Jjaejaepeach

Hari demi hari berlalu, kini tiba waktunya dimana Caca bersanding dengan lelaki pilihannya dalam sebuah ikatan sakral.

Rasanya, baru kemarin melihat Caca tumbuh dari yang hanya seorang anak kecil hingga sekarang tumbuh jadi sosok perempuan dewasa yang kuat akan segala beban dan luka.

Masih cukup jelas teringat di memori perempuan ini. Ketika dulu dirinya yang selalu menangis perihal ia yang merindukan pelukan seorang ibu.

Masih cukup jelas teringat di memori perempuan ini. Ketika dulu dirinya selalu menjadi putri kecil kesayangan ayah.

Dan, jika berbicara tentang ayah. Banyak sekali hal yang Caca rindukan dari sosok itu.

Semuanya, Caca rindu semuanya.

Dari sekian banyaknya rasa cinta yang Caca dapatkan di dunia ini. Cinta dari ayah masih menjadi nomor satu bagi anak perempuan seperti Caca.

Caca masih ingat ketika dulu ayah mati-matian berjuang demi bisa memberikan seluruh bahagianya untuk Caca.

Rasanya sangat sulit dipercaya ketika tiba-tiba saja Tuhan mengambil sosok ayah dari hidup Caca dengan begiru cepat. Padahal, Caca belum sempat memberikan seluruh isi dunia untuk ayah. Caca belum sempat melihat ayah tersenyum bangga sebab ia berhasil menjadi seorang dokter.

Jika saja bisa, Caca ingin kembali memutar waktu dimana dirinya masih mempunyai sosok ayah dan juga ibu di sampingnya.

Caca, menarik napasnya dalam ketika ia berhadapan dengan sang adik yang sudah rapi menggunakan jas hitam, kemudian di sampingnya, ada Bara—lelaki yang berhasil membuatnya yakin untuk menjadi rumah baru bagi dirinya.

Di hadapan banyak orang, Jinan menggenggam tangan Bara dengan kuat. Lelaki itu menatap Caca sambil menahan tangisnya, sedangkan yang ditatap tengah terisak dan tersenyum pada Jinan.

Ternyata, hari ini, ya? Hari dimana Jinan harus melepas sang kakak untuk pergi ke rumah barunya. Rumah baru yang lebih aman dan hangat.

Seharusnya ayah yang duduk disini. Seharusnya ayah yang mendampingi putri kecilnya. Dan seharusnya ayah yang menyaksikan hari bahagia ini.

Jika saja ayah masih ada. Mungkin ia akan menjadi laki-laki pertama yang bilang pada semua orang, jika kini putri kecil yang dulu sering kali menangis sudah menemukan dunianya.

Namun lagi-lagi, hanya kata ‘seandainya’ yang bisa terucap.

Jinan menarik napasnya dalam kemudian ia menatap Bara. Matanya mengisyaratkan jika dirinya mempercayai sang kakak kepada Bara.

Dan dalam satu kali tarikan napas, Jinan mengucap kalimat itu, kalimat yang seharusnya di bacakan dengan lantang oleh sang ayah.

“Dengan mas kawin tersebut tunai!” ucap Bara setelah Jinan mengucap kalimat itu. Lalu kemudian semua orang disana menangis haru, sebab sekarang kedua mempelai itu sudah terikat hubungan yang sah.

Caca menangis, begitu juga Jinan. Lalu tanpa lama-lama, Jinan beranjak mendekat ke arah Caca dan Bara. Lalu Jinan memeluk kedua orang itu dengan sangat erat seolah tidak ingin kehilangan hangatnya.

Ah gila, Jinan masih tidak menyangka jika akhirnya, satu dari dua semestanya kini sudah menjadi milik orang lain.

“Kakak, bahagia selalu, ya? Adek sayang kakak …,” Jinan dalam pelukan itu.

Caca memeluk erat tubuh sang adik. “Adek, makasih banyak, ya? Makasih banyak buat semua kasih sayangnya. Maaf, maaf karena kakak masih banyak kurangnya …”

“Adek akan selalu jadi adik kecilnya kakak. Dan kakak akan selalu jadi kakak kesayangan kamu. Makasih ya jagoan, kakak sayang banget sama adek. Sekarang adek gak perlu khawatir lagi perihal bahagianya kakak.”

“Kakak cuma minta tolong sama kamu. Setelah ini, tolong bahagia, ya? Adek gak perlu lagi mikirian bahagianya kakak, karena sekarang kakak punya Bara. Jadi adek jangan takut, ya?” pinta Caca yang dibalas anggukan oleh Jinan.

“Bang …” ucap Jinan pada Bara.

“Tolong jagain kakak, ya?”

“Putri kecil kesayangannya ayah. Tolong cintai kakak dengan layak, ya, bang?” Pinta Jinan pada Bara membuat lelaki itu mengangguk.

“Iya, jangan khawatir. i love her so much Ji.”

Dan setelah mengatakn itu, Jinan melepas pelukannya. Ia menatap wajah sang kakak dengan hangat. Jemarinya kemudian bergerak mengusap air mata yang jatuh.

Jinan terkekeh. “Jangan nangis, nanti make up kakak luntur,” ucap Jinan membuat Caca ikut terkekeh.

Jinan menghela napasnya. “Adek kesana dulu, ya? Nemenin Zia,” ucap Jinan membuat Caca mengangguk dan sebelum benar-benar beranjak dari sana. Jinan mengecup pelan pucuk kepala sang kakak.

“Adek sayang kakak …”

Ah, rasanya terlalu cepat.

Kini, kakak kesayangannya sudah menjadi milik lelaki lain.

Namun meskipun begitu. Sampai akhir nanti. Cinta pertama seorang ayah akan tetap menjadi cinta paling luar biasa. Meskipun kenyataannya perempuan ini tidak bisa mengucap kata terima kasih secara langsung untuk sang ayah.

Caca menahan tangisnya dengan jemari yang menggenggam Bara. Netranya menatap langit-langit disana.

“Ayah, sekarang kakak udah nemu rumah baru …”

“Ayah jangan khawatir lagi, ya?” Gumam Caca, sebelum akhirnya ia berdiri tegak sambil memperlihatkan senyum bahagianya kepada semua orang disana.

Putri kecil kesayangan ayah, kini sudah menemukan cintanya yang lain, yang mungkin lebih hangat dan aman.

Sore itu, Caca dan juga Bara berjalan menyusuri jalan kecil dengan Bara yang menggenggam erat jemari Caca dengan sangat erat. “Hati-hati,” ucapnya pada Caca.

Rasanya sudah lama semenjak terakhir kali Caca kesini. Seingatnya, dia kesini beberapa bulan ke belakang bersama Jinan.

Netra perempuan itu tersenyum ketika melihat ke sebuh tempat di depannya.

Iya, Caca dan Bara saat ini tengah berada di pemakaman Haikal dan Ralita.

“Hai ayah, hai ibu …,” ucap Caca yang kini berjongkok di antara dua tumpukan tanah itu.

Jemari Caca bergerak untuk menyingkirkan debu dan beberapa dedaunan kering yang mengotori makam kedua orang tuanya itu.

“Kotor, maaf ya ayah, ibu …,” ucap Caca lagi.

Di sampingnya, Bara juga ikut membersihkan makam itu, sambil sesekali tersenyum memperhatikan perempuannya.

