Jjaejaepeach

“Bu?”

“Ibu jangan kemana-mana lagi, kakak takut …,” lirih Caca.

“Ibu kok gak ada lagi. Ibu, IBU!” Caca berteriak kemudian ia bangun dari tidurnya.

“KAK!” Tiba-tiba saja Jinan datang dan langsung memeluk Caca.

“Ibu mana?” Tanya Caca pada Jinan. Sedangkan Jinan hanyabterdiam.

Caca kemudian manangis. “Tadi ibu ngirim chat ke kakak. Terus kakak liat ibu dari jauh. Adek … kakak liat ibu. Sekarang ibu mana?” Oceh Caca pada Jinan.

Jinan menghela napasnya. “Kakak cuma mimpi, gak ada ibu, gak ada siapa-siapa. Cuma ada Jinan …” ucap Jinan pada Caca.

Mendengar hal itu lantas Caca kembali menangis.

Tanpa berbicara sepatah kata apapun, Jinan menarik Caca masuk ke dalam pelukannya. Tubuh Caca terasa sangat panas.

“Kak, jangan sakit, Jinan gak suka liatnya.”

“Jangan sakit, ya? Nanti ibu sama ayah sedih …,” lirih Jinan dalam pelukan itu sambil berusaha menenangkan Caca.

“Gak ada ibu kak. Peluk adek aja, ada adek disini buat kakak,” ucapnya lagi membuat Caca semakin menangis.

“Kakak kangen ibu …”

“Iya, adek juga, kak.”

Juli melangkahkan kakinya ke arah meja dimana Sagara tengah terduduk sambil tersenyum ke arahnya.

“Ini minumnya,” ucap Juli sambil memberikan segelas kopi pada Sagara.

Sagara tersenyum dengan matanya yang menyipit. “Makasih,” ucapnya.

Juli kemudian duduk di hadapan Sagara, sambil sesekali melirik jam tangannya, sebab seharusnya ia sudah pulang sejak lima belas menit yang lalu. Tetapi, karena pemilik cafe yakni Jovan belum datang, jadinya Juli tidak bisa pulang.

“Saya kan belum bilang iya tadi, kok malah kesini?” Tanya Juli pada Sagara.

Sagara menyerengeh. “Gapapa, kalo saya gak kesini gak jadi-jadi dong jalannya,” ucap Sagara.

Juli menggeleng.

Sejujurnya ada sedikit perasaan aneh yang dirasakan Juli terhadap Sagara. Bukan, bukan perasaan suka, hanya saja ia merasa aneh perihal sikap Sagara kepadanya.

“Kamu emang gak malu ya mau temenan sama saya?” Tanya Juli lagi membuat Sagara menatapnya lucu kemudian menggeleng.

“Enggak, kenapa harus malu?”

Juli terkekeh canggung. “Karena saya kayak gini Sagara. Liat baju saja juga kotor,” ucap Juli.

Sagara menatap perempuan itu kemudian Sagara tertawa. “Baju saya juga kotor tuh. Lagian emang temenan harus ngeliat apa sih?” Tanya Sagara kepada Juli.

Juli terdiam, kemudian ia menggeleng. “Gak tau hehe.”

Lagi-lagi Sagara tersenyum. “Juli, saya mau temenan sama kamu murni mau temenan, bukan mau apa-apa. Dan saya juga gak peduli kok mau kamu kaya atau engga. Kalo emang saya mau kenal yaudah.”

“Kalo kamu ngerasa gak enak karena ucapan temen-temen saya, saya minta maaf, ya? Jangan di dengerin ok? Karena yang mau kenal lebih jauh sama kamu itu saya bukan temen-temen saya. Kamu jangan khawatir. Kalau pun nanti ada yang bilang jahat lagi sama kamu, bilang ke saya, ya?” Sagara berucap dengan jemarinya yang tanpa sadar mengacak pelan pucuk kepala Juli.

Kenapa perkataannya hangat?

Juli terdiam mendengar ucapan Sagara. Kemudian Juli menatap Sagara, dan ia tersenyum. “Sagara, mau ke panti asuhan, gak? Ayo, saya kenalin kamu sama anak-anak!”

Bintang tertawa saat mendengarkan ocehan Hanan tentang ia yang tengah bercerita mengenai Lintang.

“Jangan diledekin terus, anaknya gampang ngambek,” ucap Bintang.

