Jjaejaepeach

Waktu menunjukan pukul tujuh malam, dimana saat ini beberapa orang berkumpul di meja makan termasuk Juli.

Sejak kedatangannya ke rumah Sagara, Juli banyak terdiam. Apalagi ketika ia melihat betapa mewahnya rumah milik sang kekasih.

Jika diibaratkan dengan dirinya, sepertinya Juli hanyalah sebutir debu di rumah ini. Sangat berbeda sekali.

Saat ini, Juli tengah duduk di samping Sagara, sesekali ia hanya tersenyum kecil mendengarkan ocehan-ocehan dari kedua orang tua Sagara serta saudara-saudaranya.

“Jadi kamu satu kampus sama Saga?” Tanya lelaki paruh baya itu pada Juli, membuat Juli mengangguk dan tersenyum.

Di sampingnya, Sagara tersenyum, jemarinya lalu diam-diam menggenggam Juli, seolah mengatakan jika ia akan baik-baik saja disini.

“Sederhana banget ya, kak,” tiba-tiba saja Galih-adik Sagara menyahuti, membuat Juli menoleh.

“Eh iya gimana?”

Galih terkekeh. “Iya, lo sederhana banget kak. Gak kayak mantannya si Sagara yang lain,” ucapnya lagi membuat Juli lagi-lagi hanya tersenyum kaku.

“Diem lo.” Sagara menyahuti.

“Iya bener, pantesan aja tuh anak minta motor. Ternyata pacarnya sederhana banget,” lagi, Gala-kakak dari Sagara ikut menimbrung.

Juli hanya terdiam, tanpa berani mengatakan apapun.

Sungguh, ia merasa jika dirinya benar-benar seperti gembel yang kehilangan arah disini.

“Sudah, makan dulu ayo,” tiba-tiba saja Bunda Sagara angkat bicara.

“Makan yang banyak Juli, jarang-jarang loh Bunda masak enak gini. Abisin ya,” ucapnya lagi membuat Juli mengangguk.

Sagara tersenyum kecil, sambil melirik ke arah Juli.

“Selamat makan cantik …,” lirihnya pelan.

Napas anak itu tercekat ketika membaca balasan dari sang kakak perihal dirinya yang akan dibelikan motor oleh papa dan mama.

Entah kenapa, tapi kali ini Bumi rasanya ingin sekali protes pada kedua orang tuanya.

Kenapa hanya kakak?

Bumi beranjak dari duduknya, berniat keluar dari kamarnya dan berharap bertemu dengan papa dan mama.

Perlahan ia menuruni anak tangga, langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara obrolan dari ruang tengah.

Sepertinya mereka sudah pulang.

Bumi memberanikan diri untuk menghampiri mereka. Namun belum sempat Bumi mendekat, lagi-lagi langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara sang kakak disana.

Mereka sedang berkumpul ternyata. Tanpa Bumi.

Anak itu tersenyum, kemudian menarik napasnya dalam, dan memberanikan diri untuk mendekat.

Ia melangkahkan kakinya perlaham, sampai akhirnya sang kakak menyadari kehadiran Bumi.

Bumi tersenyum, begitu juga Azri.

“Adek. Sini!” ucap Azri sambil menepuk tempat kosong di sebelahnya membuat Johan dan Clarissa menoleh.

Bumi tersenyum kemudian ia menghampiri dan duduk di sebelah Azri.

Bumi melirik Clarissa sekilas, terlihat raut wajahnya yang enggan menatap Bumi. Sedangkan Johan, ia hanya menatap Bumi datar.

Belum sempat Bumi ikut menimbrung. Azri sudah lebih dulu angkat bicara.

“Benerkan, Ma, Pa? Kakak mau dibeliin motor? Adek dibilangin gak percaya sih,” uvap Azri membuat Bumi menatapnya.

Clarissa tersenyum, kemudian tangannya mengusap pucuk kepala Azri lembut.

Melihat itu Bumi hanya bisa menahan sesaknya.

Kenapa Mama gak pernah ngusap kepala Bumi, ya

Bumi membuang napasnya pelan, namun sebisa mungkin ia menahan raut wajahnya agar tidak terlihat menyedihkan.

“Iya sayang, nanti mama belikan,” ucap Clarissa.

Demi apapun, Bumi iri mendengar itu.

Bumi hanya anak remaja, wajar jika ia merasa iri. Apalagi mengingat jika selama ini ia selalu dibedakan entah karena alasan apa. Bumi sendiri bahkan tidak mengertiz

Bumi meneguk salivanya, ingin berbicara.

“Ma …,” ucap Bumi pelan.

Clarissa hanya berdetak tanpa menatap.

“Bumi gak dibeliin motor ju—“ belum sempat Bumi menyelesaikan kalimatnya Clarissa sudah lebih dulu beranjak dari duduknya.

“Aduh Mama pusing, gak usah minta aneh-aneh deh, belajar aja yang bener. Contoh kakakmu.” ucap Clarissa.

Bumi menahan napasnya.

“Anak kalian cuma Kak Azri, ya? Bumi emang gak pantes buat disa—“ lagi, ucapannya terpotomg kala Clarissa memilih pergi dari sana meninggalkan Bumi, Azri. Sedangkan Johan, ia hanya terdiam menatap Bumi sejenak sebelum akhirnya berjalan mengikuti Clarissa.

Azri menghela napasnya. “Jangan ngelawan,” ucap Azri kemudian dirinya menepuk pundak Bumi.

“Sabar, nanti ada waktunya,” lanjutnya pada Bumi.

“Kakak keluar dulu, dah,” lanjutnya yang kemudian beranjak dari sana meninggalkan Bumi sendirian.

Bumi lagi-lagi hanya bisa tersenyum.

“Gak adil banget …,” gumam anak itu pelan.

“Kok diem aja?” Tanya Sagara pada Juli, membuat perempuan itu langsung mengalihkan pandangannya pada Sagara kemudian tersenyum.

