Rindu.

Desir angin malam ini, terasa sangat menusuk pori-pori kulit pemuda itu.

Jinan-pemuda yang tengah menatap langit malam, dengan tangannya yang menggenggam segelas teh hangat.

Bibirnya terangkat, menampilkan sebuah lengkungan yang terlihat menggemaskan.

Netranya menatap kagum kerlip bintang yang terlihat sangat bersinar di atas sana. “Ibu sama ayah di sana lagi apa?” Gumamnya dengan fokus yang masih melihat ke atas.

Rasa sesak tiba-tiba saja menyeruak, ketika memori tentang dirinya ketika masih hidup bahagia bersama dengan ibu, ayah serta kakak.

Jinan menghela napasnya.

Sekarang sepi

Sejak ditinggalkan oleh ibu dan ayah, Jinan dipaksa untuk menjadi kuat dan tabah. Meskipun sebenarnya ia juga masih sangat kesulitan. Sebab, saat ia ditinggalkan, usianya bisa dibilang masih kecil dan butuh sekali bimbingan. Tapi, lagi-lagi semesta memberikan skenario pahit sebab anak ini harus tabah ketika ia kehilangan sosok ibu dan ayah dalam waktu yang tidak berbeda jauh.

Tidak ada yang baik-baik saja kehilangan. Termasuk Jinan yang kehilangan dua semestanya.

Masih sangat teringat jelas di memori Jinan, ketika dulu ia masih merasakan hangatnya sosok ibu dan ayah.

Mungkin benar, kenangan Jinan bersama kedua orang tuanya tidak sebanyak orang lain. Namun, dari dulu hingga sekarang, Jinan selalu mengingat setiap kalimat yang disampaikan oleh ibu dan ayah.

”Adek, nanti kalau sudah besar, harus bisa kuat ya adek. Apalagi adek laki-laki, adek harus kuatin bahunya, ya? Biar bisa jaga diri sendiri sama jaga kakak.

”Gapapa kalau orang-orang benci sama kita. Kita kan gak bisa ngatur orang lain buat terus selalu suka sama kita. Tapi adek, meskipun nanti banyak hal gak baik yang dateng ke kamu. Meskipun nanti banyak yang benci. Jangan lupa buat terus memaafkan ya, nak? Gapapa, pelan-pelan, dimulai dari hal-hal kecil,” ucap Ibu waktu itu pada Jinan yang tengah berbaring di sampingnya.

Jinan terkekeh pelan ketika memori-memori itu terlintas. “Iya ibu, adek gak akan lupa buat selalu ngasih maaf sama orang-orang kok,” gumam Jinan sambil berusaha kerasa menahan tangisnya.

Demi apapun, Jinan rindu sekali kehangatan yang dulu sempat ia rasakan.

Sekarang di rumah ini, terasa sangat sepi sekali. Tidak pernah sehangat dulu.

“Ibu sama ayah sekarang pasti lagi liatin adek, kan?” Tanyanya sambil tersenyum pelan.

“Adek gapapa kok, adek gak nangis,” ucapnya lagi sambil berusaha menahan tangisnya.

Ah demi apapun, Jinan sangat merindukan kedua orang tuanya.

“Ayah … ibu … maaf ya kalo adek suka nakal, adek bikin kakak marah terus. Maaf ya adek gak bisa jadi adik yang baik buat kakak.”

“Adek kangen ayah sama ibu.”

“Datang ke mimpi adek, ya?” ucap Jinan sebelum akhirnya ia pergi dari sana.