Rumah Baru.
Sore itu, Caca dan juga Bara berjalan menyusuri jalan kecil dengan Bara yang menggenggam erat jemari Caca dengan sangat erat. “Hati-hati,” ucapnya pada Caca.
Rasanya sudah lama semenjak terakhir kali Caca kesini. Seingatnya, dia kesini beberapa bulan ke belakang bersama Jinan.
Netra perempuan itu tersenyum ketika melihat ke sebuh tempat di depannya.
Iya, Caca dan Bara saat ini tengah berada di pemakaman Haikal dan Ralita.
“Hai ayah, hai ibu …,” ucap Caca yang kini berjongkok di antara dua tumpukan tanah itu.
Jemari Caca bergerak untuk menyingkirkan debu dan beberapa dedaunan kering yang mengotori makam kedua orang tuanya itu.
“Kotor, maaf ya ayah, ibu …,” ucap Caca lagi.
Di sampingnya, Bara juga ikut membersihkan makam itu, sambil sesekali tersenyum memperhatikan perempuannya.
Caca terdiam, ia memandangi dua batu nisan bertuliskan nama kedua orang tuanya. Tanpa ia sadari, air mata jatuh membasahi pipinya.
Rindu, Caca sangat rindu.
Pelukan hangat ibu, senyum manis ibu, suara ibu dan semua hal tentang ibu.
Rindu, Caca sangat rindu.
Pelukan paling aman dari ayah, senyum manis ayah, suara ayah dan semua hal tentang ayah.
Caca rindu mereka.
Bara menyadari jika Caca tengah menangis pun langsung menggeser tubuhnya mendekat, lalu ia merangkul pundak kecil milik perempuan kesayangannya itu.
Caca menangis di pundak Bara.
Pandangan Caca kembali menatap kedua makam orang tuanya itu, lalu mengusap bergantian batu nisan disana.
“Yah …”
“Bu …”
“Liat, sekarang kakak punya seseorang …,” gumam Caca sambil mengusap air matanya.
Bara menatap Caca dan tersenyum, lalu dan lama ia pun ikut mengalihkan pandangannya ke depan.
“Halo om Ikal …,” ucap Bara tersenyum.
“Halo tante Ita …,” lanjutnya lagi.
“Kenalin lagi, saya anaknya Zidan, sahabat baik kalian, hehe ….”
Caca menatap Bara kemudian ia ikut tersenyum.
“Ayah, ibu ….”
“Caca cuma mau bilang. Kalo kalian gak perlu khawatir lagi perihal Caca. Karena sekarang Caca punya dia,” ucap Caca yang kemudian mengusap jemari Bara.
“Dia …”
“Dia yang udah nyadarin Caca, dia yang udah bikin Caca percaya kalo semua orang layak dicinta.”
“Dia yang udah bikin Caca sadar, kalo ternyata segala hal yang masih rumpang dalam diri Caca, bisa diisi dengan begitu layak.”
Bara menatap Caca.
“Ayah …”
“Seandainya aja ayah masih disini, kayaknya semua beban Caca tanggung gak bakal seberat ini.”
“Tapi yah, sekarang ayah gak perlu khawatir lagi, karena sekarang Caca punya Bara …” Caca berbicara tanpa henti, berusaha mengeluarkan semuanya saat ini juga di hadapan ayah dan ibu.
Caca lagi-lagi tersenyum, jemarinya kembali bergerak mengusap batu nisan bertuliskan nama sang ibu disana. “Bu …”
“Ibu inget, gak? Dulu Caca selalu nanya sama ibu tentang gimana sih rasanya bisa dicintai segitu banyaknya sama ayah? Ibu inget, kan?” Caca terkekeh.
“Dulu Caca selalu pengen ngerasain dicintai segitu layaknya kayak cinta yang ayah kasih buat ibu,” ucap Caca lagi kemudian ia menatap Bara.
“Dan sekarang akhirnya Caca tau, bu.”
“Caca tau gimana rasanya dicintai dengan begitu dalamnya, berkat dia …” Caca mengusap pundak Bara membuat Bara tersenyum.
“Bara …”
“Laki-laki ketiga setelah ayah dan adek yang bisa bikin Caca percaya kalo ternyata dicintai memang sehangat itu,” jelas Caca yang lagi-lagi membuat Bara tersenyum.
Caca menghela napasnya lagi, berusaha menahan agar ia tidak menangis.
Melihat Caca yang terlihat seperti akan menangis lagi, tiba-tiba saja Bara memeluk Caca.
“Udah jangan nangis, sekarang giliran aku yang ngomong, ya?” Ucap Bara menenangkan.
“Ekhem …” Bara berdehem.
“Om, apa kabar?”
Bara terkekeh.
“Om, walaupun saya gak pernah kenal om dengan baik. Tapi saya inget kok, dulu om kalo main ke rumah ayah suka bawain mainan,” Bara terkekeh.
Bara lalu terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia melanjutkan kalimatnya.
“Om …”
“Disini, saya mau minta izin sama om sama tante juga,” ucapnya.
Bara menarik napasnya dalam dan tersenyum.
“Om … tante … Izinin saya buat jadi penopang bagi putri kalian, ya? Izinin saya buat mencintai putri kalian dengan layak. Izinin saya buat jadi rumah baru untuk Caca, rumah hangat yang akan selalu jadi hangat.”
Mendengar itu Caca kembali terisak.
Seandainya saja ayah dan ibu masih hidup, mungkin rasanua tidak akan semenyedihkan ini.
“Om … tante …”
“Saya, mencintai putri kalian sangat …”
“Saya minta izin, ya? Untuk jaga putri kalian sampai nanti kita sama-sama menua.”
“Kalian gak perlu khawatir lagi, sebab saya berjanji untuk selalu mencintai putri kalian sampai akhir hidup saya.”
Bara tersenyum, kemudian ia mengusap batu nisan itu secara bergantian.
“Terima kasih om, tante. Terima kasih karena kalian sudah melahirkan putri cantik dan hebat seperti Caca.”
“Dan sekarang, giliran saya yang akan menjaga Caca …”
Bara lalu menatap Caca, kemudian ia mengusap air mata perempuan kesayangannya itu.
”I love you …” Bara tersenyum.
”So much …”