Caca terdiam, ia memandangi dua batu nisan bertuliskan nama kedua orang tuanya. Tanpa ia sadari, air mata jatuh membasahi pipinya.

Rindu, Caca sangat rindu.

Pelukan hangat ibu, senyum manis ibu, suara ibu dan semua hal tentang ibu.

Rindu, Caca sangat rindu.

Pelukan paling aman dari ayah, senyum manis ayah, suara ayah dan semua hal tentang ayah.

Caca rindu mereka.

Bara menyadari jika Caca tengah menangis pun langsung menggeser tubuhnya mendekat, lalu ia merangkul pundak kecil milik perempuan kesayangannya itu.

Caca menangis di pundak Bara.

Pandangan Caca kembali menatap kedua makam orang tuanya itu, lalu mengusap bergantian batu nisan disana.

“Yah …”

“Bu …”

“Liat, sekarang kakak punya seseorang …,” gumam Caca sambil mengusap air matanya.

Bara menatap Caca dan tersenyum, lalu dan lama ia pun ikut mengalihkan pandangannya ke depan.

“Halo om Ikal …,” ucap Bara tersenyum.

“Halo tante Ita …,” lanjutnya lagi.

“Kenalin lagi, saya anaknya Zidan, sahabat baik kalian, hehe ….”

Caca menatap Bara kemudian ia ikut tersenyum.

“Ayah, ibu ….”

“Caca cuma mau bilang. Kalo kalian gak perlu khawatir lagi perihal Caca. Karena sekarang Caca punya dia,” ucap Caca yang kemudian mengusap jemari Bara.

“Dia …”

“Dia yang udah nyadarin Caca, dia yang udah bikin Caca percaya kalo semua orang layak dicinta.”

“Dia yang udah bikin Caca sadar, kalo ternyata segala hal yang masih rumpang dalam diri Caca, bisa diisi dengan begitu layak.”

Bara menatap Caca.

“Ayah …”

“Seandainya aja ayah masih disini, kayaknya semua beban Caca tanggung gak bakal seberat ini.”

“Tapi yah, sekarang ayah gak perlu khawatir lagi, karena sekarang Caca punya Bara …” Caca berbicara tanpa henti, berusaha mengeluarkan semuanya saat ini juga di hadapan ayah dan ibu.

Caca lagi-lagi tersenyum, jemarinya kembali bergerak mengusap batu nisan bertuliskan nama sang ibu disana. “Bu …”

“Ibu inget, gak? Dulu Caca selalu nanya sama ibu tentang gimana sih rasanya bisa dicintai segitu banyaknya sama ayah? Ibu inget, kan?” Caca terkekeh.

“Dulu Caca selalu pengen ngerasain dicintai segitu layaknya kayak cinta yang ayah kasih buat ibu,” ucap Caca lagi kemudian ia menatap Bara.

“Dan sekarang akhirnya Caca tau, bu.”

“Caca tau gimana rasanya dicintai dengan begitu dalamnya, berkat dia …” Caca mengusap pundak Bara membuat Bara tersenyum.

“Bara …”

“Laki-laki ketiga setelah ayah dan adek yang bisa bikin Caca percaya kalo ternyata dicintai memang sehangat itu,” jelas Caca yang lagi-lagi membuat Bara tersenyum.

Caca menghela napasnya lagi, berusaha menahan agar ia tidak menangis.

Melihat Caca yang terlihat seperti akan menangis lagi, tiba-tiba saja Bara memeluk Caca.

“Udah jangan nangis, sekarang giliran aku yang ngomong, ya?” Ucap Bara menenangkan.

“Ekhem …” Bara berdehem.

“Om, apa kabar?”

Bara terkekeh.

“Om, walaupun saya gak pernah kenal om dengan baik. Tapi saya inget kok, dulu om kalo main ke rumah ayah suka bawain mainan,” Bara terkekeh.

Bara lalu terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia melanjutkan kalimatnya.

“Om …”

“Disini, saya mau minta izin sama om sama tante juga,” ucapnya.

Bara menarik napasnya dalam dan tersenyum.

“Om … tante … Izinin saya buat jadi penopang bagi putri kalian, ya? Izinin saya buat mencintai putri kalian dengan layak. Izinin saya buat jadi rumah baru untuk Caca, rumah hangat yang akan selalu jadi hangat.”

Mendengar itu Caca kembali terisak.

Seandainya saja ayah dan ibu masih hidup, mungkin rasanua tidak akan semenyedihkan ini.

“Om … tante …”

“Saya, mencintai putri kalian sangat …”

“Saya minta izin, ya? Untuk jaga putri kalian sampai nanti kita sama-sama menua.”

“Kalian gak perlu khawatir lagi, sebab saya berjanji untuk selalu mencintai putri kalian sampai akhir hidup saya.”

Bara tersenyum, kemudian ia mengusap batu nisan itu secara bergantian.

“Terima kasih om, tante. Terima kasih karena kalian sudah melahirkan putri cantik dan hebat seperti Caca.”

“Dan sekarang, giliran saya yang akan menjaga Caca …”

Bara lalu menatap Caca, kemudian ia mengusap air mata perempuan kesayangannya itu.

”I love you …” Bara tersenyum.

”So much …”

Dua orang kakak beradik itu berjalan ke sebuah tempat.

Caca, yang paling tua itu tersenyum sambil menggenggam tangan Jinan.

Caca tersenyum, begitu juga Jinan.

“Halo ayah ....” ucap Caca.

“Ayah, maaf ya Caca sama adek baru kesini lagi. Sibuk banget,” Caca terkekeh pelan.

Caca tersenyum, kemudian tangannya terulur mengusap batu nisan bertuliskan nama sang ayah.

“Ayah lagi apa sama ibu disana?” Tanya Caca.

Fokus perempuan itu beralih, dan juga ia mengusap nisan di sebelahnya bertuliskan nama sang ibu.

“Ibu ....”

“Ayah nakal gak sih disana sama ibu? Ayah suka bikin kesel, gak?” Tanya Caca.

Di sampingnya ada Jinan. “Ayah ....”

“Ini, hadiah kesukaan ayah. Bunga mawar putih kesukaan ibu. Tadi adek sama kakak beli buat ayah sama ibu,” ucap Jinan sambil mengusap batu itu.

Caca menarik napasnya dalam. Ia rindu ayah, ia rindu ibu.

Waktu itu, tiga tahun setelah kepergian Ralita, Haikal jatuh sakit.

Haikal sakit, sebab tubuhnya selalu dipaksa untuk bekerja guna melupakan rasa sakit setelah kehilangan Ralita.

Haikal sakit selama hampir satu tahun lamanya.

Masih ingat jelas di ingatan Caca dan Jinan. Saat Haikal selalu saja mengatakan jika ia merindukan Ralita.

”Ayah kangen sama ibu ...” ucap Haikal saat itu setiap kali ia melihat tempat yang biasanya selalu ada Ralita disana.

Caca masih sangat ingat, saat Haikal selalu meminta padanya agar nanti, jika Haikal pergi, ia di tempatkan di samping Ralita.

*”Kakak, adek. Nanti, kalau ayah pergi, ayah mau tidur di samping ibu.”

Kala itu, Haikal mengatakannya dengan senyum yang terukir di wajahnya.

”Ayah mau tidur di samping ibu ya nanti. Biar tidurnya ayah tenang.”

