Happy Family.

Di malam yang dipenuhi sinar rembulan ini. Haikal tengah memeluk erat perempuannya di dalam dekapan hangatnya.

Senyuman Ralita benar-benar mampu memenuhi seluruh pandangan Haikal.

Malam ini, mereka tengah berada di sebuah puncak, sambil memperhatikan kedua anaknya yang tengah asik bermain tak jauh dari mereka duduk.

Rasanya dingin sekaligus hangat, ketika Haikal memilih mendekap tubuh perempuannya itu.

Haikal tersenyum dengan jemarinya yang mengusap punggung tangan Ralita.

“Liat, itu adek lagi lari-larian,” ucap Ralita sambil menunjuk Jinan yangbtengah berlari kecil diikuti Caca disana.

Haikal terkekeh. “Lucu ya si adek, kayak aku,” ucap Haikal menbuat Ralita segera menatapnya.

“Idih apaan, mirip darimana coba, haha.” Ralita tertawa, begitu juga dengan Haikal.

Saat ini, keluarga kecil Haikal tebgah berlubur ke puncak, setelah sebelumnya banyak sekali pekerjaan yang harus diselesaikan akhrnya mereka memiliki waktu untuksekedar berlibur guna melepas penat.

Haikal menarik napasnya lalu ia kembali tersenyum, lelaki itu mengeratkan pelukannya pada Dalita, menbuat Ralita terkekeh pelan. “Jangan kenceng-kenceng meluknya Haikal, aku gak bisa napas loh,” ucap Ralita.

“Biarin aja, dingin tau, Ta,” ucap Haikal yang kembali mendekap erat peeempuannya.

Ralita hanya tersenyum, kemudian jemarinya bergerak mengusap lengan yang melingkar di oinggangnya. “Seneng?” Tanya Ralita membuat Haikal mebgangguk.

“Iya seneng banget.”

“Seneng kenapa hayo?”

“Seneng, karena aku punya kamu dan anak-anak,” jawab Haikal kemudian ia mengecup pelan pucuk kepala Ralita.

Di bawah sinar rembulan dan bintang malam ini, sepertinya lagi-lagi Haikal merasa jika dirinya adalah manusia paling beruntung karena ia emmpunyai Ralita di sampingnya.

Haikal terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia melepas pelukan Ralita dan beranjak dari duduknya, membuat perempuan itu kebibgungan. “Mau kemana?” Tanya Ralita.

“Ke mobil sebentar,” ucap Haikal. “Tunggu ya,” lanjutnya yang kenudian dibalas anggukan oleh Ralita.

Ralita hanya menggeleng pelan ketika meluhat daksa Haikal yang mulai menjauh dari pandangannya. Kemudian tak lama, Ralita memilih beranjak dan mendekat ke arah kedua anaknya yang tengah asik bermain di taman kecil tak jauh dari tempat Haikal dan Ralita duduk tadi.

“Adek, kakak, sini pake dulu sarung tangannya dingin,” teriak Ralita sambil mengelurkan dua pasang sarung tangan kecil dari dalam sakunya.

Kedua anak itu berlari kecil mengajmpiri Ralita.

Ralita tersenyum, kemudian ia mengusap wajah kedua anaknya secara bergantian.

Udara puncak malam ini, benar-benar dingin.

Ralita kemudian memasangkan sarung tangan itu secara bergantian pada Caca dan Jinan.

“Udah, hangat,” ucap Ralita ketika selesai memakaikan sarung tangan itu pada anak-anaknya.

Ralita tertawa kecil ketika Jinan, putra bungsunya tiba-tiba saja bersin, membuat hidung dan wajahnya memerah. Lantas, langsunh saja Ralita mengusap wajah anak itu dengan lembut. “Dingin, ya? Mau udahan?” Tanya Ralita pada Jinan.

“Enggak ibu, adek masih mau main sama kakak,” ucap Jinan menyerengeh.

“Boleh ya bu? Main lagi, gapapa, kan?” Tanya Caca, takut jika Ralita menyuruh mereka berhenti bermain.

Ralita tesenyum. “Boleh sayang,” ucapnya sambil mengusap lembut wajah Caca dan Jinan bergantian.

“Ibu, adek, kakak, sini liat ke ayah,” tiba-tiba saja terdengar suara Haikal yang berdiri di belakang Ralita. Membuat ketiga orang itu menoleh. Dan saat mereka menoleh Haikal langsung saja memotret mereka menggunakan kamera yang tadi ia bawa dari mobil.

Ralita sedikit terkejut, membuat Haikal terkekeh pelan. “Ih ayah, kirain apa,” ucap Ralita.

“Ih kamera. Ayah ayo fotoin lagi kakak sama adek!” Tiba-tiba saja Caca menyahuti, dengan posisi yang sudah siap untuk difoto oleh sang sang ayah.