“Gapapa, hehe,” balas Juli.

Namun namanya Sagara, ia tidak percaya jika mendengar Juli mengatakan bahkan ia tidak apa-apa. Lantas, Sagara meraih ponsel Juli.

Netranya segera fokus membaca deretan pesan disana. Kemudian ia menghela napasnya.

“Gak usah di bales, ya?” pinta Sagara membuat Juli mengangguk.

Sagara tersenyum, lalu jemarinya bergerak mengusap pucuk kepala perempuan itu lembut.

“Anak pinter,” ucap Sagara membuat Juli terkekeh.

Tadi, setelah Sagara selesai kelas, ia buru-buru menjemput Juli. Sebab katanya hari ini Sagara ingin memberikan waktunya hanya untuk menemani Juli kemana pun.

Sagara lagi-lagi terkekeh ketika ia tak sengaja memperhatikan netra perempuan di hadapannya yang terlihat tengah mengagumi area itu.

“Biasa aja liatnya,” ucap Sagara membuat Juli menyerengeh.

“Aku, udah lama gak ke bioskop,” ucapnya.

Sagara terdiam.

“Aku terakhir ke bioskop kapan, ya?” Tanya Juli pada dirinya sendiri.

“OH! AKU INGET!”

“Waktu itu, pas adek aku mau naik ke kelas dua belas. Aku kasih hadiah nonton, haha.” Juli tertawa di akhir kalimatnya.

“Gak nonton sama temen-temen kamu emang?” Tanya Sagara.

Juli menggeleng. “Aku kalo di ajak gak pernah ikut, hehe,” jawabnya.

“Sayang uangnya, mending di tabung buat makan juga,” balas Juli sedikit menunduk.

Ada perasaan menusuk ketika mendengar ucapan Juli. Lantas Sagara tersenyum dan kembali mengusap perempuan itu.

“Sekarang, kita seneng-seneng, ya? Gak usah mikirin perihal uang. Aku mau hari ini kamu seneng-seneng.”

“Bilang aja ke aku kamu mau kemana, ok? Aku temenin,” ucap Sagara lagi dengan senyumnya yang masih melekat di wajahnya.

Juli menatap Sagara. Ia terdiam sejenak. “Hmm, gapapa? Nanti kamu capek. Lagian hari ini kan rencananya cuma mau beli hadiah buat adek aku aja,” balas Juli.

Sagara mengangguk. “Gapapa sayang. Kan udah aku bilang. Hari ini aku mau ngasih reward buat kamu karena udah kerja keras. Jadi, hari ini aku bakal kabulin apapun yang kamu mau, ok?”

Juli tersenyum mendengar ucapan Sagara, kemudian tak lama ia mengangguk senang. Begitu juga Sagara.

Demi apapun, Sagara tidak pernah melihat Juli sesenang ini sebelumnya.

I love you,” ucap Sagara dengan mengacak pelan rambut Juli.

Deru ombak sore ini tampak sedikit tenang, tidak seperti biasanya. Entahlah, tapi nampaknya langit sore ini pun terlihat tengah berbahagia.

Dua anak Adam dan Hawa itu kini tengah duduk bersebelahan, dengan netra yang menatap ke depan.

“Kayaknya aku harus sering bawa kamu kesini deh,” ucap Sagara pada Juli.

Perempuan itu lantas menoleh. “Kenapa?”

Sagara mengalihkan atensinya menatap netra hitam kecoklatan milik perempuan ith

“Kamu senyum terus soalnya, haha.” Sagara tertawa di akhir kalimatnya sedangkan Juli hanya menggeleng.

Lagi-lagi kalimat-kalimat yang Sagara lontarkan terdengar sangat manis, tak jarang membuat Juli seperri merasakan perasaan menggelikan pada perutnya.

Sagara terkekeh, kemudian ia mengalihkan atensinya untuk menatap hamparan laut yang dihiasi warna jingga dari langit.

Entah keberanian dari mana, tapi tiba-tiba saja tangan kekar Sagara bergerak meraih jemari yang lebih kecil darinya, membuat si empunya terkejut.

Lantas, perempuan itu menatap jemarinya yang kini tengah digenggam hangat oleh Sagara.

“Kayaknya Tuhan juga tau deh, Jul,” ucap Sagara.

Juli mengangkat sebelah alisnya. “Tau apa?”

“Kalau tangan kamu emang cocok buat aku. Liat, pas banget buat digenggam,” ucap Sagara lagi yang kini mengangkat tangannya yang masih setia menggenggam Juli.

Lagi-lagi Juli hanya bisa menahan napasnya. Menahan perasaan malu, sebab untuk kesekian kalinya Sagara membut dirinya kewalahan.

Juli hanya menanggapi dengan kekehan pelan.

“Jul …,” lagi Sagara memanggil Juli.

“Apa, Sa? Mau gombal apalagi?” Tanya Juli seketika membuat Sagara tertawa.

Sagar menoleh, kemudian ia mengubah posisinya agar berhadapan dengan Juli.

Netra Sagara menatap dalam perempuan itu.

“Juli …,”

Sagara terdiam sejenak lalu terdengar suara kekehan.

“Kok malah ketawa?” Tanya Juli.

Sagara menggeleng, lalu jemarinya perlahan bergerak membenarkan beberapa helai rambut milik Juli yang tertiup angin.

“Ayo pacaran Jul,” ucap Sagara tanpa aba-aba membuat Juli membulatkan matanya terkejut.

Juli terdiam.

Demi apapun, Sagara ini senang sekali membuat dirinya terkejut.

“Becanda? Kaget,” balas Juli membuat Sagara tertawa.

Sagara menggeleng. “Aku gak pernah becanda, Jul.”

“Dari awal aku bilang kalo aku punya perasaan sama kamu, itu beneran. Aku gak pernah bohong,” jelas Sagara.

