Mata lelaki itu tak lepas memperhatikan pergerakan perempuan di hadapannya yang tengah menyiapkan makan di meja.
“Nih,” ucapnya yang langsung di ambil alih oleh Deva.
Zeya—perempuan itu pun duduk berhadapan dengan Deva yang tengah menatapnya.
“Makan dulu, nanti abis ini baru ngomong,” ucap Zeya yang juga langsung bersiap untuk makan.
Deva menghela napasnya, kemudian ia pun menuruti perkataan Zeya.
Mereka berdua bungkam, hanya ada suara sendok dan piring yang beradu. Sesekali Deva melirik pada Zeya. Terlihat jelas oleh Deva wajah sembab perempuan itu.
Hampir lima belas menit mereka makan, hingga akhirnya Zeya beranjak untuk membersihkan piringnya.
Baru saja Deva akan menyusul, Zeya buru-buru menginstrupsi agar Deva duduk saja.
“Diem aja, nanti gue yang beresin.”
Deva lagi-lagi hanya menurut.
Sekitar lima menit berlalu, akhirnya Zeya selesai dengan kegiatannya.
Zeya melangkahkan kakinya ke arah halaman belakang dan duduk di kursi yang mengarah ke pemandangan belakang rumahnya.
Deva menyusul dan memilih duduk di samping Zeya.
Dingin, cuaca disini sangat dingin.
Deva menatap Zeya yang tengah fokus memperhatikan langit.
Terdengar helaan napas dari perempuan itu sebelum akhirnya ia angkat bicara. “Jelasin Dev, semuanya. Gue dengerin.”
Deva sedikit terkejut ketika mendengar ucapan Zeya yang langsung pada inti permasalahannya.
Deva menatap Zeya sejenak sebelum akhirnya ia menjelaskan semuanya.
“Sebelumnya aku minta maaf, ya? Karena semua ini pun salahku,” ucap Deva.
Zeya hanya diam membiarkan Deva menjelaskan semuanya.
Deva mengubah posisinya menghadap Zeya kemudian ia pun menjelaskan semuanya.
“Waktu itu awalnya pas kita lagi libur semester, pas kamu pulang ke rumah …,” jelas Deva.
“Aku lagi jalan, waktu itu aku lupa kenapa aku tiba-tiba langsung keinget tanggal ulang tahun kamu.”
“Dari situ pas aku nyampe kosan, aku iseng aja stalking akun kamu, terus aku nemu foto kamu sama Sena terus Mima tahun lalu waktu lagi rayain ulang tahun. Dari situ aku kepikiran buat nanyain apa aja yang kamu suka ke Mima. Dan kenapa aku ke Mima, karena waktu itu aku mikir, cuma sama Mima aja aku gak pernah ada urusan apa-apa.”
Zeya menatap Deva sekilas.
“Iya aku akuin kalo disini aku emang salah banget karena aku setuju-setuju aja sama apa yang Mima bilang. Dia yang ngasih ide buat kayak gini, karena Mima bilang kamu setakut itu kehilangan aku.”
Deva menunduk. “Maaf aku salah disini, karena gak mikir panjang akibat ke depannya.”
Deva menghela napasnya. “Dan setelah itu, Mima jadi suka chat buat sekedar nyaranin atau ngasih tau hal-hal apa aja yang kamu suka.”
Zeya menghela napasnya.
“Jujur, aku sama sekali gak ada niat buat bohongin kamu apalagi selingkuh, Demi Tuhan.”
“Dan juga, aku jalan beberapa kali buat beli hadiah persiapan ulang tahun kamu. Tapi sumpah, akungak ngapa-ngapain. Terus perihal foto, itu dia emang bilang kalau sengaja biar bikin kamu marah, dan bodohnya aku iya-iya aja. Tapi aku beneran gak tau kalau bakal diposting dan Mima bilang seolah-olah itu foto dia sama pacarnya. Aku bodoh, tolol juga, kamu pantes banget kalau sekarang mau nampar aku. Karena aku bener-bener salah disini. Aku minta maaf juga karena waktu itu aku juga sempet ketemu Mima, karena Mima minta tolong buat beli makan malam-malam. Disini aku beneran ngaku salah, karena gak seharusnya aku kayak gitu.”
