Diri Kamu yang Apa Adanya.

Ternyata langit malam ini terlihat ramai. Tidak seperti malam sebelumnya yang terlihat sangat gelap dan kosong.

Entahlah, mungkin malam ini langit tengah dalam suasana ceria.

Juli, perempuan berusia dua puluh satu tahun itu tersenyum ketika memperhatikan kerlip bintang di atasnya. “Bintangnya banyak banget, ya?” Gumam Juli membuat lelaki di sampingnya menoleh.

Iya, itu Sagara, sosok yang akhir-akhir ini selalu ada di dekat Juli.

Entahlah, Juli pun tidak mengerti kenapa Sagara bisa menjadi dekat dengan dirinya. Padahal sejak awal, Juli tidak pernah sekali pun berpikiran jika dia dan Sagara akan jadi sedekat ini.

Sagara mengangguk, kemudian ia ikut tersenyum, apalagi dengan netra yang diam-diam memperhatikan perempuan di sampingnya ini. “Cantik Jul bintangnya …,” ucapan Sagara terjeda.

“Kayak kamu,” sambungnya membuat Juli terpaku.

Sagara terkekeh pelan, kemudian tak lama ia mengarahkan pandangannya ke depan.

Kenapa, ya? Jika bersama Juli, Sagara selalu merasakan getaran aneh. Seperti ada sesuatu yang terus mendorongnya untuk selalu dekat dengan perempuan ini.

“Jul …,” ucap Sagara.

“Hmm?”

Sagara kembali terkekeh, membuat Juli keheranan.

“Kenapa Gara?”

Sagara menggeleng. “Gapapa, aku seneng aja,” jawabnya tanpa menatap Juli.

“Seneng karena?”

Sagara mengangkat kedua bahunya. “Gak tau, tapi kayaknya gara-gara kamu deh.”

Juli mengerutkan dahinya. “Aku kenapa?”

“Cantik, baik, ramah, dan cantik lagi,” ucap Sagara diiringi kekehan kecil di akhir kalimatnya.

Juli terdiam, wajahnya sedikit memerah membuat dirinya langsung saja mengalihkan pandangannya dari Sagara.

Sagara ini, senang sekali menggombal ternyata.

“Jangan bilang gitu, Gara,” ucap Juli yang masih memalingkan wajahnya.

“Kenapa?”

“Kayak buaya,” balas Juli membuat Sagara tergelak.

“Mana ada buaya ganteng kayak gini?” Balas Sagara sambil menunjuk dirinya sendiri.

“Ya ada, itu kamu,” jawab Juli.

Sagara kembali terkekeh. “Cie berarti kamu mengakui kalo aku ganteng?” Sagara menggoda Juli.

Juli menarik napasnya dalam. “Gara, mending pulang, yuk? Obrolan kita gak jelas banget,” ucap Juli yang kini menatap Sagara.

Juli terpaku ketika menyadari jika saat ini lelaki itu tengah tertawa dengan matanya yang menyipit, dan lengkungan senyum yang terlihat sangat indah.

Juli tidak pernah melihat tawa seseorang sehangat ini.

“Yah, jangan buru-buru dong, aku lagi pengen ngobrol banyak sama kamu, Jul.”

Juli menggelengkan kepalanya pelan, berusaha menyadarkan pikirannya. “Hah apa?”

Jemari Sagara tiba-tiba saja bergerak merapikan helaian rambut Juli yang sedikit acak tertiup angin. “Jangan buru-buru. Aku masih pengen ngobrol tentang banyak hal sama kamu,” ulang Sagara.

“Apa? Kamu mau ngobrol tentang apa, Sagara?”

“Hmm …”

“Tentang kamu,” ucapnya.

“Iya apa?”

“Semuanya, aku mau tau semuanya, Juli. Tentang kamu. Apa aja yang kamu suka, apa yang kamu benci, pokoknya semua hal tentang kamu,” pinta Sagara membuat Juli terkekeh pelan.

“Say—“

“Aku,” potong Sagara.

“Pakai ‘aku’, biar gak kaku,” ucapnya lagi membuat Juli menyerengeh.

“Hehe maaf.”

Sagara mengangguk. “Gapapa.”

“Hmm apa, ya?”

“Aku gak spesial kok, Gar. Gak ada yang menarik di hidup aku. Aku cuma perempuan biasa yang gak punya apa-apa,” jelas Juli.

“Aku gak secantik perempuan lain, aku gak semodis perempuan lagi, dan mungkin dari sekian banyaknya kesempurnaan yang Tuhan kasih buat manusia, aku cuma mewarisi nol koma nol persen, haha,” ucap Juli lagi sambil tertawa diakhir kalimatnya.

“Gak ada yang istimewa, Sagara, aku ga—“

“Ada,” lagi, Sagara memotong ucapan Juli.

“Ada yang istimewa menurut aku, Jul.”

“Apa?”

“Kamu …”

“Diri kamu yang apa adanya, itu yang bikin kamu istimewa,” ucap Sagara membuat Juli terdiam.

“Juli …,” jemari Sagara kembali bergerak membenarkan helaian rambut yang kembali tertiup angin.

“Jangan pernah merasa kurang, ya? Kamu gak perlu malu, dan jangan pernah malu untuk hal apapun.”

“Kamu tau, gak? Yang bikin kamu istimewa itu, karena kamu gak pernah berusaha buat jadi orang lain.”

“Tau dari siapa? Kok bisa bilang gitu?” Tanya Juli.

“Mata kamu.”

“Mataku kenapa?”

Sagara terdiam menatap Juli. “Cantik, hehe,” ucapnya membuat Juli seketika menepuk lengannya sedikit keras.

“Aduh sakit.”

Juli menggeleng kemudian tanpa basa basi ia melangkahkan kakinya menjauh dari Sagara. “Tukang gombal dasar,” ucap Juli sambil menjauh sedangkan Sagara tertawa dan mengejarnya.

“Hei tungguin!”

Lalu tanpa Sagara ketahui, Juli tersenyum di balik langkahnya yang menjauhi Sagara.

Ternyata, Sagara pandai sekali berbicara. Khususnya berbicara kata-kata manis.