Jjaejaepeach

Zeya menghela napasnya ketika ia baru saja mengirim cuitan twitter.

Padahal dari tadi yang Zeya lakukan hanya duduk sambil memainkan ponsel, tapi rasanya kenapa lelah sekali?

Zeya terdiam sejenak sampai akhirnya tiba-tiba saja air matanya keluar tak bisa ditahan.

Perempuan itu lantas menangis sangat keras di ruang tengah sambil melemparkan ponselnya asal. Ia memeluk tubuhnya sendiri.

Sungguh, ini sangat sakit sekali.

Bukannya apa-apa tapi Zeya merasa dirinya sangat payah. Ia bahkan tidak pernah menyangka jika ia akan bertengkar seperti ini dengan Mima—sahabatnya.

Zeya menangis kencang, dadanya sesak. Apalagi ketika tiba-tiba saja adegan kejadian dimana Mima mencium Deva terlintas. Zeya benci itu.

Berkali-kali Zeya memukuk kepalanya supaya ingatan itu hilang dari kepalanya, namun tetap saja tidak bisa.

Demi apapun, kalau saja bukan Mima, Zeya tidak akan merasa sekecewa itu. Tapi ini Mima, sahabat baiknya. Orang yang sudah Zeya percaya, orang yang Zeya anggap saudara dan bahkan Zeya rela melakukan apapun untuk Mima selama ini.

Tidak pernah sekalipun Zeya membiarkan Mima atau Sena mengalami kesulitan. Bahkan ketika para sahabatnya itu merasa sakit, Zeya akan maju paling depan untuk membentengi rasa sakit itu.

Jujur, dari sekian banyak hal yang membuat kecewa hari ini, Zeya lebih kecewa terhadap Mima dan dirinya sendiri.

Zeya tidak mau seperti ini, tapi hatinya tidak bisa berbohong kalau dirinya benar-benar merasa sakit. Apalagi mengingat jika Deva adalah laki-laki pertama yang Zeya percayai untuk menjalin hubungan.

Zeya kecewa, pada Mima, Deva, dan semuanya.

“Heh, kok nangis?” Tiba-tiba saja Damar—kakak laki-laki Zeya datang dari arah dapur.

Lelaki itu keheranan melihat adik perempuannya menangis.

Tanpa pikir panjang Zeya langsung saja memeluk Damar.

“Abang … sakit banget,” isak Zeya memeluk Damar erat.

Damar terdiam sejenak karena terkejut, namun akhirnya ia pun menghela napasnya dan mengusap pelan pucuk kepala Zeya.

“Kamu kenapa?”

Zeya semakin menangis, ia mengeratkan pelukannya.

Damar hanya bisa terdiam, karena jika sudah seperti ini Zeya benar-benar sedang merasa sakit. Maka dari itu yang Damar lakukan hanya memeluk dan mengusap sayang sang Adik tanpa bertanya lagi.

“Iya gapapa nangis aja, ada Abang disini …”

Zeya terisak lagi.

“Abang sakit banget, rasanya sakit banget.”

“Iya nangis aja gapapa,” ucap Damar yang kemudian mengecup pelan kening Zeya.

Damar menghela napasnya.

“Abang gak bakal nanya kamu kenapa. Tapi, kalau ada yang nyakitin kamu, jangan diem aja, ya? Abang gak mau kamu disakitin gitu aja sama orang lain.”

“Abang sama Ayah selalu ngasih kamu bahagia, masa orang lain nyakitin kamu?”

Zeya semakin terisak.

“Maaf ya kalo Abang sibuk kerja sampai gak tau kalau Adik Abang lagi kayak gini.”

“Sekarang Adek nangis aja gapapa, kalau udah baikan nanti cerita sama Abang, ya?”

“Ab—“

Baru saja Damar akan berbicara, ucapannya terpotong ketika mendengar bel masuk.

Buru-buru Damar beranjak dan memeriksa siapa yang datang.

Alis lelaki itu terangkat ketika melihat siapa yang datang.

“Bang, ada Zey—“

“Oh jadi lo yang bikin Adek gue nangis?”

Tanpa aba-aba Damar langsung saja melayangkan pukulan pada Deva.