“Kapan?” Tanya Zeya.
“Apanya?”
“Mima minta tolong nganter nyari makan.”
Deva berpikir sejenak. “Waktu kamu masih di rumah.”
Zeya tersenyum tipis.
Jadi Mima bohong? Pasalnya waktu itu Mima bilang dia pun pulang ke rumah, tapi ternyata tidak?
Zeya menghela napasnya.
Jujur saja, rasanya sesak sekali.
Iya, Zeya tahu, jika ini pun bukan murni kesalahan Deva, tapi kenapa setiap kali melihat Deva, kejadian itu tiba-tiba saja terlintas di pikiran Zeya.
“Terus apalagi?” Tanya Zeya yang kini memainkan kuku jarinya.
Deva meraih jemari Zeya. “Dan untuk masalah kemarin …”
“Demi Tuhan Zey, aku sama sekali gak ada niat buat lakuin itu. Aku sendiri bahkan kaget.”
“Maaf kalau kemarin aku malah diem seolah aku sengaja.”
“Enggak gak gitu, aku cuma kaget sama apa yang Mima lakuin.”
“Please aku mohon percay—“
“Iya,” Zeya memotong ucapan Deva.
“Aku percaya,” ucapnya sambil menarik napasnya dalam.
Zeya menatap Deva, matanya bahkan terlihat berkaca-kaca.
Zeya berusaha tersenyum, lantas ia mengusap Deva. “Makasih udah datang ke sini, makasih juga udah jelasin panjang lebar.”
“Maaf kalau kemarin aku ngehindar, aku cuma perlu waktu.”
Deva mengangguk, ia lantas menggenggam erat jemari Zeya.
“Jadi kita baik—“
“Dev,” lagi-lagi Zeya memotong ucapan Deva.
“Sekarang giliran aku yang ngomong,” ucapnya.
Demi apapun, jantung Deva benar-benar tidak karuan saat ini.
Zeya menatap Deva, kemudian terdengar lagi helaan napas dari perempuan itu.
“Kita selesai, ya?”
Deg!
Jantung Deva mencelos mendengar ucapan Zeya.
“Sayang …,” ucap Deva lirih. “Jangan becanda gini …”
“Kamu udah gak percaya lagi? Zey please jangan gini …”
Zeya menatap Deva kemudian jemarinya bergerak mengusap wajah lelaki itu.
“Percaya kok, tapi kayaknya lebih baik kita udahan aja,” ucap Zeya sambil berusaha menahan tangisnya.
“Tapi kenapa? Kita masih bisa perbaikin ini. Please jangan gini …,” pinta Deva menggenggam erat jemari Zeya.
Zeya menunduk, ia berusaha keras menahan tangisnya agar tidak keluar.
“Aku percaya kamu kok, cuma untuk sekarang kayaknya lebih baik kita sampai disini aja, Dev. Maaf …”
“Bukan karena aku gak percaya, aku beneran percaya sama apa yang kamu bilang. Tapi setelah aku pikir lagi, disini aku terlalu ngerasa sakit.”
“Setiap kali aku liat kamu, kejadian kemarin terus aja ada di otak aku Dev, dan aku benci itu.”
Zeya menarik napasnya dalam berusaha meredakan sesaknya.
“Dan juga Dev …”
“I have to go”
“Kemana Zey? Pergi kemana? Kenapa tiba-tiba gini …”
Zeya menggeleng. “Gak ada yang tiba-tiba, ini udah ada di rencana. Dan setelah aku pikir, lebih baik kita selesai Dev, aku gak mau nanti kalau makin lama, perasaan aku ke kamu makin besar, aku takut buat ngambil langkah ini.”
Zeya lagi-lagi menatap Deva. “Lagian hubungan kita juga belum selama itu, kan?”
