Jjaejaepeach

Haikal menghela napasnya kala ia menatap layar ponsel di genggamannya.

Entahlah, rasanya aneh. Haikal merasa rindu sekaligus sesak.

Kenapa?

Kenapa ia harus hadir lagi? Disaat Haikal sudah mulai menghapus kehadirannya.

Sial, rasanya sangat menyesakkan.

Buru-buru Haikal menstabilkan napasnya kala melihat Kiara yang mendekat ke arah mobilnya.

“Maaf lama,” ucao Kiara pada Haikal yang dibalas senyum.

“Gapapa,” ucap Haikal.

Kiara menatap wajah Haikal yang terlihat sedikit sendu dari sebelumnya.

“Kenapa?”

Haikal menatap Kiara kemudian menggeleng pelan.

“Gapapa.” Ucap Haikal tersenyum.

Bukannya percaya, Kiara malah menatap netra Haikal lama.

are you ok?” ucap Kiara lembut.

Entah mengapa tapi ucapan Kiara barusan membuat pertahanan Haikal runtuh, lalu tanpa sadar Haikal menggeleng dan berucap.

no, i’m not,” ucap Haikal lirih.

Lalu tanpa aba-aba, Kiara membawa Haikal kedalam pelukannya, lalu mendekapnya dengan hangat.

it’s okay kamu gak sendiri, gapapa, Kal. Kalau emang gak baik-baik aja gapapa,” ucap Kiara semakin mengeratkan pelukannya.

“Capek, Ki ....” lirih Haikal.

“Pengen bahagia aja rasanya sulit.”

Tanpa berbicara apapun, Kiara hanya mendekap Haikal dengan hangat. Seolah ia sedang berusaha meredakan badainya.

“Capek banget, Ki ....” lirih Haikal lagi.

Rasanya terlalu menyakitkan bagi Haikal.

“Gapapa, gapapa, semuanya bakal baik-baik aja ....” ucap Kiara lembut.

Haikal menghela napasnya kala ia menatap layar ponsel di genggamannya.

Entahlah, rasanya aneh. Haikal merasa rindu sekaligus sesak.

Kenapa?

Kenapa ia harus hadir lagi? Disaat Haikal sudah mulai menghapus kehadirannya.

Sial, rasanya sangat menyesakkan.

Buru-buru Haikal menstabilkan napasnya kala melihat Kiara yang mendekat ke arah mobilnya.

“Maaf lama,” ucao Kiara pada Haikal yang dibalas senyum.

“Gapapa,” ucap Haikal.

Kiara menatap wajah Haikal yang terlihat sedikit sendu dari sebelumnya.

“Kenapa?”

Haikal menatap Kiara kemudian menggeleng pelan.

“Gapapa.” Ucap Haikal tersenyum.

Bukannya percaya, Kiara malah menatap netra Haikal lama.

are you ok?” ucap Kiara lembut.

Entah mengapa tapi ucapan Kiara barusan membuat pertahanan Haikal runtuh, lalu tanpa sadar Haikal menggeleng dan berucap.

no, i’m not,” ucap Haikal lirih.

Lalu tanpa aba-aba, Kiara membawa Haikal kedalam pelukannya, lalu mendekapnya dengan hangat.

it’s okay kamu gak sendiri, gapapa, Kal. Kalau emang gak baik-baik aja gapapa,” ucap Kiara semakin mengeratkan pelukannya.

“Capek, Ki ....” lirih Haikal.

“Pengen bahagia aja rasanya sulit.”

Tanpa berbicara apapun, Kiara hanya mendekap Haikal dengan hangat. Seolah ia sedang berusaha meredakan badainya.

“Capek banget, Ki ....” lirih Haikal lagi.

Rasanya terlalu menyakitkan bagi Haikal.

“Gapapa, gapapa, semuanya bakal baik-baik aja ....” ucap Kiara lembut.

Haikal menghela napasnya, kemudian netranya beralih menatap dua orang yang tengah duduk di hadapannya saat ini.

Dalam hati Haikal berdecih, kala ia melihat siapa yang datang saat ini.

“Sudah lama tidak bertemu, Haikal?” Ucap seorang lelaki paruh baya itu. Sedangkan lelaki yang lebih muda hanya menatap Haikal sekilas.

Bibir Haikal menyinggung pelan, “Apa kabar, om?” ucap Haikal menekan setiap katanya.

Lelaki paruh baya itu terkekeh pelan, “hebat kamu, sudah bisa menjadi orang terpandang? Saya pikir kami tidak akan berhasil,” ucapnya lagi seolah meremehkan perkataan Haikal.

Yara yang berada di samping Haikal diam-diam menepuk punggung lelaki itu, berusaha menenangkannya.

Haikal terkekeh pelan, “Haikal yang sekarang bukan Haikal yang dulu, om.” Ucapnya.

Lelaki paruh baya ini. Seseorang yang dulu meremehkan Haikal, seseorang yang secara tidak langsung membuat dirinya hancur.

“Gimana kabar Ralita, om? Sudah bahagia?” Tanya Haikal tiba-tiba membuat Arkanata, lelaki yang berada dihadapannya itu tersedak.