“Anjing lo.”

“Dari awal gue bilang jangan nyakitin Ade—“

“ABANG!” Tiba-tiba saja Zeya berteriak dan berusaha menarik Damar dari tubuh Deva.

Napas Damar tak beraturan.

Zeya langsung saja menghampiri Deva dan membantunya berdiri.

Zeya menatap Deva sekilas.

“Zey …,” lirih Deva meraih tangab Zeya.

“Pulang,” ucap Zeya tanpa basa-basi pada Deva.

“Zey dengerin dulu.”

“Izinin aku jelasin, ya?” Pinta Deva.

“Pulang, Dev.”

Deva menggeleng. “Please den—“

We’re done, kita udah selesai.”

Lagi-lagi Deva menggeleng. “Enggak Ze—“

“GUE BILANG PULANG! KITA UDAH SELESAI!” Teriak Zeya.

“Gue gak mau liat muka lo.”

“Pulang Dev.”

Zeya benar-benar enggan menatap Deva.

“Dengar gak? Balik!” Sambung Damar sebelum akhirnya ia menutup pintu dan membiarkan Deva sendirian di luar.

Zeya kembali menangis dipelukan Damar.

“Abang sakit …”

Deva menyusul Zeya yang kini tengah berdiri di pinggir jalan menunggu taxi.

“ZEY!” Teriak Deva.

Seolah tuli, Zeya mengabaikan Deva yang kini sudah mendekat ke arahnya.

Deva meraih tangah Zeya namun perempuan itu menepisnya.

“Denger dulu, bukan gitu. Beneran aku juga kaget sayang please …,” lirih Deva berusaha menjelaskan.

Zeya menahan tangisnya.

Ia benar-benar sakit hati ketika tadi melihat Mima yang mencium Deva begitu saja dan juga respon Deva yang hanya terdiam.

“Aku beneran gak ada niat kayak gitu, denger d—“

Ucapan Deva terpotong ketika Zeya menoleh padanya.

Terlihat wajah Zeya yang sudah membengkak.

Zeya manatap Deva, dan ia menangis.

“Gue salah apa sih sama lo, Dev”

“Sayang gak gi—“

“Lo tau gak?”

“Ini ulang tahun terburuk yang pernah gue dapetin. Makasih, ya?” ucap Zeya yang kemudian berusaha melepaskan genggaman Deva.

“Kita udahan aja Dev, gue gak mau. Lo semua ngegampangin banget perasaan orang, gue gak suka.”

“Udahan aja, terserah lo abis ini mau ngapain sama Mima atau sama siapapun juga, gak peduli gue,” ucap Zeya sebelum akhirnya ia pergi ketika Taxi pesanannya datang.

“Zey!” Deva berteriak frustasi, Deva menangis ketika melihat Zeya yang pergi begitu saja.

Tidak, bukan seperti ini seharusnya.

Padahal Deva sudah menyiapkan segalanya dengan baik, ia bahkan membeli sebuah cincin untuk Zeya.

Deva menjatuhkan tubuhnya dan mengumpat pada dirinya sendiri.

Lantas tiba-tiba saja Mima datang.

“Dev maaf, karena gue semuanya hancur, maafin gue Dev …,” lirih Mima yang kemudian memeluk Deva berusaha menenangkannya.

U

Dengan napasnya yang memberat Zeya sebisa mungkin menahan tangisnya selama perjalanan bersama Bima.

Selama perjalanan itu Bima sesekali melirik Zeya.

Butuh waktu hampir sepuluh menit hingga akhirnya mereka sampai di suatu tempat.

Zeya terdiam sejenak. “Ini kenapa ke apart? Tempat siapa?”

Bima tak menjawab, dia langsung saja turun diikuti oleh Zeya.

Demi apapun, jantung Zeya benar-benar berdetak tak karuan. Pikirannya benar-benar liar saat ini.

Lift berhenti di lantai bernomor sembilan, Bima masih tak berbicara, ia terus berjalan diikuti Zeya.

“Bim.”

Bima melirik Zeya.

“Mereka di dalam,” ucap Bima membuat Zeya manahan napasnya.

