Selamat Bertumbuh.

Dua orang kakak beradik itu berjalan ke sebuah tempat.

Caca, yang paling tua itu tersenyum sambil menggenggam tangan Jinan.

Caca tersenyum, begitu juga Jinan.

“Halo ayah ....” ucap Caca.

“Ayah, maaf ya Caca sama adek baru kesini lagi. Sibuk banget,” Caca terkekeh pelan.

Caca tersenyum, kemudian tangannya terulur mengusap batu nisan bertuliskan nama sang ayah.

“Ayah lagi apa sama ibu disana?” Tanya Caca.

Fokus perempuan itu beralih, dan juga ia mengusap nisan di sebelahnya bertuliskan nama sang ibu.

“Ibu ....”

“Ayah nakal gak sih disana sama ibu? Ayah suka bikin kesel, gak?” Tanya Caca.

Di sampingnya ada Jinan. “Ayah ....”

“Ini, hadiah kesukaan ayah. Bunga mawar putih kesukaan ibu. Tadi adek sama kakak beli buat ayah sama ibu,” ucap Jinan sambil mengusap batu itu.

Caca menarik napasnya dalam. Ia rindu ayah, ia rindu ibu.

Waktu itu, tiga tahun setelah kepergian Ralita, Haikal jatuh sakit.

Haikal sakit, sebab tubuhnya selalu dipaksa untuk bekerja guna melupakan rasa sakit setelah kehilangan Ralita.

Haikal sakit selama hampir satu tahun lamanya.

Masih ingat jelas di ingatan Caca dan Jinan. Saat Haikal selalu saja mengatakan jika ia merindukan Ralita.

”Ayah kangen sama ibu ...” ucap Haikal saat itu setiap kali ia melihat tempat yang biasanya selalu ada Ralita disana.

Caca masih sangat ingat, saat Haikal selalu meminta padanya agar nanti, jika Haikal pergi, ia di tempatkan di samping Ralita.

*”Kakak, adek. Nanti, kalau ayah pergi, ayah mau tidur di samping ibu.”

Kala itu, Haikal mengatakannya dengan senyum yang terukir di wajahnya.

”Ayah mau tidur di samping ibu ya nanti. Biar tidurnya ayah tenang.”

“Kakak, adek ... ayah itu sayang sekali sama ibu. Maaf, ya? Kalau ayah harus ninggalin kakak sama adek nanti. Tadi, waktu ayah tidur, ayah liat ibu duduk sambil senyum sama ayah,” ucap Haikal kala itu.

Demi apapun, masih sangat teringat jelas bagaimana senyuman Haikal kala itu pada kedua anaknya.

Bahkan, sampai detik terakhir hidupnya. Haikal mengatakan jika ia sangat mencintai Ralita.

Berkali-kali Haikal mengatakan itu, hampir setiap hari. Sampai akhirnya tiba, dimana waktu Haikal menghembuskan napas terakhirnya. Di atas ranjang rumah sakit, sambil memeluk erat potret dirinya bersama Ralita.

Sebelum ia memejamkan matanya. Haikal itu selalu tersenyum dan mengatakan bahwa ia akan segera memeluk Ralita kembali. Dan benar saja, Haikal pergi. Sambil memeluk potret dirinya bersama Ralita.

Haikal pergi dengan permintaan dimana ia ingin tidur di samping Ralita.

Dan sekarang, Haikal tertidur di samping perempuan kesayangannya dengan tenang.

Haikal mencintai Ralita, sampai saat terakhir hidupnya. Ralita dan selalu Ralita.

Caca mengusap air matanya, sebelum akhirnya ia mengecup batu nisan bertuliskan Haikal dan Ralita secara bergantian.

“Ayah, ibu ...”

“Terima kasih, ya? Untuk semua kasih sayangnya buat Caca sama adek.”

“Ayah sama ibu gak perlu khawatir. Caca sama adek udah gede, hehe. Caca udah jadi dokter, biar nanti kalau ada yang sakit kayak ayah sama ibu, Caca bisa obatin.”

Caca tersenyum, sedangkan Jinan menepuk pundak Caca sambil menahan sesak dan rindu.

“Ayah, ibu ....”

“Caca pulang dulu, ya?” Ucap Caca sebelum akhirnya ia beranjak pergi dari sana sambil meninggalkan sebuah bunga mawar putih kesukaan ayah dan ibunya.

Kini, dua orang kesayangan kalian sudah tumbuh dengan sangat baik. Walau banyak sekali hal menyakitkan yang sudah mereka lalui. Tapi, mereka berhasil melewati itu semua.

Dan lagi, untuk Caca dan juga Jinan. Dua manusia hebat yang selalu berusaha saling melengkapi satu sama lain. Terima kasih, ya?

Sekali lagi, selamay bertumbuh menjadi lebih baik untuk setiap harinya.