Ayah Ralita tersenyum, “tentu saja, Ralita mempunya sosok laki-laki hebat seperti Arkanata.” Ucapnya sambil menepuk pelan pundak Arkanata disampingnya.

Jujur saja, Haikal sangat ingin memukul lelaki ini. Tetapi dengan susah payah ia tahan.

Ternyata dimatanya, Haikal masih terlihat rendahan, sama seperti dulu.

Haikal menatap Arkanata, kemudian ia terkekeh pelan, “baguslah, setidaknya Ralita tidak jatuh pada seseorang rendahan seperti saya.” Ucap Haikal kemudian meneguk segelas kopi di depannya.

“Jadi, ada apa kalian berdua datang kesini? Kerja sama apa yang mau kalian lakukan?”

Arkanata berdegem, “Perihal proyek pembangunan rumah sakit.” Ucapnya pada Haikal.

“Kami ingin bekerja sama untuk keberhasilan proyek itu ....”

Haikal menghela napasnya, kemudian netranya beralih menatap dua orang yang tengah duduk di hadapannya saat ini.

Dalam hati Haikal berdecih, kala ia melihat siapa yang datang saat ini.

“Sudah lama tidak bertemu, Haikal?” Ucap seorang lelaki paruh baya itu. Sedangkan lelaki yang lebih muda hanya menatap Haikal sekilas.

Bibir Haikal menyinggung pelan, “Apa kabar, om?” ucap Haikal menekan setiap katanya.

Lelaki paruh baya itu terkekeh pelan, “hebat kamu, sudah bisa menjadi orang terpandang? Saya pikir kami tidak akan berhasil,” ucapnya lagi seolah meremehkan perkataan Haikal.

Yara yang berada di samping Haikal diam-diam menepuk punggung lelaki itu, berusaha menenangkannya.

Haikal terkekeh pelan, “Haikal yang sekarang bukan Haikal yang dulu, om.” Ucapnya.

Lelaki paruh baya ini. Seseorang yang dulu meremehkan Haikal, seseorang yang secara tidak langsung membuat dirinya hancur.

“Gimana kabar Ralita, om? Sudah bahagia?” Tanya Haikal tiba-tiba membuat Arkanata, lelaki yang berada dihadapannya itu tersedak.

Ayah Ralita tersenyum, “tentu saja, Ralita mempunya sosok laki-laki hebat seperti Arkanata.” Ucapnya sambil menepuk pelan pundak Arkanata disampingnya.

Jujur saja, Haikal sangat ingin memukul lelaki ini. Tetapi dengan susah payah ia tahan.

Ternyata dimatanya, Haikal masih terlihat rendahan, sama seperti dulu.

Haikal menatap Arkanata, kemudian ia terkekeh pelan, “baguslah, setidaknya Ralita tidak jatuh pada seseorang rendahan seperti saya.” Ucap Haikal kemudian meneguk segelas kopi di depannya.

“Jadi, ada apa kalian berdua datang kesini? Kerja sama apa yang mau kalian lakukan?”

Arkanata berdegem, “Perihal proyek pembangunan rumah sakit.” Ucapnya pada Haikal.

“Kami ingin bekerja sama untuk keberhasilan proyek itu ....”

Netra perempuan itu bergerak menelisik setiap sudut tempat itu. Entah sudah berapa kali ia menghembuskan napasnya dengan kasar.

Bau alkohol bahkan sangat menyengat masuk ke indra penciumannya.

Perempuan itu berjalan pelan, sampai akhirnya ia menemukan Haikal yang tengah terduduk sendirian sambil menatap layar ponsel miliknya.

Perempuan itu mendekat ke arah Haikal. “Haik—“

“Itaaaa ....” ucap Haikal tersenyum dengan tatapan yang sayu.

“Itaaaa ....” ucapnya lagi.

Lantas perempuan itu duduk di samping Haikal, “Ini Kiara, Haikal,” ucapnya lembut.

Haikal mengangkat sebelah alisnya, kemudian jemarinya bergerak mengusap helaian rambut milik perempua itu.

“Ita, cantik banget, hehe” ucap Haikal.

Kiara menatap mata sayu milik Haikal, kemudian ia menghela napasnya.

Disana, terlihat banyak kerinduan. Sorot matanya sangat sendu, bahkan mampu membuat Kiara merasa ngilu.

“Ini Kia, bukan It—“

Belum sempat Kiara menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba saja Haikal menariknya untuk masuk kedalam pelukannya.

“Ita .... “

“Kangen ....” ucap Haikal yang kini tengah menenggelamkan wajahnya dalam leher perempuan yang ia anggap sebagai Ralita itu.

Haikal ini, terlalu merindukan perempuannya.

Kiara terdiam, lalu dengan pelan, ia mulai menepuk pundak Haikal.

“Ita ....”

“Jangan kemana-mana lagi ....” lirih Haikal.

Hari ini, ya?

Lelaki itu menghela napasnya, sambil sesekali ia melihat ke arah cermin, kemudia ia tersenyum.