“Kakak, adek ... ayah itu sayang sekali sama ibu. Maaf, ya? Kalau ayah harus ninggalin kakak sama adek nanti. Tadi, waktu ayah tidur, ayah liat ibu duduk sambil senyum sama ayah,” ucap Haikal kala itu.

Demi apapun, masih sangat teringat jelas bagaimana senyuman Haikal kala itu pada kedua anaknya.

Bahkan, sampai detik terakhir hidupnya. Haikal mengatakan jika ia sangat mencintai Ralita.

Berkali-kali Haikal mengatakan itu, hampir setiap hari. Sampai akhirnya tiba, dimana waktu Haikal menghembuskan napas terakhirnya. Di atas ranjang rumah sakit, sambil memeluk erat potret dirinya bersama Ralita.

Sebelum ia memejamkan matanya. Haikal itu selalu tersenyum dan mengatakan bahwa ia akan segera memeluk Ralita kembali. Dan benar saja, Haikal pergi. Sambil memeluk potret dirinya bersama Ralita.

Haikal pergi dengan permintaan dimana ia ingin tidur di samping Ralita.

Dan sekarang, Haikal tertidur di samping perempuan kesayangannya dengan tenang.

Haikal mencintai Ralita, sampai saat terakhir hidupnya. Ralita dan selalu Ralita.

Caca mengusap air matanya, sebelum akhirnya ia mengecup batu nisan bertuliskan Haikal dan Ralita secara bergantian.

“Ayah, ibu ...”

“Terima kasih, ya? Untuk semua kasih sayangnya buat Caca sama adek.”

“Ayah sama ibu gak perlu khawatir. Caca sama adek udah gede, hehe. Caca udah jadi dokter, biar nanti kalau ada yang sakit kayak ayah sama ibu, Caca bisa obatin.”

Caca tersenyum, sedangkan Jinan menepuk pundak Caca sambil menahan sesak dan rindu.

“Ayah, ibu ....”

“Caca pulang dulu, ya?” Ucap Caca sebelum akhirnya ia beranjak pergi dari sana sambil meninggalkan sebuah bunga mawar putih kesukaan ayah dan ibunya.

Kini, dua orang kesayangan kalian sudah tumbuh dengan sangat baik. Walau banyak sekali hal menyakitkan yang sudah mereka lalui. Tapi, mereka berhasil melewati itu semua.

Dan lagi, untuk Caca dan juga Jinan. Dua manusia hebat yang selalu berusaha saling melengkapi satu sama lain. Terima kasih, ya?

Sekali lagi, selamay bertumbuh menjadi lebih baik untuk setiap harinya.

Jinan-pemuda yang sebentar lagi berusia dua puluh tahun itu tersenyum ketika membaca pesan terakhir dari sosok perempuan yang sempat membuat dirinya hilang arah. “Semoga kamu jadi ibu yang hebat, Chika,” ucap Jinan yang kemudian ia menutup ponsel di genggamannya itu.

Jinan menghela napasnya, lalu netranya beralih menatap Caca yang tengah fokus memakan sebuah snack di genggamannya.

“Udah pergi?” Tanya Caca yang memang sudah tahu.

Jinan mengangguk. “Iya, dianterin orang suruhan om Iko,” jawab Jinan membuat Caca mengangguk.

Hening di antara mereka untuk beberapa saat.

Caca yang fokus mengunyah, sedangkan Jinan fokus dengan pikirannya sendiri.

Jinan sangat menyesal perihal kejadian beberapa bulan lalu yang sempat membuat dirinya sangat ketakukan. Dan bahkan sampai sekarang Jinan masih merasa jika dirinya sangat gagal dalam menjaga kepercayaan.

“Kak …,” panggil Jinan pada Caca membuat yang lebih tua itu menoleh pada Jinan.

“Apa?” Jawabnya.

Jinan menghela napasnya kemudian ia menunduk. “Maaf, ya, kak …,” cicit Jinan pelan.

Caca terdiam menatap Jinan.

“Buat kejadian waktu itu. Maaf adek bikin kakak kecewa, maaf adek nakal, maaf adek gak dengerin omongan kakak. Maafin adek, ya, kak ….”

Caca menghela napasnya, kemudian tak lama ia beranjak dari duduknya dan tanpa izin dari Jinan ia langsung memeluk tubuh sang adik dengan erat.

Caca tersenyum dalam pelukan itu. “Adek tau, gak? Dari sekian banyaknya kesalahan, dari sekian banyaknya rasa kecewa, kakak bangga sama kamu …,” ucap Caca dalam pelukan itu.

“Adik kecilnya kakak, udah dewasa. Kamu, udah belajar dari kesalahan kamu, dan kakak bangga akan hal itu.”

“Adek gak usah minta maaf lagi. Untuk kesalahan kemarin, itu juga karena kakak. Kakak yang masih payah buat jaga kamu. Maaf, ya?” lanjut Caca sambil mengusap pelan kepala Jinan.

“Adek …”

“Kamu, harus tumbuh baik, lebih baik dan harus semakin baik. Kakak gak bisa jagain kamu seterusnya, begitu juga kamu yang gak bakal bisa jagain kakak seterusnya.”

“Boleh kakak minta satu hal sama kamu?”

Jinan mengangguk dalam pelukan itu.

“Kalo udah dewasa nanti, tolong tetap jadi adik kecilnya kakak, ya? Tolong bahagia. Kakak cuma mau adek hidup nyaman dan bahagia …”

Caca terisak dalam pelukan itu.

“Maaf ya adek …”

“Maaf karena adek gak bisa ngerasain didikan dan kasih sayang dari ayah sama ibu dalam jangka waktu lama. Maaf karena sejak kecil adek harus ngerasa sepi karena gak pernah dapat peluk ayah sama ibu untuk jangka waktu yang lama. Maaf adek, maaf karena adek harus hidup kesepian tanpa ayah sama ibu,” isak Caca.

Jinan menggeleng kuat berusaha menahan tangisnya. “Kakak gak usah minta maaf.”

“Manusia itu datang dan pergi secara bergantin. Adek gak gapapa kakak. Jangan minta maaf perihal kepulangan ibu sama ayah, itu bukan salah kakak.”

Jinan mengusap pundak Caca. “Dari sekian banyaknya beban yang adek tanggung. Beban kakak lebih berat dari adek. Dan harusnya adek yang minta maaf.”

“Maaf, ya, kak? Karena harus nanggung beban sebanyak itu karena kakak jadi anak perempuan pertama.”

Jinan masih mengusap pundak sang kakak berusaha memberi tenang.

“Kakak …”

“Adek janji. Adek janji akan tumbuh jadi baik dan lebih dewasa. Walau nyatanya jadi dewasa itu sulit, tapi adek janji buat tumbuh lebih baik lagi.”

Jinan tersenyum dalam pelukannitu kemudian ia mengecup pucuk kepala Caca dengan penuh kasih sayang.

Caca kembali terisak dan mengeratkan pelukannya, membuat Jinan terkekeh.

“Terima kasih kakak terhebat!”

“Adek sayang banget sama kakak, hehe.”

Perempuan yang umurnya terpaut empat tahun itu menarik napasnya dalam ketika ia berhadapan dengan sang adik.

Caca-perempuan itu menatap lekat sang adik yang tengah tertunduk.

