Tumbuh Dewasa itu Sulit.
Jinan-pemuda yang sebentar lagi berusia dua puluh tahun itu tersenyum ketika membaca pesan terakhir dari sosok perempuan yang sempat membuat dirinya hilang arah. “Semoga kamu jadi ibu yang hebat, Chika,” ucap Jinan yang kemudian ia menutup ponsel di genggamannya itu.
Jinan menghela napasnya, lalu netranya beralih menatap Caca yang tengah fokus memakan sebuah snack di genggamannya.
“Udah pergi?” Tanya Caca yang memang sudah tahu.
Jinan mengangguk. “Iya, dianterin orang suruhan om Iko,” jawab Jinan membuat Caca mengangguk.
Hening di antara mereka untuk beberapa saat.
Caca yang fokus mengunyah, sedangkan Jinan fokus dengan pikirannya sendiri.
Jinan sangat menyesal perihal kejadian beberapa bulan lalu yang sempat membuat dirinya sangat ketakukan. Dan bahkan sampai sekarang Jinan masih merasa jika dirinya sangat gagal dalam menjaga kepercayaan.
“Kak …,” panggil Jinan pada Caca membuat yang lebih tua itu menoleh pada Jinan.
“Apa?” Jawabnya.
Jinan menghela napasnya kemudian ia menunduk. “Maaf, ya, kak …,” cicit Jinan pelan.
Caca terdiam menatap Jinan.
“Buat kejadian waktu itu. Maaf adek bikin kakak kecewa, maaf adek nakal, maaf adek gak dengerin omongan kakak. Maafin adek, ya, kak ….”
Caca menghela napasnya, kemudian tak lama ia beranjak dari duduknya dan tanpa izin dari Jinan ia langsung memeluk tubuh sang adik dengan erat.
Caca tersenyum dalam pelukan itu. “Adek tau, gak? Dari sekian banyaknya kesalahan, dari sekian banyaknya rasa kecewa, kakak bangga sama kamu …,” ucap Caca dalam pelukan itu.
“Adik kecilnya kakak, udah dewasa. Kamu, udah belajar dari kesalahan kamu, dan kakak bangga akan hal itu.”
“Adek gak usah minta maaf lagi. Untuk kesalahan kemarin, itu juga karena kakak. Kakak yang masih payah buat jaga kamu. Maaf, ya?” lanjut Caca sambil mengusap pelan kepala Jinan.
“Adek …”
“Kamu, harus tumbuh baik, lebih baik dan harus semakin baik. Kakak gak bisa jagain kamu seterusnya, begitu juga kamu yang gak bakal bisa jagain kakak seterusnya.”
“Boleh kakak minta satu hal sama kamu?”
Jinan mengangguk dalam pelukan itu.
“Kalo udah dewasa nanti, tolong tetap jadi adik kecilnya kakak, ya? Tolong bahagia. Kakak cuma mau adek hidup nyaman dan bahagia …”
Caca terisak dalam pelukan itu.
“Maaf ya adek …”
“Maaf karena adek gak bisa ngerasain didikan dan kasih sayang dari ayah sama ibu dalam jangka waktu lama. Maaf karena sejak kecil adek harus ngerasa sepi karena gak pernah dapat peluk ayah sama ibu untuk jangka waktu yang lama. Maaf adek, maaf karena adek harus hidup kesepian tanpa ayah sama ibu,” isak Caca.
Jinan menggeleng kuat berusaha menahan tangisnya. “Kakak gak usah minta maaf.”
“Manusia itu datang dan pergi secara bergantin. Adek gak gapapa kakak. Jangan minta maaf perihal kepulangan ibu sama ayah, itu bukan salah kakak.”
Jinan mengusap pundak Caca. “Dari sekian banyaknya beban yang adek tanggung. Beban kakak lebih berat dari adek. Dan harusnya adek yang minta maaf.”
“Maaf, ya, kak? Karena harus nanggung beban sebanyak itu karena kakak jadi anak perempuan pertama.”
Jinan masih mengusap pundak sang kakak berusaha memberi tenang.
“Kakak …”
“Adek janji. Adek janji akan tumbuh jadi baik dan lebih dewasa. Walau nyatanya jadi dewasa itu sulit, tapi adek janji buat tumbuh lebih baik lagi.”
Jinan tersenyum dalam pelukannitu kemudian ia mengecup pucuk kepala Caca dengan penuh kasih sayang.
Caca kembali terisak dan mengeratkan pelukannya, membuat Jinan terkekeh.
“Terima kasih kakak terhebat!”
“Adek sayang banget sama kakak, hehe.”