“Lo hebat, Kal.” Gumamnya pada diri sendiri.

Lelaki itu kemudian melangkahkan kakinya untuk mengendarai mobil menuju tempat tujuan.

Bilang saja Haikal gila karena ia rela datang ke acara pernikahan perempuan kesayangannya. Padahal jelas-jelas semua itu hanya akan menambah luka.

Waktu menunjukan pukul sepulah pagi, lalu tanpa berlama-lama sesaat setelah ia sampai, Haikal langsung melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam gedung itu.

Banyak orang, termasuk beberapa teman SMA-nya.

Netra Haikal menelisik setiap sudut tempat itu.

Haikal tersenyum pelan kala melihat warna dekorasinya.

Ini warna kesukaan Ralita.

Ada perasaan sesak kala ia melihat Ralita tengah berdiri disana bersama dengan seseorang lain. Disana terlihat jelas kalau Ralita tengah tersenyum bahagia.

Haikal tersenyum.

Cantik

Batin Haikal.

Ralita ini selalu terlihat cantik di mata Haikal.

Tidak, Haikal tidak akan pergi kehadapan Ralita. Cukup ia berdiri dari kejauhan juga sudah cukup.

Bukan tidak menghargai.

Hanya saja, terlalu sesak.

Terlalu sesak bagi Haikal untuk sekedar berjabat tangan dengan perempuan yang sekarang sudah tidak bisa lagi ia genggam jemarinya.

Haikal hana berdiri di dekat pintu keluar belakang. Netranya hanya tertuju pada Ralita di hadapan sana.

“Selamat menemouh kehidupan bari, Ralita ...” gumam Haikal sebelum ia melangkahkan kakinya keluar.

Sungguh, meskipun ia sudah ikhlas, namun masih ada sakit luar biasa yang ia rasakan.

Haikal menghela napasnya. Kemudian ia melangkahkan kakinya kembali untuk pergi dari sama.

Tapi, belum sempat ia menjauh, terdengar suara yang memanggil namanya.

“Haikal,” Ucapnya membuat Haikal menoleh.

Itu, Ralita.

Iya, Ralita yang memanggilnya. Perempuan itu berlari mengejar Haikal.

Haikal menatap Ralita sejenak kemudian ia tersenyum.

Di hadapannya Ralita tengah berdiri dengan gaun putihnya. Ia tengah menahan isak tangis yang sudah mengotori wajah cantiknya.

Perlahan Ralita berjalan mendekat pada Haikal, kemudian tanpa basa-basi, ia memeluk tubuh Haikal dengan sangat erat. Sambil merapalkan kata maaf berulang kali.

Haikal terdiam, lalu tanpa sadar, dirinya juga mengeratkan pelukan itu seolah tidak ingin kehilangan.

“Maaf ....” ucap Ralita lagi membuat Haikal melepaskan pelukan itu lalu menatap Ralita dengan tatapan teduh ya.

Tidak, bukan tangis yang kali ini Haikal tampilkan.

Tapi senyum.

Iya, Haikal tersenyum pada Ralita.

“Cantik banget,” kekehnya.

Haikal tidak bisa berhenti menatap perempuan dihadapannya ini.

Terlalu sempurna di mata Haikal. Meskipun kenyataannya ia juga yang menoreh luka.

Haikal terkekeh pelan, ia kemudian merapikan beberapa helai rambut mirip Ralita yang terlihat acak.

“Maaf ya? Maaf gak berani nyamperin tadi,” ucap Haikal.

Ralita menggeleng pelan menahan tangisnya.

“Jangan nangis, jelek.” Haikal kembali tersenyum.

“Aku gapapa, Ta ....” lirihnya.

“Jangan khawatir, ya? Aku beneran udah baik-baik aja.”

“Haikal ....”

“Banyak hal yang gak bisa aku bilang sama kamu, maaf. Tentang semuanya, maaf karena aku terus sembunyi selama ini. Maaf karena kepulangan aku cuma buat ngasih luka.”

“Haikal maaf ....” Ralita terisak.

Lalu dengan hati-hati, Haikal menghapus air mata itu.

“Ta ....”

“Aku beneran udah gapapa,” ucap Haikal.

“Aduh, jadi aku kamu, haha. Kebawa suasana,” Haikal terkekeh.

Netranya menatap Ralita lama. Kemudian ia menarik napas panjang.

“Ta ....” lirih Haikal.

“Makasih banyak, ya?”

“Untuk semua senyumannya, kebahagiaannya, kasih sayangnya, pelukannya. Makasih banyak.” Haikal tersenyum.

“Aku seneng, Ta....”

“Aku seneng bisa jadi bagian dari hidup kamu, aku seneng karena pernah jadi alasan kamu buat bahagia.”

“Makasih, ya? Untuk segalanya, makasih karena kamu pernah milih buat jatuhin semesta kamu sama aku. Walau pun cuma sementara, seenggaknya aku pernah tau gimana rasanya dicintai sama kamu.” Haikal lagi-lagi tersenyum.

“Kamu udah ngajarin banyak hal, Ta. Tentang bagaimana caranya dicintai, mencintai, memaafkan, juga merelakan.” Ucap Haikal.

