Jangan Terlalu Percaya Orang Asing.
Arkanata menghela napasnya ketika ia melihat Jinan tengah duduk di ayunan sambil menghadap ke sebuah kolam di hadapannya. Kemudian tanpa berlama-lama Arkanata duduk di samping Jinan membuat pemuda itu menoleh sedikit terkejut.
“Nih minum, suka kopi, kan?” Tanya Arkanata membuat Jinan tersenyum pelan.
“Suka hehe …”
Arkanata tersenyum, lalu kemudian ia menatap Jinan.
Sungguh, setiap kali ia melihat anak ini, memori-memori masa lalu tentang dirinya dan Ralita tiba-tiba saja terlintas seolah memaksa Arkanata untuk tetap menyesali kesalahannya dulu.
Arkanata menghela napasnya, lalu perlahan jemarinya yangbterlihat keripun bergerak mengusap pelan pucuk kepala Jinan. “Ada masalah?” Tanya Arkanata membuat Jinan kembali menoleh padanya.
Jinan terdiam. Sedangkan Arkanata menatapnya tulus.
“Di ruangan kakak kamu lagi ada tamu, ya?”
“Itu bunda …” jawab Jinan.
“Bunda?”
Jinan mengangguk. “Iya, bundanya kakak, hehe …” ucap Jinan tersenyum.
Arkanata terdiam.
“Bina?”
Jinan melotot terkejut. “Om kenal?”
Arkanata terdiam, kemudian tak lama ia menggeleng pelan. “Enggak kok, saya cuma tau kalau dia mantan istri ayah kamu,” ucap Arkanata membuat Jinan mengangguk.
Jinan kembali mengalihkan pandangannya ke depan. Arkanata bisa dengan jelas melihat jika anak ini sedang tidak baik-baik saja.
“Kenapa Jinan?”
Jinan kembali menoleh. “Saya itu emang nyusahin, ya, om?”
“Kok gitu?”
Entah kenapa tapi Jinan tiba-tiba saja tanpa sadar mengeluarkan air matanya. “Kata Bunda, saya yang bikin kakak sakit.”
“Kata Bunda, saya cuma bisa nyusahin kakak. Selama ini saya cuma bisa bikin kakak capek …”
Jinan menarik napasnya berusaha menahan sesak. “Saya tuh pembawa sial, ya, om?”
“Kenapa orang-orang tuh suka nyalahin saya, padahal saya juga gak suka liat kakak sakit …”
Arkanata menggeleng. Lalu ia kembali mengusap Jinan seperri seorang ayah pada anaknya.
“Ji, bukan salah kamu, saya tau. Mana mungkin kamu tega bikin kakak kamu sakit.”
“Terus, kenapa Bunda selalu nyalahin saya, om? Apa bunda benci, ya, sama saya?”
Arkanata menatap Jinan. “Mungkin karena bunda khawatir sama kakak, makanya dia kayak gitu. Tapi yakin sama saya, bunda gak benci Jinan kok …” ucapnya meyakinkan.
Arkanata tersenyum.
“Ah, saya jadi teringat almarhum putra saya Bian. Sepertinya jika masih ada, umurnya tak nerbeda jauh dengan kamu, Ji …”
Jinan memperhatikan Arkanata, wajahnya terlihat banyak sekali keriput dan sorot mata yang menyiratkan jika dirinya sangat lelah.
“Om capek, ya? Kerja terus sih, hahaha. Tidur om, itu matanya itu …” ucap Jinan.
Arkanata terkekeh, kemudian ia beranjak. “Ayo …”
“Eh om kemana?”
“Ketemu bunda kamu,” balas Arkanata.
Namun belum sempat mereka beranjak dari sana, langkah mereka terhenti ketika melihat Bina yang sudah berdiri disana.
Arkanata menatap Bina begitu juga sebaliknya.
Terdengar suara helaan napas dari Bina. “Bunda gak nyalahin kamu, Ji. Bunda cuma ngasih tau,” ucap Bina sebab sebelumnya ia mendengar obrolan Arkanata dan Jinan.
Jinan terdiam.
“Bunda gak suka ngeliat kakak kamu sakit, bunda gak suka, Ji. Makanya bunda bawel.”
Arkanata masih terdiam. Sungguh, kenapa ia benci sekali dengan Bina? Padahal sebelumnya pun ia tidak pernah mempunyai urusan dengan wanita ini.
“Bunda kesini mau ngasih tau, kamu nanti pulang saja, biar bunda yang jagain kakak kamu. Tapi sekarang ke atas dulu, kakak kamu nanyain.”
Sebelum Bina beranjak pergi, netranya beralih pada Arkanata.
“Arkanata?” Tanya Bina membuat Arkanata lagi-lagi menatapnya dan tersenyum tipis.
Terdengar suara kekehan kecil dari Bina.
Jinan memperhatikan interaksi kedua orang dewasa itu.
Bina lalu menatap Jinan. “Jangan terlalu percaya sama orang asing, ya, Ji? Nanti kecewa …” ucap Bina membuat Jinan kebingungan.
Arkanata menghela napasnya. Kemudian ia pun ikut bergegas dari sana sambil menarik Jinan.
Jinan menghentikan langkahnya membuat Arkanata ikut berhenti.
“Om, punya masa lalu apa sama ayah sama ibu? Dan sama bunda?”