Jjaejaepeach

Hari demi hari berlalu, rasanya begitu cepat sebab sekarang Bumi sudah menginjakan kakinya di kelas tiga SMP dan sebentar lagi ia juga akan melaksanakan ujian tengah semester.

Memang waktu berjalan cepat, sampai-sampai Bumi tidak sadar jika ia harus segera memikirkan tentang apa yang perlu ia lakukan untuk masa depan.

Ah iya, karena sebentar lagi ujian tengah semester. Bumi bener-benar mati-matian belajar. Apalagi mengingat permintaan Clarissa, yang dimana dia selalu meminta Bumi untuk unggul dan setara dengan Azri.

Terkadang Bumi sangat lelah dengan semua itu. Sering kali ia menangis sendirian ketika belajar, sebab ia takut. Bumi takut jika dirinya kembali mengecewakan.

Meskipun Bumi benci ketika dirinya dibandingkan dan selalu diminta untuk bisa seperti Azri. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya Bumi pun ingin bisa seperti itu.

Selama ini Bumi banyak sekali menghabiskan waktunya untuk belajar, namun Bumi bersyujur setidaknya sekarang ia tidak terlalu kesepian karena Bumi punya Senjani, dan juga Janu.

Berbicara mengenai Janu, ia merupakan seorang murid laki-laki yang akrab dengan Bumi ketika pertama kali memasuki kelas tiga kemarin.

Di sekolah Bumi ini, setiap kali kenaikan kelas pada muridnya akan dipilih kembali secara acak. Dan hal itu yang membuat Bumi mempunyai teman baru yaitu Janu, tepatnya Januari Danuarta.

Semenjak kehadiran mereka, Bumi merasa jika sekarang ia banyak tertawa.

Bumi beruntung karena semesta sedang baik padanya. Ia mengirimkan Senjani disaat Bumi merasa sepi, dan juga mengirimkan Janu disaat ia merasa gagal waktu itu.

Meskipun kenyataannya Bumi masih belum lama berteman dengan Janu seperti ia yang lebih lama mengenal Senjani. Tetapi Bumi bersyukur, setidaknya sekarang ia tidak sendirian.

Dan meskipun waktu berjalan sangat cepat, Bumi berharap semoga nanti apapuj yang akan terjadi, ia tetap bisa melaluinya.

Mata lelaki itu bergerak memperhatikan setiap sudut yang ada di tempat itu. Pandangannya tak lepas dari lukisan-lukisan yang terpajang di sana.

Satu per satu ia amati dengan lekat. Dan pelan-pelan ia tersenyum.

Saat ini, Deva tengah berada di sebuah pameran lukisan yang diadakan oleh Zeya—seseorang yang masih Deva cintai.

Berbicara tentang Zeya. Sudah satu tahun lamanya ia tidak bertemu. Ah tidak, bahkan mungkin kebih dari satu tahun.

Sejak terakhir kali, dimana Zeya meminta untuk saling melupakan, mereka benar-benar melakukannya. Bahkan semua hal yang berhubungan dengan Deva terhenti begitu saja.

Semua sosial media yang tadinya berteman pun harus berakhir dengan pemblokiran.

Jujur saja, sampai sekarang Deva belum bisa melupakan Zeya. Yang ia lakukan hanya mencoba ikhlas.

Deva masih terlalu menyayangi Zeya, sampai terkadang ia rela mencari tahu tentang kabar Zeya dari orang-orang terdekatnya.

Hari ini, merupakan hari istimewa bagi perempuan itu. Dimana ia membuka sebuah pameran dari hasil lukisan yang ia buat. Maka dari itu Deva berinisiatif untuk datang.

Tidak, Deva tidak berharap akan kembali bersama Zeya, sebab ia tidak ingin membuatnya terluka untuk kesekian kali.

Langkah kaki Deva bergerak ketika mendengar suara Zeya berbicara dari sebuah microphone.

Langkahnya terhenti ketika melihat Zeya tengah berbicara di tengah kerumunan, menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan lukisannya.

Diam-diam Deva tersenyum dari kejauhan. Ia tidak berani mendekat.

Terlihat jelas oleh Deva, jika perempuannya itu sudah sangat baik-baik saja.

I’m so proud of you, Zey,” gumamnya sambil tersenyum tipis.

Deva menarik napasnya dalam.

Kenapa rasanya sesak?

Kenapa sangat sulit untuk melepas?

Yang tadinya sangat dekat, kini terasa sangat jauh. Bahkan untuk sekedar bertanya kabar pun terlalu segan.

Mata lelaki itu sangat fokus memperhatikan setiap gerakan dan ucapan yang dilakukan Zeya. Deva hanya berdiri di dekat tembok, takut jika Zeya tidak melihatnya.

Deva ikut tertawa ketika Zeya tertawa di sana.

Cantik, Zeya cantik sekali.

Deva sangat merindukan Zeya.

Dan kalau bisa, ia ingin sekali berlari dan memeluknya dengan erat. Namun alih-alih mengikuti egonya, Deva masih cukup waras dan tahu diri.

Di sisi lain, napas Zeya tercekat ketika ia tak sengaja melihat Deva tengah berdiri jauh di belakang sana.

Sesekali matanya memperhatikan Deva yang tengah menunduk dan menatapnya.

Pandangan mereka tiba-tiba saja bertemu, membuat Zeya yang tengah berbicara terdiam sejenak.

Deva menarik napasnya dalam, ketika menyadari jika tatapan Zeya barusan sangatlah asing.

Deva menunduk dan tersenyum tipis. “Beneran udah lupa …,” gumamnya.

Deva membuang napasnya kasar berusaha menahan sesak, kemudian ia berusaha tersenyum sangat lebar ketika mendengar jika Seya sudah berhasil melakukannya dengan baik.

Melihat Zeya dikelilingi orang baik benar-benar membuat Deva bersyukur.

Terlihat di sana, Zeya tengah tersenyum bangga, tanpa ingin kembali menoleh pada Deva.

Deva lagi-lagi hanya tersenyum, lantas ia menunduk dan kembali menatap Zeya lama, sebelum akhirnya Deva memutuskan untuj berbalik badan dan pergi dari sana.

Walau pun akhirnya menjadi asing, tapi setidaknya Deva tahu. Bahwa perempuan yang ia cintai sudah baik-baik saja.

Tidak banyak yang lelaki ini minta, ia hanya ingin melihat perempuannya ini sekali lagi. Sebelum akhirnya nanti ia benar-benar melupa.

Dengan berat hati, Deva melangkahkan kakinya dari sana, berharap jika setelah ini ia pun bisa melupa dan bahagia sama seperti Zeya.

“DEVANDRA!”

Langkah kaki Deva terhenti lantas kemudian ia menoleh.

Deva terpaku ketika melihat Zeya yang kini berdiri tak jauh darinya. Mereka saling menatap untuk beberapa saat.