Ini sudah hampir dua minggu sejak terakhir kali Caca mengatakan jika ia sangat kecewa pada sang adik.

Iya, Caca kecewa sebab adiknya itu sempat melakukan kesalahan fatal yang membuatnya merasa gagal menjadi sosok kakak.

Caca pikir, ia sudah cukup mampu membimbing adiknya, namun ternyata salah.

Banyak sekali hal yang tidak bisa Caca lakukan perihal menjadi sosok kakak yang baik untuk adiknya.

Terdengar lagi suara helaan napas dari Caca. “Jangan nunduk terus,” ucapnya pada Jinan.

Perlahan, Jinan mengangkat kepalanya. Berusaha menatap balik netra sang kakak.

“Ka—“ belum sempat Jinan mengatakan sesuatu, Caca sudah lebih dulu angkat bicara.

“Jangan kayak kemarin lagi,” ucap Caca yang masih setia menatap Jinan membuat Jinan kembali menunduk.

“Adek …,” ucap Caca pelan.

“Kakak gak sehebat ayah, kakak gak sehebat ibu dalam mendidik kamu.”

“Banyak hal yang gak bisa kakak kasih buat kamu. Kakak masih kurang dalam banyak hal termasuk jaga kamu,” ucap Caca lagi.

“Kak …”

“Kakak udah gagal, jagain kamu.”

Jinan menggeleng. “Enggak, kakak gak gagal. Adek yang gagal. Adek gagal karena gak bisa jaga kepercayaan kakak.”

“Maafin adek …”

Caca kembali menarik napasnya dapam. “Sini,” pinta Caca sambil merentangkan tangannya menyuruh Jinan masuk ke dalam pelukan itu. Lalu tanpa berlama-lama, Jinan pun memeluk erat tubuh Caca.

“Kakak maaf, maafin adek …,” ucap Jinan berkali-kali.

Caca menangis dalam pelukan itu. “Kakak udah denger semuanya dari om iko. Maaf ya, maafin kakak …” lirih Caca.

“Disaat adek lagi butuh kakak, kakak malah mentingin ego kakak sendiri. Padahal adek butuh kakak.”

Jinan menggeleng lalu mengeratkan pelukanny. “Adek yang minta maaf. Maaf udah ngecewain kakak.”

“Harusnya adek nurut buat gak deket sama Adit. Harusnya adek percaya kakak.”

“Maaf, maaf adek udah ngecewain kakak.”

Jinan terisak. “Kakak adek takut, maaf …” lagi Jinan kembali terisak dalam pelukan Caca.

Caca memeluk erat tubuh sang adik yang ternyata sudah lebih besar darinya. Isakan Jinan membuat memori dulu, ketika Jinan masih kecilbterlintas.

Jinan, selalu meminta peluk Caca setiap kali ia menangis. Bahkan sampai sekarang.

Adik kecilnya sudah dewasa. Tidak ada lagi Jinan yang menangis karena kehilangan mainan.

Baik Caca dan Jinan mereka berdua sudah tumbuh besar. Saling belajar tentang bagaimana caranya menutup semua kekurangan yang ada.

Kedua kakak beradik itu saling mengeratkan pelukannya.

Benar, mereka hanya punya satu sama lainnya. Lantas, kalau bukan mereka sendiri yang saling menguatkan dan menggenggam siapa lagi?

Kadang, manusia perlu kesalahan untuk bisa belajar tumbuh jadi lebih baik. Dan manusia juga perlu luka agar tahu bagaimana caranya mengobati.

Jika diingat kembali perihal perjalanan ini. Banyak sekali yang sudah dilalui. Dari mulai pertemuan, perpisahan, rasa senang, sedih, canda, tawa, serta luka.

Berkali-kali hal-hal itu datang silih berganti seolah mengantri menunggu gilirannya tiba.

Menjadi manusia yang perlahan tumbuh dewasa itu sulit.

Tidak, menjadi dewasa itu bukan soal umur. Tapi, tentang bagaimana seseorang mampu memposisikan dirinya untuk tidak egois dalam mengambil keputusan perihal apapun.

Menjadi dewasa itu sulit sebab secara tidak sadar, banyak hal yang harus diabaikan meski sebenarnya mampu membuat diri kita terguncang.

Tidak apa-apa.

Kata sederhana yang seringkali menjadi andalan bagi seseorang yang mulai beranjak dewasa guna menutup diri dan bersembunyi dari luka.

Jadi dewasa itu sulit. Sebab tanpa sadar, kita dipaksa untuk terus berjuang supaya tetap bertahan, namun terkadang semesta tanpa memberikan aba-aba langsung mematahkan begitu saja mimpi-mimpi yang sudah dirangkai sedemikian rupa.

Terkadang, menjadi dewasa itu membuat kita sering kali berpikir.

Apa kita layak bahagia?

Bahkan banyak sekali manusia yang sering kali mengeluh perihal jalan hidupnya yang dirasa sangat sulit.

Terkadang manusia terlalu banyak mengeluh perihal hidupnya yang perlahan menjadi rumit, padahal di luar sana, masih banyak manusia lain yang tidak seberuntung kita.

Seperti yang dilakukan Jinan. Seorang anak lelaki yang dipaksa keadaan untuk menjadi dewasa di usia yang ternyata sedang butuh-butuhnya dibimbing.

Dulu, Jinan sering kali bertanya pada semesta.

Kenapa ia harus kehilangan ayah dan ibu begitu cepat?

Berkali-kali Jinan bertanya perihal hal itu. Sampai akhirnya perlahan Jinan mengerti. Jika sebuah pertemuan akan selalu ada perpisahan. Dan setiap kebahagiaan pasti akan selalu ada kesedihan.

Seiring berjalannya waktu, Jinan pun paham jika dalam hidup akan selalu berputar antara bertemu dan berpisah serta bahagia dan luka.

Menjadi seorang anak yang dipaksa dewasa dan paksa mengerti keadaan membuat Jinan tumbuh menjadi anak laki-laki hebat dengan perasaan sabar yang begitu luas.

Berkali-kali Jinan dipatahkan semesta perihal kebahagiaan.

Berkali-kali Jinan bertemu dengan kesepian.

Dan berkali-kali juga Jinan kehilangan arah.

Jika saja bisa, Jinan ingin sekali meminta pada Tuhan untuk ia bisa kembali ke keadaan dimana dulu ia tidak peelu khawatir perihal tumbuh dewasa.

Jinan, tidak bisa seperti anak lainnya yang selalu merengek ketika mereka merasa kehilangan sesuatu hal.

Jinan, tidak bisa seperti anak lainnya yang dipeluk oleh ibu dan ayah ketika mereka terluka.

Jinan, hanya seorang anak lelaki yang belum sempat merasakan kasih sayang dari ibu dan ayah dalam jangka waktu yang lama.

Terkadang Jinan lupa, bagaimana rasanya peluk hangat seorang ibu.

Ingin sekali rasanya Jinan berteriak pada semesta dan meminta Tuhan agar Dia mengembalikan ayah dan ibu agar berada di sampingnya.

Namun, terlalu mustahil, sebab lagi-lagi Jinan tersadar, jika dirinya hanya manusia biasa yang tidak akan pernah bisa melawan takdir Tuhan.

Ah, rasanya sangat sulit tumbuh dewasa dengan hanya bergantung pada seorang kakak yang kenyataannya dia pun mempunyai banyak beban dan topangan.

