Jjaejaepeach

Rasa-rasanya, baru kemarin Jinan masuk sekolah dasar sambil diantar oleh ibu, ayah, dan kakak. Tapi ternyata sekarang, ia sudah memasuki fase dimana dirinya akan bertemu dengan jalan hidup yang sesungguhnya.

Namanya Jinan, lebih tepatnya Jinan Angkasa. Sosok anak yang sejak kecil dipaksa untuk menjadi dewasa oleh keadaan.

Setelah kehilangan ayah dan ibu, Jinan selalu saja mempertanyakan tentang bagaimana caranya menjadi dewasa. Bagaimana cara menjadi kuat supaya bisa melindungi satu dunianya yakni kakak.

Dari kecil, Jinan itu selalu diajarkan untuk jadi kuat, sebab kata ayah dan ibu, dunia itu kadang tak selalu baik. Lantas hal itu membuat Jinan mati-matian berusaha tumbuh dewasa walau kenyataannya ia juga kesulitan.

Terlalu banyak hal sulit yang tidak akan pernah bisa diutarakan oleh banyak kata. Jinan, terlalu banyak memendam beban dan ketakutannya sendirian.

Ia takut dewasa, ia takut gagal, dan ia takut ditinggalkan.

Entah sudah berapa ratus kali Jinan menangis sendirian di sudut kamar. Sampai akhirnya Jinan paham, jika dewasa itu adalah keharusan.

Saat ini, Jinan tengah duduk di meja bersama dengan teman-teman kelasnya, sambil menongon sebuah film dokumentasi yang ditayangkan di layar di hadapannya.

Gelak tawa terdengar nyaring di telinga Jinan ketika layar itu memperlihatkan bagaimana keseharian pada siswa dan siswi di sekolah itu.

Semua berjalan lancar. Sampai akhirnya layar berubah menjadi hitam dan lampu meredup, membuat semua orang terkejut. Lalu sedetik kemudian layar di hadapannya kembali menyala, menampilkan sosok-sosok pria dan wanita paruh baya.

Netra Jinan sungguh fokus sambil mendengarkan kalimat-kalimat yang tengah di sampaikan para orang tua kepada anak-anaknya.

Jinan tersenyum pelan ketika ia menyadari jika ia tidak bisa mendengar ucapan bangga dari orang tuanya.

Tanpa sadar netra Jinan berkaca-kaca. Rasanya sesak, entah kenapa.

Lantas anak itu mengangkat kepalanya memperhatikan langit-langit ruangan disana. “Yah, bu, adek gak bisa kayak mereka, ya?” Gumam Jinan sambil berusaha keras menahan air matanya.

Iya, Jinan tidak bisa seperti anak-anak lainnya yang mendapat video ucapan selamat dari kedua orang tuanya.

Jinan menarik napasnya dalam, berusaha meredakan sesak yang terus memaksa untuk keluar. Bahkan jemarinya mengepal hebat saking sesaknya yang terasa menyakitkan.

“Ji, lo gapapa?” tanya Adit yang tengah terduduk di samping Jinan.

Jinan menggeleng pelan. “Gue gapapa,” ucapnya tersenyum.

Jinan, selalu bisa menyembunyikan lukanya.

Sekarang sudah banyak sekali video dokumentasi yang di tampilkan. Dan Jinan hanya tersenyum tipis ketika menyadari jika ternyata hanya dirinya yang tidak mendapat ucapan.

Jinan kembali menarik napasnya, lalu ia beranjak. Namun, belum sempat Jinan meninggalkan meja, tiba-tiba saja terdengar sebuah suara yang sangat Jinan kenal, membuat anak itu segera menoleh.

”Untuk Jinan Angkasa, manusia hebat yang akan selalu jadi hebat …”

Jinan terdiam ketika menyadari jika disana terputar sebuah video yang menampilkan sang kakak yang tengah tersenyum.

”Halo adek … ini kakak,” ucap Caca dari video itu.

”Selamat, ya? Selamat hari kelulusan, cie udah gede ternyata.

Terdengar suara helaan naoas serta terlihat juga mata Caca yang berkaca-kaca dalam video itu.

”Adek …”

Makasih, ya? Makasih karena udah lahir dan jadi bagian penting di hidup kakak. Maaf, ya? Kalo selama ini kakak masih banyak kurangnya …”

Adek tau, gak? Kalo kakak bangga banget. Kakak bangga karena adek udah jadi hebat. Makasih, ya?” terlihat senyum Caca disana.

Jinan masih terpaku, bahkan tanpa sadar Jinan menjatuhkan air matanya.

”Selamat, ya. Selamat bertumbuh. Nanti, kalo kedepannya banyak kesulitan, tolong jangan lupa kalo kamu gak sendirian. Ada kakak, dan selalu ada kakak.”

Terdengar suara kekehan dari dalam video itu. ”Maaf ya buat pihak sekolah kalo cuma saya yang durasi videonya panjang haha.” ucap Caca membuat semua orang tertawa disana.

Jinan hanya terkekeh palan. “Kakak …” gumamnya.

Sebelum video itu selesai, Caca kembali angkat bicara. ”Sekarang adek liat ke arah pintu masuk belakang,” ucap Caca dalam video itu yang langsung membuat Jinan menoleh.