“Bodo amat anjir hahaha, siapa suruh nyakitin lo?” balas Hanan.

Bintang kembali tertawa, kemudian dirinya menatap Hanan yang tengah duduk di hadapannya.

Saat ini, mereka tengah berada di lapangan alun-alun, duduk di tengah-tengah sambil memakan beberapa jajanan.

Hanan itu, suka sekali mengajak Bintang jajan telur gulung. Sebab menurutnya rasa telur gulung bisa menambah suasana hati menjadi lebih baik.

Atensi Hanan sejak dari tidak lepas dari Bintang. Lengkung di wajahnya ikut menyinggung kala ia mendengar tawa dari perempuan di hadapannya ini.

Hanan tersenyum, kemudian lengannya bergerak mengusap pucuk kepala Bintang. “Jangan sedih-sedih lagi, ya, Bin?”

Bintang menatap Hanan, lalu ia tersenyum dan mengangguk. “Iya enggak,” balasnya.

“Iya jangan, because you deserve to be happy, nanti kalo misal lo sedih gue juga ikutan sedih.”

“Kok ikutan sedih?” Bintang bertanya.

“Soalnya separuh hidupku adalah kamu, hahahaha,” Hanan tertawa membuat Bintang memukulnya sambil ikut tertawa.

“Ih lo bisa aja, hahahaha.”

Sudah sejak lama Bintang tidak menemui lelaki ini. Setelah banyak sekali masalah di antara mereka, akhirnya Bintang memberanikan diri untuk kembali menemui Lintang.

Saat ini, keduanya tengah duduk di tepian danau tempat yang biasanya mereka datangi setiap kali jam kosong.

Bintang menghela napasnya, sedangkan Lintang melirik ke arah Bintang sesekali, memastikan jika perempuan ini baik-baik saja.

“Lin,” ucap Bintang membuat lelaki itu menoleh.

“Hmm?”

Entah kenapa Bintang merasa sangat canggung. Tidak seperti dulu, dimana ia yang selalu menyambut hangat kehadiran lelaki ini tapi sekarang rasanya berbeda sekali.

Bintang merasa, ada sesuatu yang hilang dari diri lelaki ini.

Lintang menatap Bintang yang tengah menunduk. “Bin,” ucapnya.

“Lo benci gue, ya sekarang?” Tanya Lintang.

Bintang terdiam.

Lelaki itu menarik napasnya dalam.

Sial, rasanya kenapa sesak sekali?

“Sabita ninggalin gue Bin ….” Lirihnya.

“Iya,” jawab Bintang.

“Bintang maaf. Maafin gue,” ucap Lintang.

Bintang menghela napasnya. Demi apapun, Bintang merasa sesak sekali, seperti ada sesuatu yang menusuk ruang dadanya.

“Gue bodoh banget ya Bin? Maaf …” lirih Lintang lagi.

“Harus jya g—“ belum sempat Lintang menyelesaikan kalimatnya, Bintang lebih dulu bersuara.

“Gue sayang sama lo,” ucap Bintang tanpa menoleh.

“Gue masih sayang sama lo Lintang. Gue engga pernah benci sama lo, gue gak bisa ….” Lirih perempuan itu membuat Lintang terdiam.

“Bahkan ketika lo udah gak prioritasin gue lagi, gue masih sayang sama lo Lin,” ucap Bintang.

Lagi lagi Lintang terdiam.

“Gue saya—“

“Jangan,” Lintang memotong ucapan Bintang.

“Jangan jatuh cinta sama gue Bintang ….” Lirih lelaki itu.

Rasa sesak kembali menyeruak ke seluruh ruang dada Bintang.

“Kenapa?”

“Kenapa gue gak boleh jatuh cinta sama lo? Sedangkan lo dengan gampang mempersilahkan orang lain masuk ke hidup lo. Tapi kenapa gue gak boleh, Lin?” Tanya Bintang.

Lintang menatap perempuan di sampingnya kemudian ia menghela napasnya. “Gue gak mau kehilangan lo cuma karena perasaan kayak gini. Gue akuin, gue juga sayang sama lo. Tapi gue gak bisa kalo misal kita lebih dari seorang temen, gue gak bisa Bin,” ucap Lintang.

“Ya kenapa?”

Lelaki itu terdiam.

“Jawab Lintang.”