Juli terdiam, ia ingin, tapi ragu.

“Coba liat mata aku,” perintah Sagara membuat perempuan itu menatapnya.

“Aku tulus, Jul,” ucap Sagara dengan nada suaranya yang lembut.

Juli menatap netra itu. Berusaha mencari celah kebohongan. Alih-alih menemukan itu, Juli justru hanya bisa merasakan keteduhan dan ketulusan dari tatapan yang Sagara berikan.

Dan selama ini, Juli tidak pernah ditatap sebegitu tulusnya oleh orang lain, seperti yang dilakukan Sagara saat ini.

Kemudian tanpa sadar, Juli menganggukan kepalanya pelan. “Iya,” ucap Juli tanpa mengalihkan pandangannya dari Sagara.

“Aku mau,” lanjutnya lagi membuat lelaki itu tersenyum.

Really?” tanya Sagara, yang kembi membuat Juli mengangguk pelan.

Sagara terkekeh, lalu kemudian ia merentangkan tangannya.

“Jadi, sekarang aku boleh leluasa buat meluk kamu, ya?” Tanya Sagara membuat wajah Juli memerah.

Lagi-lagi Sagara terkekeh, sedetik kemudian ia menarik tubuh Juli agar masuk ke dalam pelukannya.

“Makasih banyak.”

I love you,

⚠️ parenting abuse.

Dengan napasnya yang tak beraturan, serta seluruh tenaga yang Bumi punya, ia gunakan untuk mengayuh sepedanya agar segera sampai di rumah.

Demi apapun, detak jantung Bumi saat ini sangat tidak beraturan. Ia takut, sangat takut.

Bumi berdiri di depan pintu, sesaat setelah ia sampai. Terlihat di garasi mobil Johan yang sudah terparkir.

Perlahan Bumi masuk ke dalam rumah itu. Sungguh, ia sudah pasrah jika memang kali ini ia akan dimarahi. Tapi tolong, Bumi tidak ingin merasakan pukulan.

Bumi melihat disana ada Johan sedang duduk dan melihat ke arah Bumi dengan tatapannya yang sukit diartikan.

“Duduk!” Ucap Johan membuat jantung Bumi semakin berdegup kencang.

Dengab takut, Bumi pun duduk tak jauh dari Johan.

Bumi terdiam, tak berani menjawab. Sebab ia merasa bersalah lantaran tadi ia pergi begitu saja tanpa menunggu persetujuan.

Terdengar helaan napas dari pria itu. “Bisa jawab, gak?”

“Dari mana, Bumi?”

Bumi masih terdiam dan menunduk, tangannya bahkan sedikit bergetar.

“DITANYA TUH JAWAB!” Tiba-tiba saja Johan berteriak.

Bumi tersentak, lantas dengan gemetar ia menatap netra kemerahan Sang Ayah. “Papa maaf …,” jawab Bumi dengan nada suaranya yang bergetar.

“Papa, Bumi barusan keluar sama temen Bumi aja kok. Bukan pa—“

“Yang ngizinin kamu keluar tuh siapa?” Johan memotong ucapan Bumi.

Bumi terdiam.

“Saya nanya, yang ngizinin kamu keluar siapa?” Lagi, Johan kembali bertanya.

Bumi menggeleng pelan.

Tiba-tiba saja Johan berdiri dari duduknya, sambil melipat lengan kemejanya dan mendekat ke arah Bumi yang tengah menunduk. Dan tanpa Bumi sadari, Johan saat ini tengah memegang sebuah tongkat yang cukup panjang.

“Berdiri,” perintah Johan.

“BERDIRI BUMI!” Teriaknya lagi.

Perlahan Bumi berdiri. Lalu tiba-tiba saja anak itu berteriak, ketika satu pukulan melayang ke arah Bumi. “AW! PAPA SAKIT PA,” ucap Bumi berteriak.

Iya, Johan memukul kaki Bumi dengan kencang membuat anak itu berteriak kesakitan.

“Siapa yang kasih kamu keluar, hah?!”

“Pa sakit Pa,” teriak Bumi berusaha menghindar.

Bumi menangis menahan sakit akibat pukulan itu. “Papa m-maaf. Papa maafin Bumi …,” pinta Bumi pada Johan.

Entahlah, saat ini Johan sangat marah. Ia bahkan tidak bisa mengontrol emosinya.

“Halah, kamu tuh makin gede makin nakal. Mau kamu apa sih hah?! Nurut sekali, bisa?”

“JAWAB!”

Pukulan demi pukulan Bumi terima, anak itu berteriak kesakitan meminta ampun pada Johan agar berhenti memukulinya.

“Papa … ampun Pa sakit, maafin Bumi Pa.”

“Liat tuh kakakmu, belajar, nurut! Bukan malah keluyuran tanpa izin. Mau jadi apa kamu, hah?! Mau jadi gembel?! Duit masih dari orang tua juga banyak nakal banget jadi anak!” Ucap Johan dengan amarahnya.

“Sejak kapan kamu berani pacara? Siapa yang ngasih izin?”

“Merasa dewasa? Merasa bebas?”

“JAWAB!”

Johan kembali melayangkan pukulan pada Bumi membuat anak itu kembali merintih kesakitan.

Sakit, sakit sekali. Bumi ingin marah, ia ingin berteriak melawan, tapi ia tidak mampu. Jiwanya terlalu takut, ia masih terlalu takut untuk melawan semua pukulan dan perkataan yang ia terima.

Bumi hanya bisa meminta ampun pada Johan sambil berusaha keras menahan sakitnya. “Pa ampun, maafin Bumi Pa. Bumi janji gak akan nakal lagi. Papa maaf, udah pah sakit …,” ucap Bumi lirih.

Johan menatap Bumi yang tengah terduduk di lantas. Ia menghela napasnya, lantas langsung pergi begitu saja meninggalkan Bumi yang masih merintih kesakitan.