“Apa kabar?” Tanya Zeya tersenyum tipis.

Deva terdiam. Mata mereka saling menatap. Terlihat sangat jelas jika keduanya sama-sama menahan tangisan. Lantas, tanpa aba-aba perempuan itu berlari, begitu juga dengan Deva ia berlari mengikis jarak dan kemudian saling memeluk.

Zeya memeluk Deva setelah sekian lama.

Erat, sangat erat.

I’m sorry,” gumam Zeya dalam pelukan itu.

Deva memeluk Zeya sangat erat, ia menyesap aroma tubuh yang sangat ia rindukan.

I miss you Zey, I miss you so much.”

Zeya menangis dalam pelukan itu, begitu juga debgan Deva. Sebab kenyataannya, mereka masih sama-sama saling menyayangi.

Mungkin, bagi sebagian orang cinta itu omong kosong. Tapi bagi sebagian orang juga, cinta itu nyata adanya.

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk sekedar mengungkapkan perasaan.

Entah itu tindakan atau hanya perkataan.

Cinta itu luka sekaligus penyembuh.

Manusia bisa terluka karena cinta, tapi manusia juga bisa sembuh karena cinta.

Sama halnya seperti dua manusia ini.

Walau terkadang Deva terlalu banyak mengatakan cinta yang terlihat seperti omong kosong, namun jauh di dalam hatinya rasa cinta itu benar-benar sangat besar untuk Zeya.

Maka dari itu, yang Deva lakukan saat ini adalah memeluk Zeya erat seolah tidak ingin kehilangan lagi.

fin

Dengan setelan formalnya, lelaki itu berjalan menuju tempat dimana pembukaan akan berlangsung. Banyak sekali orang di sana.

Jujur saja, Deva tidak terbiasa untuk datang ke tempat seperti ini. Bahkan selama ini ia paling enggan berurusan dengan acara perkantoran. Namun karena permintaan sang Ibu mau tidak mau Deva harus menurutinya.

Lelaki itu datang ke acara pembukaan kantor cabang yang entah milik siapa. Ia bahkan tidak tahu perusahaan apa itu.

Deva datang bersama dengan Shabira, perempuan yang beberapa bulan terakhir ini dekat dengan dirinya sebab permintaan orang tua.

Deva menghela napasnya dalam ketika melihat banyak orang di dalam sana.

“Ayo masuk,” ucap Shabira pada Deva. Lelaki itu hanya mengangguk dan berjalan ke dalam.

Orang-orang di sini terlihat sangat berbeda dengan lingkungan kerja Deva, sangat berbeda.

Deva dan Shabira duduk di sebuah meja bertuliskan nama perusahaan milik Ayah Deva.

Mereka berdua disambut hangat membuat Deva dan Shabira tersenyum.

“Rame banget ya, Dev,” ucap Shabira membuat Deva mengangguk.

“Mau minum, gak? Aku ambilin,” tanya Shabira membuat Deva menggeleng.

“Gak usah Sha, nanti aja ngambil sendiri.”

“Yaudah, aku ngambil dulu dessert ya,”* ucap Shabira lagi lantas kemudian dirinya segera beranjak.

Deva menghela napasnya memperhatikan tubuh Shabira yang perlahan menghilang dari pandangannya. Matanya kemudian bergerak memperhatikan orang-orang di sekitar sana.

Awalnya tidak ada yang salah, hingga akhirnya pandangan Deva berhenti pada sosok perempuan yang tengah berjalan kesana-kemari sambil mengambil beberapa potret menggunakan kameranya.

Deva tertegun ketika melihat perempuan itu. Matanya bahkan tak lepas mengikuti pergerakannya.

Tanpa sadar tubuh Deva bergerak berdiri lantas berjalan mendekat dan mengikuti perempuan itu.

Jantungnya berdegup sangat kencang. Langkahnya bergerak cepat mengikuti kemana perempuan itu pergi.

“Zeya!” Teriaknya membuat perempuan itu menoleh ke belakang.

Keduanya sama-sama tertegun.

Tanpa sadar langkah kaki Deva bergerak mendekat.

“Zey …,” panggilnya lagi ketika dirinya kini berdiri tepat di hadapan perempuan itu.

“Dev …”

Demi apapun, Deva merindukannya, sangat.

Sorot matanya, bibirnya, hidungnya, dan semua hal yang ada pada perempuan itu Deva merindukannya.

Tanpa aba-aba Deva kemudian memeluk Zeya, membuat Zeya terpaku.

“Zey, I miss you,” lirihnya.

Zeya terdiam, ini terlalu tiba-tiba baginya. Setelah sekian lama, kenapa harus bertemu di sini?

Hatinya mencelos ketika Deva memeluknya.

Pelukan itu sangat erat, membuat Zeya berusaha melepaskan pelukannya.

“Dev … sorry,” ucap Zeya yang langsung membuat Deva melepaskan pelukannya dan sedikit menjauh.

“Maaf, maaf Zey,” ucapnya kemudian menunduk.

Hening beberapa saat, Zeya menunduk dan sesekali memperhatikan Deva yang tengah memainkan ujung lengan bajunya.

“Apa kabar?” tanya mereka berbarengan.

Deva tersenyum kaku, begitu juga dengan Zeya.

“Lo duluan,” ucap Zeya.

“Apa kabar, Zey?” Tanya Deva pada Zeya.

“Baik, lo gimana?”

Deva menatap Zeya sekilas. “Baik juga,” jawabnya kemudian tersenyum.

“Emh …”

“Lo, lo ke sini juga?” Tanya Zeya sedikit terbata-bata.

Deva mengangguk Lantas terlekeh pelan. “Iya di suruh Mama,” jawabnya membuat Zeya mengangguk.

Zeya kembali menundukkan kepalanya kemudian kakinya bergerak, berusaha menghilangkan rasa gugupnya.

“Udah berapa lama ya, Zey, kita gak ketemu? Dari mulai kita balikan sampai akhirnya udahan lagi, kayaknya baru kali ini kita ketemu lagi,” ucap Deva kemudian terkekeh.

“Haha iya, udah lama,” jawabnya.

“Lo kesini sama siapa?” Lagi, mereka kembali bertanya berbarengan.

“Haha,” Zeya tertawa begitu juga Deva.

“Lo sama siapa ke sini, Dev?” Tanya Zeya membuat Deva terdiam.

Zeya memperhatikan raut wajah Deva yang seketika berubah. “Sama calon lo, ya?” tanya Zeya lagi.

Zeya terkekeh. “Mana Dev calon, lo? Kenalin dong,” lagi, Zeya kembali berbicara sedangkan Deva hanya menggaruk kepalanya dan tersenyum kaku.

“Itu Zey anu emh …”

“Iya, gue ke sini sama Shabira.”

