dan liatain aku, hahaha.

Aku juga masih inget saat dimana kamu tiba-tiba aja suka dateng ke kelas aku padahal sebelumnya kamu enggak pernah kayak gitu. Aku inget alasannya itu kamu mau ketemu Zidan, hahaha, dasar.

Haikal tersenyum pelan kala mengingat memori tentangnya dulu.

Haikal, dulu aku pikir, jatuh cinta sama seseorang itu cuma buang-buang waktu. Tapi, semenjak aku kenal kamu, aku jadi tau, kalau ternyata jatuh cinta gak seburuk itu

Lagi, Haikal tersenyum membaca setiap kalimat yang Ralitabtuliskam disana.

Kamu, laki-laki hebat yang akan selalu jadi hebat bagi aku. Haikal si keras kepala, Haikal si tukang berantem, Haikal si sok kuat, Haikal si cuek, dan Haikal si rapuh

Aku enggak pernah nyesel karena jatuhin dunia aku buat kamu, aku gak sama sekali gak nyesel, Haikal.

Aku seneng karena bisa jadi seseorang yang pernah jadi alasan kamu buat bertahan, aku seneng karena bisa jadi satu-satu perempuan setelah alm mama yang selalu kamu sayang.

Di antara banyaknya manusia, aku seneng karena bisa jatuh cinta sama kamu, Haikal

Haikal menyeka air mata yang perlahan keluar, rasanya terlalu menyesakkan.

Jangan pernah minta maaf buat apapun, ya? Dari awal aku milih buat jatuhin dunia aku buat kamu pun, aku udah siap sama konsekuensinya. Tentang bahagia dan juga luka.

Haikal, aku seneng karena pernah jadi penyembuh di saat kamu butuh obat, aku seneng karena selalu bisa ngasih pelukan buat kamu yang rapuh waktu itu. Dan aku, gak pernah terbebani akan hal itu.

Jangan lagi kamu minta maaf kayak kemarin, ya? Karena dari awal, rasa sakit itu bagian dari proses mencintai. Aku yang memilih buat jatuh, dan aku yang memilih buat bertahan.

Ah, aku ini jadi nginget masa lalu, haha.

Haikal terkekeh pelan.

Haikal, terima kasih, ya?

Terima kasih karena sudah lahir ke dunia. Terima kasih karena pernah milih buat jatuhin dunia kamu buat aku. Terima kasih karena sudah bertumbuh, walau banyak luka.

Untuk semua rasa sakitnya, aku minta maaf, ya?

Maaf karena waktu itu aku miliu buat pergi, maaf karena waktu itu aku malah milih sembunyi, maaf karena aku enggak pernah bener-bener nyoba buat mertahanin kamu dan maaf Haikal, karena dulu aku sempat jatuh cinta sama orang lain selain kamu. Maaf ya, karena aku enggak pernah benar-bener berusaha buat pulang ke kamu. Meskipun kenyatannya aku sadar, kalau ternyata cuma kamu yang selalu jadi alasan untuk aku bahagia.

Haikal tercekat kala membaca kalimat itu, dadanya sesak.

Sekarang, kita udah punya jalan masing-masing. Terima kasih ya Haikal karena sempat jadi semestaku.

oh iya, abis ini aku mau balik lagi ke Inggris hehe

Sekali lagi, terima kasih, ya? Terima kasih karena sudah mengajarkan aku gimana caranya mengikhlaskan.

Mulai sekarang, ayo saling bahagia, ayo saling lupain. Walau nyatanya emang sulit. Tapi ayo berdamai.

Aku dan bahagiaku dan kamu dan bahagimu. Aku harap, suatu saat nanti, kita dipertemukan dalam keadaan baik, ya?

Terakhir dari aku.

Selamat menempuh kehidupan baru Haikal dan selamat jalan kisah yang tak pernah sampai.

Bahagia selalu!

Haikal tersenyum pahit saat membaca kalimat terakhir dari surat itu. Lalu ia beranjak dari duduknya.

“Gue ikhlas, Ta”

“Makasih ...”

“Makasih karena selalu jadi perempuan paling baik. Tempat lo masih disini dan gak akan pernah hilang,” gumam Haikal sambil menatap langit lalu ia menghela napasnya sebelum akhirnya ia masuk ke dalam kamar.

Dan lagi, tidak pernah ada yang tahu bagaimana Tuhan mengatur skenario-Nya.

Manusia hanya bisa berencana tanpa tahu apa yang sebenarnya akan terjadi di masa depan.

Sama halnya dengan mencintai.

Haikal tidak pernah menyangka jika ia bisa menjatuhkan semestanya pada orang lain selain Ralita.

Sekeras apapun Haikal menolak, pada akhirnya ia juga memilih orang lain yang tanpa tahu sejak kapan ia mulai jatuh.

Terima kasih Haikal. Terima kasih Ralita.

Kalian berdua sama-sama manusia hebat.

Selamat, ya. Selamat karena sudah berhasil sampai di titik dimana satu-satunya level tertinggi mencintai adalah mengikhlaskan.

Tidak ada yang salah perihal jatuh cinta. Hanya saja, waktu dan takdir yang tidak sejalan dengan rencana.

Manusia yang berencana dan Tuhan yang menentukan. Sekeras apapun manusia berencana, jika Tuhan sudah merancanh skenario lain, manusia bisa apa selain merelakan?

Terima kasih karena pernah jadi dua insan yang sama-sama saling memberi hangat.

Terima kasih karena pernah jadi bagian dari kisah cinta paling indah untuk diri masing-masing.

Dan terima kasih karena sudah berhasil merelakan satu sama lain.

Kalian hebat dan akan selalu jadi hebat.

Selamat menjalani kebahagiaan baru.

Selamat merelakan.

Dan selamat jalan kisah yang tak akan pernah sampai.

Sampai jumpa dikesempatan paling baik menurut takdir semesta, ya?

fin