Jinan kesepian, sangat.

Sebenarnya, Jinan tidak benar-benar sendiri.

Masih ada kakak, kakek, nenek, om, dan semua saudara dari keluarga ayah dan ibu. Tapi lagi-lagi Jinan sadar, jika mereka pun mempunyai hidupnya masing-masing.

Jinan tidak akan pernah bisa bertingkah seolah hanya Jinan lah yang berhak atas semua bahagia dari mereka.

Jinan sadar diri.

Meskipun berkali-kali mereka mencoba merangkul Jinan. Tapi tetap saja, pada akhirnya hanya sepi yang Jinan rasakan sebab ia hanyalan seseorang asing di antara mereka.

Sering kali Jinan merasa iri pada saudara-saudaranya sebab mereka masih mempunyai keluarga utuh yang hangat.

Sedangkan Jinan? Jangankan keluarga utuh. Melihat kedua orang tuanya saja Jinan sudah tidak bisa.

Terlalu banyak luka dan kesepian yang Jinan lalui.

Nelangsa, hidup Jinan terlalu nelangsa bagi seorang anak lelaki kala itu.

Nelangsa yang berarti kesedihan.

Iya, perjalanan hidup Jinan untuk menjadi dewasa sangat menyedihkan, sebab ia tidak sekuat itu. Ia hanya mempunyai satu topangan yakni sang kakak.

Tetapi kimi, penopang itu sudah mempunyai rumah barunya.

Lantas tanpa sadar, Jinan kembali kesepian. Ia kembali ditinggalkan.

Perjalanan hidup Jinan untuk menjadi dewasa sangat menyedihkan, sebab lagi-lagi dirinya selalu dipaksa untuk mengerti keadaan.

Namun, meskipun begitu, Jinan berhasil. Ia berhasil melewati itu semua.

Dirinya berhasil melewati semua luka dan rasa sakit, hingga akhirnya kini ia sudah mempunyai bahagianya sendiri.

Jinan berhasil tumbuh dewasa dengan sangat baik, meskipun berkali-kali ia terluka.

Jika saja bisa, Jinan ingin mengatakan pada ibu dan ayah. Jinan ingin menunjukan jika sekarang putra kecil kesayangan mereka sudah berhasil tumbuh dewasa dengan baik, seperti apa yang mereka minta.

Lantas Jinan menatap langit dari balkon kamarnya, dengan menggenggam segelas kopi hitam.

Jinan tersenyum memperhatikan kerlip bintang di atas sana.

“Ayah, ibu …”

“Adek berhasil tumbuh dewasa dengan sangat hebat, kan?” ucap Jinan dengan senyum yang merekah di wajahnya.

“Makasih ya, ayah, ibu. Walaupun didikan kalian hanya sebentar, tapi kalian berhasil.”

“Tunggu, ya? Tunggu sampai nanti kita kumpul sama-sama lagi …”

Jinan kembali tersenyum.

“Adek sayang kalian …” gumam Jinan kemudian ia mengusap air matanya yang jatuh.

Jinan kembali menghela napasnya.

Dan sekali lagi, Jinan berhasil. Ia berhasil tumbuh dengan sangat baik walau tanpa bimbingan dan arahan dari sosok ayah dan ibu.

fin

Jinan—anak itu menunduk ketika ia berhadapan dengan Caca dan juga Jericho.

Lelaki yang lebih tua di hadapan Jinan pun mulai angkat suara. “Jadi adek kenapa?” Tanyanya lembut.

Jinan hanya terdiam, sedangkan Caca menatap Jinan lelah. “Jawab adek ….” Sahut Caca.

Jika saja kalian tahu, Caca ini baru saja pulang dari rumah sakit setelah kemarin sempat dirawat selama beberapa hari. Dan dirinya malah mendapat kabar jika Jinan tengah menghadapi sebuah masalah besar.

Untuk alasan kenapa Caca tahu. Sebab dirinya mengikuti beberapa teman Jinan termasuk Aditya. Salah satu anak yang sangat tidak Caca sukai.

Berkali-kali Caca mengatakan pada Jinan agar jangan terlalu dekat dengan Aditya. Namun tetap saja.

Sungguh, Caca tidak ingin marah saat ini. Ia masih merasa sangat lemah. Namun mau tidak mau, ia juga harus menyelesaikan masalah yang tengah di hadapi sang adik.

“Kakak, Om Iko … maafin adek,” ucap Jinan menunduk.

Sebenarnya Jericho masih tidak tahu kesalahan apa yang Jinan lakukan sampai-sampai Caca menelepon dirinya sambil menangis dan berakhir membuat Jericho pulang lebih cepat, Padahal dirinya sedang di luar kota.

“Jangan minta maaf. Kakak sama Om Iko gak mau denger maaf kalau belum tau masalah sebenernya apa. Yang jelas kakak tau, adek udah bohong ke kakak. Bilang mau pulang malah kelayapan tengah malem. Dan kakak liat postingan temen adek kalo adek peluk-pelukan sama perempuan malem-malem.”

“Kenapa? Adek minum? Sejak kapan adek gitu? Ngikutin siapa? Adek mau dipandang keren karena adek meluk perempuan tengah malem sambil minum?” Tanya Caca berki-kali sedangkan Jinan masih menunduk.

Di samping Caca, jemari keriput Jericho bergerak menenangkan keponakan kesayangannya itu. “Pelan-pelan, kak. Denger dulu penjelas adek …” ucap Jericho.

Setelah berbicara seperti itu pada Caca, Jericho kemudian menatap Jinan lalu menghela napasnya. “Adek minum?” Tanya Jerico, sedangkan Jinan hanya mengangguk pelan.

“Coba ceritain. Adek udah gimana aja selain yang dibilang sama kakak?” Tanyanya lagi.

Jinan terdiam sejenak. Kemudian dengan ragu, Jinan memberikan ponselnya pada Jericho, membuat pria paruh baya itu keheranan.

Belum sempat Jericho angkat bicara lagi. Matanya membulat, hatinya mencelos ketika ia membaca sebuah pesan di ponsel itu.

Caca memperhatikan raut wajah Jericho, lalu tanpa aba-aba ia merebut ponsel itu dari genggaman Jericho.

Netra Caca fokus membaca rentetan pesan itu. Napasnya mulai tak beraturan, tangannya mengepal erat, matanya bahkan memerah.

Dengan tatapan marahnya Caca kemudian menatap Jinan. “Tanggung jawab? Gila lo ya?” ucap Caca dengan nada suara yang meninggi.

“Tanggung jawab apa maksudnya? Lo beneran ngelakuin itu? Ji … lo beneran lakuin itu, hah?!”

Jinan terdiam, lantaran ia juga kebingungan.

“LO UDAH GILA JINAN! GAK ADA OTAK!” Teriak Caca sambil melempar ponsel milik Jinan ke lantai.

Jinan terkejut, kemudian ia kembali meminta maaf. “Kakak maaf, kakak adek gak gitu, adek juga bingung. Kakak maafin a—,” ucapan Jinan terpotong ketika ia mendengar Caca menangis sangat keras di pelukan Jericho.

Caca masih tidak percaya jika adiknya ini bisa melakukan hal fatal semacam ini.

“Lo mikir dong Jinan. Berapa kali gue bilang buat jangan bergaul sama circle si Adit. Lo ngeyel banget.”