“Di suruh Mama,” lanjutnya.

Zeya hanya mengangguk.

“Lo sama siapa?”

“Gue?”

“Gue ke sini sama temennya Abang, Jarel,” ucap Zeya.

Jarel? Laki-laki yang selalu Zeya posting?

Pikir Deva.

Keduanya kembali terdiam. Entah kenapa tapi ini rasanya canggung sekali, padahal jauh di dalam lubuk hati Deva, banyak sekali hal yang ingin ia katakan pada Zeya, termasuk ia yang masih mencintainya.

“Emh, Zey …,” panggil Deva pelan.

“Iya Dev?”

“Asing banget ya kita sekarang, hehe.”

Zeya terdiam.

“Padahal Zey, banyak banget hal yang pengen gue bilang sama lo setelah sekian lama kita gak ketemu, tapi rasanya sulit banget, haha.”

Deva menghela napasnya. “Maaf ya tadi gue tiba-tiba meluk lo,” ucap Deva pada Zeya. “Dan tiba-tiba bilang kangen haha, sorry bikin lo gak nyaman.”

Deva menatap Zeya, kemudian entah keberanian dari mana Deva mengikis jaraknya dengan Zeya.

“Zey …”

“Gue gak bahagia …,” lirihnya menunduk.

“Setelah kehilangan lo, gue gak bahagia Zey.”

“Gue harus gimana?”

Zeya menatap Deva yang tengah menunduk.

“Lo bahagia gak, Zey?” Tanya Deva lagi yang kini mengalihkan pandangannya untuk menatap mata Zeya.

Mata mereka bertatapan satu sama lain, dalam sangat dalam.

Sial, Deva ternyata benar-benar merindukan perempuan ini.

Zeya menghela napasnya kemudian ia tersenyum.

“Gue bahagia Dev,” ucapnya membuat Deva terpaku.

“Apapun yang gue jalanin sekarang, gue selalu bahagia Dev,” jawabnya.

“Termasuk kehilangan kita, Zey?”

Zeya terdiam.

Deva terkekeh.

“Dev.”

“Kehilangan itu konsekuensi, kan? Lo gak perlu nanya apa gue bahagia atau enggak ketika kehilangan lo. Dan jawabannya pun lo pasti tau, kalo gue gak bahagia ketika kehilangan lo.”

“Tapi Dev, kalo ditanya. Apa sekarang gue bahagia? Jawabannya iya, Dev. Gue bahagia.”

“Gue bahagia karena gue udah bisa nerima semuanya, termasuk kehilangan lo,” jawab Zeya lagi membuat Deva menunduk.

Rasanya sesak sekali.

Zeya kembali menghela napasnya lantas tangannya bergerak mengusap pundak Deva dan ia tersenyum.

“Lo juga harus gitu, ya, Dev?”

“Zey …”

“Gue masih sayang sama lo.”

Zeya menatap Deva lembut. “Gue juga Dev.”

“Tapi jalannya udah beda, kan?”

“Zey …,”

Zeya menghela napasnya.

“Dev, acaranya mau di mulai, gue ke dalam dulu, ya? Lo juga gih, takut dicariin sama calon lo.”

Zeya tersenyum dan menepuk pundak Deva. “Gue duluan, ya,” ucap Zeya yang kemudian melangkah pergi meninggalkan Deva.

Tubuh Deva berputar mengikuti arah kepergian perempuan itu, lantas ia menarik napasnya dalam berusaha melepaskan rasa sesaknya.

“Zey, perasaan gue buat lo masih sama …,” lirih Deva.

Benar saja Jarel datang menjempit Zeya dalam lima belas menit, tidak kurang dan tidak lebih.

Zeya hanya menggeleng, karena sejak ia mengenal Jarel, Zeya tahu, kalau lelaki ini tidak suka membuang waktu.

Sudah hampir dua bulan Zeya dan Jarel saling mengenal. Bahkan Zeya sendiri heran, kenapa bisa ia akrab secepat ini dengan Jarel.

Usia mereka terpaut lima tahun, Jarel merupakan teman kakak laki-laki Zeya. Tapi entah kenapa, sejak pertama Zeya mengenal Jarel, Zeya tidak pernah malu untuj menjunjukan dirinya sendiri. Dan mungkin hal itu juga yang membuat ia cepat akrab dengan Jarel.

Selain karena Zeya yang bersikap apa adanya, di sini pun Jarel sangat cepat beradaptasi dengan orang baru, ia bahkan pintar membaca situasi dan tentu saja sifat dia yang selalu memberi aura positif setiap kali bertemu Zeya.

Jujur, Jarel memang mengetahui Zeya dari sejak dia sering mengikuti Damar beberapa bulan kebelakang. Apalagi Damar yang akan selalu membagikan kebersamaannya dengan Zeya melalui sosial media, yang tentu saja membuat Jarel tahu, jika sahabatnya itu mempunyai seorang adik perempuan.

Mengingat Jarel tidak suka membuang waktu, maka ketika ada kesempatan ia pun tidak akan menyia-nyiakan. Walau ia pun tidak tahu akan berakhir seperti apa, tapi setidaknya sudah mencoba.

“Mbak, sundae strawberry satu sama yang cokelat satu ya,” ucap Jarel,

“Mau tambah apalagi?” Tanya lelaki itu pada Zeya.

“Udah itu aja,” jawab Zeya membuat Jarel mengangguk.

“Udah mbak itu aja katanya.”

Baik, untuk pembayarannya di depan ya kak, terima kasih

Mendengar itu, Jarel langsung melajukan kendaraannya untuk membayar dan menunggu pesanan mereka siap.

Sambil menunggu, Jarel menatap Zeya sekilas. Perempuan itu tengah fokus memainkan kuku jarinya.

“Anak muda galau,” tiba-tiba saja Jarel berbicara membuat Zeya menoleh dan berdecak.

“Berisik,” ucapnya membuat Jarel terkekeh.

“Yaudah galau aja, saya temenin. Mau denger playlist galau, gak?” Tanya Jarel membuat Zeya menatapnya.

“Gak usah dipancing!” Ketus Zeya yang lagi-lagi membuat Jarel terkekeh lantas menggeleng pelan melihat raut wajah Zeya.

Tak lama pesanan mereka selesai, Jarel langsung saja memberikannya pada Zeya, membuat perempuan itu sumringah.

“YEAY!”

Jarel menggeleng. “Makasih Mas,” ucapnya sebelum akhirnya pergi dari sana.

“Nih punya lo Kak,” ucap Zeya menyerahkan sundae rasa coklat pada Jarel.

“Pegang dulu, kita nyari tempat yang enak buat makan ini, masa saya sambil nyetir?”

Zeye seketika terkekeh. “Pinggirin aja deket alun-alun, hiasanya jam segini masih rame,” ucap Zeya membuat Jarel mengangguk.