“Kak …” gumam Jinan ketika ia melihat Caca yang sudah berdiri di belakangnya sambil tersenyum bangga.

Jinan terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia berjalan mendekat dan memeluk Caca dengan erat.

“Kakak apasih adek jadi nangis, malu!” omel Jinan dalam pelukan itu, sedangkan Caca terkekeh.

“Maaf ya adek …” lirih Caca.

“Maaf karena lagi-lagi cuma ada kakak. Maaf, ya, karena di hari yang membanggakan ini adek cuma punya kakak …” lirih Caca menhana air matanya.

“Kakak tau, adek pengen kayak temen-temen adek yang datang sama ayah sama ibunya.”

“Maaf ya, maafin kakak karena adek harus ngerasa sepi …” ucap Caca dalam pelukan itu.

Jinan mengeratkan pelukannya. Tak peduli jika saat ini mereka jadi perhatian.

Jinan menggeleng. “Bukan salah kakak.”

“Jangan minta maaf, adek gak suka.”

Caca terisak pelan.

“Makasih, ya, kak. Makasih karena udah kerja keras buat nemenin adek sampai sekarang.”

“Kakak, adek janji. Nanti, adek bakal kasih semua dunia adek buat kakak, jadi kakak jangan kemana-mana ya sampai nanti adek udah bisa ngasih segalanya.”

Caca mengangguk pelan.

“Adek sayang kakak, dan adek janji bakal lebih dewasa lagi dari sekarang buat lindungin kakak.”

“Adek hebat, kan, kak?”

“Iya, adek hebat …”

Jinan kembali mengeratkan pelukannya. Begitu juga Caca.

“Selamat hari kelulusan ya jagoan kecil …” gumam Caca pelan.

Benar kata orang, jadi anak perempuan pertama itu sulit, sangat sulit.

Entah sudah berapa kali Caca menangis secara diam-diam hanya karena ia merasa jika dirinya masih belum mampu untuk menopang segala bebannya.

Iya, menjadi seseorang seperti Caca itu sulit. Apalagi ia mempunyai adik dari dua pihak. Ia harus bisa memposisikan dirinya agar tidak menyakiti satu sama lain.

Saat ini Caca tengah terduduk di tepi ranjangnya sambil berusaha keras manahan sesak yang menyeruak.

Berkali-kali Caca memaki dirinya sendiri sebab ia sangat payah.

Tidak, ia tidak sekuat itu. Ia tidak bisa menjadi kuat seperti apa yang selalu ayah bilang padanya.

”Kakak, jadi anak perempuan pertama itu bahunya harus tetap kokoh, ya? Ayah yakin kakak mampu kok. Kan anak yayah kuat, anak yayah pinter, iya, kan?

Caca menggeleng berkali-kali ketika memori percakapan dirinya dulu dengan sang ayah terlintas. “Enggak ayah, Caca gak sekuat itu, Caca gak bisa …” lirih Caca sambil menghapus air matanya.

Caca menarik napasnya dalam berusaha menghilangkan rasa sesak dan tangis ketika ia mendengar suara sang adik dari luar pintu kamarnya.

“Kakak, adek pulang, kakak di dalem?” Terdengar suara Jinan sambil mengetuk pintu kamar sang kakak.

“Iya sebentar! Kakak abis dari toilet,” balas Caca bohong.

Butuh waktu hampir satu menit hingga akhirnya Caca membuka pintu itu kemudian Caca tersenyum pada Jinan yang sekarang sudah lebih tinggi dari dirinya.

Jinan menatap Caca, lalu tanpa aba-aba ia menarik tubuh Caca ke dalam pelukannya dengan sangat erat. “Maaf ya kalo adek egois. Adek sayang kakak, adek cuma takut kakak lupain adek, maaf ya kak kalo kadang adek enggak bisa kontrol emosi adek dan malah bikin kakak marah …” lirih Jinan.

Caca terdiam lalu kemudian jemarinya bergerak mengusap pundak sang adik.

“Gak adek, ini bukan salah adek kok. Harusnya kakk yang minta maaf.”

“Maaf ya karena kakak belum bisa jadi kakak yang baik buat kamu. Kakak masih banyak kurangnya,” lirih Caca yang tanpa sadar menjatuhkan air matanya.

“Adek jangan ketemu ayah sama ibu sendirian lagi, ya? Maaf, maafin kakak,” gumam Caca sambil mengeratkan pelukannya.

Sungguh, mereka berdua ini sebenarnya sangat keras kepala. Hanya saja diantara keduanya, Jinan lah yang lebih sering mengalah dan hal itu lagi-lagi membuat Caca merasa payah.

“Mau makan? Ayok, kakak masakin makanan kesukaan adek,” ucap Caca yang kini mengusap pelan wajah sang adik yang terlihat sembab.

Caca terkekeh. “Jangan cemberut gitu, udah gede, udah mau lukus SMA, udah punya pacar,” ucap Caca sedangkan Jinan semakin mengerucutkan bibirnya.

“Iya, tapi adek masih jadi adik kecilnya kakak, kan?” Tanya Jinan.

