Jjaejaepeach

Pria paruh baya itu benar-benar menghampiri Jinan yang terlihat sedang menyesap sebatang rokok di pinggiran jalan dekat dengan sebuah toko serba ada disana.

Ini bukan kebetulan. Sebab, sejak lima belas menit yang lalu, Arkanata-pria paruh baya itu. Tak sengaja melihat Jinan yang tengah mengendarai motor bersama temannya. Lantas hal itu membuat Arkanata berinisiatif mengikuti Jinan.

“Boleh saya duduk disini?” Tanya Arkanata sesaat setelah ia berada di hadapan Jinan, membuat anak itu mengangguk.

Arkanata terkekeh, kemudian ia duduk di samping Jinan. Sedangkan Jinan hanya menatap canggung.

Netra Arkanata bergerak memperhatikan sebatang rokok di sela jemari Jinan. Kemudian ia menghela napasnya. “Kamu, sejak kapan merokok?” Tanya Arkanata.

Jinan menatap Arkanata sejenak, kemudian beralih menatap rokok di tangannya. “Belum lama sih om, hehe …”

Arkanata menggeleng. “Lagi ada masalah, ya, Ji?” Tanya Arkanata yang kini bersandar pada kursi.

Jinan terdiam, kemudian ia terkekeh pelan. “Enggak kok om, saya cuma pengen nyoba aja.”

Arkanata lagi-lagi terkekeh. “Dunia itu keras, Ji. Gapapa kok, wajar kalau misal kamu lagi ada masalah dan ngelampiasin ke hal kayak gini. Tapi, lebih baik jangan, ya?” ucap Arkanata.

Entah kenapa tapi tiba-tiba saja Jinan membuat rokok di jemarinya itu, membuat Arkanata kembali terkekeh pelan.

Jinan menyerengeh menampilkan deretan giginya.

Menggemaskan

Terdengar suara helaan napas dari Arkanata, membuat Jinan menatapnya.

Atensi Arkanata beralih menatap fokus wajah anak di sampingnya itu.

Benar-benar mirip

“Kenapa om?” Tanya Jinan.

“Gapapa. Saya cuma jadi teringat putra saya.”

“Om udah punya anak?”

Arkanata mengangguk. “Iya, saya punya dua harusnya.”

“Harusnya?” Jinan mengangkat sebelah alisnya.

Arkanata mengangguk. “Iya, dan kalau putra saya masih hidup, sepertinya sekarang sudah besar seperti kamu. Tapi lebih tua dia haha,” ucap Arkanata diiringi tawa di akhir kalimatnya.

“Putra om kemana emang?”

Arkanata menatap Jinan sejenak. Kemudian ia menatap langit. “Di atas Jinan. Bian namanya, putra saya sudah di atas sana, di surga. Dan mungkin sudah bertemu bundanya,” ucap Arkanata dengan sorot mata yang menyiratkan banyak sekali kesedihan.

“Eh om maaf saya gak tau.”

Arkanata menggeleng. “Gapapa Jinan.”

“Terus putra om satu lagi?”

“Putri saya satu lagi gak ada disini.”

“Perempuan ya, om?”

“Iya Jinan.”

“Terus om disini sama siapa?” Tanya Jinan polos.

Arkanata menggeleng. “Saya sendirian Jinan. Putri dan istri saya gak ada disini. Mereka ada di London,” ucap Arkanata membuat Jinan keharanan.

“Loh? Terus kata om tadi. Yang Bian udah ketemu bundanya, itu gimana maksudnya?” Tanya Jinan heran.

Arkanata terdiam. Netranya menatap lekat Jinan. Tak lama ia pun menarik napasnya dalam.

“Bunda Bian it—“ belum sempat Arkanata menyelesaikan kalimatnya. Jinan sudah lebih dulu beranjak sebab Adit-teman Jinan memanggilnya.

“WOY JI AYO BALIK!”

Buru-buru Jinan berlari menghampiri Adit. Sedangkan Arkanata, ia kembali menghela naoasnya sambil memperhatikan Jinan yang kini sudah menaiki motor bersama temannya itu.

“Bundanya Bian itu, ibu kamu Jinan …” gumam Arkanata.

Gadis itu tengah fokus mengusap-ngusap kucing yang berada di pangkuannya. Sedangkan pemuda di sampingnya sibuk mengetikkan sesuatu dari layar ponsel yang digenggamnya.

Fokus gadis itu teralihkan ketika mendengar suara ketikan layar.m, membuatnya menoleh dan mengalihkan atensinya pada orang di sampingnya.

“Kamu kok mukanya sedih gitu?” Tanyanya, membuat pemuda itu menoleh kemudian tersenyum pelan lalu menggeleng.

“Gapapa kok!” ucapnya yang kemudian tersenyum menampilkan deretan giginya

“Chat siapa emang?”

“Chat ibu sama ayah, ngenalin kamu.”

Gadis itu menyipitkan matanya ketika ia membaca pesan itu. Lengkungan di bibirnyabkemudian terangkat, menampakkan senyum manis yang tergores di wajahnya.