“Kenapa sih? Gue gak ngerti. Lo selalu bilang ke gue buat jangan jatuh cinta sama lo. Tapi kenapa sikap lo selama ini selalu kayak narik ulur hati gue, Lin? Sikap lo yang nyuruh gue ngejauh, tapi setelah gue ngejauh lo selalu mohon-mohon buat gue balik dan gak ngejauh. Lo ini sebenarnya mau apa?”

“Jawab Lintang, gue nanya.”

Lagi-lagi Lintang menghela napasnya, kemudian tiba-tiba saja ia beranjak.

“Karena rasa sayang gue ke lo gak lebih dari seorang temen, Bin.”

We’re just friend, gak lebih. Maka dari itu gue gak mau ngancurin hubungan gue sama lo cuma karena status, gue gak bisa Bintang ….” Ucap Lintang yang kini berdiri.

Bintang kemudian terisak, sebab perasaannya pada Lintang benar-benar tidak pernah hilang. Sekalipun Bintang bersikap seolah tidak peduli.

“Maafin gue. Gue mau lo ada di sisi gue, tapi …”

Lintang menarik napasnya dalam.

“Tapi, kalau buat saling milikin gue gak bisa, Bin. Gue takut gue gak bisa jagain lo, maafin gue …” lirih Lintang lagi.

“Kita pulang aja, ya?” Ucap Lintang yang kini berjongkok sambil mengusap helaian rambut Bintang yang menutupi matanya.

Bintang terisak kemudian ia menggeleng. “Lo jahat …” lirihnya.

Lintang memejamkan matanya, kemudian ia menarik Bintang kepelukannya.

“Maaf …” lirih Lintang.

“Pulang, ya? Gue anterin,” bujuk Lintang.

“Pergi aja gue bisa sendiri,” jawab Lintang sambil melepaskan pelukannya.

“Bin …”

“Pergi aja Lin.”

“PERGI!” Teriak Bintang yang akhirnya membuat Lintang kembali berdiri.

Lintang kembali menarik napasnya dalam, sedetik kemudian ia mulai beranjak pergi dari sana sambil menahan sesaknya.

“Maafin gue ….” Lirih Lintang sambil melirik perempuan itu sekilas sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan Bintang sendirian.

Benar saja, mobil putih milik Sagara sudah menunggu di depan pintu masuk rumah sakit.

Juli segera beegegas menuju mobil itu, sambil sesekali mengusap dada sebelah kirinya guna meredakan rasa tidak karuan yang tiba-tiba saja datang.

Dengan perlahan, Juli mengetuk jendela mobil Sagara, sambil tersenyum. Lalu tak lama mobil itu terbuka menampilkan sosok Sagara yang kini tersenyum ke arah Juli dengan matanya yang menyipit.

Juli terdiam sejenak, sampai akhirnya Sagara berbicara menyuruh Juli agar segera masuk.

“Hi …” ucap Juli sedikit canggung.

Ini, kali ketiganya Juli menaiki mobil Sagara.

Sagara melirik sejenak ke arah Juli, sebelum akhirnya ia menancap gas untuk segera pergi dari sana.

“Jadi ini belinya dimana?” Sagara bersuara, membuat Juli menoleh.

“Biasanya saya beli di deket pertigaan yang mau ke kampus, soalnya kalo yang deket kosan saya udah tutup kalo jam segini,” ucap Juli.

Sagara hanya mengangguk.

Butuh waktu lima belas menit hingga akhirnya mereka tiba di tempat tujuan.

Sagara sedikit terdiam kala melihat tempat yang dimaksud Juli.

Juli menoleh pada Sagara, sebelum akhirnya ia menarik lengan Sagara agar ikut masuk dan duduk di penjual nasi kuning kaki lima itu.

“Pak, pesen dua porsi ya. Punya saya kayak biasa, kalo yang satunya yang komplit aja,” ucap Juli, sedangkan Sagara hanya memperhatikan.

Demi apapun, selama Sagara hidup, baru kali ini ia menginjakkan kaki di tempat seperti ini.

Tidak, bukan karena Sagara tidak suka dan jijik, hanya saja dia memang terlahir dari keluarga berada yang tidak pernah sekali pun membawanya ke tempat sederhana seperti yang sekarang ia lakukan.

Sagara menarik napasnya, kemudian ia memperhatikan Juli dan juga orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya.

“Panas, ya?” Tanya Juli kala ia melihat keringat di dahi Sagara.

“Eh enggak kok, hehe,” balas Sagara membuat Juli terkekeh.