Caca tersenyum. “Iya, adek masih jadi adik kecilnya kakak,” balas Caca mengusap pucuk kepala Jinan.

Benar, sampai kapanpun Jinan akan selalu menjadi adik kecil Caca.

“Kak …”

“Hmm?”

“Makasih ya karena gak ninggalin adek sendirian meskipun kakak masih punya rumah yang hangat.”

“Makasih karena kakak malah milih buat tinggal sama adek berdua, meskipun kakak punya pilihan buat ninggalin adek.”

“Makasih, ya, kak? Karena selalu jadi kakak yang hebat buat adek dari dulu.”

“Adek sayang kakak, dan adek cuma punya kakak. Jadi jangan kemana-mana, ya, kak?”

Benar saja, dengan langkahnyanyang tergesa-gesa, Hanan berjalan masuk ke dalam kamar Bintang, dan tentu saja atas izin ibu kos.

Hanan mengetuk pintu itu beberapa kali hingga akhirnya nemapilkan Bintang yang tengah memakai kaos dan juga celana panjang yang biasa ia pakai.

Hanan tersenyum, kemudian ia merentangkan tangannya begitu melihat Bintang berdiri di hadapannya.

Bintang menatap Hanan heran.

“Peluk Bin,” ucap Hanan yang sedetik kemudian membuat Bintang terkekeh.

“Bilang dong, kaget banget tiba-tiba gitu,” ucap Bintang sedangkan Hanan hanya menyerengeh.

“Gak ah, nanti aja. Sini masuk, bantuin aku packing hehe.”

Hanan hanya menggeleng kemudian ia melangkah masuk mengikuti Bintang.

“Eh ini pisang goreng titipan kamu,” ucap Hanan membuat Bintang menyuruhnya untuk menyimpan kantung kresek berisi pisang goreng itu ke meja.

Hanan menurut, kemudian tak lama ia duduk dinhadapan Bintang yang tengah fokus melipat beberapa pakaian.

Hampir beberapa menit Hanan hanya memperhatikan, hingga akhirnya terdengar suara helaan napas membuat Bintang menoleh padanya.

“Kenapa?” Tanya Bintang.

Hanan hanya menggeleng kemudian ia tersenyum. “Gapapa! Ayo sini aku bantuin,” ucap Hanan yang langsung saja meraih beberapa barany di hadapannya untuk dimasukan ke dalam koper.

Bintang hanya tersenyum. “Makasih, ya, Nan.”

Jujur saja, jauh di dalam lubuk hati Hanan, ia tidak ingin Bintang pergi. Apalagi mengingat jika dirinya dan Bintang masih belum cukup lama menghabiskan waktu bersama.

Berkali-kali Hanan menepis pikiran negatifnya mengenai skenario-skenario buruk yang mungkin saja akan terjadi dikemudian hari.

Hanan takut, sebab ia sangat mencintai Bintang sejak lama. Dan Hanan takut kehilangannya.

Hanan terus saja berusaha mengajak Bintang berbincang saat ini. Berbicara mengenai hal-hal menyenangkan guna menepis ketakutannya.

Dan saat tengah asik bercanda, tiba-tiba saja ponsel Bintang berbunyi membuat dirinya beranjak.

“Bentar ada kirim,” ucap Bintang.

“Kiriman apa?”

“Dari Lintang.”

Jinan nenghentakkan kakinya sambil berjalan ke arah kamar sang kakak, dengan kedua tangan yang menggenggam sebuah gulali.

“Kakak buka!” Teriak Jinan.

Hening.

“Kakak!” Teriaknya lagi.

Masih hening.

“Kak—“ belum sempat Jinan menyelesaikan ucapannya, pintu sudah lebih dulu terbuka, menampakkan sosok Caca yang dengan wajahnya dan matanya yang terlihat bengkak akibat menangis.

Jinan terdiam sejenak memeperhatikan sang kakak. Kemudian tak lama ia menghela napasnya lagi.

Wajah Jinan cemberut ketika melihat Caca yang masih terisak, kemudian tak lama Jinan berdecak sambil merentangkan kedua tangannya.

Melihat itu, tanpa berbicara sepatah kata pun, Caca langsung saja menghamburkan tubuhnya ke dalam pelukan sang adik. Kemudian ia kembali menangis dalam pelukan itu.

Jinan terdiam, jemarinya lalu bergerak mengusap sayang sang kakak.

“Adek sakit banget …” lirih Caca.

“Kakak jahat banget sama Nathan. Harusnya kakak gak gitu, harusnya kakak bisa hargain Nathan. Kakak egois banget, kakak jahat banget. Adek sakit …” isak Caca.

Jinan masih terdiam, membiarkan Caca menyelesaikan semuanya.

“Kakak sayang Nathan, tapi kenapa kakak gak pernah bisa ungkapin kalo kakak juga sayang Nathan adek. Kakak harus gimana?”

“Nathan udah gak suka kakak lagi …”

“Kakak bodoh ban—“

Jinan mengeratkan pelukannya. “Kakak enggak bodoh kok. Kakaknya adek gak bodoh …” ucap Jinan memotong ucapan Caca.