“Jinan, boleh gak aku meluk kamu?” Tanyanya, membuat Jinan-pemuda di sampingnya menolah.

Jinan terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia mengangguk pelan.

“Makasih udah ngenalin Zia sama ayah sama ibu ….”

“Jangan sedih ya Jinan. Sekarang Jinan kan gak sendiri lagi. Jadi kalau sedih, kamu boleh cerita ke aku, ok?”

Dalam pelukan itu, Jinan terkekeh kemudian ia mengangguk.

“Iya Zia cantik, makasih banyak, hehe …”

Pernah tidak, kalian kehilangan satu-satunya orang yang sangat amat berarti di hidup kalian? Dimana orang tersebut sangat amat berarti dan sudah memberikan peranan besar dalam hidup kalian.

Pernah tidak, kalan kehilangan satu-satunya orang yang sangat amat berarti di hidup kalian? Sampai-sampai kehilangan orang itu menbuat kalian tak tahu arah jalan hidup.

Pernah tidak, kalian kehilangan satu-satunya orang yang sangat amat berarti di hidup kalian? Sampai-sampai ketika kalian kehilangannya kalian seolah mati rasa.

Hanya ada rasa kosong dan hampa yang menyelimuti.

Ditinggalkan oleh satu-satunya orang yang paling dicintai, benar-benar membuat Haikal hancur.

Sungguh, setelah ia kehilangan Ralita untuk selamanya sejak tujuh bulan yang lalu, hidup Haikal rasanya seperti tidak ada kehidupan di dalamnya.

Kosong, semuanya kosong.

Kehilangan Ralita-perempuannya, dunianya, semestanya, benar-benar membuat Haikal kehilangan semangat hidupnya.

Bahkan, sudah tujuh bulan semenjak kepergian perempuan itu, Haikal masih saja sering menangis sendirian di sudut kamar miliknya.

Bisa dibilang, kepribadian Haikal pun berubah sejak Ralita pergi. Tidak ada lagi Haikal yang hangat, hanya ada Haikal yang pendiam dan suka menyendiri. Bahkan kepada Caca dan Jinan, Haikal seperti tidak hidup.

Semenjak Haikal kembali bersama Ralita, Haikal benar-benar tumbuh bahagia. Tidak ada lagi luka dan kesedihan yang melanda hidupnya. Walau sesekali ada ketakutan perihal kehilangan.

Haikal tahu, ia juga paham, jika suatu hari, manusia pasti akan kembali pada pemlik-Nya. Haikal paham itu. Namun, demi Tuhan, Haikal tidak pernah berpikir juka ia akan kehilangan Ralita secepat itu. Bahkan disaat ia belum memberikan banyak hal untuk Ralita.

Masih banyak hal yang belum semoat mereka berdua lakukan. Masih banyak hal yang belum sempat tercapai, salah satunya menua bersama.

Haikal belum sempat melihat rambut Ralita memutih. Begitu pun Ralita.

Haikal belum sempat mengabulkan permintaan Ralita dimana ia ingin berfoto bersama dengan rambut yang sama-sama sudah memutih.

Demi apapun, Haikal tidak pernah berpikir bahwa ia akan bertemu dengan hari dimana ia tidak bisa lagi melihat Ralita di dalam hari-harinya. Haikal tidak pernah berpikir bahwa ia akan kehilangan Ralita secepat itu.

Berkali-kali Haikal menangis sebab ia kehilangan dunianya.

Tujuh bukan setelah kehilangan Ralita, Haikal memilih untuk menyibukkan dirinya dengan berbagai macam pekerjaan, guna melampiaskan kesedihannya sebab ia merasa kosong.

Haikal berkerja terus-terusan, sampai-sampai ia melupakan pesan terakhir Ralita dimana ia harus hidup sehat bahagia demi anak-anaknya. Namun, alih-aliy menuruti perkataan Ralita. Haikal malah terus-terusan menyibukkan diri sampai akhirnya ia jatuh sakit.

Katakan saja Haikal egois, sebab setelah kehilangan Ralita. haikal merasa jika dirinya lahbyang paling menderita. Padahal selain ia yang terluka, ada Caca dan Jinan yang juga tidak pernah siap kehilangan sosok ibu.

Tidak, bukannya Haikal tidak menyayangi kedua anaknya. Namun Haikal pun kesulitan untuk bangkit setelah kehilangan itu. Haikal kesulitan meyakinkan dirinya, jika tanpa Ralita ia akan baik-baik saja. Dan kenyataannya Haikal tidak pernah baik-baik saja.

Awalnya Haikal tidak pernah merasakan sakitnya itu seperti apa, ia selalu mengabaikan semua rasa sakit yang ia rasakan. Hingga akhirnya suatu hari, Haikal divonia menderita gagal ginjal. Dan demi apapun, hal itu benar-benar membuatnya semakin takut.

Haikal bodoh, ia bodoh karena secara tidak sadae menyiksa dirinya sendiri.

Sekali lagi, bukan hanya Haikalnyang terluka karena kehilangan, tetapi Caca dan Jinan juga sama terlukanya seperti Haikal.

