Datang Tanpa Permisi.
Zeya menarik napasnya dalam setelah membaca beberapa rentetan pesan yang masuk pada ponselnya.
Dada Zeya terasa sesak sampai-sampai ia memilih menepikan kendaraannya ke pinggiran jalan.
Air mata Zeya jatuh begitu saja setelah hampir satu minggu ia menahannya.
Zeya melemparkan ponselnya sembarangan kemudian ia menangis sambil sesekali memukul kemudi.
Perempuan itu benar-benar menangis, dadanya terasa sangat sesak apalagi ketika tadi ia mendengar pesan suara dari Deva. Dimana lelaki itu mengatakan tentang bagaimana bisa mamanya memilih untuk mengenalkan dirinya pada perempuan lain, tentang bagaimana ia yang berusaha menolak dan tentang bagaimana Deva yang berharap supaya Zeya mengerti akan posisinya.
*”Aku harap kamu ngerti ya Zey kalau disini aku juga kesusahan. Maaf, maafin aku,” ucap Deva di akhir pesan suara yang ia kirimkan pada Zeya.
Kenapa lagi-lagi harus Zeya yang mengerti?
“Sakit banget Ayah …,” lirih Zeya sambil memukul dadanya berusaha meredakan rasa sesak.
Zeya paham, jika jatuh cinta memang bajyak resiko termasuk perpisahan. Tapi Zeya tidak pernah berpikir bahwa berpisah dengan Deva akan semenyakitkan ini.
Zeya masih sangat amat menyayangi Deva, dari awal, dari sejak ia pertama kali menyukai Deva.
Sulit, terlalu sulit untuk Zeya. Perpisahannya dengan Deva terlalu tiba-tiba baginya.
Meskipun selama ini Zeya selalu saja terlihat baik, tapi tanpa orang lain tahu, ia sudah sangat amat retak. Bahkan retakan itu perlahan semakin rapuh dan hancur.
Zeya mengusap air matanya, berkali-kali ia menarik napas untuk menstabilkan perasaannya, namun tetap saja ia malah menangis.
“Kenapa harus kayak gini Dev …,” lirihnya pelan.
Zeya meraih ponselnya, kemudian ia membuka gallery dimana terdapat banyak sekali potret dirinya dengan sang kekasih.
Jemarinya pun bergerak untuk menghapus satu per satu foto kenangan itu.
Baru saja kemarin Zeya merasakan dicintai lagi, baru saja kemarin Zeya berpikir jika dirinya akan semakin kokoh jika bersama Deva. Tapi ternyata salah.
Harapannya terlalu tinggi sampai-sampai ia lupa kalau perpisahan bisa datang begitu saja tanpa permisi.
“Gue harap lo bahagia sama pilihan lo ya Dev …,” lirih Zeya sambil mengusap foto Deva dari layar ponselnya.
“Gue …”
“Gue sayang banget sama lo …,” lirihnya sebelum akhirnya ia kembali menangis di dalam mobil itu untuk waktu yang lama.