Bumi hanya bisa menangis, sakit, ia ingin dirangkul dan dibela, tapi apa? Bahkan Clarissa dan juga Azri hanya melihat kejadian ini dari jauh, mereka bahkan tidak berusaha menghentikan pukulan yang diberikan oleh Johan pada Bumi.

Bumi berusaha keras menahan semua rasa sakitnya, ia terlalu takut, ia terlalu rapuh.

“Sakit …,” gumam Bumi terisak pelan sendirian.

Bumi menyipitkan matanya ketika ia mendapat sebuat notifikasi pesan masuk ke dalam ponselnya.

Senyum tipis terlukis di wajah anak itu ketika ia membaca deretan pesan yang datang barusan.

Ah, ternyata dari Senjani. Perempuan yang tadi siang ia temui di pantai yang tak jauh dari sekolahnya ketika hendak menghindar dari Mama dan Papa saat pembagian peringkat.

Flashback

Terlalu sesak bagi Bumi untuk melihat interaksi yang dilakukan Mama dan Papa serta Azri di sekolah. Ia benar-benar merasa cemburu sebab ia melihat dengan jelas bagaimana tatapan bangga Mama dan Papa pada Azri.

Lantas, tanpa berlama-lama Bumi segera pergi meninggalkan acara yang belum selesai.

Pemuda itu memilih pergi entah kemana, sambil menyusuri jalanan menaiki sepeda kesayangan miliknya.

Bumi hanya bisa tersenyum tipis ketika mengingat bagaimana Mama dan Papa menatap Azri dengan bangga.

Sepanjang perjalanan pun Bumi hanya bisa tersenyum tipis. Rasanya sesak. Padahal jauh di dalam lubuk hatinya, ia juga ingin ditatap seperti itu oleh kedua orang tuanya.

Hampir lima belas menit berlalu, hingga akhirnya Bumi berhenti tepat di sebuah pantai yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolah.

Bumi lantas memilih untuk berhenti disana dan segera turun dari sepedanya, berniat untuk menghirup udara pantai siang ini.

Perlahan, Bumi melangkahkan kakinya menyusuri pantai itu. Netranya menatap kagum hamparan air laut yang terlihat sangat menenangkan di hadapannya.

Bumi kemudian memilih duduk dan kembali mengalihkan pandangannya untuk menikmati langit itu, tanpa memperdulikan orang-orang yang berlalu lalanh di sekitarnya.

Kenapa, ya? Bukannya menghilang, perasaan sesak dan cemburu itu malah semakin menjadi. Bumi bahkan tidak tahu bagaimana cara menghentikannya.

Jika diingat, Bumi sering sekali mendapat perlakuan tidak adil baik dari Mama atau Papa. Bahkan untuk hal-hal kecil sekali pun.

Contohnya saja, Azri yang selalu dimasakan bekal makan dengan menu yang banyak, sedangkan Bumi hanya sebatas nasingoreng dan sebuah telur.

Berkali-kali Bumi berusaha supaya tidak merasa iri, namun tetap saja. Jauh di dalam lubuk hatinya ia juga ingin berada di posisi seperri Azri.

Menjadi anak kesayangan Mama dan Papa.

“Langitnya indah, ya?” Tiba-tiba saja sebuah suara mengagetkan Bumi yang tengah berusaha keras menahan tangisnya.

Lantas ia menoleh pada seorang gadis yang tiba-tiba saja duduk di sampingnya.

“Sendirian?” Tanyanya pada Bumi.

Bumi hanya terdiam, lantaran ia terkejut sebab gadis ini tiba-tiba saja duduk dan mengajaknya berbicara.

Tersengar suara kekehan kecil dari gadis itu membuat Bumi merasa heran.

Tiba-tiba saja perempuan itu mengulurkan tangannya pada Bumi. “Hi. Kenalin, namaku Senjani,” ucapnya sambil tersenyum ramah.

Bumi masih terdiam. Dan lagi-lagi terdengar suara kekehan dari gadis itu. “Kata Mamaku, kalo ada orang yang nyapa itu harus dijawab,” ucapnya membuat Bumi menatap sekilas netra gadis itu.

Bumi memperhatikan seragam yang digunakannya.

Ah, satu sekolah

Dengan ragu Bumu pun mengulurkan tangannya dan menjabat uluran tangan dari gadis yang memanggil dirinya Senjani.

“Bumi,” ucap Bumi pelan.

Lagi-lagi gadis itu tersenyum. “Nama kamu unik, ucapnya lagi, membuat Bumi kembali menoleh.

“I-iya, hehe …” Bumi hanya bisa tersenyum kaku.

“Kamu kenapa? Kok keliatannya sedih, kamu gapapa kan?” Tanya Senjani tiba-tiba.

Sebentar, kenapa gadis ini tahu jika Bumi tengah bersedih?

Deg

Tiba-tiba saja detak jantung Bumi berdegup kencang. Apa perempuan ini baru saja bertanya keadaannya? Ia bertanya keadaan Bumi?

Demi apapun, selama ini tidak ada yang pernah menanyakan tentang apakah Bumi ini baik-baik saja atau tidak. Bahkan, Mama, Papa, dan Azri pun tidak pernah menanyai keadaan Bumi begitu saja.

Bumi menoleh pada Senjani dengan tatapan kaget sekaligus terharu.

“Kamu nanyain keadaan aku?” Tanyanya.

Senjani menatap Bumi heran. Lantas ia mengangguk. “Iya, memang gak boleh, ya?” Tanyanya kebingungan.

Bumi hanya tersenyum lalu memalingkan pandangannya. “Selama ini, baru kamu aja yang nanyain keadaan aku …” ucap Bumi lirih kemudian menunduk.

Senjani menatap Bumi dengan tatapan yang sulit di artikan.

“Maksudnya?” Tanya Senjani sebab ia tidak paham apa yang dimaksud Bumi.