Awalanya Haikal pikir, ia akan membaik. Namun ternyata salah, keadaan Haikal malah makin memburuk, membuat kedua anaknya semakin takut.

“Ayah jangan kemana-mana, ya? Kalau ayah pergi juga kayak ibu, kakak sama adek harus gimana, yah?” Ucap Caca waktu itu pada Haikal yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit.

Haikal hanya tersenyum tipis, mati-matian ia menahan semua rada sakitnya namun tetap saja kenyataannya ia begitu lemah.

Semenjak Haikal sakit, ia sering bermimpi jika ia akan bertemu Ralita kembali. Sudah sering ja bermimpi perihal Ralita yang datang ke sisinya guna meredakan rasa sakitnya.

Selama terbaring di rumah sakit, Haikal sering sekali membayangkan jika ia tengah berada di dalam sebuah rumah kecil dengan kebun hijau di halamannya.

Haikal begitu tersiksa, sebab ia hanya ingin Ralita di sampingnya.

Dan sekali lagi, kehilangan Ralita benar-benar membuat Haikal hilang arah, hancur, sakit, dan terluka berkali-kali. Sebab selama ini Ralita lah ang menumpu hidup Haikal dengan sangat kokoh, lalu setelah kehilangan itu, Haikalbenar-benar tidak bisa lagi menopang semua rasa sakitnya sendirian.

Entah sudah berapa kali Haikal mengatakan kepada Caca jika sebentar lagi ia akan bertemu Ralita.

Iya, semakin hari, penyakit Haikal ini semakin parah, membuat kedua anaknya sangat ketakutan.

Mereka takut jika akhirnya Haikal pergi seperti Ralita. Merekantakut ditinggalkan sebab jika Haikal pergi, harus dengan siapa mereka hidup?

Waktu itu, Zidan, Yara, Rais, serta Indra bahkan berkali-kali mengatakan jika Haikal ini terlalu egois. Haikal egois sebab akhirnya ia harus sakit hanya karena kehilangan Ralita.

Iya memang benar, jika dikihat daei audut oandang orang lain, Haikal sangat amat terlihat egois. Sebab ia terlihat tidak memikirkan keadaan dua anaknya.

Namun, orang-orang tidak mengerti, bagaimana Ralita yang sangat amat berpengaruh dalam hidup Haikal. Mereka tidak pernah mengerti sedalam apa Haikal mencintai Ralita. Mereka tidak pernah mengerti rasanya kehilangan satu-satunya orang yang sangat amat berarti.

Yanga Haikal lakukan saat itu hanya berbaring di ranjang rumah sakit, sambil sesekali mengatakan kepada kedua anaknya agar mereka berjanji untuk saling menjaga satu sama lainnya.

“Kalau nanti ayah beneran pergi, kakak harus janji sama ayah, ya? Jagain adek, jangan berantem, ya, kak?” Ucap Haikal kala itu pada Caca putri sulungnya.

“Adek juga, harus nurut sama kakaknya ya jagoan, ya? Nanti kalau adek sudah besar, adek harus janji buat jagain kakak, ya?” Ucap Haikal lagi pada si bungsu.

Keduanya hanya menangis sambil memeluk Haikal kala itu.

“Ayo janji sama ayah, buat sama-sama lindunngin satu sama lainnya, ya? Janji sama ayah buat jangan pernah ninggalin satu sama lain,” pinta Haikal dengan begitu lemahnya.

“Ayah selalu sayang sama kaka sama adek. Maaf ya nak, kalau akhirnya ayah harus sakit seperti ini.”

“Ayah sayang kalian, tapi ayah juga kangen banget sama ibu.”

“Boleh gak ayah minta sesuatu?”

“Nanti kalau ayah sudah gak ada, tolong tempatin ayah di samping ibu, ya? Biar ayah bisa tidur tenang di samping ibu,” pinta Haikal kala itu.

Waktu iti, tepatnya pukul emoat sore hari, Haikal yang memang susah sangat amat tak berdata tersenyum sambil memeluk potret dirinya bersama Ralita. “Sampai jumpa di rumah baru cantik ….” gumam Haikal sebelum akhirnya ia memejamkan matanya untuk selamanya.

Ah sungguh, Haikal ini terlalu mencintai Ralita, sampai-sampai di detik terakhir hidupnya Haikal memeluk potret dirinya bersama Ralita.

Katanya, Ralita itu takdir Haikal, namun kehilangan Ralita juga takdir Haikal.

Dan benar saja, kehilangan Ralita itu merupakan luka paling dalam dari segalanya bagi Haikal, hingga akhirnya Haikal memilih untuk ikut menyerah pada hidupnya.

Karena takdir, selalu tahu jalan pulang.

Dan karena takdir juga, Haikal kembali bersama dengan Ralita, disana, di surga sana. Mereka tidak perlu khwatirlagi akan kehilangan, sebab selamanya mereka akan selalu bersama. Meskipun ada banyak hal yang mereka tinggalkan di dunia.

Di malam yang dipenuhi sinar rembulan ini. Haikal tengah memeluk erat perempuannya di dalam dekapan hangatnya.

