Sulit, ya?

Sebelum benar-benar pulang ke rumah, pemuda itu memilih untuk mampir dulu ke sebuah toko, sekedar membeli soda untuk nanti di rumah.

Jinan berdiri di depan kasir sambil menunggu penjaga kasir itu memberinya bil. Tak lama setelah itu, Jinan keluar.

Alih-alih langsung pulang, Jinan malah memilih untuj duduk di lantai di depan toko itu. Sambil membuka sekaleng soda yang tadi ia beli.

Jinan menghela napasnya, kemudian ia menengadah menatap langit. Terlihat beberapa bintang disana, indah langitnya indah. Namun, Jinan malah merasa sedih.

Jinan kembali menghela napasnya, kemudian meneguk sekaleng soda yang tadi ia buka.

Kenapa, ya? Setiap kali Jinan melihat Caca bersama keluarganya, Jinan selalu merasa jika dirinya jadi satu-satunya orang yang paling kesepian.

Jujur saja, jauh di dalam lubuk hati Jinan, pemuda itu selalu merasa iri. Jinan iri pada sang kakak, sebab ia masih mempunyai tempat untuk sekedar mengadu. Sedangkan Jinan? Dirinya sendirian.

Berkali-kali Caca mengatakan agar Jinan menganggap bundanya sebagai bunda Jinan juga. Namun Jinan enggan, sebab rasanya berbeda.

“Ah anjing, lemah banget lo Ji,” gumam Jinan sambil tersenyum tipis.

Jinan membuang napasnya. Dan saat ia sedang meneguk soda yang berada di genggamannya tiba-tiba saja seseorang duduk di sampingnya.

Sama seperti yang Jinan lakukan, orang itu juga duduk dan meneguk sekaleng soda.

Jinan menoleh pada orang itu, memberikan tatapan heran sebab dia tiba-tiba saja duduk di samping Jinan.

“Sulit, ya?” ucapnya tiba-tiba, membuat Jinan mengerutkan keningnya.

Orang itu terkekeh, kemudia terdengar helaan napas. “Hidup itu terus berjalan, banyak hal yang belum kamu dapat, entah itu bahagia atau sakit.”

“Maksudnya?”

Alih-alih menjawab, orang itu malah berdiri dan mulai melangkah. Namun sebelum itu, dia menepuk pundak Jinan pelan. “Kamu, mirip sekali dengan dia …” gumamnya membuat Jinan lagi-lagi mengerutkan keningnya.

Orang itu beranjak. Namun, sebelum benar-benar pergi, Jinan sudah lebih dulu angkat suara membuat langkah kakinya terhenti.

“Dia siapa? Kamu siapa?” Tanya Jinan yang kini berdiri.

Orang itu menoleh pada Jinan, kemudian tersenyum.

“Saya, Arkanata.”