“Sekarang liat. LIAT! LO BIKIN HAMIL ANAK ORANG!” Teriak Caca frustasi.

“OTAK LO DIMANA JINAN? SUSAH PAYAH AYAH SAMA IBU BESARIN LO BIAR GAK JADI COWOK BRENGSEK. DAN LO TANPA MIKIR MALAH KAYAK GITU?”

“Ya Tuhan ….” Caca kembali terisak.

Jinan kemudian merangkak memeluk kaki Caca yang duduk di hadapannya sambil berkali-kali menggumamkan kata maaf.

“Kakak maaf, maafin adek …”

Caca sama sekali enggan menatap Jinan. Ia sangat kecewa.

Caca terisak sangat keras. “Kakak harus bilang apa sama ayah sama ibu …” lirih Caca.

Jericho memeluk Caca berusaha Menenangkannya.

“Kakak larang kamu buat jangan main kesana kemari tuh gini Ji. Kakak takut, kakak takut kamu salah arah.”

“KAKAK TAKUT JI!” Teriak Caca.

“Kakak ini udah payah. Kakak gak bisa jagain, kakak gak bisa didik kamu sebaik ayah sama ibu. Kakak masih banyak kurangnya Ji. Maka dari itu kakak takut kamu salah arah karena kakak sadar kalo kakak belum bisa jaga kamu sepenuhnya dengan baik ….”

“Terus sekarang kakak harus gimana? Kaka harus bilang apa ayah sama ibu? Kakak udah gagal jagain kamu …”

Jinan terisak lalu menggeleng. “Enggak, kakak gak gagal. Adek yang gagal disini. Kakak maaf ….” Isak Jinan.

Caca menangis sampai-sampai wajahnya membengkak. Rasanya sungguh sakit dan kecewa.

Caca menahan napasnya berusaha meredakan amarah serta kecewanya, lalu ia menatap Jinan. “Liat mata kakak,” pinta Caca membuat Jinan dengan ragu menatapnya.

“Adek lupa, ya? Kalo perempuan itu harus dijaga? Kan adek sendiri yang bilang, adek sendiri yang selalu inget kata ayah buat jangan jadiin perempuan objek. Adek sendiri yang bilang kalo perempuan itu harus diperlakukan seperti ratu.”

“Terus kenapa adek kayak gitu? Adek bahkan udah nyakitin Zia yang katanya adek sayang banget sama Zia.”

“Sebelum adek lakuin itu, adek gak inget kakak sama ibu sama Zia, ya?”

“Bayangin adek, gimana kalo kakak yang ada di posisi itu. Adek mau kakak kayak gitu? Adek mau?” tanya Caca berkali-kali sedangkan Jinan hanya menunduk menahan tangis dan penyesalannya.

“Sekarang kakak tanya. Kenapa adek bisa kayak gitu? Alasan kenapa adek sampe berani minum dan berakhir lakuin hal gak bener.”

Jinan lagi-lagi terdiam.

“Jawab adek.”

“JAWAB!”

“Adek khilaf, maaf kakak. Adek awalnya cuma pengen nyoba rasanya minum. Tapi adek malah kayak gitu. Kakak maafin adek, adek salah. Kakak maaf ….” Jelas Jinan yang lagi-lagi membuat Caca menarik napasnya dalam.

Terdengar suara kekehan dari Caca. “Gak masuk akal alasannya,” balas Caca kemudian ia beranjak dari duduknya.

“Udah deh, kakak kecewa banget sama kamu.”

“Kakak …”

“Jangan manggil gue kakak. Gue gak pernah punya adik yang kurang ajar kayak gini,” ucap Caca sebelum akhirnya ia pergi dari sana, meninggalkan Jinan dan Jericho.

Jinan memukuli dirinya sendiri, membuat Jericho segera merangkulnya.

“Udah, udah …”

“Jangan nangis ya adek …” ucap Jericho yang kini mendekap Jinan.

“Om, maafin adek …”

Jericho menggeleng. Kemudian ia menepuk pundak Jinan.

“Semua manusia pasti ada salahnya, tapi gak semua manusia mau mengakui kesalahannya.”

“Adek udah ngecewain kakak om …” Lirih Jinan.

Jericho menghela napasnya. “Nanti kita selesain bareng-bareng, ya?”

“Jangan takut, adek gak sendiri …”

Netra gadis itu bergerak memperhatikan kerlip bintang di langit malam ini. Sambil sesekali memeriksa jam yang tertempel di tangannya, berharap yang ditunggu segera datang.

Hampir lima belas menit berlalu, hingga akhirnya ia melihat sosok yang ia tunggu.

Jinan, gadis itu melihat Jinan berjalan ke arahnya, dengan wajah yang terlihat kusut.

Sungguh, malam ini Jinan terlihat sangat berantakan. Tidak ada senyum manis menggemaskan seperti biasanya.

Tatapan mereka berdua bertemu ketika Jinan berdiri tepat di hadapan gadisnya.

Zianka-gadis itu tersenyum. “Hi …” ucapnya pelan, sedangkan Jinan tersenyum tipis.

“Kamu, udah makan, kan?” Gadis itu kembali berucap.

Zianka menatap Jinan khawatir, benar-benar khawatir.

Jinan terdiam. Sungguh, ia sangat takut.

“Jinan, aku ada bikin salah, ya?”

“Aku udah ngecewain kamu secara gak sadar? Jinan maaf, ya?” Zianka kembali berucap lalu terlihat gelengan pelan dari Jinan.

“Ji—“

“Bukan salah kamu,” potong Jinan.

Zianka terdiam.

Dengan berani, Jinan menatap netra gadisnya. Jemari Jinan kemudian bergerak mengusap sayang pucuk kepala gadisnya itu.

“Zia ….”

“Gak ada yang salah kok, bukan salah kamu, kamu gak ngelakuin apa-apa. Jangan minta maaf.”

Zianka menatap Jinan lekat. “Terus kenapa kamu minta udahan? Bosen, ya, sama aku?”

Jinan kembali menggeleng.

“Udah gak sayang aku, ya, Ji?”

Lagi, Jinan kembali menggeleng.

“Terus kenapa?”

Jinan menghela napasnya, sesak sekali rasanya.

“Cantik ….”

“Maaf, ya?”

Sungguh, Zianka benar-benar tidak mengerti kenapa Jinan lagi-lagi meminta maaf.

“Maaf … maaf … maaf,” gumam Jinan berkali-kali dengan jemari yang kini menggenggam erat jemari kecil milik gadisnya.

“Zia … maaf …”

”I got a girl pregnant.

Demi Tuhan, rasanya dunia Zianka saat ini benar-benar runtuh.

“Jinan ….”

Pemuda itu tertunduk menahan tangisnya.

“Maaf …. Maaf …. Maaf ….” Gumamnya lagi.

Zianka terdiam.

“Aku gak tau, aku gak sadar. Zianka maaf ….”

Demi apapun, Jinan sudah siap jika saat ini gadisnya marah, Jinan siap jika gadis ini memukulinya.

Gila, dunia Jinan rasanya hancur, sangat hancur.

Jinan benar-benar siap dengan konsekuensi yang akan ia terima setelah ini. Meskipun harus berakhir saling membenciz

Alih-alih menangis, justru Zianka menarik napasnya dalam, berusaha menghadapi masalahnya dengan kepala dingin.