Senyuman Ralita benar-benar mampu memenuhi seluruh pandangan Haikal.

Malam ini, mereka tengah berada di sebuah puncak, sambil memperhatikan kedua anaknya yang tengah asik bermain tak jauh dari mereka duduk.

Rasanya dingin sekaligus hangat, ketika Haikal memilih mendekap tubuh perempuannya itu.

Haikal tersenyum dengan jemarinya yang mengusap punggung tangan Ralita.

“Liat, itu adek lagi lari-larian,” ucap Ralita sambil menunjuk Jinan yangbtengah berlari kecil diikuti Caca disana.

Haikal terkekeh. “Lucu ya si adek, kayak aku,” ucap Haikal menbuat Ralita segera menatapnya.

“Idih apaan, mirip darimana coba, haha.” Ralita tertawa, begitu juga dengan Haikal.

Saat ini, keluarga kecil Haikal tebgah berlubur ke puncak, setelah sebelumnya banyak sekali pekerjaan yang harus diselesaikan akhrnya mereka memiliki waktu untuksekedar berlibur guna melepas penat.

Haikal menarik napasnya lalu ia kembali tersenyum, lelaki itu mengeratkan pelukannya pada Dalita, menbuat Ralita terkekeh pelan. “Jangan kenceng-kenceng meluknya Haikal, aku gak bisa napas loh,” ucap Ralita.

“Biarin aja, dingin tau, Ta,” ucap Haikal yang kembali mendekap erat peeempuannya.

Ralita hanya tersenyum, kemudian jemarinya bergerak mengusap lengan yang melingkar di oinggangnya. “Seneng?” Tanya Ralita membuat Haikal mebgangguk.

“Iya seneng banget.”

“Seneng kenapa hayo?”

“Seneng, karena aku punya kamu dan anak-anak,” jawab Haikal kemudian ia mengecup pelan pucuk kepala Ralita.

Di bawah sinar rembulan dan bintang malam ini, sepertinya lagi-lagi Haikal merasa jika dirinya adalah manusia paling beruntung karena ia emmpunyai Ralita di sampingnya.

Haikal terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia melepas pelukan Ralita dan beranjak dari duduknya, membuat perempuan itu kebibgungan. “Mau kemana?” Tanya Ralita.

“Ke mobil sebentar,” ucap Haikal. “Tunggu ya,” lanjutnya yang kenudian dibalas anggukan oleh Ralita.

Ralita hanya menggeleng pelan ketika meluhat daksa Haikal yang mulai menjauh dari pandangannya. Kemudian tak lama, Ralita memilih beranjak dan mendekat ke arah kedua anaknya yang tengah asik bermain di taman kecil tak jauh dari tempat Haikal dan Ralita duduk tadi.

“Adek, kakak, sini pake dulu sarung tangannya dingin,” teriak Ralita sambil mengelurkan dua pasang sarung tangan kecil dari dalam sakunya.

Kedua anak itu berlari kecil mengajmpiri Ralita.

Ralita tersenyum, kemudian ia mengusap wajah kedua anaknya secara bergantian.

Udara puncak malam ini, benar-benar dingin.

Ralita kemudian memasangkan sarung tangan itu secara bergantian pada Caca dan Jinan.

“Udah, hangat,” ucap Ralita ketika selesai memakaikan sarung tangan itu pada anak-anaknya.

Ralita tertawa kecil ketika Jinan, putra bungsunya tiba-tiba saja bersin, membuat hidung dan wajahnya memerah. Lantas, langsunh saja Ralita mengusap wajah anak itu dengan lembut. “Dingin, ya? Mau udahan?” Tanya Ralita pada Jinan.

“Enggak ibu, adek masih mau main sama kakak,” ucap Jinan menyerengeh.

“Boleh ya bu? Main lagi, gapapa, kan?” Tanya Caca, takut jika Ralita menyuruh mereka berhenti bermain.

Ralita tesenyum. “Boleh sayang,” ucapnya sambil mengusap lembut wajah Caca dan Jinan bergantian.

“Ibu, adek, kakak, sini liat ke ayah,” tiba-tiba saja terdengar suara Haikal yang berdiri di belakang Ralita. Membuat ketiga orang itu menoleh. Dan saat mereka menoleh Haikal langsung saja memotret mereka menggunakan kamera yang tadi ia bawa dari mobil.

Ralita sedikit terkejut, membuat Haikal terkekeh pelan. “Ih ayah, kirain apa,” ucap Ralita.

“Ih kamera. Ayah ayo fotoin lagi kakak sama adek!” Tiba-tiba saja Caca menyahuti, dengan posisi yang sudah siap untuk difoto oleh sang sang ayah.

“Siap bos!” Ucap Haikal yang langsung saja mensejajarkan tubuhnya lalu ia mengambil potret kedua anaknyabitu beberapa kali.

Haikal tertawa setiap kali melihat pose yang dilakukan Caca dan jinan, yang menurutnya sangat lucu sekali.

