Dunia itu Keras.
Pria paruh baya itu benar-benar menghampiri Jinan yang terlihat sedang menyesap sebatang rokok di pinggiran jalan dekat dengan sebuah toko serba ada disana.
Ini bukan kebetulan. Sebab, sejak lima belas menit yang lalu, Arkanata-pria paruh baya itu. Tak sengaja melihat Jinan yang tengah mengendarai motor bersama temannya. Lantas hal itu membuat Arkanata berinisiatif mengikuti Jinan.
“Boleh saya duduk disini?” Tanya Arkanata sesaat setelah ia berada di hadapan Jinan, membuat anak itu mengangguk.
Arkanata terkekeh, kemudian ia duduk di samping Jinan. Sedangkan Jinan hanya menatap canggung.
Netra Arkanata bergerak memperhatikan sebatang rokok di sela jemari Jinan. Kemudian ia menghela napasnya. “Kamu, sejak kapan merokok?” Tanya Arkanata.
Jinan menatap Arkanata sejenak, kemudian beralih menatap rokok di tangannya. “Belum lama sih om, hehe …”
Arkanata menggeleng. “Lagi ada masalah, ya, Ji?” Tanya Arkanata yang kini bersandar pada kursi.
Jinan terdiam, kemudian ia terkekeh pelan. “Enggak kok om, saya cuma pengen nyoba aja.”
Arkanata lagi-lagi terkekeh. “Dunia itu keras, Ji. Gapapa kok, wajar kalau misal kamu lagi ada masalah dan ngelampiasin ke hal kayak gini. Tapi, lebih baik jangan, ya?” ucap Arkanata.
Entah kenapa tapi tiba-tiba saja Jinan membuat rokok di jemarinya itu, membuat Arkanata kembali terkekeh pelan.
Jinan menyerengeh menampilkan deretan giginya.
Menggemaskan
Terdengar suara helaan napas dari Arkanata, membuat Jinan menatapnya.
Atensi Arkanata beralih menatap fokus wajah anak di sampingnya itu.
Benar-benar mirip
“Kenapa om?” Tanya Jinan.
“Gapapa. Saya cuma jadi teringat putra saya.”
“Om udah punya anak?”
Arkanata mengangguk. “Iya, saya punya dua harusnya.”
“Harusnya?” Jinan mengangkat sebelah alisnya.
Arkanata mengangguk. “Iya, dan kalau putra saya masih hidup, sepertinya sekarang sudah besar seperti kamu. Tapi lebih tua dia haha,” ucap Arkanata diiringi tawa di akhir kalimatnya.
“Putra om kemana emang?”
Arkanata menatap Jinan sejenak. Kemudian ia menatap langit. “Di atas Jinan. Bian namanya, putra saya sudah di atas sana, di surga. Dan mungkin sudah bertemu bundanya,” ucap Arkanata dengan sorot mata yang menyiratkan banyak sekali kesedihan.
“Eh om maaf saya gak tau.”
Arkanata menggeleng. “Gapapa Jinan.”
“Terus putra om satu lagi?”
“Putri saya satu lagi gak ada disini.”
“Perempuan ya, om?”
“Iya Jinan.”
“Terus om disini sama siapa?” Tanya Jinan polos.
Arkanata menggeleng. “Saya sendirian Jinan. Putri dan istri saya gak ada disini. Mereka ada di London,” ucap Arkanata membuat Jinan keharanan.
“Loh? Terus kata om tadi. Yang Bian udah ketemu bundanya, itu gimana maksudnya?” Tanya Jinan heran.
Arkanata terdiam. Netranya menatap lekat Jinan. Tak lama ia pun menarik napasnya dalam.
“Bunda Bian it—“ belum sempat Arkanata menyelesaikan kalimatnya. Jinan sudah lebih dulu beranjak sebab Adit-teman Jinan memanggilnya.
“WOY JI AYO BALIK!”
Buru-buru Jinan berlari menghampiri Adit. Sedangkan Arkanata, ia kembali menghela naoasnya sambil memperhatikan Jinan yang kini sudah menaiki motor bersama temannya itu.
“Bundanya Bian itu, ibu kamu Jinan …” gumam Arkanata.