Sambil berjalan, Zeya tersenyum sebab sudah lama sekali ia tidak membeli sundae rasa strawberry kesukaannya.

“Dah, sini punya saya,” ucap Jarel ketika baru saja memberhentikan mobilnya.

“Nih.”

Jarel hanya tersenyum lantas ia langsung saja memakan ice cream itu.

Diam-diam Jarel memperhatikan Zeya yang sepertinya tadi Zeya sudah menangis, sebab Jarel bisa melihat matanya yang sedikit sembab.

Just cry, gak ada yang salah. Don't pretend that you're okay, when you're actually not,” ucap Jarel membuat Zeya menatapnya.

Zeya tidak menyangkal, ia hanya menyerengeh dan menunjuk matanya. “Nih liat abis nangis,” ucapnya terkekeh.

Jarel hanya menggeleng pelan.

“Mau nangis lagi gak?” Tanya Jarel.

“Kok nanya gitu?”

“Siapa tau air matanya belum habis.”

“Barang kali mau dihabisin di sini sekarang.”

“Saya temenin.”

Zeya hanya tertawa pelan lantas menggeleng. “Udahan, nangis mulu capek. Mending makan ini,” balas Zeya membuat Jarel tersenyum dan kemudian mengacak rambut Zeya.

“Yaudah terserah. Saya temenin,” ucap Jarel.

Hening beberapa saat, sampai akhirnya Jarel berinisiatif memutar musik.

“Ah malah lagu galau,” sahut Zeya.

“Terserah saya dong,” ucap Jarel.

Jarel menatap Zeya dari samping, dalam, tatapannya sangat dalam.

“Zeya …,” panggilnya.

“Hmm?”

“Kamu boleh datang ke saya kalau memang kamu lagi gak baik. Entah itu karena kerjaan, karena kisah cinta kamu, atau karena hal lainnya. You can come to me.

Jarel terkekeh. “Kedengeran classic sih, tapi saya serius.”

You can lean your head on me, okay?

I won't ask anything about your sadness and I won't force you to tell everything if you really don't want to.

But please lean your head on me. Karena saya mau tahu sejahat apa dunia sama kamu.”

Zeya hanya terdiam menatap Jarel. Sedangkan Jarel tersenyum dan kemudian kembali mengacak pelan rambut Zeya.

“Udah, makan lagi tuh, cair nanti,” ucapnya terkekeh membuat Zeya mengalihkan fokusnya dan segera kembali menghabiskan sundae strawberrynya.

“Makasih,” ucap Zeya pelan.

“Buat?”

“Udah mau nemenin jajan ini, hehe …”

Jarel tersenyum.

“Sama-sama.”

Hanya terdengar suara samar klakson dari jalan raya malam ini. Lelaki itu memejamkan matanya sejenak, ketika beberapa saat yang lalu mengirimkan balasan pesan pada Mamanya.

Deva, lelaki itu menghela napasnya, matanya terbuka lantas ia menatap jalanan.

Mobil lelaki itu diam tak bergerak di pinggiran jalan, netranya lalu bergerak menatap sebuah gantungan foto kecil di depannya. Tangannya bergerak untuk melihat dengan jelas foto itu. Deva tersenyum kecil lalu jemarinya bergerak mengusap.

“Canrik …,” lirih Deva ketika melihat potret dirinya dengan Zeya.

Sesak, rasanya sesak sekali ketika mengingat jika sekarang ia sudah berpisah dengan Zeya.

Benar, yang dikatakan Zeya waktu itu benar. Semuanya terlalu tiba-tiba bagi mereka.

Katakan saja Deva lemah, sebab usahanya untuk mempertahankan Zeya kala itu selalu kalah.

Berada di posisi Deva ini sulit, bahkan lebih sulit dari dugaan siapapun.

Harus memilih antara mempertahankan perempuan yang ia cintai atau melawan permintaan perempuan yang sudah susah payah melahirkan dan merawatnya.

Berada di posisi Deva ini sulit. Apalagi ketika kala itu Deva dipaksa untuk meninggalkan Zeya dengan alasan bahagia.

”Hidup Mama sama Ayah gak lama lagi, Dev. Mama pengen yang terbaik buat kamu. Mama pengen lihat kamu hidup dengan wanita pilihan Mama, jadi nurut, ya, nak? Mama gak minta harta kamu, Mama gak minta hal lain selain ini. Jadi nurut ya, nak?

Sempat Deva menolak, namun malah berakhir dengan Mama yang menangis dan sakit.

Sungguh, kelemahan Deva itu adalah Mama. Ia sangat menyayangi Mama lebih dari apapun. Tapi di sisi lain ia juga menyayangi Zeya.

Deva hampir gila kala itu. Ia tidak ingin menyakiti keduanya, namun kenyataan ia harus memilih salah satu.

Berkali-kali Deva mengatakan jika yang ia cintai hanya Zeya, tapi lagi-lagi berakhir dengan penolakan dan restu yang tak kunjung diberikan.

Deva mengacak rambutnya frustasi, ia lelah. Tidak ada kagi sandaran untuknya sekarang.

Tanpa sadar Deva menangis, ia terlalu merindukan Zeya. Ia belum sempat memberikan banyak kebahagiaan untuk perempuan itu, sebab takdir lebih dulu memisahkan mereka.

Entah sadar atau tidak, tetapi saat ini Deva tengah mencari nama Zeya lalu tak lama ia segera menghubunginya.

Hening, hanya terdengar suara sambungan telepon menunggu si pemilik nomor mengangkatnya.

Satu kali.

Dua kali.

Tidak ada jawaban. Sampai akhirnya pada panggilan ke tiga pemilik nomor itu mengangkatnya.

Sial, suara ini yang Deva rindukan.

”Halo …,” ucapnya dari sebrang sana.

Deva hanya terdiam, rasa rindu, rasa sesak, serta rasa bersalah menyatu jadi satu.

Halo, Deva?”

Deva masih terdiam.

Kepencet kali ya? Dev? Gue tut—“

“Zey …,” Deva angkat suara sebelum Zeya menutup telepon itu.

“Gue kangen banget sama lo”

“Kangen banget sampe rasanya gue mau gila Zey.”

“Kosong banget disini, gue kesepian, hidup gue gak sehangat waktu sama lo.”

Hening, di sebrang sana Zeya tidak mengatakan sepatah kata apapun.

Deva terisak pelan, dadanya terlalu sesak.

“Capek Zey, gue capek banget.”

Deva terkekeh. “Kalo aja bisa, kalo aja boleh, rasanya gue pengen lari ke sana Zey buat sekedar minta pelukan lo sebentar aja,” ucap Deva.

“Gue masih pengen sama lo. Tapi kenapa harus kayak gini ya, Zey? Ke apa gue ahrus lepasin lo? Kenapa gue gak bisa mertahanin kita?”