Ralita yang sejak tadi berdiri tiba-tiba saja ikut mensejajarkan tubuhnya dan merangkul tubuh kedua anaknya. “Foto lagi ayo,” pinta Ralita yang sudah siap berpose.

Tentu saja Haikal tertawa, dan tanpa berlama-lama ia pun segera mengambil kembali beberapa potret dari istri dan kedua anaknya itu.

“Ayah, berdiri disini sama ibu, nanti kakak fotoin!” Tiba-tiba saja Caca meranrik Haikal agar berdiri di samping Ralita, kemudian Caca mengambil alih kamera yang sebelumnya Haikal genggam.

Ralita hanya terkekeh, kemudian tak lama Haikal berdiri di sampingnya dengan lengan yang melingkar di pinggang perempuan itu.

“Ayo bergaya!” Pinta Caca pada kedua orang tuanya itu.

Haikal kemudian tersenyum, lalu tanpa aba-aba ia melayangkan kecupan pada pipi Ralita, membuat perempuan itu terkejut dan segera menoleh kepadanya.

Di hadapan mereka, Caca tengah tertawa sebab menurutnya potret yang ia ambil barusan terlihat sangat romantis.

“Cie ayah nyium ibu cie …” ucap Caca sambil terus memotret kedua orang tuanya itu, membuat Haikal dan Ralita tertawa.

“Lagi dong kak,” ucap Haikal.

“Okay bos!” “Siap, satu, dua, tiga!” Ucap Caca membuat Haikal dan Ralita lagi-lagi tertawa.

“ADEK JUGA MAU DIPELUK AYAH!” Tiba-tiba saja Jinan berlari ke arah Haikal, membuat Haikal langsung mensejajarkan tubuhnya dan membuarkan jinan masuj ke dalam pelukannya.

“Aduh, jagoan ayah,” uvap Haikal.

“Sini kakak, peluk juga sama ayah,” pinta Haikal pada Caca membuat anak itu segera berlari menghampirinya.

“Aduh, cantiknya ayah,” ucap Haikal begitu Caca melesak masuk ke dalam dekapannya.

Haikal bergantian melayangkan kecupan pada kedua anaknya itu.

“Oh jadi ibu gak diajak pelukan gitu?” Ralita tiba-tiba saja berucap, membuat ketiga orang yang tengah berpelukan menoleh.

Haikla terkekeh. “Sini bu, kita foto berempat,” ucap Haikal yang langsung membuat Ralita berjongkok di belajang mereka dan merangkul Haikal.

“Sini kak kameranya ayah yang pegang. Kita foto berempat ya,” pinta Haikal.

“Satu … dua … tiga … CHEESEEE!”

Haikal berkali-kali mengambil potret itu dengan berbagai macam gaya. Sambil sesekali merekabtertawa bersama.

Malam ini, sepertinya keluarga Haikal sangat menikmati waktunya dengan baik.

Haikal tidak pernah berbohong ketika ia berjanji pada dirinya dan mengatakan bahwa ia akan sering mengabadikan moment bahagia bersama keluarga kecilnya.

Haikal tidak ingin kehilangan moment-moment seperti itu. Maka dari itu ia selalu membawa kamera tuanya guna menangkap potret-potret bahagia seperti barusan.

Demi Tuhan, Haikal sangat-sangat bersyukur karena akhirnya semesta berbaik hati memeberikan keluarga kecil bahagia yang sudah sejak lama ia dambakan.

Memang benar, ya? Untuk bahagia itu perlu luka, perlu waktu, dan perlu kesabaran. Dan Haikal sudah dengan hebat melewati waktu-waktu sulit itu sampai akhirnya sekarang ia menjadi manusia paling bahagia di seluruh alam semesta.

Entah harus bagaimana lagi Haikal mengucap syukur sebab sekarang ia bahagia. Entah harus sebanyak apa ia melayangkan doa dan rasa terima kasihnya pada Tuhan, sebab sekarang ia benar-benar sudah pulih dari luka.

Tidak ada lagi yang Haikal inginkan selain hidup bahagia bersama keluarga kecilnya ini.

Lalu sekian banyak waktu yang Haikal lalui untuk bisa ada di titik sekarang, titik paling bahagia dalam hidupnya, Haikal hanya berharap. Semoga tidak ada lagi luka dan perpisahan, ya?

Terima kasih, terima kasih karena selalu tabah dalam menghadapi pahitnya takdir semesta.

Terima kasih sebab kamu tidak pernah letih untuk mencapai kebahagiaan yang sempat hilang.

Terima kasih, ya, Haikal? Karena kamu, sudah menjadi hebat dengan segala lukanya.

Jinan saat ini tengah duduk di depan televisi sambil sesekali mengganti-ganti saluran televisi itu mencari beberapa tontonan yang menurutnya seru.

Hampir setengah jam tapi Jinan tidak menemukan acara yang menurut ya seru.

Jinan menghela napas, lalu ketika ia ingin membuka ponsel tiba-tiba saja terdengar suara pintu terbuka, dan tak lama muncul sosok Caca yang berjalan ke arahnya.

Caca menatap Jinan yang juga tengah menatapnya.

