Hari ini, ya?
Lelaki itu menghela napasnya, sambil sesekali ia melihat ke arah cermin, kemudia ia tersenyum.
“Lo hebat, Kal.” Gumamnya pada diri sendiri.
Lelaki itu kemudian melangkahkan kakinya untuk mengendarai mobil menuju tempat tujuan.
Bilang saja Haikal gila karena ia rela datang ke acara pernikahan perempuan kesayangannya. Padahal jelas-jelas semua itu hanya akan menambah luka.
Waktu menunjukan pukul sepulah pagi, lalu tanpa berlama-lama sesaat setelah ia sampai, Haikal langsung melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam gedung itu.
Banyak orang, termasuk beberapa teman SMA-nya.
Netra Haikal menelisik setiap sudut tempat itu.
Haikal tersenyum pelan kala melihat warna dekorasinya.
Ini warna kesukaan Ralita.
Ada perasaan sesak kala ia melihat Ralita tengah berdiri disana bersama dengan seseorang lain. Disana terlihat jelas kalau Ralita tengah tersenyum bahagia.
Haikal tersenyum.
Cantik
Batin Haikal.
Ralita ini selalu terlihat cantik di mata Haikal.
Tidak, Haikal tidak akan pergi kehadapan Ralita. Cukup ia berdiri dari kejauhan juga sudah cukup.
Bukan tidak menghargai.
Hanya saja, terlalu sesak.
Terlalu sesak bagi Haikal untuk sekedar berjabat tangan dengan perempuan yang sekarang sudah tidak bisa lagi ia genggam jemarinya.
Haikal hana berdiri di dekat pintu keluar belakang. Netranya hanya tertuju pada Ralita di hadapan sana.
“Selamat menemouh kehidupan bari, Ralita ...” gumam Haikal sebelum ia melangkahkan kakinya keluar.
Sungguh, meskipun ia sudah ikhlas, namun masih ada sakit luar biasa yang ia rasakan.
Haikal menghela napasnya. Kemudian ia melangkahkan kakinya kembali untuk pergi dari sama.
Tapi, belum sempat ia menjauh, terdengar suara yang memanggil namanya.
“Haikal,” Ucapnya membuat Haikal menoleh.
Itu, Ralita.
Iya, Ralita yang memanggilnya. Perempuan itu berlari mengejar Haikal.
Haikal menatap Ralita sejenak kemudian ia tersenyum.
Di hadapannya Ralita tengah berdiri dengan gaun putihnya. Ia tengah menahan isak tangis yang sudah mengotori wajah cantiknya.
Perlahan Ralita berjalan mendekat pada Haikal, kemudian tanpa basa-basi, ia memeluk tubuh Haikal dengan sangat erat. Sambil merapalkan kata maaf berulang kali.
Haikal terdiam, lalu tanpa sadar, dirinya juga mengeratkan pelukan itu seolah tidak ingin kehilangan.
“Maaf ....” ucap Ralita lagi membuat Haikal melepaskan pelukan itu lalu menatap Ralita dengan tatapan teduh ya.
Tidak, bukan tangis yang kali ini Haikal tampilkan.
Tapi senyum.
Iya, Haikal tersenyum pada Ralita.
“Cantik banget,” kekehnya.
Haikal tidak bisa berhenti menatap perempuan dihadapannya ini.
Terlalu sempurna di mata Haikal. Meskipun kenyataannya ia juga yang menoreh luka.
Haikal terkekeh pelan, ia kemudian merapikan beberapa helai rambut mirip Ralita yang terlihat acak.
“Maaf ya? Maaf gak berani nyamperin tadi,” ucap Haikal.
Ralita menggeleng pelan menahan tangisnya.
“Jangan nangis, jelek.” Haikal kembali tersenyum.
“Aku gapapa, Ta ....” lirihnya.
“Jangan khawatir, ya? Aku beneran udah baik-baik aja.”
“Haikal ....”
“Banyak hal yang gak bisa aku bilang sama kamu, maaf. Tentang semuanya, maaf karena aku terus sembunyi selama ini. Maaf karena kepulangan aku cuma buat ngasih luka.”
“Haikal maaf ....” Ralita terisak.
Lalu dengan hati-hati, Haikal menghapus air mata itu.
“Ta ....”
“Aku beneran udah gapapa,” ucap Haikal.
“Aduh, jadi aku kamu, haha. Kebawa suasana,” Haikal terkekeh.
Netranya menatap Ralita lama. Kemudian ia menarik napas panjang.
“Ta ....” lirih Haikal.
“Makasih banyak, ya?”
“Untuk semua senyumannya, kebahagiaannya, kasih sayangnya, pelukannya. Makasih banyak.” Haikal tersenyum.