“Zeya …”

“Masih banyak hal yang pengen gue lakuin sama lo, tapi gue gak bisa lakuin itu. Maaf …”

Demi apapun, saat ini Deva terlihat sangat kacau, yang ia pikirkan hanya Zeya, yang ia rindukan hanya Zeya.

“Zey …,” panggil Deva pelan.

Hmm?

Deva terkekeh. “Gue gak tau diri, ya? Nelepon lo jam segini cuma buat bilang hal sampah kayak tadi.”

“Maaf …” Deva menghela napasnya

“Gue cuma gak tau harus kayak gimana lagi.”

“Sesakit itu kehilangan lo Zey, sehancur itu gue tanpa lo Zey.”

“Maaf, maaf, maaf, maafin gue.”

Deva berkali-kali mengucap kata maaf, walau ia tahu jika itu tidak akan pernah bisa mengembalikan keadaan seperti semula.

Lagi, Deva kembali terkekeh pelan sambil menyeka air matanya.

“Gue harus kayak gimana ya, Zey? Sekuat apapun gue bersikap buat gak peduli sama lo, tapi kenyataannya gue gak bisa.”

“Zeya …”

“I miss you,” ucap Deva terisak, bahkan isakan itu terdengar jelas oleh Zeya.

“*It’s okay Dev, gak semua hal bisa berlalu gitu aja.”

Gapapa kalo sekarang lo gak baik-baik aja.

Zeya terdiam sejenak.

Maaf ya …,” ucapnya pelan.

”Maaf karena gue gak bisa lagi ngasih bahu gue buat lo ketika dunia lo lagi hancur.

Terdengar helaan napas dari Zeya. “Pulang Dev, gue tau sekarang lo pergi sendirian.

Pulang, ya? Jangan bikin Mama lo khawatir.”

“*Sekarang ada perempuan lain yang nunggu lo. Jadi pulang, ya, Dev? Jangan kayak gini. Jangan hancurin diri lo kayak gini.”

“Zey ….”

Gue tutup ya, Dev.”

Good night,” ucap Zeya sebelum akhirnya ia memutuskan sambungan telepon itu.

Deva tersenyum tipis lantas ia menarik napasnya dalam.

“Gimana bisa gue pulang ke perempuan lain Zey, sedangkan disini masih lo yang gue mau …,” gumam Deva sambil menatap layar ponselnya.

Deva lagi-lagi menghela napasnya dalam, sebelum akhirnya ia kembali menyalakan mobil dan segera pergi dari sana.

Lantas, tanpa Deva tahu, di sebrang sana Zeya tengah mati-matian menahan tangisnya dari dalam kamar.

“Gue juga sehancur itu Dev kehilangan lo …,” lirihnya.

Zeya menarik napasnya dalam setelah membaca beberapa rentetan pesan yang masuk pada ponselnya.

Dada Zeya terasa sesak sampai-sampai ia memilih menepikan kendaraannya ke pinggiran jalan.

Air mata Zeya jatuh begitu saja setelah hampir satu minggu ia menahannya.

Zeya melemparkan ponselnya sembarangan kemudian ia menangis sambil sesekali memukul kemudi.

Perempuan itu benar-benar menangis, dadanya terasa sangat sesak apalagi ketika tadi ia mendengar pesan suara dari Deva. Dimana lelaki itu mengatakan tentang bagaimana bisa mamanya memilih untuk mengenalkan dirinya pada perempuan lain, tentang bagaimana ia yang berusaha menolak dan tentang bagaimana Deva yang berharap supaya Zeya mengerti akan posisinya.

*”Aku harap kamu ngerti ya Zey kalau disini aku juga kesusahan. Maaf, maafin aku,” ucap Deva di akhir pesan suara yang ia kirimkan pada Zeya.

Kenapa lagi-lagi harus Zeya yang mengerti?

“Sakit banget Ayah …,” lirih Zeya sambil memukul dadanya berusaha meredakan rasa sesak.

Zeya paham, jika jatuh cinta memang bajyak resiko termasuk perpisahan. Tapi Zeya tidak pernah berpikir bahwa berpisah dengan Deva akan semenyakitkan ini.

Zeya masih sangat amat menyayangi Deva, dari awal, dari sejak ia pertama kali menyukai Deva.

Sulit, terlalu sulit untuk Zeya. Perpisahannya dengan Deva terlalu tiba-tiba baginya.

Meskipun selama ini Zeya selalu saja terlihat baik, tapi tanpa orang lain tahu, ia sudah sangat amat retak. Bahkan retakan itu perlahan semakin rapuh dan hancur.

Zeya mengusap air matanya, berkali-kali ia menarik napas untuk menstabilkan perasaannya, namun tetap saja ia malah menangis.

“Kenapa harus kayak gini Dev …,” lirihnya pelan.

Zeya meraih ponselnya, kemudian ia membuka gallery dimana terdapat banyak sekali potret dirinya dengan sang kekasih.

Jemarinya pun bergerak untuk menghapus satu per satu foto kenangan itu.

Baru saja kemarin Zeya merasakan dicintai lagi, baru saja kemarin Zeya berpikir jika dirinya akan semakin kokoh jika bersama Deva. Tapi ternyata salah.

Harapannya terlalu tinggi sampai-sampai ia lupa kalau perpisahan bisa datang begitu saja tanpa permisi.

“Gue harap lo bahagia sama pilihan lo ya Dev …,” lirih Zeya sambil mengusap foto Deva dari layar ponselnya.

“Gue …”

“Gue sayang banget sama lo …,” lirihnya sebelum akhirnya ia kembali menangis di dalam mobil itu untuk waktu yang lama.

“Haha, bukan kayak gitu ih!”

Gelak tawa terdengar nyaring ketika sepasang kekasih itu tengah membicarakan hal-hal yang tidak penting.

“Kata aku juga sebelum ayam ya telur dulu, kalo gak ada telur ya ayam juga gak ada,” ucap Zeya—perempuan yang kini tengah menahan tawanya.

Lelaki di hadapannya berdecak. “Kalo gak ada ayam, telur gak bakal ada sayang,” ucapnya menyangkal.

Zeya lagi-lagi tertawa.

Entahlah, rasanya sangat menyenangkan membeicarakan hal-hak tidak penting ini bersama Deva.

Jika dipikir, ini sudah lama sekali sejak terakhir kali Zeya menemui Deva dan mengobrol lama seperti ini.

Seingatnya, terakhir kali Zeya melihat Deva adalah ketika mereka melakukan wisuda. Itu pun Zeya hanya melihat Deva dari kejauhan.

Tidak pernah sekali pun Zeya berpikir jika dirinya akan bertemu lagi dengan Deva secepat ini.

Terdengar helaan napas dari Deva yang kini tengah merebahkan tubuhnya dengan kepala yang bertumpu pada paha sebelah kiri si kekasih.