“Nathan ngomong apa sama kamu?” Tiba-tiba saja Caca bertanya membuat Jinan mengangkat sebelah alisnya.

“Duduk dulu kak baru nanya,” ucap Jinan membuat Caca langsung saja duduk di samping Jinan.

Caca menghela napasnya. “Nathan ngomong apa sama adek?” Caca mengulang pertanyaan yang tadi.

Jinan hanya menggeleng. “Gak kok, bang Nat cuma bilang kalo lo risih sama dia.”

“Emang kakak ngomong apa? Setau adek kakak gak pernah gitu deh sama kak Nat? Kok tiba-tiba risih?”

Caca kembali menghela napasnya, kemudian ia menyerahkan ponselnya membiarkan Jinan membaca rentetan pesan yang ia kirimkan tadi pagi ke Nathan.

Jinan menatap Caca, kemudian tak lama ia menghela napasnya. “Kak …” ucap Jinan.

“Hmm?”

“Jangan gitu.”

Caca terdiam. “Apa?”

“Kakak kok ketikannya jahat? Padahal bang Nat baik-baik loh ini kak nanyanya,” ucap Jinan lagi.

“Kakak tadi agak sensitif adek, jadi kakak kelepasan.”

“Minta maaf, ya, kak? Ketikan kakak udah nyakitin orang lain. Seenggaknya kalau kakak gak suka bilang baik-baik jangan kayak gini.”

“Kakak lupa, ya? Ibu kan pernah bilang, kalau memang gak suka sama orang ya gapapa. Tapi kita kan juga tetap harus hati-hati, kak. Lisan sama ketikan itu harus dijaga banget, jangan sampai kakak nyakitin orang cuma karena kakak gak suka,” tutur Jinan.

“Kakak minta maaf ya kak sama bang Nat. Bang Nathan itu cuma khawatir sama kakak. Adek tau, bang Nat itu sayang sama kakak. Tapi, kalo emang kakak risih, coba bilang baik-baik ya, kak? Adek gak suka kakak gitu, kayak bukan kakak yang adek kenal,” ucap Jinan kemudian ia berdiri dan melangkah dari sana.

“Kalo ayah sama ibu tau, mereka pasti marah.”

“Jangan lupa minta maaf kak,” lanjut Jinan sebelum akhirnya ia meninggalkan Caca sendirian disana.

Sagara benar-benar tidak berbohong ketika dia mengatakan jika dirinya ingin ikut pergi bersama Juli.

Gadis itu, hanya bisa menghela napasnya ketika melihat Sagara yang tengah tersenyum dari dalam mobil. “Ayo masuk,” ucap Sagara membuat Juli mau tidak mau masuk ke dalam.

Katakan saja Sagara aneh, sebab saat ini dirinya tengah tersenyum lebar pada Juli. Membuat gadis itu kebingungan.

“Nanti kasih tau jalannya, ya?” ujar Sagara membuat Juli hanya mengangguk pelan.

Jujur saja, Juli masih sangat asing dengan perilaku Sagara yang selalu berusaha untuk dekat dengan dirinya. Bukannya apa-apa, tapi baru kali ini ada seseorang yang mendekati Juli seperti ini.

Butuh waktu hampir satu jam hingga akhirnya mereka sampai di tempat tujuan.

“Sagara, kamu tunggu disini aja, boleh?” Tanya Juli membuat Sagara terdiam.

“Saya gak boleh ikut kesana?”

Juli menggeleng pelan. Membuat Sagara mau tidak mau mengangguk menyetujui permintaan Juli.

“Yaudah, saya tunggu disini,” ucap Sagara membuat Juli tersenyum tipis lalu sedetik kemudian Juli keluar dari mobil itu dan berjalan menuju pemakaman.

Dari dalam mobil, Sagara bisa melihat Juli dengan jelas, atensi pria itu sama sekali tidak terlepas dari Juli yang saat ini tengah mengusap batu nisan disana.

Entah kenapa, tapi langit tiba-tiba saja menggelap. Seolah langit tahu jika sekarang ada manusianya yang tengah menangis. Bahkan suara gemuruh pun terdengar nyaring.

Sagara terdiam ketika ia melihat Juli tengah terisak disana, lalu tanpa menunggu lama, Sagara langsung saja turun dari mobil dengan membawa payung, takut jika nanti hujan tiba-tiba saja turun. Dan benar, baru saja Sagara keluar, rintik hujan tiba-tiba saja turun, membuat Sagara segera berlari menghampiri Juli.

“Jangan nangis sendirian, hujan, Jul. ayo ke mobil lagi ….”

Sepertinya bagi beberapa orang, pulang adalah salah satu hal yang selalu mereka tunggu kedatangannya.

Hampir setiap hari, selepas berakhirnya jam kerja, saya melihat orang-orang dengan raut wajah bahagianya berlarian berlomba-lomba untuk segera pulang ke rumah.

Setiap kali saya melihat itu, saya hanya bisa tersenyum tipis. Alih-alih saya seperti mereka, yang saya lakukan hanya berjalan menyusuri trotoar jalan dan berharap waktu berjalan lambat. Sebab, saya tidak ingin pulang.