“Aku seneng, Ta....”
“Aku seneng bisa jadi bagian dari hidup kamu, aku seneng karena pernah jadi alasan kamu buat bahagia.”
“Makasih, ya? Untuk segalanya, makasih karena kamu pernah milih buat jatuhin semesta kamu sama aku. Walau pun cuma sementara, seenggaknya aku pernah tau gimana rasanya dicintai sama kamu.” Haikal lagi-lagi tersenyum.
“Kamu udah ngajarin banyak hal, Ta. Tentang bagaimana caranya dicintai, mencintai, memaafkan, juga merelakan.” Ucap Haikal.
Lelaki itu benar-benar tidak melepaskan pandangannya dari Ralita.
“Abis ini, janji sama aku, ya?”
“Janji kalo kamu bakalan terus bahagia, ok?”
“Terus, tetap jadi Ralita yang selalu jadi kesayangan semua orang, ya, Ta?”
“Karena dengan itu aku bisa ikhlas. Dengan ngeliat kamu bahagia aku bisa ikhlas buat lepasin kamu.”
Ralita hanya terdiam sambil terisak mendengar ucapan Haikal.
“Ta, buat terakhir kalinya, izinin aku buat bilang ini, ya?”
Ralita menatap Haikal.
“Aku sayang kamu, sayang banget, Ta ....” ucap Haikal dengan nada suara yang berusaha kuat agar tidak menangis.
”Makasih ya, Ta? Karena kamu aku jadi tau gimana caranya buat berbagi rasa.”
“Walaupun sekarang aku gak bisa bagi semua rasa kebahagiaan juga kesedihan, sama kamu. Tapi gapapa, makasih, ya?” Ucap Haikal.
Kedua sama-sama menatap dan menahan sesak.
Haikal kembali menghela napasnya.
“Ta ....”
“Can i hug you?” tanya Haikal.
”for the last time,” ucapnya tersenyum.
Ralita menatap Haikal, kemudian ia mengangguk pelan.
Haikal tersenyum, lalu ia mendekap erat tubuh perempuan ini. Perempuan yang akan selalu jadi kesayangannya sampai kapan pun.
Sangat erat ia mendekapnya.
“Ta ....”
“Selamat menempuh kehidupan baru ....” bisik Haikal.
“Maaf ...” gumam Ralita
Dalam pelukan itu Haikal tersenyum.
“Bahagia selalu ya Ita, aku sayang kamu.” Ucap Haikal sebelum akhirnya ia melepaskan pelukannya.
Ralita terisak.
“Aku pamit, ya?” Ucap Haikal lagi.
“Maaf ....” Ralita menunduk sambil terisak.
“it’s okay, i’m fine,” lelaki itu tersenyum.
“Gih masuk ....” ucap Haikal.
Ralita mengangguk pelan, kemudian perlahan ia menjauh dari pandangan Haikal.
Haikal menghela napasnya.
Jadi ini waktunya, ya? Waktu paling baik menurut takdir semesta.
Ternyata semuanya tentang kehilangan dan merelakan.
Dan untuk kesekian kalianya Haikal harus berhadapan dengan kehilangan.
Ibu benar, tidak seharusnya Haikal menaruh harapan lebih pada manusia.
Haikal benar-benar belajar banyak dari Ralita, salah satunya merelakan.
Ia harus rela melepaskan genggamannya yang selama ini selalu berusaha ia genggam agar tidak terlepas.
Ia harus rela melepaskan semua rasa yang selama ini sudah susah payah ia pertahankan.
Dan juga ia harus rela kehilangan satu-satunya orang yang bahkan tidak pernah ia harapkan kepergiannya.
Memang benar kata orang, setiap pertemuan pasti akan selalu ada perpisahan. Dan kali ini, Haikal yang tengah merasakan perpisahannya.
Tidak ada manusia yang baik-baik saja perihal kehilangan, termasuk Haikal.
Setelah ini yang harus Haikal lakukan adalah ikhlas. Iya, ikhlas melepaskan miliknya pada genggaman orang lain.
Haikal kembali menghela napasnya.
“Selamat jalan kisah yang tak akan pernah usai, selamat berbahagia. Terima kasih banyak.” gumam Haikal sebelum akhirnya ia pergi dari sana.
Dan juga.
Selamat merayakan kehilangan lagi, Haikal.
Terima kasih karena sudah berhasil sampai pada titik ini. Titik paling tinggi dalam mencintai.
Terima kasih karena sudah berhasil sampai di titik ini. Titik dimana, seseorang mengerti bahwa tak semua yang ia cintai harus menjadi miliknya.
Sekali lagi, terima kasih karena sudah bertumbuh dan menjadi kuat.
Selamat berdamai dengan keadaan Haikal.
-
fin