“Kakak tau, gak? Selama ini bang Nathan tuh sayang banget sama kakak. Kalo lagi main sama adek, bang Nathan selalu bilang kalo kakak cantik, abang suka banget sama kakak.”

“Adek juga yakin kok kalo sampe saat ini abang masih sayang kakak.”

“Tapi kak ….” Jinan menjeda ucapannya.

“Gak selamanya orang-orang bakal ada di sekitar kita. Kayak apa yang bang Nathan lakuin ke kakak sekarang.”

Caca terdiam mendengarkan ucapan Jinan.

“Adek gak tau, gimana perasaan kakak sama bang Nathan. Tapi kak, lain kali, tolong lebih hargain kehadiran orang lain di hidup kakak, ya? Mau itu siapapun, tolong lebih hargain kehadirannya kak. Karena kita gak bakal tau kapan manusia itu bakal pergi dari kita.”

“Kayak ayah sama ibu. Dulu juga adek gak pernah berpikir kalo ternyata mereka bakal pergi secepat itu, padahal adek sama kakak belum banyak wujudin banyak hal, kan?”

Caca masih terisak.

“Kakak, gapapa kalo emang akhirnya bang Nathan pergi dari kakak. Jadiin pelajaran buat kakak biar kedepannya kakak bisa lebih menghargai dan gak egois, ya kak?”

Jinan mengusap Caca dengan hangat. “Maaf ya kak kalo adek malah jadi sok dewasa kayak gini. Adek cuma gak mau kakak sakit, adek gak suka kakak nangis.”

“Adek sayang banget sama kakak, jadi kakak juga harus bahagia, ya, kak?”

Jinan mengeratkan pelukannya pada sang kakak. Rasanya hangat sekali.

“Adek …” lirih Caca.

“Maafin kakak …”

Jinan tersenyum.

“Iya gapapa kakak.”

“Udah jangan nangis ah, jelek!”

“Jangan lama-lama sedihnya, ya? Ayah pernah bilang kalo mau bahagia itu perlu waktu. Dan adek percaya, kalo abis ini bakal ada hal yang lebih baik lagi buat kakak.”

Caca kembali terisak di pelukan sang adik.

“Adek sayang kakak, jangan nangis ya kakak. Adek ikutan sedih …”

Perempuan itu perlahan berjalan membuka pintu rumah. Dengan sedikit rasa menyesalnya sebab kejadian tempo lalu, perempuan itu lalu menghela napasnya.

Benar, rumah ini terasa sangat dingin. Tidak ada lagi hangat seperti dulu. Jangankan hangat, yang ada malah sunyi.

Perempuan itu kembali melangkahkan kakinya. “Adek …” ucapnya berusaha memanggil sang adik.

Hening.

“Adek, kakak pul—“

“ADEK DI DAPUR!” Terdengar suara teriakan dari arah dapur, membuat Caca-perempuan tadi segera bergegas untuk ke dapur.

Netra perempuan itu terpaku pada sang adik yang tengah tersenyum sambil mempersiapkan beberapa makanan di meja makan.

“Adek …” lirih Caca.

Jinan tersenyum ketika mendapati sang kakak sudah berdiri di hadapannya.

Entahlah, tapi penampakan yang dilihat oleh Caca saat ini terlihat sangat menyedihkan. Kemudian tanpa aba-aba Caca segera berlari memeluk Jinan dengan sangat erat.

Jinan hanya terdiam ketika merasakan peluk erat dari sang kakak.

“Adek maaf ya maaf …” lirih Caca dalam pelukan itu.

Perlahan, jemari Jinan bergerak untuk menepuk pundak sang kakak. Kemudian dalam pelukan itu Jinan tersenyum. “Kakak udah makan?” Tanya Jinan.

Alih-alih jawaban yang Jinan dengar, ia malah mendengar isakan kecil dari sang kakak yang masih setia memeluknya dengan erat.

Berkali-kali Caca menggumamkan kata maaf pada sang adik, sebab ia rasa dirinya terlalu egois dengan mementingkan kebahagiaannya sendiri.

Selama ini Caca selalu egois sebab dirinya selalu merasa jika ialah yang paling menderita. Padahal sebenarnya Jinan pun kesulitan.

“Kakak gapapa, gak perlu minta maaf.”

Lagi, terdengar suara isakan.

Demi Tuhan, Caca menyesal sekali sebab beberapa hari belakangab dirinya sangat-sangat tidak dewasa dalam menyikapi suatu permasalahan.

“Maaf ya adek kalo secara gak langsung kakak bikin adek sedih, kakak minta maa—“ belum sempat Caca menyelesaikan kalimatnya, Jinan sudah lebih dulu memotong sambil melepas pelukannya dan menatap netra sang kakak.

“Udah kak.”

“Mungkin emang kemarin adek sama kakak lagi sama-sama capek, sama-sama gak mau kalah.”

“Maaf, ya, kak? Kalo secara gak sadar adek juga udah keras kepala.”

Caca menatap Jinan.

Sang adik ternyata sudah dewasa.

Lagi-lagi Caca terisak.

Jinan menghela napasnya. “Jangan nangis, adek gak suka,” ucap Jinan yang kemudian mengusap air mata sang kakak. Lalu dengan perlahan Jinan kembali menarik Caca ke dalam pelukannnya.