“Sagara.”

Sagara menoleh pada Juli. “Iya apa?”

“Beneran gak tau nasi kuning, ya?”

Sagara menggeleng kemudian ia tertawa. “Enggak, haha,”

“Kok bisa sih nasinya gitu?” Tanya Sagara pada Juli.

juli merubah posisi duduknya menjadi menghadap Sagara, kemudian ia berbicara dengan tangannya yang tidak diam.

“Jadi, kenapa disebut nasi kuning tuh karena warna nasinya kuning. Nah, dan yang kuning itu dari rempah Sagara. Nama rempahnya kunyit, tau kunyit, gak?” Tanya Juli dibalas gelengan oleh Sagara.

Juli terkekeh pelan. “Kunyit tuh gimana ya, jadi warnanya kuning gitu loh. Terus nanti sarinya dicampur sama nasi, sama bumbu lainnya. Enak pokoknya. Terus nanti ada telur, ada orek tempe, sama kadang ada ayam!” Ucap Juli dengan semangat menjelaskan pada Sagara perihal apa itu nasi kuning.

“Saya kalo laper suka beli aja ini, murah terus juga bikin kenyang, enak juga haha,” Juli tertawa.

Sagara diam-diam tersenyum kala ia memperhatikan bagaimana cara Juli berbicara. Terlihat disana, sorot bahagia saat Juli sedang bebicara. Mata perempuan itu benar-benar bersinar. Bahkan tanpa sadar, suara Juli itu candu.

Sagara hanya tersenyum sambil mendengarkan Juli, mata lelaki itu menyipit dan juga bibirnya tidak berhenti menyinggung membentuk sabit.

“Jadi gitu,” ucap Juli diakhir ucapannya, membuat Sagara terkekeh.

“Makasih.”

Juli menatap Sagara. “Kok makasih?”

“Makasih ilmunya, hahaha,” Sagara tertawa.

Juli hanya menggeleng, lalu tak lama setelah itu pesanan mereka datang.

“Selamat makan Sagara, semoga suka ya ….”

Seharian ini Juli bekerja seperti biasa. Tidak sulit, hanya sekedar mengantarkan pesanan juga membersihkan meja.

Hari sudah berganti jadi malam, seperti yang dikatakan Jovan sebelumnya, bahwa malam ini akan ada yang menyewa cafe untuk acara. Entahlah, Juli juga tidak tahu acara seperti apa yang akan dilaksanakan.

Dari pukul empat sore, cafe sudah mulai mempersiapkan berbagai hal, dari mulai menyusun tempat sampai mempersiapkan beberapa dessert dan juga minuman.

Juli hanya duduk di depan meja kasir, sambil memperhatikan orang-orang yang terlihat seumuran dengannya berdatangan.

Juli menghela napasnya. Terkadang ia iri dengan orang-orang. Disaat seharusnya ia menikmati masa muda dengan menyenangkan. Juli malah mati-matian bekerja demi bisa menghidupi dirinya serta adik satu-satunya.

Lagi, Juli kembali menghela napasnya, dan sedetik kemudian Juli berdiri dan mulai menyapa orang-orang yang berdatangan.

Juli mempeehatikan orang-orang itu, dan ada beberapa orang yang Juli kenal, sebab itu adalah mahasiswa yang sekampus dengannya.

Saat sedang fokus menyapa pelanggan yang datang, tiba-tiba saja jantung Juli berdegup kencang. Sebab ia melihat Sagara dan teman-temannya yang datang kesana. Juli sangat gugup, terlebih saat ia melihat Fauzan.

Mereka melangkah masuk, kemudian netra Sagara menatap Juli, lelaki itu tersenyum pada Juli, begitu juga Juli.

Mereka duduk dan kemudian ikut berbaur bersama orang lain. Ternyata ini acara Sagara dan teman-temannya. Terdengar suara musik yang mulai menyala. Membuat suasana cafe tedengar bising.

Juli hanya duduk sambil memperhatikan mereka semua, terkadang ia ikut tersenyum saat melihat orang-orang itu saling bercanda. Jujur saja, Juli iri. Sebab ia tidak mempunyai teman sebanyak itu. Jangankan teman dekat, ada yang mau berteman dengannya juga Juli sudah bersyukur.

“WOY!” Tiba-tiba saja terdengar suara teriakan membuat Juli menoleh. Jul segera bergegas menuju meja itu.