“Berat ih,” ucap Zeya.

Deva hanya terkekeh pelan sambil memejamkan matanya.

“Zey …,” panggil Deva.

“Hmm?”

Deva terdiam, membuat Zeya menatapnya.

Terlihat oleh Zeya, wajah lelaki itu sangat jelas. Setiap inci dari wajah lelaki itu Zeya perhatikan, dan tanpa disadari tangannya pun bergerak mengusap secara perlahan wajah kekasihnya.

Lengkungan tipis mulai terbentuk pada wajah Deva, seiring usapan yang Zeya lakukan.

Deva merain tangan Zeya dan menggenggamnya. Lantas perempuan itu hanya tersenyum.

“Makasih ya, Zey.”

“Makasih terus,” balas Zeya membuat Deva terkekeh.

“Makasih karena waktu itu kamu milih buat lepasin aku,” ucapnya lagi membuat Zeya mengerutkan keningnya.

“Kok makasih?”

Deva tersenyum, kemudian ia membuka matanya dan menatap Zeya dari bawah.

“Karena berkat itu, aku jadi sadar Zey. Kalau ternyata aku memang sesayang itu sama kamu, sampai saat kamu pergi pun aku sama sekali gak bisa lihat orang lain.”

“Berkat kepergian kamu waktu itu, aku jadi ngerti Zey, kalau sesuatu bakal terasa berharga kalau memang udah pergi dan hilang. Maka dari itu, aku sadar kalau seharusnya aku yang berdiri paling depan buat kamu, bukan malah nyia-nyiain kamu dengan kebodohan aku gitu aja.”

Deva berbicara panjang lebar membuat Zeya tertegun.

“Makasih ya sayang, berkat kata selamat tinggalnya waktu itu. Aku bener-bener berterima kasih karena akhirnya aku sadar, kalau memang cuma kamu yang aku mau.”

“Makasih, karena udah mau pulang lagi, walau faktanya aku masih belum bisa janjiin banyak hal perihal bahagia. Tapi dengan kembalinya kamu kesini, aku mau Zey …”

“Aku mau belajar buat perbaikin semuanya jadi lebih baik, walau mungkin juga masih banyak retak yang belum tertutup sempurna.”

Deva kemudian mengubah posisinya menjadi duduk berhadapan dengan Zeya yang masih tertegun mendengar ucapan Deva barusan.

Zeya menatap Deva.

“Kok diem?” Tanya Deva?”

“Aku salah ngomong?” Tanya Deva lagi.

Zeya hanya menggeleng.

“Terus ke—“ belum sempat Deva menyelesaikan kalimatnya tiba-tiba saja Zeya mengecup bibir lelaki itu sekilas, membuatnya terdiam karena terkejut.

Zeya hanya tersenyum membuat Deva terkekeh. “Bandel,” ucapnya.

Zeya hanya menyerengeh. “Hehe …”

“Sini peluk,” ucap Deva sambil merentangkan tangannya yang langsung saja membuat Zeya menghamburkan tubuhnya ke dalam pelukan lelaki itu.

Deva tersenyum hangat, ia kemudian mengecup pucuk kepala perempuan itu berkali-kali.

I love you, Zey.”

“Ok, do whatever you want, I'm yours.”

Deva semakin mengikis jaraknya, lantas perempuan itu memejamkan matanya.

“Gue sayang sama lo Dev, hehe …”

Deva menempelkan keningnya dengan perempuan itu, lantas Deva menatapnya sejenak.

Mima membuka matanya sedikit.

“Dev …,”

Deva hanya tersenyum tipis lantas ia berbisik pada Mima.

“Bukan lo yang gue mau, Mim.”

“Bukan lo yang gue mau. Sampai kapan pun gue cuma mau Zeya …,” bisiknya.

Mima hanya terdiam ketika tiba-tiba saja Deva menjauhkan tubuhnya dari Mima.

Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Deva kemudian meraih sebuah jaket dari belakang kursi penumpang.

“Gak usah kayak gini Mim, lo baik, lo gak pantes ngelakuin hal kayak gini.”

Mima hanya menatap Deva kemudian ia terisak pelan.

“Dev tapi gue sa—“

“Keluar Mim,” ucap Deva.

“Dev …”

“I LOVE YOU DEV I LOVE YOU SO MUCH!

Mima meraih jemari Deva namun lelaki itu menepisnya.

“Please …”

“Keluar Mima.”

“Denge—“

“GUE BILANG KELUAR YA KELUAR!” Teriak Deva yang akhirnya membuat Mima mau tidak mau keluar dari mobil itu.

Tanpa pikir panjang, Deva langsung menancapkan gasnya meninggalkan Mima sendirian di sana.

Mima menangis menyaksikan Deva yang sudah pergi.

“DEVA ANJING!” Teriaknya yang kemudian menjatuhkan tubuhnya dan menangis sambil memeluk jaket pemberian Deva.

Mima kemudian mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan beberapa pesan pada Zeya.

Deva mengacak rambutnya frustasi, matanya fokus menyetir menuju tempat yang sudah pasti di datangi oleh perempuan itu.

“Ah anjing,” umpatnya.

Jujur, Deva tidak suka jika ada seseorang yang sampai seperti ini hanya karena dirinya.

Ini sudah hampir satu tahun Zeya meninggalkan Deva, dan selama ini juga perempuan itu terus saja berusaha membuat Deva luluh.

Jika boleh dibilang, terkadang Deva peduli padanya, tapi easa peduli dia jauh lebih kecil dibanding rasanya pada Zeya.

Jalanan cukup macet malam ini, ditambah hujan deras yang terjadi sejak sore hari.

Ponsel Deva bergetar menandakan beberapa pesan masuk dari perempuan itu.

Deva menghela napasnya ketika mendengar tangisan perempuan itu.

Butuh waktu beberapa menit hingga akhirnya Deva sampai.

Buru-buru lelaki itu masuk mencari keberadaannya.

Mata lelaki itu bergerak kesana kemari mencari keberadaan perempuan itu.

Bau alkohol menyengat dari berbagai arah, suasana yang cukup gelap pun membuat Deva kesulitan.

Namun tiba-tiba saja fokusnya berhenti ketika ia melihat perempuan itu tengah duduk dan menangis sambil meminum alkohol.

Deva menghela napasnya, ia marah sangat marah.

Tanpa pikir panjang Deva langsung saja menarik perempuan itu agar mengikutinya.

Napas Deva memburu, lelaki itu kemudian langsung saja membawa perempuan itu ke dalam mobilnya.

“Lo kenapa sih Mim!” Teriaknya.

Entah sadar atau tidak tapi Mima—perempuan itu hanya menatap Deva dan tersenyum.

“Deva hehe …,” ucapnya.