“Kamu tadi nanyain aku, kan? Kamu nanya aku gapapa atau enggak. Dan aku baru denger ada orang yang peduli sama keadaan aku, padahal kamu baru aja liat aku,” jelas Bumi.

Senjani terdiam. Lantas ie tersenyum. “Emm, soalnya tadi aku liat kamu kayak lagi sedih gitu. Terus seragam kita sama. Dan aku tebak pasti satu angkatan, makanya aku berani nyamperin, hehe,” ucap Senjani sambil menyerengeh menanpilkan deretan giginya yang rapi.

“Maaf, ya? Kalo aku tiba-tiba ngajak kamu kenalan. Soalnya aku liat kamu kayak beneran lagi sedih banget,” ucap Senjani lagi dengan tatapan yang terlihat sedih.

Bumi terkekeh. “Aku gapapa, kok. Makasih, ya, udah nanya,” balas Bumi.

Senjani mengangguk.

“Eh, tapi kok kamu disini? Bukannya masih ada acara pembagian nilai, ya?” Tanya Bumi pada Senjani.

Senjani kembali menyerengeh. “Males ah banyak orang, nanti juga aku dikasih tau mama nilainya, jadi mendingan aku kesini aja nyari udara seger,” jelas Senjani.

“Kamu sendiri, kenapa malah kesini!” Senjani bertanya pada Bumi.

Bumi terdiam sejenak. Ia lalu tersenyum. “Gapapa, aku juga lagi nyari udara seger aja,” jawabnya.

Senjani tersenyum begitu juga Bumi.

“Emm … Kmau baik-baik aja, kan? Beneran?” Tanya Senjani lagi memastikan.

Bumi terkekeh. “Gapapa, cuma sedih sedikit, segini …,” jelas Bumi sambil mengisyaratkan dengan gerakan tangannya.

Tiba-tiba saja perempuan itu memukul pelan bahu Bumi. Membuat Bumi terkejut. “Ih! jangan sedih, aku gak suka liatnya. Kamu harus senyum kayak gini nih …,” ucapnya sambil menunjukan senyum miliknya pada Bumi, anak itu terkekeh.

“Gini?” Bumi memperagakan kembali apa yang Senjani lakukan sebelumnya. Lantas gadis itu tertawa.

“Nah gitu!”

Bumi terkekeh. “Padahal aku gak kenal kamu, tapi makasih banyak, ya, udah bikin ketawa,” ucap Bumi pada Senjani.

Gadis itu mengangguk kecil. “Bumi jalan-jalan aja yuk kesana? Terus abis itu pulang deh, gimana?” Tanya Senjani yang kemudian tanpa basa-basi membuat Bumi mengangguk.

“Ayok!”

Entahlah cara perempuan ini berbicara sangat lucu, membuat Bumi tanpa canggung lagi langsung merasa sangat akrab dengannya. Bumi tersenyum, bahkan Bumi lupa jika alasannya pergi ke tempat ini adalah karena ia bersedih. Tapi berkat pertemuan yang tak terduga ini Bumi lupa akan kesedihannya.

Kenapa, ya? Orang yang bahkan gak kita kenal selalu lebih peduli daripada orang yang kita harapkan untuk peduli?

Tidak apa-apa, meskipun begitu, setidaknya saat ini Bumi berhasil menghilangkan kesedihannya berkat gadis ini. Gadis dengan nama cantik, yakni Senjani.

Salam kenal Senjani.

Anak itu menarik napasnya panjang ketika berdiri di depan pintu masuk rumah miliknya.

Jantungnya berdegup tidak beraturan, bahkan tangannya sedikit gemetar sebab sejak tadi skenario-skenario buruk sudah terangkai di pikirannya.

Sial, hari ini sangat sial. Padahal sudah sejak jauh-jauh hari Bumi bersiap, jikalau memang dirinya kembali mengecewakan Mama dan Papa perihal peringkat nilai yanh di raihnya.

Berbicara soal peringkat. Tadi pagi merupakan hari kelulusan bagi siswa kelas tiga dimana Azri—sang kakak akhirnya lulus dari SMP dan akan segeran memasuki dunia SMA. Dan tadi juga merupakan hari kenaikan kelas sekaligus pembagian peringkat bagi siswa kelas satu dan dua.

Tadi itu merupakan hari yang paling Bumi takutkan. Dan benar saja, peringkat yang didapat Bumi tidak sesuai dengan apa yang diharapkan Mama dan Papa.

Bumi kembali membuang napasnya, lalu dengan berani ia membuka pintu masuk rumah itu.

Perlahan Bumi berjalan menyusuri ruang tamu, kemudian tak lama langkahnya terhenti ketika Bumi menyadari jika sekarang di ruang tengah ada Mama dan juga Papa yang tengah duduk.

Bumi meneguk salivanya, jantungnya semakin berdegup tidak karuan. Demi apapun, ia sangat takut.

Apalagi ia mengingat jika pada kenaikan kelas tahun lalu, dirinya sampai terkena pukulan oleh Papa hanya karena dirinya tidak masuk ke dalam peringkat lima besar.

Johan—papa Bumi, menyadari kehadiran Bumi pun segera memanggilnya.

“Duduk,” ucapnya tanpa basa-basi.

Dengan takut, Bumi pun mendekat dan duduk berhadapan dengan Papa juga Mama.

Terdengar helaan napas dari Clarissa-Mama Bumi.

Tangan wanita itu menggenggam kertas peringkat dan buku rapor milik Bumi, lalu sedetik kemudian ia membantingnya ke atas meja membuat Bumi tersentak kaget.

“Ini yang katanya belajar? Ini yang bilangnya udah belajar?”

“Kenapa nilai matematikamu cuma enam puluh? Nilai IPA kamu cuma delapan lima?” Tanya Clarissa membuat Bumi menunduk.

“Udah berapa kali mama bilang. Matematika, IPA itu harus gede biar seimbang.”