“Adek tau, kak. Adek sama kakak kadang keras kepala. Kita sama-sama keras kepala kak, makanya mungkin kemarin mau adek atau kakak, kita gak bisa saling redain.”

Jinan menghela napasnya lagi.

“Kak …” lirih Jinan dalam pelukan itu.

“Kalau bukan kita, siapa lagi yang bakal nyembuhin? Kalau bukan kita, siapa lagi, kak?”

“Adek cuma punya kakak …”

“Jadi kakak, adek minta tolong buat jangan benci sama adek, ya? Maaf kalo selama ini adek belum bisa jadi adek yang baik buat kakak.”

Caca menggeleng, kemudian ia mengeratkan pelukannya. “Enggak adek gak salah. Maaf ya maafin kakak …” ucap Caca.

Dalam pelukan itu, Jinan tersenyum. “Kakak ayo makan bareng lagi, adek kangen …”

Perempuan itu perlahan berjalan membuka pintu rumah. Dengan sedikit rasa menyesalnya sebab kejadian tempo lalu, perempuan itu lalu menghela napasnya.

Benar, rumah ini terasa sangat dingin. Tidak ada lagi hangat seperti dulu. Jangankan hangat, yang ada malah sunyi.

Perempuan itu kembali melangkahkan kakinya. “Adek …” ucapnya berusaha memanggil sang adik.

Hening.

“Adek, kakak pul—“

“ADEK DI DAPUR!” Terdengar suara teriakan dari arah dapur, membuat Caca-perempuan tadi segera bergegas untuk ke dapur.

Netra perempuan itu terpaku pada sang adik yang tengah tersenyum sambil mempersiapkan beberapa makanan di meja makan.

“Adek …” lirih Caca.

Jinan tersenyum ketika mendapati sang kakak sudah berdiri di hadapannya.

Entahlah, tapi penampakan yang dilihat oleh Caca saat ini terlihat sangat menyedihkan. Kemudian tanpa aba-aba Caca segera berlari memeluk Jinan dengan sangat erat.

Jinan hanya terdiam ketika merasakan peluk erat dari sang kakak.

“Adek maaf ya maaf …” lirih Caca dalam pelukan itu.

Perlahan, jemari Jinan bergerak untuk menepuk pundak sang kakak. Kemudian dalam pelukan itu Jinan tersenyum. “Kakak udah makan?” Tanya Jinan.

Alih-alih jawaban yang Jinan dengar, ia malah mendengar isakan kecil dari sang kakak yang masih setia memeluknya dengan erat.

Berkali-kali Caca menggumamkan kata maaf pada sang adik, sebab ia rasa dirinya terlalu egois dengan mementingkan kebahagiaannya sendiri.

Selama ini Caca selalu egois sebab dirinya selalu merasa jika ialah yang paling menderita. Padahal sebenarnya Jinan pun kesulitan.

“Kakak gapapa, gak perlu minta maaf.”

Lagi, terdengar suara isakan.

Demi Tuhan, Caca menyesal sekali sebab beberapa hari belakangab dirinya sangat-sangat tidak dewasa dalam menyikapi suatu permasalahan.

“Maaf ya adek kalo secara gak langsung kakak bikin adek sedih, kakak minta maa—“ belum sempat Caca menyelesaikan kalimatnya, Jinan sudah lebih dulu memotong sambil melepas pelukannya dan menatap netra sang kakak.

“Udah kak.”

“Mungkin emang kemarin adek sama kakak lagi sama-sama capek, sama-sama gak mau kalah.”

“Maaf, ya, kak? Kalo secara gak sadar adek juga udah keras kepala.”

Caca menatap Jinan.

Sang adik ternyata sudah dewasa.

Lagi-lagi Caca terisak.

Jinan menghela napasnya. “Jangan nangis, adek gak suka,” ucap Jinan yang kemudian mengusap air mata sang kakak. Lalu dengan perlahan Jinan kembali menarik Caca ke dalam pelukannnya.

“Adek tau, kak. Adek sama kakak kadang keras kepala. Kita sama-sama keras kepala kak, makanya mungkin kemarin mau adek atau kakak, kita gak bisa saling redain.”

Jinan menghela napasnya lagi.

“Kak …” lirih Jinan dalam pelukan itu.

“Kalau bukan kita, siapa lagi yang bakal nyembuhin? Kalau bukan kita, siapa lagi, kak?”

“Adek cuma punya kakak …”

“Jadi kakak, adek minta tolong buat jangan benci sama adek, ya? Maaf kalo selama ini adek belum bisa jadi adek yang baik buat kakak.”

Caca menggeleng, kemudian ia mengeratkan pelukannya. “Enggak adek gak salah. Maaf ya maafin kakak …” ucap Caca.

Dalam pelukan itu, Jinan tersenyum. “Kakak ayo makan bareng lagi, adek kangen …”

Rasa-rasanya langit malam ini terlihat sangat kosong. Tidak ada kerlip bintang yang bertebaran di atas sana.

Jinan mengadahkan kepalanya menatap langit malam itu. Pemuda itu kemudian menghela napasnya.