Lelaki itu benar-benar tidak melepaskan pandangannya dari Ralita.

“Abis ini, janji sama aku, ya?”

“Janji kalo kamu bakalan terus bahagia, ok?”

“Terus, tetap jadi Ralita yang selalu jadi kesayangan semua orang, ya, Ta?”

“Karena dengan itu aku bisa ikhlas. Dengan ngeliat kamu bahagia aku bisa ikhlas buat lepasin kamu.”

Ralita hanya terdiam sambil terisak mendengar ucapan Haikal.

“Ta, buat terakhir kalinya, izinin aku buat bilang ini, ya?”

Ralita menatap Haikal.

“Aku sayang kamu, sayang banget, Ta ....” ucap Haikal dengan nada suara yang berusaha kuat agar tidak menangis.

”Makasih ya, Ta? Karena kamu aku jadi tau gimana caranya buat berbagi rasa.”

“Walaupun sekarang aku gak bisa bagi semua rasa kebahagiaan juga kesedihan, sama kamu. Tapi gapapa, makasih, ya?” Ucap Haikal.

Kedua sama-sama menatap dan menahan sesak.

Haikal kembali menghela napasnya.

“Ta ....”

Can i hug you?” tanya Haikal.

”for the last time,” ucapnya tersenyum.

Ralita menatap Haikal, kemudian ia mengangguk pelan.

Haikal tersenyum, lalu ia mendekap erat tubuh perempuan ini. Perempuan yang akan selalu jadi kesayangannya sampai kapan pun.

Sangat erat ia mendekapnya.

“Ta ....”

“Selamat menempuh kehidupan baru ....” bisik Haikal.

“Maaf ...” gumam Ralita

Dalam pelukan itu Haikal tersenyum.

“Bahagia selalu ya Ita, aku sayang kamu.” Ucap Haikal sebelum akhirnya ia melepaskan pelukannya.

Ralita terisak.

“Aku pamit, ya?” Ucap Haikal lagi.

“Maaf ....” Ralita menunduk sambil terisak.

it’s okay, i’m fine,” lelaki itu tersenyum.

“Gih masuk ....” ucap Haikal.

Ralita mengangguk pelan, kemudian perlahan ia menjauh dari pandangan Haikal.

Haikal menghela napasnya.

Jadi ini waktunya, ya? Waktu paling baik menurut takdir semesta.

Ternyata semuanya tentang kehilangan dan merelakan.

Dan untuk kesekian kalianya Haikal harus berhadapan dengan kehilangan.

Ibu benar, tidak seharusnya Haikal menaruh harapan lebih pada manusia.

Haikal benar-benar belajar banyak dari Ralita, salah satunya merelakan.

Ia harus rela melepaskan genggamannya yang selama ini selalu berusaha ia genggam agar tidak terlepas.

Ia harus rela melepaskan semua rasa yang selama ini sudah susah payah ia pertahankan.

Dan juga ia harus rela kehilangan satu-satunya orang yang bahkan tidak pernah ia harapkan kepergiannya.

Memang benar kata orang, setiap pertemuan pasti akan selalu ada perpisahan. Dan kali ini, Haikal yang tengah merasakan perpisahannya.

Tidak ada manusia yang baik-baik saja perihal kehilangan, termasuk Haikal.

Setelah ini yang harus Haikal lakukan adalah ikhlas. Iya, ikhlas melepaskan miliknya pada genggaman orang lain.

Haikal kembali menghela napasnya.

“Selamat jalan kisah yang tak akan pernah usai, selamat berbahagia. Terima kasih banyak.” gumam Haikal sebelum akhirnya ia pergi dari sana.

Dan juga.

Selamat merayakan kehilangan lagi, Haikal.

Terima kasih karena sudah berhasil sampai pada titik ini. Titik paling tinggi dalam mencintai.

Terima kasih karena sudah berhasil sampai di titik ini. Titik dimana, seseorang mengerti bahwa tak semua yang ia cintai harus menjadi miliknya.

Sekali lagi, terima kasih karena sudah bertumbuh dan menjadi kuat.

Selamat berdamai dengan keadaan Haikal.

- fin

Perihal kepulangan, yang ia mau bukan seperti ini.Bukan ini yang Haikal mau, bukan seperti ini.

Terlalu tiba-tiba sampai membuat Haikal lemas dan tidak sanggup untuk mengendarai mobilnya menuju rumah.

Lelaki itu menangis dengan jemari yang menggenggam kemudi kuat-kuat.

Rasanya terlalu sesak, sampai membuat dirinya kesulitan bernapas.

Tujuh tahun, ia menanti kepulangan ini. Selama tujuh tahun. Tapi sekarang apa yang ia dapatkan?patah lagi? Kehilangan lagi?

Haikal tidak mengerti, apa yang salah dengan dirinya. Apakah ia membuat kesalahan sampai-sampai penantiannya selama ini harus sia-sia?

Lelaki itu menggeleng, berusaha menahan dirinya untuk tidak menangis.