Jemari kecil itu bergerak mengusap Jinan penuh sayang. “Sejak kapan, Ji?” Tanya Zianka lembut, bahkan nada suaranya benar-benar setenang itu.

“Aku tau kamu gak kayak gitu …” ucap Zianka lagi.

Jinan menggeleng. “Demi Tuhan, malam itu aku gak sadar. Aku bener-bener gak sadar. Zia maaf …”

“Aku tau aku bodoh. Tapi Zi, aku juga bahkan gatau perempuan itu beneran hamil atau enggak. Ini baru beberapa hari, rasanya terlalu cepet. Tapi aku juga gak inget Zia.”

“Maaf, maafin aku ….”

“Zia aku hina banget. Aku udah ngecewain banyak orang termasuk kamu, maaf, ya?” Lirih Jinan yang kini terisak.

Zianka masih terdiam membiarkan Jinan mengeluarkan semuanya.

“Aku bodoh, aku egois, harusnya aku gak gitu.”

“Zia, aku udah nyentuh perempuan lain, walau aku enggak tau apa yang udah aku lakuin itu apa aja karena aku pun gak sadar. Tapi aku bener-bener takut kalo ternyata itu nyata …”

“Aku harus tetap tanggung jawab, kan, Zi? Walau aku belum tau apa yang sebenernya terjadi. Tapi aku udah lakuin kesalahan fatal, dan aku harus perbaikin itu semua.”

“Zia maaf, maafin aku ….” Lagi, Jinan kembali meminta maaf.

Zianka menatap Jinan teduh.

“Mau peluk?” Tanya Zianka.

Jinan menatap Zianka terkejut. Namun sedetik kemudian Jinan memeluk erat Zianka.

“Maaf ….”

Jemari Zianka kembali bergerak menepuk pundak prianya. “Apa yang kamu tanam, itu yang kamu tuai. Dan apa yang kamu lakukan, itu yang harus kamu tanggung …”

“Jinan …”

“Aku sayang banget sama kamu, sesayang itu sampai kadang aku lupa kalo di dunia ini tuh ada yang namanya pertemuan dan perpisahan.”

“Zia maaf …” lirih Jinan lagi dalam pelukan itu.

Zianka mengeratkan pelukannya. Lalu tanpa Jinan ketahui, Zianka juga menangis.

“Aku gapapa ….”

“Aku gak marah ….”

“Makasih, ya?”

“Makasih udah jujur dan gak nyembunyiin apapun.”

Zianka menarik napasnya dalam berusaha menghilangkan rasa sesaknya. “Sekarang aku gak keberatan kalo emang kamu mau akhirin semuanya.”

“Nama perempuannya siapa? Cantik, ya?”

Dalam pelukan itu Jinan menggeleng.

Zianka melepaskan pelukannya, kemudian Zianka kembali menatap Jinan teduh.

“Jinan anak baik, hebat. Lelaki hebat.”

“Semua manusia pasti pernah lakuin kesalahan, termasuk aku, termasuk kamu. Tapi, Jinan bener-bener hebat. Tau, gak, karena apa?”

“Karena Jinan mau bertanggung jawab sama kesalahan yang Jinan lakuin.”

Jinan menunduk. “Maaf …”

Zianka tersenyum. “Gapapa, hehe …”

Zianka menghela napasnya, kemudian ia mengangkat kepalanya berusaha menahan air mata yang memaksa keluar.

“Jadi, kita udahan, ya?” Tanya Zianka.

Jinan terdiam.

Zianka terkekeh. “Jinan ….”

“Aku harap, kamu enggak nyakitin perempuan lain, ya? Termasuk perempuan itu. Meski katamu semua masalahnya masih abu-abu.”

“Jinan …”

“Makasih banyak karena udah jadi lelaki hebat yang gak lari dari masalah.”

Lagi-lagi Jinan hanya bisa menunduk dan menggumamkan kata maaf.

“Aku pulang ….”

“Baik-baik, ya?” pinta Zianka sebelum akhirnya ia pergi dari hadapan Jinan.

Dan malam ini, merupakan malam dengan skenario paling buruk bagi dua manusia itu.

Arkanata menghela napasnya ketika ia melihat Jinan tengah duduk di ayunan sambil menghadap ke sebuah kolam di hadapannya. Kemudian tanpa berlama-lama Arkanata duduk di samping Jinan membuat pemuda itu menoleh sedikit terkejut.

“Nih minum, suka kopi, kan?” Tanya Arkanata membuat Jinan tersenyum pelan.

“Suka hehe …”

Arkanata tersenyum, lalu kemudian ia menatap Jinan.

Sungguh, setiap kali ia melihat anak ini, memori-memori masa lalu tentang dirinya dan Ralita tiba-tiba saja terlintas seolah memaksa Arkanata untuk tetap menyesali kesalahannya dulu.

Arkanata menghela napasnya, lalu perlahan jemarinya yangbterlihat keripun bergerak mengusap pelan pucuk kepala Jinan. “Ada masalah?” Tanya Arkanata membuat Jinan kembali menoleh padanya.

Jinan terdiam. Sedangkan Arkanata menatapnya tulus.

“Di ruangan kakak kamu lagi ada tamu, ya?”

“Itu bunda …” jawab Jinan.

“Bunda?”

Jinan mengangguk. “Iya, bundanya kakak, hehe …” ucap Jinan tersenyum.

Arkanata terdiam.

“Bina?”

Jinan melotot terkejut. “Om kenal?”

Arkanata terdiam, kemudian tak lama ia menggeleng pelan. “Enggak kok, saya cuma tau kalau dia mantan istri ayah kamu,” ucap Arkanata membuat Jinan mengangguk.

Jinan kembali mengalihkan pandangannya ke depan. Arkanata bisa dengan jelas melihat jika anak ini sedang tidak baik-baik saja.

“Kenapa Jinan?”

Jinan kembali menoleh. “Saya itu emang nyusahin, ya, om?”

“Kok gitu?”

Entah kenapa tapi Jinan tiba-tiba saja tanpa sadar mengeluarkan air matanya. “Kata Bunda, saya yang bikin kakak sakit.”

“Kata Bunda, saya cuma bisa nyusahin kakak. Selama ini saya cuma bisa bikin kakak capek …”

Jinan menarik napasnya berusaha menahan sesak. “Saya tuh pembawa sial, ya, om?”

“Kenapa orang-orang tuh suka nyalahin saya, padahal saya juga gak suka liat kakak sakit …”

Arkanata menggeleng. Lalu ia kembali mengusap Jinan seperri seorang ayah pada anaknya.

“Ji, bukan salah kamu, saya tau. Mana mungkin kamu tega bikin kakak kamu sakit.”

“Terus, kenapa Bunda selalu nyalahin saya, om? Apa bunda benci, ya, sama saya?”

Arkanata menatap Jinan. “Mungkin karena bunda khawatir sama kakak, makanya dia kayak gitu. Tapi yakin sama saya, bunda gak benci Jinan kok …” ucapnya meyakinkan.

Arkanata tersenyum.

“Ah, saya jadi teringat almarhum putra saya Bian. Sepertinya jika masih ada, umurnya tak nerbeda jauh dengan kamu, Ji …”

Jinan memperhatikan Arkanata, wajahnya terlihat banyak sekali keriput dan sorot mata yang menyiratkan jika dirinya sangat lelah.