“Lo kenapa jadi keras kepala banget Ji?” Tanyanya pada diri sendiri.

Jujur saja, akhir-akhir ini, Jinan merasa jika ia sangat sulit sekali mengendalikan amarahnya. Bahkan sebelumnya, ia berani melayangkan sebuah pukulan pada orang lain.

Berkali-kali Jinan menepuk kepalanya sendiri sambil sesekali mengumpat merutuki dirinya sendiri.

“Hayo, adek lagi apa? Kok sendiri disini?” Tiba-tiba saja terdengar suara lelaki paruh baya yang ternyata adalah Jerico.

Jinan menoleh ketika mendapati Jerico sudah berdiri di dampingnya sambil menggenggam sebuah gelas berisi kopi hitam.

Jinan hanya tersenyum tipis sambil menggeleng. “Gapapa om, pengen ngerasain angin malam aja,” jawab Jinan membuat Jerico terkekeh.

Jerico menatap wajah Jinan yang terlihat semakin dewasa, lalu tanpa sadar ia tersenyum.

“Adek …”

“Iya, om?”

Jemari Jerico bergerak untuk mengusap puncak kepala pemuda itu. “Jangan pernah ngerasa kalo adek sendirian, ya? Ada om. Jangan ngerasa sungkan, ya?”

Jinan menatap Jerico.

“Om gak tau apa masalahnya sampe bikin kamu sama kakak kamu berantem. Tapi adek … jangan benci sama kakak, ya? Walau mungkin emang ada beberapa hal yang secara gak sadar bikin kamu sakit hati.”

“Om juga dulu sering kok berantem sama ayah kamu, haha. Bahkan mungkin lebih parah?” Ucap Jerico sambil diiringi tawa.

Jinan hanya tersenyum.

Ah, berbicara soal ayah, lagi-lagi ia jadi rindu.

“Om …”

“Hmm?”

“Kalo dipikir, kenapa ya om ayah tega ninggalin adek sama kakak berdua aja?” Tiba-tiba saja Jinan berucap membuat Jerico tersedak.

Jerico menatap Jinan. Terlihat sekali sorot matanya yang menyiratkan banyak kerinduan serta kekecewaan.

“Adek …”

“Enggak kok om, adek enggak benci ayah sama sekali. Tapi kadang adek cuma ngerasa gak adil aja …” lirih Jinan.

“Adek masih butuh sosok ayah sama ibu. Tapi kayaknya dunia gak ngebolehin, makanya mereka ngambil ibu sama ayah di waktu yang gak terpaut begitu lama, ya, om?”

Jerico menghela napasnya lalu tanpa aba-aba Jerico memeluk Jinan.

“Adek hebat, om bangga. Ayah sama ibu juga pasti bangga.”

“Maaf ya adek, kalo selama ini adek ngerasa sendirian. Maaf ya karena ayah kamu harus ninggalin kamu.”

“Maaf, maaf ya karena kamu harus dewasa sebelum waktunya.”

Jerico benar-benar memeluk Jinan sangat erat.

Sungguh, ia menyesal sebab selama ini ia masih cukup kurang dalam memperhatikan Jinan. Padahal dulu, dirinya berjanji pada Haikal untuk menjaga Jinan dengan baik.

Dalam pelukan itu, alih-alih menangis, Jinan malah tersenyum kemudian dengan perlahan ia melepas pelukan Jerico.

“Adek gapapa kok, liat, adek gak nangis, kan?” Ucap Jinan kemudian terkekeh.

Jinan lalu menghela napasnya.

“Makasih ya om, karena udah sayang sama adek sama kakak juga.”

“Om Iko janji sama adek mau, gak?”

Jerico menatap Jinan. “Janji apa?”

“Panjang umur, ya, om?”

Tanpa basa basi, Jinan langsung saja bergegas pergi menemui Nathan ke tempat dimana mereka biasa bermain.

Dengan napasnya yang tak beraturan, dan tangannya yang mengepal kuat. Jinan berjalan terburu-buru menghampiri Nathan yang terlihat tengah duduk disana bersama seorang perempuan.

“Anjing lo bang!” Unpat Jinan yang tanpa apa-aba melayangkan sebuah pukulan pada Nathan, membuat pemuda itu tersungkur.

Terdengar suara jeritan dari perempuan yang bersama Nathan sedangkan Nathan hanya menatap Jinan kaget.

“Gue bilang jangan nyakitin kakk gue brengsek lo!” Satu pukulan kembali melayang pada wajah Nathan.

Merasa tak terima, Nathan langsung saja mendiring tubuh Jinan dan menarik kerah bajunya.

“Apasih lo? Anjing!” Umpat Nathan yang juga melayangkan pukulan pada wajah Jinan.

Demi apapun, Jinan benar-benar dipenuhi amarah saat ini.

Saat tadi Jinan mendengar suara isakan dari dalam kamar sang kakak, dia benar-benar khawatir. Lalu saat mendengar penyebab menangis Caca, Jinan benar-benar marah.

“Lo yang apaan! Lo apain kakak gue sampe nangis?” Ucap Junandengan napas yang tidak beraturan.

Nathan menatap Jinan juga berusaha meredakan emosinya yang imut memuncak. “Gue gak ngapa-ngapain.”