“Siap bos!” Ucap Haikal yang langsung saja mensejajarkan tubuhnya lalu ia mengambil potret kedua anaknyabitu beberapa kali.

Haikal tertawa setiap kali melihat pose yang dilakukan Caca dan jinan, yang menurutnya sangat lucu sekali.

Ralita yang sejak tadi berdiri tiba-tiba saja ikut mensejajarkan tubuhnya dan merangkul tubuh kedua anaknya. “Foto lagi ayo,” pinta Ralita yang sudah siap berpose.

Tentu saja Haikal tertawa, dan tanpa berlama-lama ia pun segera mengambil kembali beberapa potret dari istri dan kedua anaknya itu.

“Ayah, berdiri disini sama ibu, nanti kakak fotoin!” Tiba-tiba saja Caca meranrik Haikal agar berdiri di samping Ralita, kemudian Caca mengambil alih kamera yang sebelumnya Haikal genggam.

Ralita hanya terkekeh, kemudian tak lama Haikal berdiri di sampingnya dengan lengan yang melingkar di pinggang perempuan itu.

“Ayo bergaya!” Pinta Caca pada kedua orang tuanya itu.

Haikal kemudian tersenyum, lalu tanpa aba-aba ia melayangkan kecupan pada pipi Ralita, membuat perempuan itu terkejut dan segera menoleh kepadanya.

Di hadapan mereka, Caca tengah tertawa sebab menurutnya potret yang ia ambil barusan terlihat sangat romantis.

“Cie ayah nyium ibu cie …” ucap Caca sambil terus memotret kedua orang tuanya itu, membuat Haikal dan Ralita tertawa.

“Lagi dong kak,” ucap Haikal.

“Okay bos!” “Siap, satu, dua, tiga!” Ucap Caca membuat Haikal dan Ralita lagi-lagi tertawa.

“ADEK JUGA MAU DIPELUK AYAH!” Tiba-tiba saja Jinan berlari ke arah Haikal, membuat Haikal langsung mensejajarkan tubuhnya dan membuarkan jinan masuj ke dalam pelukannya.

“Aduh, jagoan ayah,” uvap Haikal.

“Sini kakak, peluk juga sama ayah,” pinta Haikal pada Caca membuat anak itu segera berlari menghampirinya.

“Aduh, cantiknya ayah,” ucap Haikal begitu Caca melesak masuk ke dalam dekapannya.

Haikal bergantian melayangkan kecupan pada kedua anaknya itu.

“Oh jadi ibu gak diajak pelukan gitu?” Ralita tiba-tiba saja berucap, membuat ketiga orang yang tengah berpelukan menoleh.

Haikla terkekeh. “Sini bu, kita foto berempat,” ucap Haikal yang langsung membuat Ralita berjongkok di belajang mereka dan merangkul Haikal.

“Sini kak kameranya ayah yang pegang. Kita foto berempat ya,” pinta Haikal.

“Satu … dua … tiga … CHEESEEE!”

Haikal berkali-kali mengambil potret itu dengan berbagai macam gaya. Sambil sesekali merekabtertawa bersama.

Malam ini, sepertinya keluarga Haikal sangat menikmati waktunya dengan baik.

Haikal tidak pernah berbohong ketika ia berjanji pada dirinya dan mengatakan bahwa ia akan sering mengabadikan moment bahagia bersama keluarga kecilnya.

Haikal tidak ingin kehilangan moment-moment seperti itu. Maka dari itu ia selalu membawa kamera tuanya guna menangkap potret-potret bahagia seperti barusan.

Demi Tuhan, Haikal sangat-sangat bersyukur karena akhirnya semesta berbaik hati memeberikan keluarga kecil bahagia yang sudah sejak lama ia dambakan.

Memang benar, ya? Untuk bahagia itu perlu luka, perlu waktu, dan perlu kesabaran. Dan Haikal sudah dengan hebat melewati waktu-waktu sulit itu sampai akhirnya sekarang ia menjadi manusia paling bahagia di seluruh alam semesta.

Entah harus bagaimana lagi Haikal mengucap syukur sebab sekarang ia bahagia. Entah harus sebanyak apa ia melayangkan doa dan rasa terima kasihnya pada Tuhan, sebab sekarang ia benar-benar sudah pulih dari luka.

Tidak ada lagi yang Haikal inginkan selain hidup bahagia bersama keluarga kecilnya ini.

Lalu sekian banyak waktu yang Haikal lalui untuk bisa ada di titik sekarang, titik paling bahagia dalam hidupnya, Haikal hanya berharap. Semoga tidak ada lagi luka dan perpisahan, ya?

Terima kasih, terima kasih karena selalu tabah dalam menghadapi pahitnya takdir semesta.

Terima kasih sebab kamu tidak pernah letih untuk mencapai kebahagiaan yang sempat hilang.

Terima kasih, ya, Haikal? Karena kamu, sudah menjadi hebat dengan segala lukanya.