Deva hanya terdiam memperhatikan tingkah perempuan itu.

Mima menangis lalu tertawa, lalu sedetik kemudian ia menarik Deva ke dalam pelukannya.

“Guenitu harus gimana Deva biar lo mau sama gue …,” lirihnya sambil menangis.

“Gue kurang apa sih!”

Deva menghela napasnya, aroma tubuh perempuan itu mirip dengan aroma tubuh Zeya.

Sial, kenapa Mima menjadi seperti ini.

Demi apapun, Deva sangat merindukan aroma ini.

Deva hanya terdiam membiarkan Mima memeluknya sambil menangis.

Jujur saja, Deva sangat kesepian, ia sangat merindukan Zeya.

Tanpa sadar Deva memejamkan matanya dan kembali menyesap aroma tubuh Mima yang sama seperti Zeya.

Entah apa yang ada dipikiran Deva, namun tiba-tiba saja ia melepaskan pelukan Mima dan kemudian ia menatap Mima lekat.

Deva mengikis jaraknya. “Kenapa lo selalu kayak gini, Mim?” Tanyanya.

Jarak mereka semakin menipis.

Mima bisa dengan jelas melihat sorot mata Deva dari dekat.

“Dev, lo sadar, kan?” tanya perempuan itu dengan matanya yang sayu.

Deva mengangguk pelan mendengar pertanyaan dari perempuan itu.

“Iya.”

Mereka saling menatap, terlihat sorot mata Deva yang menyiratkan jika dia benar-benar kesepian dan juga banyak kerinduan di sana.

Deva semakin mengikis jaraknya hingga posisi perempuan itu sedikit tertidur.

“Ok, do whatever you want, I'm yours.”

Deva semakin mengikis jaraknya, lantas perempuan itu memejamkan matanya.

“Gue sayang sama lo Dev, hehe …”

Mata lelaki itu tak lepas memperhatikan pergerakan perempuan di hadapannya yang tengah menyiapkan makan di meja.

“Nih,” ucapnya yang langsung di ambil alih oleh Deva.

Zeya—perempuan itu pun duduk berhadapan dengan Deva yang tengah menatapnya.

“Makan dulu, nanti abis ini baru ngomong,” ucap Zeya yang juga langsung bersiap untuk makan.

Deva menghela napasnya, kemudian ia pun menuruti perkataan Zeya.

Mereka berdua bungkam, hanya ada suara sendok dan piring yang beradu. Sesekali Deva melirik pada Zeya. Terlihat jelas oleh Deva wajah sembab perempuan itu.

Hampir lima belas menit mereka makan, hingga akhirnya Zeya beranjak untuk membersihkan piringnya.

Baru saja Deva akan menyusul, Zeya buru-buru menginstrupsi agar Deva duduk saja.

“Diem aja, nanti gue yang beresin.”

Deva lagi-lagi hanya menurut.

Sekitar lima menit berlalu, akhirnya Zeya selesai dengan kegiatannya.

Zeya melangkahkan kakinya ke arah halaman belakang dan duduk di kursi yang mengarah ke pemandangan belakang rumahnya.

Deva menyusul dan memilih duduk di samping Zeya.

Dingin, cuaca disini sangat dingin.

Deva menatap Zeya yang tengah fokus memperhatikan langit.

Terdengar helaan napas dari perempuan itu sebelum akhirnya ia angkat bicara. “Jelasin Dev, semuanya. Gue dengerin.”

Deva sedikit terkejut ketika mendengar ucapan Zeya yang langsung pada inti permasalahannya.

Deva menatap Zeya sejenak sebelum akhirnya ia menjelaskan semuanya.

“Sebelumnya aku minta maaf, ya? Karena semua ini pun salahku,” ucap Deva.

Zeya hanya diam membiarkan Deva menjelaskan semuanya.

Deva mengubah posisinya menghadap Zeya kemudian ia pun menjelaskan semuanya.

“Waktu itu awalnya pas kita lagi libur semester, pas kamu pulang ke rumah …,” jelas Deva.

“Aku lagi jalan, waktu itu aku lupa kenapa aku tiba-tiba langsung keinget tanggal ulang tahun kamu.”

“Dari situ pas aku nyampe kosan, aku iseng aja stalking akun kamu, terus aku nemu foto kamu sama Sena terus Mima tahun lalu waktu lagi rayain ulang tahun. Dari situ aku kepikiran buat nanyain apa aja yang kamu suka ke Mima. Dan kenapa aku ke Mima, karena waktu itu aku mikir, cuma sama Mima aja aku gak pernah ada urusan apa-apa.”

Zeya menatap Deva sekilas.

“Iya aku akuin kalo disini aku emang salah banget karena aku setuju-setuju aja sama apa yang Mima bilang. Dia yang ngasih ide buat kayak gini, karena Mima bilang kamu setakut itu kehilangan aku.”

Deva menunduk. “Maaf aku salah disini, karena gak mikir panjang akibat ke depannya.”

Deva menghela napasnya. “Dan setelah itu, Mima jadi suka chat buat sekedar nyaranin atau ngasih tau hal-hal apa aja yang kamu suka.”

Zeya menghela napasnya.

“Jujur, aku sama sekali gak ada niat buat bohongin kamu apalagi selingkuh, Demi Tuhan.”

“Dan juga, aku jalan beberapa kali buat beli hadiah persiapan ulang tahun kamu. Tapi sumpah, akungak ngapa-ngapain. Terus perihal foto, itu dia emang bilang kalau sengaja biar bikin kamu marah, dan bodohnya aku iya-iya aja. Tapi aku beneran gak tau kalau bakal diposting dan Mima bilang seolah-olah itu foto dia sama pacarnya. Aku bodoh, tolol juga, kamu pantes banget kalau sekarang mau nampar aku. Karena aku bener-bener salah disini. Aku minta maaf juga karena waktu itu aku juga sempet ketemu Mima, karena Mima minta tolong buat beli makan malam-malam. Disini aku beneran ngaku salah, karena gak seharusnya aku kayak gitu.”

“Kapan?” Tanya Zeya.

“Apanya?”

“Mima minta tolong nganter nyari makan.”

Deva berpikir sejenak. “Waktu kamu masih di rumah.”

Zeya tersenyum tipis.

Jadi Mima bohong? Pasalnya waktu itu Mima bilang dia pun pulang ke rumah, tapi ternyata tidak?

Zeya menghela napasnya.

Jujur saja, rasanya sesak sekali.

Iya, Zeya tahu, jika ini pun bukan murni kesalahan Deva, tapi kenapa setiap kali melihat Deva, kejadian itu tiba-tiba saja terlintas di pikiran Zeya.

“Terus apalagi?” Tanya Zeya yang kini memainkan kuku jarinya.

Deva meraih jemari Zeya. “Dan untuk masalah kemarin …”

“Demi Tuhan Zey, aku sama sekali gak ada niat buat lakuin itu. Aku sendiri bahkan kaget.”