Jinan menatap perempuan yang tengah berdiri tak jauh darimereka kemudian ia menyeringai. “Cewek lo? Hahaha, anjing lo bang.”

“Berkali-kali gue bilang jangan nyakitin kakak gue. Gue udah percaya sama lo, tapi lo malah bikin dia na—“

“Lo salah paham. Gue jauhin Caca karena kakak lo sendiri yang minta. Lo juga tau. Kakak lo sendiri yang bilang risih sama gue, kan?”

Jinan terdiam.

“Terus salah gue dimana?” Nathan bertanya pada Jinan.

“Ya tapi lo gak perlu bikin kakak gue na—“

“BUKAN SALAH GUE JI!” Nathan berteriak.

“Harus sampe kapan sih gue ngertiin kakak lo? Berapa lama gue ngejar-ngejar Caca? Hampir tiga tahun, Ji. Tapi apa hasilnya? Kakak lo aja gak pernah liat gue. Terus sekarang giliran gue mau ngejauh, kakak lo minta gue jangan ngejauh. Terus gue harus apa?”

Jinan terdiam.

“Egois tau, Ji. Kakak lo egois,” ucap Nathan membuang napasnya. Lalu tak lama ia beranjak dari sana.

“Gue sayang sama Caca, tapi gue juga capek, Ji. Sorry ya kalo gue gak bisa jagain kakak lo,” ucap Nathan lagi yang kemudian benar-benar pergi dari sana bersama perempua tadi.

“Ayo Kay, pulang aja.”

Jinan menahan napasnya berusaha meredakan amarahnya.

“Tolol,” gumam Jinan.

Terdengar suara langkah kaki dari arah pintu masuk rumah itu. Menampakkan sosok Jinan yang tengah berjalan ke arah sang kakak sambil menenteng kantung plastik berisi beberapa botol soda dan camilan.

Di sebrangnya terlihat Caca yang tengah terduduk di kursi ruang tengah, dengan kedua tangan yang menyilang di dadanya.

“Bagus, ditinggalin sebentar kerjaannya keluar malem terus.” Sebuah omelan langsung saja menyambar indera pendengaran Jinan.

Pemuda itu lantas hanya berdiri tak jauh dari tempat sang kakak duduk. “Maksudnya?”

Terlihat jelas oleh Jinan tatapan sang kakak yang terlihat marah.

“Apasih? Adek baru pulang udah ngomel,” jawab Jinan.

Caca menatap Jinan dengan tatapan marahnya. “Duduk, gue mau ngomong.”

Jinan menghela napasnya. Kemudian ia duduk di kursi yang berhadapan dengan sang kakak. “Apaan?”

“Lo punya pacar?”

“Kan udah gue bilang, lo masih kecil, ngapain pacar-pacaran? Duit aja lo masih minta. Gue gak mau ya kalo lo foyo-foya pake duit yang gue kasih,” ucap Caca dengan nada bicara yang sangat berbeda sekali dengan biasanya.

Demi apapun, Jinan sedikit kaget sebab perkataan Caca barusan.

“Sejak kapan lo punya pacar?”

“Kenapa gak pernah cerita?”

“Lo lupa kalo lo masih punya kakak?”

“Kan gue udah bil—“

“Kakak lupa kalo adek ini masih adeknya kakak? Kenapa seenaknya ninggalin adek sendiri disini?” ucapan Caca terpotong dengan Jinan yang sudah lebih dulu angkat bicara.

Jinan menyeringai. “Adek masih kecil, ya? Tapi kenapa tiap kakak mau nginep di rumah bunda kakak selalu bilang kalo adek ini udah gede? Terus sekarang giliran adek bilang udah punya pacar kakak nyebut adek masih kecil?”

Caca terdiam mendengar ucapan Jinan.

Terdengar suara kekehan dari Jinan. “Gimana adek mau cerita. Sedangkan akhir-akhir ini aja kakak selalu lupa sama adek.”

Caca menghela napasnya. “Gak usah le-“

“Iya adek lebay, puas?!” Tiba-tiba saja Jinan berdiri.

“Pernah gak, kak? Kakak nanya keadaan adek ini baik atau enggak? Pernah gak kakak tanya, adek ini lagi ada masalah atau enggak. Gak pernah, kan? Tapi kenapa adek harus terus ngertiin kakak?”

“Kenapa kakak selalu aja marah tiap adek bikin kesalahan kecil, sedangkan adek gak boleh marah kalau kakak bikin salah.”

“Lah, lo kenapa jadi balik marah? Harusnya kakak yang marah. Kakak nyuruh lo buat jemput, tapi malah gak di bales.”

Jinan menghela napasnya.

“Enak, ya? Abis liburan sama keluarga? Sedangkan adek disini sendirian.”

“Apaan sih, kan udah kakak bilang. Lupa, lupa ngasih kabar.”

Jinan terkekeh. “Gak jelas lo.” ucap Jinan yang kini beranjak melangkah ke kamar.

Namun belum sempat Jinan pergi, Caca sudah lebih dulu angkat bicara.

“Putusin cewek lo. Gak usah banyak gaya.”

