Sabtu Malam di Pinggiran Kota.

Sepertinya bagi beberapa orang, pulang adalah salah satu hal yang selalu mereka tunggu kedatangannya.

Hampir setiap hari, selepas berakhirnya jam kerja, saya melihat orang-orang dengan raut wajah bahagianya berlarian berlomba-lomba untuk segera pulang ke rumah.

Setiap kali saya melihat itu, saya hanya bisa tersenyum tipis. Alih-alih saya seperti mereka, yang saya lakukan hanya berjalan menyusuri trotoar jalan dan berharap waktu berjalan lambat. Sebab, saya tidak ingin pulang.

Katanya, rumah itu tempat paling hangat dan aman untuk sekedar menghilangkan penat dari peliknya dunia, kan? Tapi, kenapa rumah saya gak pernah hangat dan aman, ya?

Daripada saya merasakan itu, yang saya rasakan setiap kali pulang ke rumah hanya dingin, sepi. Saya sama sekali tidak ingin pulang sebab rumah saya itu tidak sehangat orang lain.

Tidak ada alasan bagi saya untuk pulang ke rumah jika bukan untuk tertidur, sekedar meluapkan rasa lelah.

Dulu, rumah saya itu begitu hangat dan aman. Namun, sejak kepergiannya, saya tidak ingin lagi pulang. Saya benci, sebab setiap kali saya pulang, yang ada dipikiran saya itu hanya dia.

Namanya, Januari, laki-laki yang mampu memberi saya hangat.

Ah, berbicara soal Januari. Saya jadi rindu.

Saya rindu ketika saya bangun, dia sudah lebih dulu bangun dan memperhatikan saya dengan guratan senyum yang selalu menghiasi wajahnya.

Saya rindu ketika saya sarapan, dia selalu tersenyum dan mengatakan agar saya makan dengan baik.

Saya rindu ketika saya berangkat untuk bekerja dia selalu memeluk saya dan mengatakan bahwa hari yang akan saya lalui itu akan selalu baik-baik saja.

Saya rindu ketika setiap kali saya pulang, Januari sudah berdiri di ambang pintu dengan tangan yang melebar menunggu saya masuk ke dalam pelukannya.

Saya rindu ketika saya mengoceh pada Januari, perihal saya yang tengah kesal akibat pekerjaan. Nanun, yang ia lakukan adalah tertawa sambil merangkul saya.

Januari itu, selalu bisa membuat saya merasa lebih baik meski hanya dengan kata-kata sederhananya.

Semua hal tentang Januari, saya suka. Rambutnya, matanya, hidungnya, bibirnya, apalagi senyum manisnya. Saya benar-benar menyukai Januari.

Dulu, setiap kali saya pulang, Januari selalu berusaha memberikan hangat dan juga ketenangan sebab katanya, ia tidak ingin melihat saya kelelahan. Januari bilang, ia tidak suka ketika melihat saya pulang dengan raut wajah saya yang terlihat kelelahan.

Memang, bagi sebagian orang itu mungkin hanya hal sederhana yang bisa dilakukan orang lain juga. Tapi bagi saya, lebih dari sekedar sederhana. Sebab Januari, saya merasa jika dunia yang saya injak ini baik.

Hampir seluruh kebahagiaan saya ada di rumah. Namun, sejak kepergiannya, semuanya ikut hilang.

Iya, Januari hilang dari hidup saya.

Awalnya saya pikir, Januari tidak akan pernah pergi kemana pun. Sampai akhirnya waktu itu, kami bertengkar hebat. Saya tidak pernah melihat Januari semarah itu pada saya.

Sorot matanya benar-benar memperlihatkan sisi Januari yang lain. Saya benar-benar terkejut ketika dia mengatakan bahwa ia sudah muak pada saya.

Saya tahu, mungkin waktu itu saya salah sebab saya terlalu sering mengeluh pada Januari. Namun saya tidak pernah berpikir jika ternyata Januari muak karena selalu mendengar keluhan saya.

Waktu itu, Januari bilang jika saya ini hanya mencari Januari ketika saya lelah. Waktu itu, Januari bilang jika saya hanya mementingkan pekerjaan saya ketimbang Januari.