“Om capek, ya? Kerja terus sih, hahaha. Tidur om, itu matanya itu …” ucap Jinan.

Arkanata terkekeh, kemudian ia beranjak. “Ayo …”

“Eh om kemana?”

“Ketemu bunda kamu,” balas Arkanata.

Namun belum sempat mereka beranjak dari sana, langkah mereka terhenti ketika melihat Bina yang sudah berdiri disana.

Arkanata menatap Bina begitu juga sebaliknya.

Terdengar suara helaan napas dari Bina. “Bunda gak nyalahin kamu, Ji. Bunda cuma ngasih tau,” ucap Bina sebab sebelumnya ia mendengar obrolan Arkanata dan Jinan.

Jinan terdiam.

“Bunda gak suka ngeliat kakak kamu sakit, bunda gak suka, Ji. Makanya bunda bawel.”

Arkanata masih terdiam. Sungguh, kenapa ia benci sekali dengan Bina? Padahal sebelumnya pun ia tidak pernah mempunyai urusan dengan wanita ini.

“Bunda kesini mau ngasih tau, kamu nanti pulang saja, biar bunda yang jagain kakak kamu. Tapi sekarang ke atas dulu, kakak kamu nanyain.”

Sebelum Bina beranjak pergi, netranya beralih pada Arkanata.

“Arkanata?” Tanya Bina membuat Arkanata lagi-lagi menatapnya dan tersenyum tipis.

Terdengar suara kekehan kecil dari Bina.

Jinan memperhatikan interaksi kedua orang dewasa itu.

Bina lalu menatap Jinan. “Jangan terlalu percaya sama orang asing, ya, Ji? Nanti kecewa …” ucap Bina membuat Jinan kebingungan.

Arkanata menghela napasnya. Kemudian ia pun ikut bergegas dari sana sambil menarik Jinan.

Jinan menghentikan langkahnya membuat Arkanata ikut berhenti.

“Om, punya masa lalu apa sama ayah sama ibu? Dan sama bunda?”

Dengan langkahnya yang tergesa-gesa Jinan segera masuk ke dalam kamar sang kakak, sambil menenteng sebuah kantung plastik kecil berisi obat.

Jinan terdiam di ambang pintu ketika ia melihat Caca tengah mengusap air matanya. Jinan lalu menghela napasnya.

“Kak …” panggil Jinan yang kini berjalan mendekat.

Caca menoleh pada Jinan dan langsung saja menghapus air mata yang tersisa, ia kemudian tersenyum.

“Udah beli obatnya?” Tanya Caca membuat Jinan mengasongkan kantung plastik berisi obat itu.

“Makasih, ya,” ucap Caca.

Jinan kemudian duduk di tepi ranjang itu sambil memperhatikan sang kakak. Jemarinya perlahan bergerak mengusap wajah sang kakak. “Jangan nangis gini, adek gak suka kakak ….,” ucap Jinan membuat Caca menatapnya dengan senyuman.

“Kakak gapapa kok, cuma kelilipan,” balas Caca.

Jinan berdecak pelan. “Kayak bohongin anak sd aja,” balas Jinan membuat Caca terkekeh.

“Kakak gapapa adek, kakak cuma nangis karena pusing. Kayaknya karena seminggu kemarin kakak pusing ngerjain laporan,” ucapnya meyakinkan Jinan.

Jinan menghela napasnya, kemudian tanpa aba-aba ia merentangkan tangannya. “Adek mau meluk kakak, sini …” pinta Jinan membuat Caca terdiam.

Entah kenapa tapi melihat Jinan seperti itu membuat Caca menangis begitu saja. Air matanya keluar gak tertahan seperti semua yang ia tahan selama ini meluncur keluar begitu saja. Lalu tanpa berpikiran panjang, Caca langsung melesak masuk ke dalam pelukan sang adik.

“Adek …” isak Caca.

Jinan menarik napasnya, kemudian ia menepuk pelan pundak Caca berusaha meredakan tangisannya. “Kakak gapapa kok kalo mau nangis. Gapapa kalo kakak mau ngeluh. Kakak kan juga manusia, emangnya ada yang ngelarang buat gak ngeluh, ya?”

“Kakak, mungkin adek belum bisa ngasih peluk hangat kayak apa yang kakak mau. Tapi kakak harus inget, disini ada adek. Kakak bisa ngeluh ke adek tentang banyak hal, kakak gak sendirian kok.”

Caca semakin terisak dalam pelukan itu.

“Adek tau, kakak chat bang Nathan.”

“Jangan gitu, ya, kak? Jangan nyakitin diri kakak sendiri.”

“Kakak masih punya adek buat ngeluh, buat marah, buat teriak. Kakak bisa lakuin itu ke adek. Tapi adek mohon, ya, kak? Jangan sakit cuma karena kakak kehilangan satu orang.”

“Kakak gak pantes ngemis perhatian orang lain, karena kakak gak serendah itu.”

“Adek tau kok kakak juga sayang bang Nathan, bang Nathan juga sayang kakak. Tapi adek mohon kakak jangan gitu lagi, ya, kak? Adek gak suka, beneran gak suka.”

“Kakak juga tau, kan? Abang udah punya perempuan lain. Jadi kakak jangan gitu lagi, ya? Hati adek sakit liatnya.”

Caca terisak. “Adek maaf … kakak cuma takut, kakak takut gak bisa jadi kuat kalo kakak ngeluh ke adek.”

Jinan kembali menghela napasnya “Kak …”

“Kakak itu punya adek, dan adek juga punya kakak. Kita cuma punya satu sama lain kak.”

“Kalo bukan kita, siapa lagi, kak? Jadi ayo, saling nguatin, ya kak. Kakak punya adek yang bakal selalu ada buat kakak. Dan sebaliknya kayak gitu.”

Caca semakin terisak dan mengeratkan pelukannya pada sang adik.

“Gapapa kakak nangis aja, peluk adek yang kenceng sampe sakitnya hilang. Abis itu kakak janji ke adek buat jangan nyembunyiin lagi rasa capeknya kakak, ya?” Pinta Jinan yang kini mengusap kepala sang Kakak.

“Adek sayang banget sama kakak …” Jinan mengeratkan pelukannya.

Caca menenggelamkan wajahnya di pundak sang adik, berusaha merasakan hangat dan rasa aman dari pelukan itu.

Jinan benar, mereka itu cuma punya satu sama lain untuk saling menguatkan.

Sebab terkadang orang yang kita anggap istimewa bisa saja keesokan harinya berubah menjadi kecewa.

Lantas, jika bukan mereka sendiri, siapa lagi?

“Maaf, ya, adek, kakak banyak ngeluhnya ….”

Jinan menggeleng. “Gapapa, adek gak pernah keberatan buat nopang semua keluh kakak.”

Caca tersenyum. Dan Caca lagi-lagi tersadar, jika ternyata jagoan kecil yang dulu selalu menangis, kini sudah bisa jadi penopang bagi segala rasa sakit, Jinan tumbuh kuat dengan bahunya yang selalu kokoh.

Dan dalam pelukan itu, Jinan berbisik. “Tapi kalo meluk kakak bosen ah.”

“Adek maunya meluk Zia aja, wangi …”

Mendengar itu lantas Caca segera melepaskan pelukannya dan menatap Jinan sini. “HEH!”

“HAHAHAHA. BECANDA KAKAK!”