Katanya, rumah itu tempat paling hangat dan aman untuk sekedar menghilangkan penat dari peliknya dunia, kan? Tapi, kenapa rumah saya gak pernah hangat dan aman, ya?

Daripada saya merasakan itu, yang saya rasakan setiap kali pulang ke rumah hanya dingin, sepi. Saya sama sekali tidak ingin pulang sebab rumah saya itu tidak sehangat orang lain.

Tidak ada alasan bagi saya untuk pulang ke rumah jika bukan untuk tertidur, sekedar meluapkan rasa lelah.

Dulu, rumah saya itu begitu hangat dan aman. Namun, sejak kepergiannya, saya tidak ingin lagi pulang. Saya benci, sebab setiap kali saya pulang, yang ada dipikiran saya itu hanya dia.

Namanya, Januari, laki-laki yang mampu memberi saya hangat.

Ah, berbicara soal Januari. Saya jadi rindu.

Saya rindu ketika saya bangun, dia sudah lebih dulu bangun dan memperhatikan saya dengan guratan senyum yang selalu menghiasi wajahnya.

Saya rindu ketika saya sarapan, dia selalu tersenyum dan mengatakan agar saya makan dengan baik.

Saya rindu ketika saya berangkat untuk bekerja dia selalu memeluk saya dan mengatakan bahwa hari yang akan saya lalui itu akan selalu baik-baik saja.

Saya rindu ketika setiap kali saya pulang, Januari sudah berdiri di ambang pintu dengan tangan yang melebar menunggu saya masuk ke dalam pelukannya.

Saya rindu ketika saya mengoceh pada Januari, perihal saya yang tengah kesal akibat pekerjaan. Nanun, yang ia lakukan adalah tertawa sambil merangkul saya.

Januari itu, selalu bisa membuat saya merasa lebih baik meski hanya dengan kata-kata sederhananya.

Semua hal tentang Januari, saya suka. Rambutnya, matanya, hidungnya, bibirnya, apalagi senyum manisnya. Saya benar-benar menyukai Januari.

Dulu, setiap kali saya pulang, Januari selalu berusaha memberikan hangat dan juga ketenangan sebab katanya, ia tidak ingin melihat saya kelelahan. Januari bilang, ia tidak suka ketika melihat saya pulang dengan raut wajah saya yang terlihat kelelahan.

Memang, bagi sebagian orang itu mungkin hanya hal sederhana yang bisa dilakukan orang lain juga. Tapi bagi saya, lebih dari sekedar sederhana. Sebab Januari, saya merasa jika dunia yang saya injak ini baik.

Hampir seluruh kebahagiaan saya ada di rumah. Namun, sejak kepergiannya, semuanya ikut hilang.

Iya, Januari hilang dari hidup saya.

Awalnya saya pikir, Januari tidak akan pernah pergi kemana pun. Sampai akhirnya waktu itu, kami bertengkar hebat. Saya tidak pernah melihat Januari semarah itu pada saya.

Sorot matanya benar-benar memperlihatkan sisi Januari yang lain. Saya benar-benar terkejut ketika dia mengatakan bahwa ia sudah muak pada saya.

Saya tahu, mungkin waktu itu saya salah sebab saya terlalu sering mengeluh pada Januari. Namun saya tidak pernah berpikir jika ternyata Januari muak karena selalu mendengar keluhan saya.

Waktu itu, Januari bilang jika saya ini hanya mencari Januari ketika saya lelah. Waktu itu, Januari bilang jika saya hanya mementingkan pekerjaan saya ketimbang Januari.

“Eh adek dari mana aja?” Tanya seseorang dari arah dapur dengan kedua tangan yang tengah mbawa sepiring buah apel yang sudah dikupas.

Jinan, pemuda yang baru saja melangkahkan kakinya masuk tiba-tiba saja berhenti ketika mendengar suara itu.

Terlihat lengkungan tipis di wajah Jinan ketika ia melihat seorang wanita paruh baya yang kini tengah berjalan ke arahnya. “Eh iya tante Bin, tadi keluar dulu sebentar …” ucap Jinan.

Iya itu Bina, bunda dari sang kakak yang mana tengah berada di rumahnya sejak sore hari tadi.

Wanita paruh baya itu tersenyum kemudian menggeleng pelan. “Lain kali kalo main itu tau waktu ya Ji, kasian kakak kamu lagi sakit, tadi nanyain Jinan. Lagian gak baik anak sekolah masih keluyuran sampe jam sebelas malam. Lain kali dari pada keluyuran gitu mending main sama Acel aja, dia gak oernah main malem,” ucap Bina pada Jinan membuat anak itu terdiam.

“Itu Acel di kamar kamu lagi tidur dari tadi nungguin kamu katanya lama gak pulang-pulang,” ucap Bina lagi.

“Gih istirahat, tante ikut tidur disini ya sampai besok kakak kamu sembuh,” ucapnya kembali kemudian Bina mengacak pelan rambut Jinan.

Jinan hanya terdiam kemudian tanpa menjawab Jinan langsung saja berlari ke kamarnya. Sedangkan Bina memperhatikan Jinan yang mulai menghilang dari pandangannya.