“Iya? Ada yang bisa dibantu?” Ucap Juli ramah. Disana ada Sagara juga yang tengah terduduk sambil melihat ke arah Juli.

“Mana pesenan gue? Lama banget,” ucap Fauzan pada Juli.

Beberapa orang perempuan disana juga memperhatikan Juli dengan tatapan jijik? Ya seperti itu.

“Oh iya sebentar,” Juli segera bergegas untuk menanyai pesanan Fauzan pada Kemal.

Butuh waktu beberapa saat sampai akhirnya Juli kembali dengan membawa nampan berisi minuman. Juli berjalan dengan sangat hati-hati.

Namun, belum sempat Juli menyimpan minumannya di meja, tiba-tiba saja ia terpeleset yang menyebabkan minuman itu tumpah.

“Bego, minuman gue!” Ucap Fauzan.

“Ih baju gue kecipratan,” ucap seorang perempuan di samping Fauzan.

“Lo bisa kerja yang bener gak sih?” Ucap salah seorang perempuan yang duduk di samping Sagara.

Juli segara bangkit dan juga segera membersihkan tumpahan itu.

“Makanya, lo kalo punya mata pake! Mau gue laporin lo ke yang punya cafe? Kerja gak bener,” ucap Fauzan dengan nada kesalnya.

Juli hanya menunduk.

“Udah tau lo kerja, butuh duit. Kerja yang be—“ belum sempat Fauzan menyelesaikan kalimatnya, Sagara bangkit dan membanting kunci mobil yang sedari tadi ia genggam.

Sagara menatap Fauzan dengan kesal, ia kemudian beranjak dan mendekat pada Juli, membantunya membersihkan kekacauan itu. “Sorry ya,” gumamnya pada telinga Juli.

“Gak usah, saya aj—“

Sagara tiba-tiba saja menarik Juli pergi dari sana.

“Sagara kemana ih!” Teriak seorang perempuan disana.

Sagara membawa Juli keluar dari cafe itu, kemudian ia membantu Juli melepas celemek yang basah itu.

Juli hanya menunduk sambil menahan tangisnya. Netra Sagara pun ikut bergerak menatap Juli kala ia mendengar isakan kecil dari perumpuan di hadapannya ini.

“Maafin saya ya …” lirih Juli.

Perempuan itu terisak.

Sagara menghela napasnya, kemudian tanpa aba-aba tangannya bergerak mengusap air mata Juli.

“Maafin temen-temen saya, ya? Jangan nangis, maaf,” ucap Sagara yang kemudian ia segera menarik Juli ke dalam pelukannya.

Sagara, Farel, Sadewa, dan Juga Fauzan, kini mereka tengah berkumpul di sebuah cafe. Sambil berbincang mengenai project musik yang akan mereka lakukan dua bulan lagi.

“Masalahnya kita kurang pemainnya anjir. Si Axel mau sidang jadi gak bisa,” ucap Sadewa sambil menyeruput kopinya.

Fauzan menghela napasnya. “Dia sidang bulan depan, kita main bulan depannya lagi. Bisa kali? Tar aja gua bujuk,” ucap Fauzan sambil menyandarkan tubuhnya.

Saat tengah asik berbincang, tiba-tiba saja datang seseorang sambil membawa pesanan milik Sagara dan juga Farel.

“Permisi mas, in—“ belum sempat orang itu menyimpan minuman di meja, tiba-tiba saja Sagara membulatkan matanya sambil berkata.

“Juli?” Ucapnya membuat orang itu menoleh pada Sagara.

“Loh? Sagara?” Jawab Juli yang juga kaget melihat Sagara.

Teman-teman Sagara ikut menatap perempuan itu.

“Siapa Gar?” Tanya Sadewa.

“Yang kata gue kemarin,” ucap Sagara.

Fauzan menatap Juli dari bawah sampai atas, kemudian ia berdecih.

“Ini yang numpahin kopi ke sepatu lo?” Ucap Fauzan.

Juli menatap Fauzan sejenak kemudian menunduk.

Fauzan terkekeh. “Udah tau gak punya duit, sok-sokan mau ganti. Kerja aja dah lu yang bener biar bisa ganti sepatu temen gua,” ucap Fauzan membuat Juli terus menunduk dan bergumam kata maaf.

“Maaf …” lirihnya.

Sagara menepuk bahu Fauzan. “Jangan gitu anjing,” bisiknya.