“Maaf kalau kemarin aku malah diem seolah aku sengaja.”

“Enggak gak gitu, aku cuma kaget sama apa yang Mima lakuin.”

“Please aku mohon percay—“

“Iya,” Zeya memotong ucapan Deva.

“Aku percaya,” ucapnya sambil menarik napasnya dalam.

Zeya menatap Deva, matanya bahkan terlihat berkaca-kaca.

Zeya berusaha tersenyum, lantas ia mengusap Deva. “Makasih udah datang ke sini, makasih juga udah jelasin panjang lebar.”

“Maaf kalau kemarin aku ngehindar, aku cuma perlu waktu.”

Deva mengangguk, ia lantas menggenggam erat jemari Zeya.

“Jadi kita baik—“

“Dev,” lagi-lagi Zeya memotong ucapan Deva.

“Sekarang giliran aku yang ngomong,” ucapnya.

Demi apapun, jantung Deva benar-benar tidak karuan saat ini.

Zeya menatap Deva, kemudian terdengar lagi helaan napas dari perempuan itu.

“Kita selesai, ya?”

Deg!

Jantung Deva mencelos mendengar ucapan Zeya.

“Sayang …,” ucap Deva lirih. “Jangan becanda gini …”

“Kamu udah gak percaya lagi? Zey please jangan gini …”

Zeya menatap Deva kemudian jemarinya bergerak mengusap wajah lelaki itu.

“Percaya kok, tapi kayaknya lebih baik kita udahan aja,” ucap Zeya sambil berusaha menahan tangisnya.

“Tapi kenapa? Kita masih bisa perbaikin ini. Please jangan gini …,” pinta Deva menggenggam erat jemari Zeya.

Zeya menunduk, ia berusaha keras menahan tangisnya agar tidak keluar.

“Aku percaya kamu kok, cuma untuk sekarang kayaknya lebih baik kita sampai disini aja, Dev. Maaf …”

“Bukan karena aku gak percaya, aku beneran percaya sama apa yang kamu bilang. Tapi setelah aku pikir lagi, disini aku terlalu ngerasa sakit.”

“Setiap kali aku liat kamu, kejadian kemarin terus aja ada di otak aku Dev, dan aku benci itu.”

Zeya menarik napasnya dalam berusaha meredakan sesaknya.

“Dan juga Dev …”

I have to go

“Kemana Zey? Pergi kemana? Kenapa tiba-tiba gini …”

Zeya menggeleng. “Gak ada yang tiba-tiba, ini udah ada di rencana. Dan setelah aku pikir, lebih baik kita selesai Dev, aku gak mau nanti kalau makin lama, perasaan aku ke kamu makin besar, aku takut buat ngambil langkah ini.”

Zeya lagi-lagi menatap Deva. “Lagian hubungan kita juga belum selama itu, kan?”

“Dan setelah dipikir lagi, aku gak sebaik itu. Masih banyak kurangnya Dev buat kamu.”

“Aku gak kayak orang lain, bahkan kadang omongan aja aku masih nyablak gini. Kadang aku juga malu dan takut sama diriku sendiri Dev.”

“Kamu baik banget, dan aku pikir juga selama ini aku yang terlalu berlebihan sayang sama kamu. Dan kalau boleh dibilang, aku juga mungkin disini yang hancurin harapan kamu buat dapet Sena.”

Zeya kembali menunduk. “Maaf ya Dev karena aku tiba-tiba aja hadir, padahal udah jelas kalau waktu itu hati kamu bukan buat aku. Disini aku yang gak tau diri, dan bodohnya aku baru sadar, maaf …”

Deva menggeleng berkali-kali, ua kemudian menarik Zeya ke dalam oelukannya. “Jangan gini, jangan gini …”

“Aku dayang banget sama kamu Zey, jangan udahan.”

“Gapapa kalau misal kamu mau pergi, entah itu buat ngejar cita-cita atau hal lainnya, aku gak masalah. Tapi please jangan kemana-mana.”

“Aku beneran sayang kamu Zey, sesayang itu aku sama kamu.”

“Maaf, maaf kalau aku nyakitin kamu, maafin aku …,” lirih Deva mengeratkan pelukannya.

Zeya menangis dalam pelukan Deva, kemudian tak lama Zeya melepaskan pelukannya.

“Sebelum makin jauh dan terlalu dalam Dev, ya?”

Zeya tersenyum. “Kita masih bisa temenan kok,” ucapnya.

“Biar nanti gak terlalu sakit baik di aku atau kamu.”

Deva mengalihkan pandangannya untuk menahan tangis.

“Jadi, kita sampai disini aja, ya?”

“Cari yang lebih baik, yang mungkin rasanya lebih besar dari aku.”

“Kita masih bisa temenan kok, aku janji …,” ucap Zeya yang kini mengusap pundak Deva.

Deva menatap Zeya.

“Kamu mau pergi kemana nanti?”

Zeya tersenyum. “Ikut Abang …”

Deva menunduk menahan tangisnya.

“Emang gak bisa ya kita terus sama-sama, Zey?”

Zeya terdiam sejenak.

“Zey …”

Zeya menatap Deva, kemudian ia menggeleng pelan. “Maaf Dev …”

Deva mengacak rambutnya frustasi, demi apapun rasanya terlalu sesak.

Tapi mau bagaimana lagi? Bahkan jika Deva memohon sambil merangkak pun, keputusan Zeya tidak akan pernah berubah.

Maka dari itu yang Deva lakukan saat ini adalah memeluk Zeya erat, sebelum nantinya mereka kembali pada keadaan dulu, dimana keduanya tidak mempunyai status apapun.

“Kita baru sebentar tapi aku sayang banget sama kamu,” ucap Deva.

Dalam pelukan itu Zeya mengangguk. “Aku juga …”

Deva menarik napasnya dalam, Deva lantas melepaskan pelukannya dan menatap Zeya lama.

Deva hanya bisa tersenyum tipis. Dan kemudian jemari Deva mengusap wajah Zeya lembut.

“Kalau itu mau kamu, oke aku terima. Makasih ya udah mau jujur perihal perasaan dan keadaan kamu.”

Deva terkekeh pelan. Ia kembali menatap wajah Zeya.

“Kalau gitu, hati-hati, ya? semoga apapun jalan yang kamu ambil, itu yang terbaik,” ucap Deva tersenyum sebelum akhirnya ia beranjak dari duduknya.

Sebelum benar-benar pergi Deva kembali menatap Zeya. “Boleh meluk, gak? Sekali lagi …,” pintanya.

Zeya menatap Deva lantas ia mengangguk.

Keduanya pun saling memeluk, erat, sangat erat.

“Hati-hati di jalan Dev …,” ucap Zeya berbisik.