Demi apapun, Jinan sangat tidak mengerti kenapa tiba-tiba saja Caca marah pada dirinya.

Jinan menoleh. “Apasih? Banyak gaya apanya?”

“Kakak bilang putusin ya putusin. Kalo belum bisa ngehasilin uang sendiri gak usah pacaran.”

Jinan menatap Caca kaget. “Kenapa jadi bawa-bawa uang?”

“Gue gak mau uang gue lo abisin buat hal-hal gak guna.”

“Emang lo pikir nyari uang gak susah? Gue nyekolahin lo gak susah? Kalo bukan karena permintaan ayah gue juga gak mau terus gini. Gue juga capek ji.”

“Oh, jadi kakak selama ini terbebani?”

Jinan kembali terkekeh. “Adek kira kakak emang beneran sayang sama adek. Tapi ternyata terpaksa, ya?”

Caca memejamkan matanya, sungguh amarah Caca kali ini benar-benar meluap. Ia merasa lelah tapi dirinya pun tidak mengerti kenapa.

“Nurut kalo kamu masih mau kakak tinggal sama kamu disini.”

“Terus kalo gue gak nurut? Lo mau pindah ke rumah bunda lo gitu?”

Caca terdiam.

“Yaudah balik dah. Kalo gitu ngapain lo balik kesini lagi kalo emang ternyata lo capek ngurusin gue?”

“Emang bener ya. Setelah ayah sama ibu pergi, gue emang bener-bener sendirian. Kasih sayang lo selama ini palsu, ya, kak? Hahaha.”

“JINAN!”

“Sayang sayang tai anjing!” Umpat Jinan yang langsung saja bergegas berlari ke kamarnya. Sedangkan Caca terkejut mendengar ucapan jinan barusan.

Desir angin malam ini, terasa sangat menusuk pori-pori kulit pemuda itu.

Jinan-pemuda yang tengah menatap langit malam, dengan tangannya yang menggenggam segelas teh hangat.

Bibirnya terangkat, menampilkan sebuah lengkungan yang terlihat menggemaskan.

Netranya menatap kagum kerlip bintang yang terlihat sangat bersinar di atas sana. “Ibu sama ayah di sana lagi apa?” Gumamnya dengan fokus yang masih melihat ke atas.

Rasa sesak tiba-tiba saja menyeruak, ketika memori tentang dirinya ketika masih hidup bahagia bersama dengan ibu, ayah serta kakak.

Jinan menghela napasnya.

Sekarang sepi

Sejak ditinggalkan oleh ibu dan ayah, Jinan dipaksa untuk menjadi kuat dan tabah. Meskipun sebenarnya ia juga masih sangat kesulitan. Sebab, saat ia ditinggalkan, usianya bisa dibilang masih kecil dan butuh sekali bimbingan. Tapi, lagi-lagi semesta memberikan skenario pahit sebab anak ini harus tabah ketika ia kehilangan sosok ibu dan ayah dalam waktu yang tidak berbeda jauh.

Tidak ada yang baik-baik saja kehilangan. Termasuk Jinan yang kehilangan dua semestanya.

Masih sangat teringat jelas di memori Jinan, ketika dulu ia masih merasakan hangatnya sosok ibu dan ayah.

Mungkin benar, kenangan Jinan bersama kedua orang tuanya tidak sebanyak orang lain. Namun, dari dulu hingga sekarang, Jinan selalu mengingat setiap kalimat yang disampaikan oleh ibu dan ayah.

”Adek, nanti kalau sudah besar, harus bisa kuat ya adek. Apalagi adek laki-laki, adek harus kuatin bahunya, ya? Biar bisa jaga diri sendiri sama jaga kakak.

”Gapapa kalau orang-orang benci sama kita. Kita kan gak bisa ngatur orang lain buat terus selalu suka sama kita. Tapi adek, meskipun nanti banyak hal gak baik yang dateng ke kamu. Meskipun nanti banyak yang benci. Jangan lupa buat terus memaafkan ya, nak? Gapapa, pelan-pelan, dimulai dari hal-hal kecil,” ucap Ibu waktu itu pada Jinan yang tengah berbaring di sampingnya.

Jinan terkekeh pelan ketika memori-memori itu terlintas. “Iya ibu, adek gak akan lupa buat selalu ngasih maaf sama orang-orang kok,” gumam Jinan sambil berusaha kerasa menahan tangisnya.

Demi apapun, Jinan rindu sekali kehangatan yang dulu sempat ia rasakan.

Sekarang di rumah ini, terasa sangat sepi sekali. Tidak pernah sehangat dulu.

“Ibu sama ayah sekarang pasti lagi liatin adek, kan?” Tanyanya sambil tersenyum pelan.

“Adek gapapa kok, adek gak nangis,” ucapnya lagi sambil berusaha menahan tangisnya.

Ah demi apapun, Jinan sangat merindukan kedua orang tuanya.

“Ayah … ibu … maaf ya kalo adek suka nakal, adek bikin kakak marah terus. Maaf ya adek gak bisa jadi adik yang baik buat kakak.”

“Adek kangen ayah sama ibu.”

“Datang ke mimpi adek, ya?” ucap Jinan sebelum akhirnya ia pergi dari sana.