“Gaji lo berapa dah? Nyicil berapa bulan lo? Hahaha,” Fauzan tertawa.

“Hadeuh, udah tau oran susah. Ada aja tingkahnya,” lanjut lelaki itu membuat Juli menahan tangisnya.

Juli menarik napasnya, kemudian ia segera menyimpan pesanan itu.

“Ini pesanannya. Permisi …” Juli segera pergi dari sana sambil menahan tangisnya.

“Jaga omongan lo anjing!” Ucap Sagara pada Fauzan sepeninggalan Juli.

“Ganti ke video call dong, cepet!” Ucap Lintang dari sebrang sana. Membuat Bintang berdecak.

“Nih udah!” Balas Bintang kala ia merubah mode telepon menjadi sambungan video.

Terlihat Lintang yang tengah terkekeh disana.

“Marah mulu, pms lo?” tanya Lintang.

Bintang hanya menggulirkan matanya. “Mau apa sih?”

”Gapapa sih, udah lama aja kita gak ngonrol gini,” ucap Lintang.

Perempuan itu hanya tertawa, pasalnya sahabatnya satu ini aneh sekali. Padahal setiap hari mereka bertemu di kampus, atau tidak Lintang yang selalu datang menjemput Bintang untuk sekedar pergi mencari makan atau meminta tolong agar diantar.

”Do you hear me? I’m talking to you. Across the water across the sea …” tiba-tiba saja Lintang bersenandung.

Bintang diam-diam memperhatikan wajah Lintang disana. Kemudian ia menghela napas.

Kenapa harus jatuh cinta sama Lintang, ya?

”Lucky i’m in love with my best friend ….” gumam Lintang lagi.

Mendengar lirik itu Bintang hanya tersenyum tipis.

iya, andai aja kayak gitu.

Perempuan itu terus memperhatikan Lintang yang tengah asik menyanyikan beberapa lagu, dan tanpa sadar ia terus saja tersenyum kala memperhatikan Lintang.

Bintang ternyata sudah jatuh sedalam ini pada Lintang.

Hampir beberapa menit Lintang bernyanyi sendirian. Hingga akhirnya ia berhenti dan memandang layar di depannya. Lintang tersenyum kala melihat Bintang yang ternyata sudah memejamkan matanya.

Lintang terkekeh pelan, kemudian ia bergumam. “*Cantik banget lo Bin. Mimpi indah ya ….” gumam Lintang. ”jangan ngejauh, gue sayang sama lo,” lanjutnya dengan sangat pelan. Sebelum akhirnya ia menutup panggilan itu.

Haikal melangkahkan kakinya ke arah meja makan. Terlihat disana ada Jerico, Caca, Jinan, serta Adel.

Haikal berhenti sejenak, netranya kemudian bergerak ke arah tempat duduk dimana biasanya Ralita duduk disana untuk makan.

Semuanya ikut menoleh pada arah pandang Haikal.

Haikal menarik napasnya dalam, berusaha menahan sesak luar biasa yang terus saja menusuknya.

Haikal kemudian berjalan dan duduk disamping kursi kosong itu.

“Ayah ....” lirih Caca yang berada di samping Haikal. Haikal menoleh kemudian tersenyum.

“Ayah gapapa,” ucap Haikal tersenyum.

Netra Haikal kemudian menatap Jinan yang duduk di kursi sebrangnya. Lagi-lagi Haikal tersenyum, berusaha meyakinkan kedua anaknya bahwa ia baik-baik saja.

“Nah, ayo makan!” Tiba-tiba saja Jerico bersuara, berusaha mencairkan suasana kala itu.

“Nih buat adek sama kakak,” ucap Adel sambil memberikan sepiring nasi.

Haikal menatap kedua anaknya bergantian, kemudian tersenyum pelan.

“Makan yang banyak ya,” ucap Haikal.

“Ayah makan juga, ok? Biar kuat kayak adek!” Ucap Jinan membuat Haikal terkekeh pelan.

“Iya adek, ini ayah makan.”

Haikal kemudian meraih piring dan mengambil beberapa lauk pauk kesukaannya.

Lagi-lagi fokus Haikal berhenti di salah satu piring dimana itu berisi makanan kesukaan Ralita.

Haikal menghela napasnya, kemudian berusaha keras menepis pikirannya perihal Ralita.

“Ayo makan,” ucap Haikal dengan senyumannya yang terlihat sangat menyedihkan.