“Nilai kesenian kamu sembilan lima? Itu gunanya buat apa?”

“Gambar doang, kan? Gak ada gunanya!”

Lagi, Clarissa terus saja mengoceh perihal nilai.

Jujur saja, Bumi juga tidak mengerti kenapa lagi-lagi di dua pelajaran itu Bumi selalu mendapat nilai yang menurut Clarissa rendah.

“Nilai seni gak bakalan kepake. Kamu besar nanti mau jadi apa, hah? Matematika sama ilmu sains aja gak becus.”

“Itu penting loh.”

“Liat nilai kakak kamu. Semua pelajaran dia bagus, seimbang, gak ada yang kurang. Sedangkan kamu?”

Bumi semakin menunduk mendengar ucapan Clarissa.

“Belajar, gak?” Tiba-tiba saja Johan angkat bicara membuat Bumi mengangguk.

“Apa? Belajar, gak?”

Lagi, Bumi kembali mengangguk.

“Ditanya tuh jawab! Bukan ngangguk aja. Punya mulut, kan? Gak sopan.”

“Iya Papa, Bumi belajar kok …,” cicitnya pelan.

Demi apapun Bumi tidak berani menatap netra kedua orang tuanya.

Ia takut, sangat takut.

Jujur saja, ini rasanya sangat sesak. Sebab lagi-lagi ia dipandang rendah hanya karena peringkat. Padahal Bumi pun sudah mati-matian belajar supaya mendapat nilai yang baik.

Setidaknya, apresiasi sedikit saja usaha Bumi. Namun Bumi sadar, baik Mama dan Papa, mereka semua hanya menyayangi Azri, sebab kakaknya itu selalu membuat bangga kedua orang tuanya, tidak seperti Bumi yang mungkin sejak lahir tidak pernah diharapkan kehadirannya.

“Papa, Mama. Maafin Bumi …,” gumamnya.

“Bumi janji kelulusan nanti Bumi bakalan dapat nilai yang baik,” ucapnya lagi.

“Tapi Ma, Pa. Bumi dapat juara tiga, boleh gak foto Bumi juga di posting Mama sama Papa kayak punya Kakak?” Pinta Bumi dengan nada suaranya yang rendah.

“Ngapain? Kamu aja ngecewain Mama. Ngapaian Mama harus banggain kamu?” balas Clarissa.

“Sana ke kamar. Renungin kesalahan kamu. Belajar, gak usah segala macem mau main,” ucap Clarissa yang kini beranjak meninggalkan Bumi dan Johan.

Netra Johan menatap Bumi yang tengah menunduk. Ia lalu menghela napasnya, dan tanpa belama-lama ia pun pergi meninggalkan Bumi yang tengah berusaha menahan tangisnya.

Diam-diam, Bumi pun mengusap pelan dadanya, supaya sesak yang meluap segera hilang.

“Bumi gak sehebat Kakak …,” gumamnya pelan.

Derap langkah nyaring terdengar di telinga pemuda itu. Tubuh ringkihnya perlahan bergerak untuk segera membuka pintu kamarnya.

Kedua netranya menyipit kala ia bertatapan langsung dengan seorang wanita paruh bayu yang kini tengah berdiri tepat di hadapannya. “Ma—“

“Punya telinga enggak? Dari tadi dipanggil gak nyahut,” ucapan anak itu terpotong ketika tiba-tiba saja wanita di hadapannya angkat bicara.

“Kunci rumah, mama sama papa mau jemput kakak kamu ke rumah nenek,” lanjutnya lagi membuat anak itu terdiam lalu tersenyum tipis.

Dengan berani netranya bergerak menatap. “Bumi boleh ik—“

“Disini aja,” lagi, ucapan anak itu terpotong.

Lantas, ia lagi-lagi tersenyum tipis.

“Mama gak mau kamu nularin demam kamu ke kakak. Kamu disini aja, ada bibi di bawah,” ucap wanita paruh baya itu yang kemudian langsung melangkahkan kakinya pergi meninggalkan anak itu yang masih berdiri di ambang pintu.

Jemari anak itu bergerak mengusap keningnya sendiri. “Padahal cuma demam sedikit …” gumamnya.

Anak kecil yang hangat dipanggil Bumi itu pun kembali masuk ke dalam kamarnya, dengan perasaan yang sedikit sesak.

Bumi hanya bisa terduduk sambil memperhatikan jendela kamarnya. Terlihat di bawah sana kegiatan hangat yang dilakukan oleh mama, papa, dan sang kakak.

Bumi menghela napasnya panjang. Ia berusaha berpikir tentang hal-hal baik di balik alasan kenapa sang ibu enggan mengajaknya.

Tidak, ini bukan pertama kalinya bagi Bumi.

Bahkan sejak usianya masih kecil, dirinya sering sekali ditinggalkan sendirian. Seperti orang asing yang menumpang di rumah orang lain.

Tiba-tiba saja ponselnya berdering, menampilkan sebuah pesan masuk dari sang kakak yang memberitahukan jika dirinya akan berlibur di rumah nenek selama satu minggu.

Bumi terdiam sejenak setelah membaca pesan dari sang kakak. Anak lelaki kembali itu tersenyum kecut.

Bumi marah, Bumi kecewa, Bumi cemburu pada segalanya.

“Kenapa, ya. Mama sama papa selalu nomor satuin Kak Azri daripada Bumi?” Gumamnya lagi bertanya pada diri sendiri.

Ah, Bumi cemburu. Ia cemburu sebab lagi-lagi ia tidak pernah di nomor satukan, sebab lagi-lagi dirinya hanya bisa mengalah dan menurut untuk hal-hal sederhana.

Sekali saja, Bumi juga ingin merasakan bagaimana rasanya diistimewakan sebagai seorang anak.

Sekali, sekali saja. Ia ingin merasakan itu. Sebelum nantinya ia beranjak dewasa.