Berdarah-darah ia untuk sampai pada titik ini. Titik dimana ia bisa menunjukan pada semua orang bahwa sekarang ia berhasil.

Terlalu banyak hal yang sudah Haikal lalui, semuanya Haikal lakukan sendiri, ia bangun kembali semuanya dari nol.

Berdarah-darah ia merangkak untuk bisa sampai di titik ini. Titik dimana ia yakin kalau setelah perjuangannya ini ia mampu memeluk kembali perempuannya.

Terlalu berdarah-darah ia berjuang sampai-sampai yang ia lupa perihal kehilangan.

Kehilangan ini memang selalu menyakitkan bagi semua orang, termasuk Haikal.

Maka dari itu yang Haikal lakukan saat ini untuk meredakan lukanyabadalah pulang dah bertemu dengan ibu.

Langkah itu menuntunnya untuk pergi ke dalam dekapan ibu yang selalu bisa menyembuhkan.

“Ibu ....” lirih Haikal, kemudian dipeluknya tubuh rapuh itu oleh Ibu.

“Adek .... ada apa?” Ucap perempuan paruh baya itu lembut.

Haikal tak menjawab, yang ia lakukan saat ini hanya memeluk erat tubuh Ibu.

Perempuan paruh baya itu menghela napasnya.

Bungsunya ini sedang tidak baik-baik saja.

“Ibu sakit ....”

“Kenapa Haikal harus kehilangan lagi?”

“Tujuh tahun bu, tujuh tahun Haikal disini, tapi yang Haikal dapetin cuma kepergian lagi ....” lirih Haikal.

ah ibu mengerti sekarang kemana arah pembicaraan ini.

Lantas, dengan jemarinya yang mulai mengerut, ibu mengusap kepala Haikal dengan lembut.

“Sakit, ya?” Ucap ibu yang dibalas anggukan oleh Haikal.

Ibu menghela napasnya, kemudia menatap wajah kusut si bungsu ini. Lalu ia mengusapnya.

“Dengerin ibu ....”

“Hidup itu selalu beriringan sama dua hal.”

“Beriringan antara kebahagiaan juga luka,” ucap ibu pada kesayangannya ini.

“Dua hal ini, kebahagiaan dan luka, gak akan pernah bisa dihindari.”

“Dua hal itu mutlak. Kalau bukan kebahagiaan apalagi yang manusia dapatkan selain luka?”

Perempuan itu kembali mengusap wajah ini, dengan hati-hati. Putranya sangat kacau.

“Berharap berlebihan sama manusia itu enggak baik. Semua yang berlebihan itu gak baik.”

“Boleh berharap, boleh menaruh harap pada seseorang, tapi jangan berlebihan.”

“Kamu tau kenapa sekarang kamu bisa ngerasa sakit dan terluka?” Tanya Ibu membuat Haikal menatap netranya.

“Karena selama ini kamu terlalu berlebihan menaruh harapan juga kepercayaan pada manusia, sampai kamu lupa kalau sebenarnya kamu juga bisa kehilangan,”

Haikal terdiam mendengar ucapan ibu.

“Harapan-harapan yang selalu kamu inginkan. Itu yang bikin kamu sakit karena gak sesuai dengan yang kamu harapkan.”

Ibu menghela napasnya.

“Lepaskan, relakan, ya?”

“Kebahagiaan kamu sudah bukan lagi ada di manusia yang sama,” ucap Ibu.

“Jangan lukain diri sendiri, ya? Jangan salahin diri sendiri juga. Karena itu semua gak akan ngubah apapun.

“Cukup maafkan, biar waktu yang nyembuhin lukanya, ya?”

Perempuan paruh baya itu kemudian kembali memeluk tubuh Haikal.

“Putra ibu kuat, putra ibu hebat,” ucapnya lembut.

Dalam pelukan itu, Haikal melepaskan segala sesak serta rasa sakitnya.

Memang benar, berharap terlalu banyak kepada manusia itu memang tidak baik.

Kita tidak akan pernah tahu bagaimana isi hati dan pikiran seseorang. Bisa saja hari ini ia berkata cinta, tapi bisa saja esoknya ia meninggalkan.

Kebahagiaan serta luka, itu dua hal mutlak yang selalu terjadi pada hidup manusia.

Jangan banyak menaruh harap pada manusia, juga jangan terlalu banyak memberi harap pada manusia.

Maka dari itu, yang harus Haikal lakukan sekarang adalah memaafkan juga mengikhlaskan apa yang tidak menjadi miliknya.

Meskipun ia harus kembali patah dan terluka. Tapi ia tidak boleh egois. Karena kenyataannya, tidak semua hal yang diharap untuk menjadi miliknya tidak akan selalu menjadi miliknya, sekeras apapun ia berusaha. Jika semesta berkata lain, semua itu tidak akan bisa terjadi.

Dan untuk semua luka dan rasa sakit, biar waktu yang menyembuhkan.

“Minggu depan ....”

“Datang ke pernikahan aku, ya?”

Demi Tuhan, jantung Haikal benar-benar terasa seperti berhenti saat ini.