“Dan setelah dipikir lagi, aku gak sebaik itu. Masih banyak kurangnya Dev buat kamu.”
“Aku gak kayak orang lain, bahkan kadang omongan aja aku masih nyablak gini. Kadang aku juga malu dan takut sama diriku sendiri Dev.”
“Kamu baik banget, dan aku pikir juga selama ini aku yang terlalu berlebihan sayang sama kamu. Dan kalau boleh dibilang, aku juga mungkin disini yang hancurin harapan kamu buat dapet Sena.”
Zeya kembali menunduk. “Maaf ya Dev karena aku tiba-tiba aja hadir, padahal udah jelas kalau waktu itu hati kamu bukan buat aku. Disini aku yang gak tau diri, dan bodohnya aku baru sadar, maaf …”
Deva menggeleng berkali-kali, ua kemudian menarik Zeya ke dalam oelukannya. “Jangan gini, jangan gini …”
“Aku dayang banget sama kamu Zey, jangan udahan.”
“Gapapa kalau misal kamu mau pergi, entah itu buat ngejar cita-cita atau hal lainnya, aku gak masalah. Tapi please jangan kemana-mana.”
“Aku beneran sayang kamu Zey, sesayang itu aku sama kamu.”
“Maaf, maaf kalau aku nyakitin kamu, maafin aku …,” lirih Deva mengeratkan pelukannya.
Zeya menangis dalam pelukan Deva, kemudian tak lama Zeya melepaskan pelukannya.
“Sebelum makin jauh dan terlalu dalam Dev, ya?”
Zeya tersenyum. “Kita masih bisa temenan kok,” ucapnya.
“Biar nanti gak terlalu sakit baik di aku atau kamu.”
Deva mengalihkan pandangannya untuk menahan tangis.
“Jadi, kita sampai disini aja, ya?”
“Cari yang lebih baik, yang mungkin rasanya lebih besar dari aku.”
“Kita masih bisa temenan kok, aku janji …,” ucap Zeya yang kini mengusap pundak Deva.
Deva menatap Zeya.
“Kamu mau pergi kemana nanti?”
Zeya tersenyum. “Ikut Abang …”
Deva menunduk menahan tangisnya.
“Emang gak bisa ya kita terus sama-sama, Zey?”
Zeya terdiam sejenak.
“Zey …”
Zeya menatap Deva, kemudian ia menggeleng pelan. “Maaf Dev …”
Deva mengacak rambutnya frustasi, demi apapun rasanya terlalu sesak.
Tapi mau bagaimana lagi? Bahkan jika Deva memohon sambil merangkak pun, keputusan Zeya tidak akan pernah berubah.
Maka dari itu yang Deva lakukan saat ini adalah memeluk Zeya erat, sebelum nantinya mereka kembali pada keadaan dulu, dimana keduanya tidak mempunyai status apapun.
“Kita baru sebentar tapi aku sayang banget sama kamu,” ucap Deva.
Dalam pelukan itu Zeya mengangguk. “Aku juga …”
Deva menarik napasnya dalam, Deva lantas melepaskan pelukannya dan menatap Zeya lama.
Deva hanya bisa tersenyum tipis. Dan kemudian jemari Deva mengusap wajah Zeya lembut.
“Kalau itu mau kamu, oke aku terima. Makasih ya udah mau jujur perihal perasaan dan keadaan kamu.”
Deva terkekeh pelan. Ia kembali menatap wajah Zeya.
“Kalau gitu, hati-hati, ya? semoga apapun jalan yang kamu ambil, itu yang terbaik,” ucap Deva tersenyum sebelum akhirnya ia beranjak dari duduknya.
Sebelum benar-benar pergi Deva kembali menatap Zeya. “Boleh meluk, gak? Sekali lagi …,” pintanya.
Zeya menatap Deva lantas ia mengangguk.
Keduanya pun saling memeluk, erat, sangat erat.
“Hati-hati di jalan Dev …,” ucap Zeya berbisik.