“Iyi cintik,” ledek Hanan ketika tak sengaja membaca pesan dari ponsel Bintang-gadisnya.

Bintang menoleh pada Hanan kemudian terkekeh ketika melihat ekspresi sang kekasih yang terlihat sebal. “Nih bales sama kamu,” ucap Bintang menyerahkan ponselnya.

Alih-alih menerima Hanan hanya menyerengeh. “Gak usah, bales aja sama kamu,” ucap Hanan tersenyum.

Bintang menghela napasnya, kemudian dirinya menatap Hanan.

Jemari kecilnya bergerak meraih pergelangan tangan lelaki itu lalu mengusapnya. “Maaf, ya?” ucap Bintang tiba-tiba.

Hanan mengangkat sebelah alisnya. “Kok minta maaf?”

“Hmm …”

“Maaf aja, aku rasa selama kita pacaran aku banyak kurangnya. Maaf, ya, Nan? Kalo misal sikap aku kadang bikin kamu ngerasa kalo aku gak sayang kamu …,” jelas Bintang pada Hanan.

Hanan terdiam sejenak, kemudian tak lama ia mengusap surai perempuan itu. “Gapapa sayang …,” ucapnya tersenyum.

“Aku juga gak pernah minta kamu harus gini gitu, kan? Seadanya kamu aja,” ucap Hanan menenangkan.

Hanan terkekeh ketika melihat raut wajah Bintang yang terlihat sedih. “Jangan nangis, jelek lo,” ucap Hanan menggoda membuat Bintang memukulnya pelan.

“Kebiasaan banget bilang jelek kalo aku nangis.”

Hanan kembali terkekeh. “Becanda ih,” ucapnya.

Bintang menatap Hanan.

Rasanya, jika menatap kedua bola mata itu Bintang merasa sangat aman. Benar-benar sehangat itu sorot mata Hanan untuk Bintang.

“Nan …”

“Hmm?”

“Kamu gak bakal kemana-mana, kan? Sampai aku pulang?” Tanya Bintang pada Hanan.

“Kamu mau nunggu, kan?”

Hanan kembali tersenyum, lalu ia kembali mengusap surai milik kekasihnya lembut. “Bin, kalo kata Pamungkas. ‘Kalau makan mungkin gak bisa sampai ke tulang, tapi kalau sama kamu, aku mau sampai ke tulang-tulangnya.’ dan kalo kata aku. ‘Jangankan sampain ke tulang sampai sumsum aja gue rela asal sama lo’. Gitu ibaratnya, paham?

Bintang mengangguk sambil terkekeh.

“Dan jangankan bertahun-tahun, ratusan tahun aja aku sanggup, Bin. Asalkan itu sama kamu dan buat kamu,” ucap Hanan.

Bintang menatap lekat netra milik lelakinya itu lalu tersenyum.

“Makasih, ya?” ucap Bintang.

“Makasih karena udah ngisi hari-hari aku, makasih karena udah datang dan bikin sembuh luka aku,” ucapnya lagi.

Bintang menghela napasnya. “Wait for me, ok? I’ll be back. Pasti.”

Hanan tersenyum kemudian mengangguk.

Hug?” ucapnya sambil merentangkan kedua tangannya membuat Bintang langsung saja memeluknya.

“Anak pinter …,” ucap Hanan mengacap pucuk kepala perempuan kesayangannya ini dan mengecupnya.

“Aku sayang kamu …,” gumam Hanan dalam pelukan itu.

Dan tak lama, suara pemberitahuan keberangkatan pun terdengar, membuat mereka saling mengeratkan pelukannya dan tak lama saling menatap.

Sebelum Bintang benar-benar pergi, Hanan berkali-kali melayangkan kecupan pada pucuk kepala Bintang. Sebab sebentar lagi Hanan akan kehilangan sosok orang ini untuk jangka waktu yang cukup lama.

Hanan melepas pelukannya. Kemudian ia menghela napasnya.

“Dah sana berangkat …,” ucap Hanan tersenyum.

Bintang menatap Hanan kemudian setetes air mata pun jatuh, membuat Hanan terkekeh. “Jangan nangi l—“

“Iya gue jelek kalo nangis, udah diem,” potong Bintang yang lagi-lagi membuat Hanan terkekeh.

Hanan kembali menatap teduh perempuannya.

Sebelum Bintang benar-benar menjauh, Bintang kembali memeluk Hanan erat, benar-benar erat.

“Tunggu, ya? Tunggu aku pulang …” bisik Bintang dan Hanan pun mengangguk.

I’ll wait, don’t worry.”

Bintang menatap Hanan dan tersenyum, lalu ia melangkah mundur perlahan menjauh dari Hanan.

Dan sebelum Bintang benar-benar pergi dan hilang dari penglihatan Hanan. Lelaki itu berteriak.

I LOVE YOU …”

”I LOVE YOU SO MUCH BINTANG!”

” PLEAESE PROMISE ME TO COME BACK, OK?” Teriak Hanan membuat Bintang mengangguk sambil mengusap air matanya dari kejauhan.

”IYA AKU JANJI!” balas Bintang.

SEE YOU AGAIN CANTIK!”

Ah, ternyata melepaskan begitu sulit, ya?

Banyak orang berlalu-lalang disana. Ada yang pergi dan juga ada pulang.

Iya, bandara, tempat dimana orang-orang menyambut kepulangan serta kepergian. Begitu juga yang saat ini sedang lakukan.

Lelaki itu tengah mengantar kepergian perempuan tersayangnya.

Hanan bahkan tidak pernah tahu, apakah Bintang akan benar-benar lulanh ladanya atau malah sebaliknya.

“Semoga beneran pulang, ya, Bin?”

Ternyata langit malam ini terlihat ramai. Tidak seperti malam sebelumnya yang terlihat sangat gelap dan kosong.

Entahlah, mungkin malam ini langit tengah dalam suasana ceria.