“Dasar anak muda, sukanya keluyuran terus …” gumam Bina.

Sebelum benar-benar pulang ke rumah, pemuda itu memilih untuk mampir dulu ke sebuah toko, sekedar membeli soda untuk nanti di rumah.

Jinan berdiri di depan kasir sambil menunggu penjaga kasir itu memberinya bil. Tak lama setelah itu, Jinan keluar.

Alih-alih langsung pulang, Jinan malah memilih untuj duduk di lantai di depan toko itu. Sambil membuka sekaleng soda yang tadi ia beli.

Jinan menghela napasnya, kemudian ia menengadah menatap langit. Terlihat beberapa bintang disana, indah langitnya indah. Namun, Jinan malah merasa sedih.

Jinan kembali menghela napasnya, kemudian meneguk sekaleng soda yang tadi ia buka.

Kenapa, ya? Setiap kali Jinan melihat Caca bersama keluarganya, Jinan selalu merasa jika dirinya jadi satu-satunya orang yang paling kesepian.

Jujur saja, jauh di dalam lubuk hati Jinan, pemuda itu selalu merasa iri. Jinan iri pada sang kakak, sebab ia masih mempunyai tempat untuk sekedar mengadu. Sedangkan Jinan? Dirinya sendirian.

Berkali-kali Caca mengatakan agar Jinan menganggap bundanya sebagai bunda Jinan juga. Namun Jinan enggan, sebab rasanya berbeda.

“Ah anjing, lemah banget lo Ji,” gumam Jinan sambil tersenyum tipis.

Jinan membuang napasnya. Dan saat ia sedang meneguk soda yang berada di genggamannya tiba-tiba saja seseorang duduk di sampingnya.

Sama seperti yang Jinan lakukan, orang itu juga duduk dan meneguk sekaleng soda.

Jinan menoleh pada orang itu, memberikan tatapan heran sebab dia tiba-tiba saja duduk di samping Jinan.

“Sulit, ya?” ucapnya tiba-tiba, membuat Jinan mengerutkan keningnya.

Orang itu terkekeh, kemudia terdengar helaan napas. “Hidup itu terus berjalan, banyak hal yang belum kamu dapat, entah itu bahagia atau sakit.”

“Maksudnya?”

Alih-alih menjawab, orang itu malah berdiri dan mulai melangkah. Namun sebelum itu, dia menepuk pundak Jinan pelan. “Kamu, mirip sekali dengan dia …” gumamnya membuat Jinan lagi-lagi mengerutkan keningnya.

Orang itu beranjak. Namun, sebelum benar-benar pergi, Jinan sudah lebih dulu angkat suara membuat langkah kakinya terhenti.

“Dia siapa? Kamu siapa?” Tanya Jinan yang kini berdiri.

Orang itu menoleh pada Jinan, kemudian tersenyum.

“Saya, Arkanata.”

Saat ini, Juli tengah berhadapan dengan Sagara di parkiran cafe tempat kerja Juli.

Entahlah, perempuan itu pun tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja Sagara menghampirinya.

Sagara bilang dia ingin mengatakan sesuatu. Maka dari itu, sekarang dia tengah menatap Juli.

“Ada apa?” Tanya Juli.

Sagara hanya terdiam, sejak Juli menghampirinya atensi Sagara tidak beralih untuk terus menatap Juli.

Ini memang aneh, Sagara bahkan tidak pernah merasa secandu ini. Sejak Sagara mengenal Juli, secara tidak langsung, semua hal yang berkaitan dengan perempuan itu sangat melekat di pikiran Sagara. Seolah-olah, Juli selalu berlarian di pikirannya.

“Sagara, ada apa? Dari tadi saya nanya loh,” ucap Juli sebab Sagara sedari tadi hanya terdiam memperhatikannya.

Sagara lalu menyandarkan punggungnya di mobil, lengannya kemudian mengait di depan dadanya. “Kenapa saya gak boleh suka kamu, Jul?” Tanya Sagara membuat Juli tiba-tiba sama menatapnya.

Perempuan itu terdiam.

“Kenapa saya gak boleh suka kamu, Jul?” Lagi, Sagara kembali mengulang pertanyaannya.

Juli menghela napasnya, kemudian dia menunduk. “Karena saya gak punya apa-apa Saga …” lirih Juli pelan.

Sagara menghela napasnya, kemudian perlahan jemarinya bergerak untuk meraih dagu perempuan itu agar ia menatapnya.

“Liat mata saya, Jul. Saya beneran suka kamu, saya gak becanda, dan saya serius,” jelas Sagara pada Juli.

Juli menatap netra hitam milik lelaki itu. Dan benar saja, disana, Juli tidak melihat kebohongan.

“Saya takut Sagara …”

“Saya takut orang-orang meng-“ belum sempat Juli menyelesaikan kalimatnya, Sagara sudah lebih dulu menarik Juli agar masuk ke dalam dekapannya.

Trust me, no one can hurt you. Ada saya Juli, percaya sama saya, ya?”