Demi apapun, selama enam bulan terakhir, Haikal seolah kehilangan jiwanya. Ia sama sekali tidak ingin melakukan apa-apa. Bahkan pekerjaan pun, Haikal mengalihkannya sementara pada orang kepercayaannya.

Selama enam bulan terakhir, yang Haikal lakukan hanyalah duduk di kursi kamar yang menghadap ke area kebun belakang rumahnya. Haikal selalu duduk disana, berharap jika nanti saat Haikal menoleh ke sampingnya ada Ralita disana.

Berkali-kali Haikal menggelengkan kepalanya, sebab ia melihat Ralita duduk disana sambil menatapnya dengan tatapan sedih, mengisyaratkan agar Haikal jangan terlalu berlarut sedih tentang kehilangannya.

Di tengah makannya, Haikal kembali menatap kursi kosong itu. Kemudian tiba-tiba saja ia menepuk dada sebelah kirinya. Sebab rasa sesak itu terlalu dalam dan menusuk.

Haikal menunduk kemudian ia menangis pelan. “Maaf, maaf ta ...” lirihnya sambil berusaha menghilangkan sesak di dadanya.

Semua orang menoleh pada Haikal.

“Ayah kenapa?”

Haikal masih menunduk, tak lama kemudian ia terjatuh dari duduknya dan terisak.

“Sakit banget sakit. Aku gak bisa, aku gak bisa, Ta ....” lirihnya yang langsung membuat Caca dan Jinan memeluknya.

“Ayah, ayah jangan gini,” Caca menangis begitu juga Jinan.

Jerico menatap Haikal dengan tatapan sedihnya. Ia juga bisa merasakan betapa sakitnya Haikal.

Caca dan Jinan memeluk Haikal erat. “Ayah jangan gini, ada Caca sama adek ...”

Haikal terisak, kemudian ia memeluk tubuh kedua anaknya itu. “Maaf, maafin ayah, maaf. Harusnya ayah gak gini, maaf ya maaf ....” lirihnya dalam pelukan itu.

Haikal kembali menatap kursi kosong dimana ia bisa melihat Ralita disana. Perempuan itu tersenyum pada Haikal.

”Jangan nangis, jangan nangis ...” perempuan itu menggeleng sambil tersenyum, membuat Haikal mengeratkan pelukannya kepada Caca dan Jinan.

Haikal benar-benar bisa melihat Ralita disana sedang tersenyum.

Dan juga berkali-kali ia menggumamkan kata maaf sebab ia terlalu egois perihal rasa sakit akibat kehilangan. Padahal, bukan hanya dirinya yang terpuruk, tapi anak-anaknya juga.

“Maaf ya maafin ayah ...” ucap Haikal sambil mengecup pucuk kepala anaknya.

Dua orang kakak beradik itu berjalan ke sebuah tempat.

Caca, yang paling tua itu tersenyum sambil menggenggam tangan Jinan.

Caca tersenyum, begitu juga Jinan.

“Halo ayah ....” ucap Caca.

“Ayah, maaf ya Caca sama adek baru kesini lagi. Sibuk banget,” Caca terkekeh pelan.

Caca tersenyum, kemudian tangannya terulur mengusap batu nisan bertuliskan nama sang ayah.

“Ayah lagi apa sama ibu disana?” Tanya Caca.

Fokus perempuan itu beralih, dan juga ia mengusap nisan di sebelahnya bertuliskan nama sang ibu.

“Ibu ....”

“Ayah nakal gak sih disana sama ibu? Ayah suka bikin kesel, gak?” Tanya Caca.

Di sampingnya ada Jinan. “Ayah ....”

“Ini, hadiah kesukaan ayah. Bunga mawar putih kesukaan ibu. Tadi adek sama kakak beli buat ayah sama ibu,” ucap Jinan sambil mengusap batu itu.

Caca menarik napasnya dalam. Ia rindu ayah, ia rindu ibu.

Waktu itu, tiga tahun setelah kepergian Ralita, Haikal jatuh sakit.

Haikal sakit, sebab tubuhnya selalu dipaksa untuk bekerja guna melupakan rasa sakit setelah kehilangan Ralita.

Haikal sakit selama hampir satu tahun lamanya.

Masih ingat jelas di ingatan Caca dan Jinan. Saat Haikal selalu saja mengatakan jika ia merindukan Ralita.