Juli, perempuan berusia dua puluh satu tahun itu tersenyum ketika memperhatikan kerlip bintang di atasnya. “Bintangnya banyak banget, ya?” Gumam Juli membuat lelaki di sampingnya menoleh.

Iya, itu Sagara, sosok yang akhir-akhir ini selalu ada di dekat Juli.

Entahlah, Juli pun tidak mengerti kenapa Sagara bisa menjadi dekat dengan dirinya. Padahal sejak awal, Juli tidak pernah sekali pun berpikiran jika dia dan Sagara akan jadi sedekat ini.

Sagara mengangguk, kemudian ia ikut tersenyum, apalagi dengan netra yang diam-diam memperhatikan perempuan di sampingnya ini. “Cantik Jul bintangnya …,” ucapan Sagara terjeda.

“Kayak kamu,” sambungnya membuat Juli terpaku.

Sagara terkekeh pelan, kemudian tak lama ia mengarahkan pandangannya ke depan.

Kenapa, ya? Jika bersama Juli, Sagara selalu merasakan getaran aneh. Seperti ada sesuatu yang terus mendorongnya untuk selalu dekat dengan perempuan ini.

“Jul …,” ucap Sagara.

“Hmm?”

Sagara kembali terkekeh, membuat Juli keheranan.

“Kenapa Gara?”

Sagara menggeleng. “Gapapa, aku seneng aja,” jawabnya tanpa menatap Juli.

“Seneng karena?”

Sagara mengangkat kedua bahunya. “Gak tau, tapi kayaknya gara-gara kamu deh.”

Juli mengerutkan dahinya. “Aku kenapa?”

“Cantik, baik, ramah, dan cantik lagi,” ucap Sagara diiringi kekehan kecil di akhir kalimatnya.

Juli terdiam, wajahnya sedikit memerah membuat dirinya langsung saja mengalihkan pandangannya dari Sagara.

Sagara ini, senang sekali menggombal ternyata.

“Jangan bilang gitu, Gara,” ucap Juli yang masih memalingkan wajahnya.

“Kenapa?”

“Kayak buaya,” balas Juli membuat Sagara tergelak.

“Mana ada buaya ganteng kayak gini?” Balas Sagara sambil menunjuk dirinya sendiri.

“Ya ada, itu kamu,” jawab Juli.

Sagara kembali terkekeh. “Cie berarti kamu mengakui kalo aku ganteng?” Sagara menggoda Juli.

Juli menarik napasnya dalam. “Gara, mending pulang, yuk? Obrolan kita gak jelas banget,” ucap Juli yang kini menatap Sagara.

Juli terpaku ketika menyadari jika saat ini lelaki itu tengah tertawa dengan matanya yang menyipit, dan lengkungan senyum yang terlihat sangat indah.

Juli tidak pernah melihat tawa seseorang sehangat ini.

“Yah, jangan buru-buru dong, aku lagi pengen ngobrol banyak sama kamu, Jul.”

Juli menggelengkan kepalanya pelan, berusaha menyadarkan pikirannya. “Hah apa?”

Jemari Sagara tiba-tiba saja bergerak merapikan helaian rambut Juli yang sedikit acak tertiup angin. “Jangan buru-buru. Aku masih pengen ngobrol tentang banyak hal sama kamu,” ulang Sagara.

“Apa? Kamu mau ngobrol tentang apa, Sagara?”

“Hmm …”

“Tentang kamu,” ucapnya.

“Iya apa?”

“Semuanya, aku mau tau semuanya, Juli. Tentang kamu. Apa aja yang kamu suka, apa yang kamu benci, pokoknya semua hal tentang kamu,” pinta Sagara membuat Juli terkekeh pelan.

“Say—“

“Aku,” potong Sagara.

“Pakai ‘aku’, biar gak kaku,” ucapnya lagi membuat Juli menyerengeh.

“Hehe maaf.”

Sagara mengangguk. “Gapapa.”

“Hmm apa, ya?”

“Aku gak spesial kok, Gar. Gak ada yang menarik di hidup aku. Aku cuma perempuan biasa yang gak punya apa-apa,” jelas Juli.

“Aku gak secantik perempuan lain, aku gak semodis perempuan lagi, dan mungkin dari sekian banyaknya kesempurnaan yang Tuhan kasih buat manusia, aku cuma mewarisi nol koma nol persen, haha,” ucap Juli lagi sambil tertawa diakhir kalimatnya.

“Gak ada yang istimewa, Sagara, aku ga—“

“Ada,” lagi, Sagara memotong ucapan Juli.

“Ada yang istimewa menurut aku, Jul.”

“Apa?”

“Kamu …”

“Diri kamu yang apa adanya, itu yang bikin kamu istimewa,” ucap Sagara membuat Juli terdiam.

“Juli …,” jemari Sagara kembali bergerak membenarkan helaian rambut yang kembali tertiup angin.

“Jangan pernah merasa kurang, ya? Kamu gak perlu malu, dan jangan pernah malu untuk hal apapun.”

“Kamu tau, gak? Yang bikin kamu istimewa itu, karena kamu gak pernah berusaha buat jadi orang lain.”

“Tau dari siapa? Kok bisa bilang gitu?” Tanya Juli.

“Mata kamu.”

“Mataku kenapa?”

Sagara terdiam menatap Juli. “Cantik, hehe,” ucapnya membuat Juli seketika menepuk lengannya sedikit keras.

“Aduh sakit.”

Juli menggeleng kemudian tanpa basa basi ia melangkahkan kakinya menjauh dari Sagara. “Tukang gombal dasar,” ucap Juli sambil menjauh sedangkan Sagara tertawa dan mengejarnya.

“Hei tungguin!”

Lalu tanpa Sagara ketahui, Juli tersenyum di balik langkahnya yang menjauhi Sagara.

Ternyata, Sagara pandai sekali berbicara. Khususnya berbicara kata-kata manis.