Haikal menggeleng pelan, berusaha menolak apa yang dikatan Ralita.

“Enggak, kamu becanda.” Ucap Haikal.

Ralita hanya menunduk sambil merapalkan kata maaf.

“Gak gini, bukan kayak gini Ralita ....” Haikal menggeleng berusaha menolak.

“Maaf ....” cicit Ralita

“Kenapa?” Tanya Haikal.

Ralita terdiam.

“Kenapa, Ta?” Tanya Haikal lagi.

“KENAPA TA!” Teriak Haikal yang kini tengah menjatuhkan tubuhnya dihadapan Ralita.

“Tujuh tahun ...”

“Tujuh tahun, Ta ...”

“TUJUH TAHUN GUE NUNGGU KEPULANGAN LO!” Teriak Haikal sambil mengepalkan jemarinya menahan sakit luar biasa.

“Maaf ...” lirih Ralita.

Haikal terkekeh, “Disini yang gila siapa? Gue atau lo?”

Haikal tertawa bersamaan dengan air matanya yang jatuh.

“Tujuh tahun, Ta.”

“TUJUH TAHUN GUE DISINI NUNGGUIN LO PULANG!” TUJUH TAHUN GUE RELA JATUH BANGUN DEMI LO, DEMI BISA BUKTIIN KALO GUE INI PANTES BUAT LO!” Lagi, Haikal berteriak berusaha mengeluarkan emosinya.

Ralita menjatuhkan dirinya kemudian terisak.

“Lo jahat, Ta ....” ucap Haikal.

“Lo egois,” ucap Haikal.

“Lo tau? Apa aja kesulitan gue selama ini? Lo tau gimana berharapnya gue setiap hari tentang kepulangan lo? Gue sakit, gue selalu berharap lo disini sama gue, Ta.”

“Gue rela ngabisin banyak waktu cuma untuk kepulangan lo,”

“GUE MASIH DISINI DENGAN PERASAAN GUE YANG GAK PERNAH BISA GUE LEPASIN!” Teriak Haikal sambil memukul dadanya.

“Tujuh tahun gue nunggu lo, TUJUH TAHUN!” Lagi, Haikal terisak.

Ralita hanya menangis dihadapan Haikal.

“Tujuh tahun enggak sebentar, Ta. Gue bahkan banyak lewatin rasa sakit gue sendirian, bahkan disaat gue pengen ngerasain pelukan lo, gue cuma bisa berandai.”

“Sakita Ralita.”

“Gue pikir kepulangan lo ini untuk ngasih kebahagiaan buat kita, tapi nyaranya kepulangan lo cuma buat ngasih luka.”

“Selama ini gue nunggu lo pulang, dan sekarang apa yang gue dapet?”

“Lo tau? Kenapa gue tetap nunggu lo walau pun gue udah jatuh berdarah-darah buat bisa bangkit? Lo tau, gak?”

“Karena gue percaya kalo lo gak akan pernah ngingkarin janji lo.”

“Haikal .... maaf”

“Percuma Ta”

“Udah selesai, bahkan mungkin dari dulu?”

Haikal tertawa miris.

Sakit sekali.

“Gue bodoh, ya, Ta? Gue bodoh banget.”

“Gue pikir, gak akan pernah ada yang namanya sia-sia. Gue pikir gak akan ada lagi kehilangan setelah kepulangan lo. Tapi nyatanya gue yang terlalu banyak naroh harapan sama lo,”

Haikal menghela napasnya, kemudian ia beranjak dan menatap Ralita yang tengah menangis.

“Maaf ...” lirih Haikal.

“Gue yang salah.”

“Gue yang terlalu berharap banyak hal. Padahal nyatanya kita udah berakhir bahkan dari sejak kepergian lo.”

“Maaf karena gue selalu minta buat lo pulang lagi, maaf karena gue banyak berharap, Ta.”

“Selamat ya?”

“Selamat atas pernikahannya ....”

“Gue pamit.” Ucap Haikal yang melangkah menjauh dari sana.

Semesta ini suka sekali bercanda, ya? Diajak terbang tinggi kemudia dijatuhkan begitu saja tanpa alas.

Semesta ini terlalu suka becanda, sampai-sampai ia tidak sadar jika banyak manusia yang terluka karena skenarionya.

Dan untuk kesekian kalinya. Haikal kembali patah

Lagi dan lagi.

Tanpa basa-basi lagi, Haikal segera berangkat menuju tempat yang dimaksud.

Tidak perlu waktu lama, Haikal sudah sampai disana. Lalu ia berlari mencari keberadaan perempuannya.

Tempat ini, tempat kesukaan yang selalu mereka datangi. Haikal merindukannya.

Netra lelaki itu menelisik setiap sisi tempat itu, berharap menemukan sosok yang selama ini ia tunggu kepulangannya.

Netra Haikal bergerak kesana kemari, hinggak akhirnya netra kecoklatan itu bertemu dengan sosok itu.

Iya, Ralita. Perempuan itu berdiri tepat di hadapannya.

Tanpa menunggu lagi, Haikal langsung berlari kemudian tanpa basa-basi ia mendekap tubuh itu. Tubuh yang selalu ia rindukan kehangatannya.