”Ayah kangen sama ibu ...” ucap Haikal saat itu setiap kali ia melihat tempat yang biasanya selalu ada Ralita disana.

Caca masih sangat ingat, saat Haikal selalu meminta padanya agar nanti, jika Haikal pergi, ia di tempatkan di samping Ralita.

*”Kakak, adek. Nanti, kalau ayah pergi, ayah mau tidur di samping ibu.”

Kala itu, Haikal mengatakannya dengan senyum yang terukir di wajahnya.

”Ayah mau tidur di samping ibu ya nanti. Biar tidurnya ayah tenang.”

Kakak, adek ... ayah itu sayang sekali sama ibu. Maaf, ya? Kalau ayah harus ninggalin kakak sama adek nanti. Tadi, waktu ayah tidur, ayah liat ibu duduk sambil senyum sama ayah,” ucap Haikal kala itu.

Demi apapun, masih sangat teringat jelas bagaimana senyuman Haikal kala itu.

Bahkan, sampai detik terakhir hidupnya. Haikal mengatakan jika ia sangat mencintai Ralita.

Berkali-kali Haikal mengatakan itu, hampir setiap hari. Sampai akhirnya tiba, dimana waktu Haikal menghembuskan napas terakhirnya. Di atas ranjang rumah sakit, sambil memeluk erat potret dirinya bersama Ralita.

Sebelum ia memejamkan matanya. Haikal itu selalu tersenyum dan mengatakan bahwa ia akan segera memeluk Ralita kembali. Dan benar saja, Haikal pergi. Sambil memeluk potret dirinya bersama Ralita.

Haikal pergi dengan permintaan dimana ia ingin tidur di samping Ralita.

Dan sekarang, Haikal tertidur di samping perempuan kesayangannya dengan tenang.

Haikal mencintai Ralita, sampai saat terakhir hidupnya. Ralita dan selalu Ralita.

Caca mengusap air matanya, sebelum akhirnya ia mengecup batu nisan bertuliskan Haikal dan Ralita secara bergantian.

“Ayah, ibu ...”

“Terima kasih, ya? Untuk semua kasih sayangnya buat Caca sama adek.”

“Ayah sama ibu gak perlu khawatir. Caca sama adek udah gede, hehe. Caca udah jadi dokter, biar nanti kalau ada yang sakit kayak ayah sama ibu, Caca bisa obatin.”

Caca tersenyum, sedangkan Jinan menepuk pundak Caca sambil menahan sesak dan rindu.

“Ayah, ibu ....”

“Caca pulang dulu, ya?” Ucap Caca sebelum akhirnya ia beranjak pergi dari sana sambil meninggalkan sebuah bunga mawar putih kesukaan ayah dan ibunya.

Dan sekali lagi.

Bahkan sampai detik terakhir mereka hidup. Baik Ralita dan Haikal, mereka masih selalu menggumamkan kata cinta satu sama lain.

Ralita yang tertidur sambil menggenggam jemari Haikal. Dan juga Haikal yang tertidur sambil memeluk potret dirinya bersama Ralita.

Sekarang semuanya sudah selesai.

Perjuangannya, kepedihannya. Semuanya sudah selesai. Baik Haikal dan Ralita, mereka sudah kembali bersama-sama lagi. Disana, di surga sana.

Terima kasih ya untuk semua rasa cintanya terhadap satu sama lain. Terima kasih karena selalu sanggup menguatkan dengan begitu hebat.

Tidak akan ada lagi perpisahan. Tidak akan ada lagi tangisan. Sebab sampai kapan pun kalian tidak akan pernah terpisah lagi.

Kini, Haikal bisa dengan leluasa memeluk kembali perempuan cantiknya tanpa khawatir akan perpisahan.

Terima kasih ya Haikal karena sudah memperlihatkan pada Ralita, sedalam dan setulus apa rasa cintanya.

Dan juga untuk Ralita, terima kasih ya, karena selalu mampu menjadi pelengkap serta penguat untuk semestanya Haikal.

Sekarang, biar semuanya jadi kenangan. Perjalanannya, perjuangannya, lukanya, dan bahagianya. Biar semua itu jadi kenangan yang akan selalu di kenang.

Dan lagi, semesta kembali mempertemukan mereka berdua setelah sebelumnya sempat kembali kehilangan.

Untuk dua insan yang selalu berhasil menyimpan banyak cinta untuk satu sama lainnya.

Tetap bahagia, ya? Terima kasih banyak.