Ada waktunya buat bahagia.

Derap langkah kaki itu mengalihkan fokus Prameswati, kemudian lengkung manis di wajahnya terpatri kala ia melihat Haikal yang berjalan ke arahnya.

“Ibu ....” ucap Haikal yang kini ada di hadapan Prameswati.

Perempuan paruh baya itu tersenyum, kemudian ia merentangan kedua tangannya. Meminta Haikal untuk segera melepaskan segala bebannya.

Haikal tersenyum, kemudian ia membawa tubuhnya untuk masuk ke dalam pelukan hangat itu.

Dan demi apapun, rasanya melegakan.

“Maaf ya, Haikal jarang pulang,” ucap lelaki berusia dua pulang delapan tahun itu.

Prameswati hanya tersenyum.

Putra bungsunya ini sudah dewasa ternyata.

Perempuan itu kemudian melepaskan pelukannya, ia menatap wajah lesu milik putranya itu.

Hati Prameswati mencelos, kala ia menatap manik hitam kecoklatan milik putranya ini.

Terlihat banyak kekosangan serta ketakutan disana.

Seolah paham dengan keadaan si bungsu. Prameswati kemudian menuntun tubuh Haikal untuk duduk di kursi belakang rumah itu. Berharap Haikal merasa lebih baik karena udara sejuk disana.

Haikal terkekeh pelan kala memperhatikan wajah ibu yang terlihat sangat khawatir.

“Ibu, liatin Haikalnya jangan kayak gitu dong.” Ucapnya terkekeh.

Dan entah mengapa, ibu tiba-tiba saja menangis.

“Adek, kenapa jadi lebih kurus?” Lirih Prameswati dengan air matanya yang mengalir.

Haikal terdiam, kemudian ia menunduk memperhatikan badan serta lengannya.

Lelaki itu lalu tersenyum pelan, “Haikal gapapa ibu ....”

“Haikal cuma ....” ucapan Haikal terpotong saat ia merasa sesak yang tiba-tiba.

“Haikal cuma lagi capek aja,” ucapnya tersenyum, berusaha meyakinkan ibu bahwa ia baik-baik saja.

Namun namanya Prameswati, ia tahu jika Haikal tengah berbohong. Karena terlihat dari sorot matanya yang berusaha menghindar.

“Cerita.” Ucap Prameswati.

“Ayo ceritain ke ibu semuanya, keresahan adek, ketakutan adek, dan rasa sakit adek. Ayo bagi ke ibu ....” lirih Prameswati yang kini mengusap pelan wajah bungsunya itu.

Lagi dan lagi, untuk kesekian kalianya. Haikal tidak pernah bisa berbohong perihal ia yang tidak baik-baik saja.

“Ibu ....” lirih Haikal.

“Capek, adek capek .....” lirihnya lagi yang kemudian disusul oleh tetesan air mata dari ujung matanya.

“Kenapa buat bahagia aja rasanya sulit, bu?” Ucap Haikal.

Prameswati terdiam, membiarkan Haikal mengeluarkan segala sesaknya.

“Tempo lalu, Haikal ketemu Ita, ibu.”

Jujur, mendengar itu, ibu sedikit terhenyak kaget. Karena ibu tahu, selama ini hanya Ralita yang selalu jadi rumah bagi Haikal.

“Haikal ketemu, Ita. Dia cantik bu, dia selalu cantiK ....” lirih Haikal sambil tersenyum pahit.

“Adek ....” ucap Ibu yang kini menggenggam lengan bungsunya itu.

“Haikal udah lepasin semuanya, bu. Haikal udah lepasin Ralita, semuanya bu.” Ucap Haikal yang terdengar sangat menyakitkan bagi ibu.

“Haikal hebat, ya, Bu? Haikal hebat karena udah berhasil berdamai sama semua tentang Ita ....” ucap Haikal.

“Adek ....”

“Adek bahagia?” Tanya ibu tiba-tiba.

Haikal terdiam.

Bukannya anggukan yang ibu dapat, tetapi sebuah gelengan pelan dari Haikal.

“Enggak ibu, Haikal gak bahagia ....” lirihl lelaki itu.

Terlalu rapuh Haikal.

“Rasanya lega karena bisa lepas dari semuanya, tapi disisi lain Haikal juga ngerasa kosong ibu. Haikal gak bahagia ....” ucap Haikal.

“Tapi Haikal gak bisa egois, kan, Bu? Baik Haikal ataupun Ita, kita udah sama-sama punya jalan hidup masing-masing.”

“Haikal gamau, karena keegoisan Haikal sama Ita, kita jadi nyakitin banyak orang.” Ucap Haikal.

Haikal menghela napasnya.

“Tapi bu, sekarang. Gimana caranya Haikal bisa bahagia? Sedangkan yang saat ini Haikal berusaha genggam gak pernah sebaik itu.” Ucap Haikal.

“Kiara ....”

“Kiara gak kayak yang ayah pikirin, ibu.”

Prameswati menghela napasya, kemudian jemarinya bergerak mengusap Haikal.

“Maaf ya? Maaf karena ibu gak bisa lakuin apa-apa perihal kehadiran Kiara di hidup Haikal.”

Haikal menggeleng, “bukan salah ibu.”

Prameswati merasa ngilu, mengetahui bahwa putranya ini tidak bahahia atas apa yang sedang ia jalani.

Maka dari itu, dengan semua kasih sayang juga kehangatannya, ia membawa Haikal kembali kedalam dekapannya.

“Maafin ibu karena ibu gak bisa berbuat banyak hal untuk kebahagiaan kamu ....” ucap ibu pelan.

“Maafin ibu karena gak bisa jadi tameng buat ngehalau semua rasa sakitnya kamu ....”

Ibu mendekap Haikal dengan begitu hangat.

“Dengerin ibu, ya?”

“Untuk bahagia itu perlu waktu. Banyak hal yang harus kita lalui buat bisa mencapai titik paling bahagia.”

“Mungkin sekarang waktunya dimana kamu ngerasa jatuh sejatuh-jatuhnya. Tapi tolong, ya? Tolong jangan lupa. Kalau roda itu terus berputar. Akan ada waktu dimana kamu bisa merasakan apa itu arti dari bahagia.”

“Gak selamanya kita di bawah, dan gak selamanya kita di atas, roda kehidupan terus berputar.”

“Jadi, ibu minta tolong sama adek buat tetap kuat, ya? Kuatin lagi bahunya buat nopang segala beban dimasa depan nanti. Kuatin lagi kakinya buat bisa berdiri kokoh dengan segala beban yang adek tanggung.”

“Pelan-pelan, ya? Biarin waktu yang nyembuhin semuanya.”

“Dan lagi, ibu bangga sama kamu. Terima kasih, ya, sayang?”

“Terima kasih karena sudah tumbuh dengan tidak menjadi egois. Ibu bangga sama kamu ....” ucap ibu yang kini mengecup pelan pucuk kepala Haikal.

“Anak baik, anak hebat. Ibu sayan sekali sama kamu. Jadi tolong tetap kuat ya ganteng. Percaya, kalau semua bakalan baik-baik aja, ok?” Ucap ibu yang dibalas anggukan oleh Haikal.

“Ibu ....”

“Iya?”

“Mau meluk ibu lama, ya? Makasih banyak karena selalu bisa jadi penopang. Haikal sayang ibu.”

Perempuan paruh baya itu tersenyum kala mendengar ucapan putranya itu.

“Ibu juga sayang sekali sama kamu. Terima kasih sudah tumbuh jadi anak baik juga hebat ....”