Haikal memeluk Ralita dengan sangat erat tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Tujug tahun, tujuh tahun ia menantikan waktu ini. Waktu dimana ia bisa kembali memeluk perempuannya.

“Ta ....” ucapnya dengan nada suara bergetar.

Haikal menyembunyikan wajahnya di pundak Ralita. Kemudian ia mengeluarkan semua kerinduannya terhadap perempuan ini.

“Ta .... kamu pulang,” ucap Haikal yang semakin mengeratkan pelukannya.

Dalam pelukan itu Ralita terisak, kemudian ia juga mendekap erat tubuh Haikal.

“Iya, aku pulang, Haikal ....” ucap Ralita.

“Maaf, maaf karena baru datang ....” lirih Ralita.

Haikal kemudian melepaskan pelukannya.

Ditatapnya wajah Ralita, bahkan sorot mata Haikal ini benar-benar menunjukan jika dirinya sangat merindukan perempuannya.

Jemari Haikal bergerak mengusap setiap bagian dari wajah Ralita, ia mengusapnya dengan sayang.

Wajah ini, wajah yang ia rindukan.

Demi apapun, saat ini Haikal tengah menangis di hadapan Ralita.

Ia benar-benar sangat bahagia atas kepulangan perempuan itu.

Ralita menatap Haikal, kemudian jemarinya juga bergerak mengusap wajah dan air mata Haikal.

“Apa kabar?” Ucap Ralita lirih.

Haikal memejamkan matanya sambil merasakan usapan lembut dari jemari Ralita.

Haikal tidak menjawab pertanyaan Ralita, ia hanya terdiam sambil berusaha menahan tangisnya.

Haikal terlalu merindukan Ralita.

“Haikal ....”

“Maaf ....” lirih Ralita.

Haikal menggeleng pelan, ia kemudian mengusap lembut pucuk kepala Ralita.

“Cantik, selalu cantik,” ucap Haikal menatap Ralita tulus.

Bahkan setelah tujuh tahun berlalu, bagi Haikal, Ralita tetap sama. Selalu cantik dan selalu berhasil membuatnya jatuh cinta.Haikal sangat merindukannya.

Perempuan dihadapan Haikal ini menatap netra Haikal.

Sesak, itu yang ia rasakan.

Banyak sekali hal yang ia lewatlan selama tujuh tahun terakhir ini.”

“Haikal, baik-baik aja, ya? Anak hebat” ucap Ralita tersenyum.

“Aku baik, Ta. Liat, aku baik-baik aja,” ucap Haikal tersenyum.

Ralita menatap setiap bagian yang ada pada diri Haikal.

Tidak banyak yang berubah, hanya bagian wajahnya saja yang terlihat semakin dewasa.

“Haikal ....” lirih Ralita.

“Ta, banyak yang mau aku ceritain, banyak yang mau aku tunjukin sama kamu,” ucap Haikal.

“Liat, Ta. Aku berhasil, aku berhasil jadi apa yang orang-orang mau, Ralita aku berhasil ....” ucap Haikal bersamaan dengan air matanya yang jatuh.

Ralita menatap Haikal, lalu ia mengusap wajah Haikal lembut.

“Ayo, Ta kita pulang, aku ceritain semuanya. Ayo mulai lagi dari awal. Banyak hal yang pengen aku bagi sama kamu, ayo mulai lagi, Ta .....” ucap Haikal dengan sorot mata yang menyiratkan banyak sekali harapan.

Ralita hanya terdiam tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Ta, ayo. Aku udah nyiapin semuanya, buat kamu, buat kitaz Tujuh tahun, Ta. Tujuh tahun aku nunggu ini, jadi ayo pulang. Aku pengen minjem peluk kamu lagi, aku kangen. Aku pengen dimarahin kamu lagi, aku pengen lewatin semuanya lagi bareng kamu....” ucap Haikal yang kini menggenggam erat jemari Ralita.

“Aku bakal bilang sama ayah kamu kalo sekarang Haikal yang dulu udah berubah. Ayo, Ta. Aku bakal buktiin kalo sekarang aku pantas buat ada disamping kamu.” Ucap Haikal lagi.

“Ayo ketemu ayah, abang sama ibu, sama mama. Ayo, Ta. Aku bakal kenalin kamu ke semua orang. Aku bakal bilang sama dunia kalau perempuan kesayangan aku udah disini, udah pulang.”

“Mau, ya, Ta? Kita ulang lagi semuanya dari awal, ya?” Ucap Haikal memohon.

“Jangan pergi lagi, ya, Ta?”

Demi apapun, Haikal tidak ingin kehilangan lagi.

Cukup, ia tidak ingin lagi.

Ralita menatap wajah Haikal, kemudian ia menjatuhkan air matanya lagi.

“Haikal ....” ucap Ralita lagi.

Kemudian tangannya bergerak merogoh kantung hitam yang ia bawa.

Netra Haikal bergerak mengikuti pergerakan jemari Ralita.

“Ta ....” ucap Haikal.

“Haikal maaf ....” lirih Ralita menunduk dan menangis.

Haikal menggeleng, “becanda?”

Ralita menggeleng pelan.

“Minggu depan ....”

“Datang ke pernikahan aku, ya?”

Haikal menghela napasnya setelah ia membaca pesan yang dikirimkan oleh Yara—teman semasa kuliahnya.

Lelaki yang kini menginjak usia dua puluh delapan tahun itu pun menyeruput segelas teh hangat, sambil menatap langit malam di balkon apartement milik Zidan.

“Gue kapan, ya, Ta?” Gumamnya sambil menatap langit malam itu.

Lelaki itu tersenyum miris, mengingat tentang bagaimana ia yang selalu berharap tentang kepulangan perempuannya.

Kalau boleh jujur, Haikal ini sudah berkali-kali ingin menyerah, sudah berkali-kali juga ia ingin melepaskan. Tapi entah kenapa, setiap kali ia ingin melepas, semua memori bersama perempuannya itu selalu terlintas di benaknya.

Tentang bagaimana mereka pertama kali bertemu, tentang bagaimana ia yang tiba-tiba saja datang lalu memilih untuk menjatuhkan semestanya pada Ralita.

Haikal masih ingat sekali, bagaimana ia pertama kali bertemu Ralita di lorong perpustakaan sekolah.

Kala itu, Haikal yang tengah bolos pelajaran memilih untuk pergi ke perpustakaan.

Bukan, bukan untuk belajar, melainkan untuk tidur. Karena dulu bagi Haikal perpustakaan itu tempat paling nyaman untuk bersembunyi dari riuhnya sekolah.

Haikal masih ingat betul, bagaimana ia yang tak sengaja menjatuhkan buku serta air minum milik perempuannya itu.

Entahlah, Haikal bahkan tidak mengerti, mengapa ia bisa jatuh pada Ralita hanya dengan pandangan pertama.

Waktu Haikal tak sengaja menabrak pundak Ralita, bukan kemarahan yang Haikal dapatkan dari perempuan itu. Tapi senyum.

Iya, kala itu Ralita hanya tersenyum pada Haikal tanpa amarah sedikit pun.

Perempuan itu hanya tersenyum sambil membersihkan bukunya yang terkena tumpahan air.

Tapi anehnya, Ralita sama sekali tidak marah pada Haikal. Perempuan itu hanya tersenyum kemudian ia melangkah pergi meninggalkan Haikal yang masih setia menatapnya.

Bilang saja ini gila, tapi bagi Haikal, Ralita ini adalah satu-satunya orang yang berhasil membuat dirinya jatuh bahkan saat pertama kali mereka bertemu.

Lalu sejak saat itu, Haikal bertekad untuk membuat Ralita jatuh menjadi miliknya.

Mungkin memang sudah takdir semesta, Haikal dan Ralita tiba-tiba saja menjadi dekat kemudian mereka berdua memilih untuk saling melengkapi satu sama lain.

Jika diingat, banyak sekali hal yang sudah Haikal lalui. Tentang bagaimana ia yang berusaha menjadikan Ralita miliknya, tentang bagaimana ia yang selalu ingin melindungi Ralita, dan tentang bagaimana ia yang selalu merasa dicintai oleh Ralita.

Semuanya ini berkat Ralita. Perempuan itu yang selalu mengajarkan Haikal untuk memberi maaf pada orang-orang. Perempuan itu yang membuat Haikal sadar, bahwa ia juga layak untuk dicintai.

Terlalu banyak hal yang tidak akan pernah bisa orang lain pahami tentang mereka.

Haikal si berandalan dan Ralita si penyabar. Mereka ini saling melengkapi satu sama lain.

Meskipun banyak hal yang Haikal sesali, banyak hal yang ingin ia perbaiki.

Seandainya saja dulu ia tidak keras kepala, seandainya saja ia terbuka pada Ralita, seandainya saja ia bisa membagi semua rasanya pada Ralita, seandainya saja ia lebih sering menghabiskan waktu bersama Ralita. Mungkin sampai saat ini Haikal tidak akan pernah merasakan penyesalan. Meskipuj ia yang ditinggalkan.

Dari Ralita Haikal belajar, bahwa sekuat-kuatnya manusia, ia juga butuh bahu dan peluk untuk sekedar mengeluh.

Dari Ralita Haikal belajar, bahwa tidak semua hal bisa diatasi oleh diri sendiri.

Dari Ralita Haikal belajar, bahwa memaafkan tidak pernah sesulit itu.

Dari Ralita Haikal belajar, bahwa semua orang selalu layak untuk mendapatkan cinta.

Ah terlalu banyak hal yang belum sempat Haikal sampaikan termasuk ia yang sangat mencintai Ralita.

Rumit, semuanya rumit.

Maka dari itu, Haikal memilih beranjak dari duduknya, kemudian ia menghela napasnya berusaha menahan sesak yang selalu membuncah di seluruh ruang dadanya.

“Gue harap, penantian gue juga gak sia-sia, ya, Ta?” Gumamnya sambil berdiri menatap langit malam itu.