“Gue disini aja,” lanjut Bima.

“Kodenya tanggal lahir Mima,” ucap Bima lagi.

Demi apapun, saat ini Zeya mengumpat dalam hati berkali-kali.

Zeya memencet tanggal lahir Mima guna membuka sandi pintu itu, dan benar saja pintu itu terbuka.

Zeya menahan napasnya, air matanya bahkan tertahan di ujung matanya.

“Dev …,” ucap Zeya.

“Deva …,” lagi, Zeya memanggil Deva.

Perempuan itu berjalan menyusuri setiap sudut tempat itu.

Langkah kaki Zeya terhenti ketika melihat sebuah hoodie berwarna abu-abu yang tergeletak di sofa, ia raih hoodie itu dan benar saja. Itu milik Deva, Seya sangat hapal wanginya.

Napas Zeya memburu, ia tidka bisa menahannya lagi.

“DEVA MIMA! KELUAR LO BERDUA!” Teriaknya lagi.

Zeya berjalan kesana kemari, sampai akhirnya ia berhenti ketika melihat Deva dan Mima tengah berduaan di halaman belakang.

Napas Zeya memburu. Ia buru-buru menghampiri Deva dan Mima.

“HAPPY BIRTHDAY TO YOU!” tiba-tiba saja dari arah samping ada Sena, Jeano, dan Bima, serta Raka yang datang sambil membawa kue dan menyanyikan lagi selamat ulang tahun pada Zeya.

Zeya benar-benar terpaku, ia seolah tuli, matanya fokus kepada dua orang di hadapannya yang kini terlihat gelagapan dengan raut wajah terkejut ya.

“ANJING LO!” Teriak Zeya ketika tadi ia melihat Mima dan Deva berciuman.

Semua orang menoleh ke arah Deva dan Mima, Jeano yang tadinya sangat girang langsung terdiam. Bingung.

Mima buru-buru berdiri dan menjauhkan tubuhnya dari Deva dan segera menghampiri Zeya.

Mata Zeya memerah, ia menahan napasnya.

Deva pun segera menghampiri Zeya.

Sena terdiam, ia menatap Mima tak percaya.

“Zey sumpah ini gak kayak yang lo liat,” ucap Mima meraih tangah Zeya.

Zeya menangis namun ia tetap tersenyum dan menatap Mima sinis.

Tanpa berpikir panjang Mima langsung saja menampar Mima.

“Lo anjing, lo juga!” umpat Zeya menunjuk Deva dan Mima secara bergantian.

“Sayang gak gitu, in—“

Napas Zeya memburu, ia memotong ucapan Deva.

“Biar apa kayak gini?”

Zeya kembali mengarahkan pandangannya ke arah teman-temannya.

“Lucu?”

“Lo pikir semua ini lucu?”

Semua orang terdiam.

“GUE NAHAN KETAKUTAN GUE SENDIRIAN DAN LO SEMUA NGELAKUINNYA CUMA BUAT KAYAK GINI?”

“DAN LO LIAT SENDIRI, TEMEN LO MALAH CIUMAN ANJING!” Teriak Zeya tak kuasa menahan amarahnya.

Mima menunduk.

Deva menarik rambutnya frustasi.

“Denger du—“

“LO DIEM!” Teriak Zeya pada Deva.

Zeya manatap Mima. “Lo enak banget ya? Niat mau ngasih kejutan buat gue tapi malah punya kesempatan buat nyium Deva?”

“Lo sadar gak sih Mim? Kalo Deva itu pacar gue?”

“Lo bego apa emang pura-pura bego?”

Mima menggeleng, ia berusaha meraih tangan Zeya.

“Zey dengerin gue, gue gak maksud, gu—“

“Apa?”

“Mau alesan apa? Kebawa suasana? Hahaha tai!”

Demi apapun Zeya benar-benar marah saat ini.

“Lo berdua udah gue percaya banget, tapi kenapa gini?”

“Lo sengaja, Dev?”

Deva terdiam ia berusaha mendekat namun Zeya menepisnya.

“Sayang de—“

“Udahan aja Dev, gue gak suka.”

“Terusin aja rencana lo, biar bisa bebas nyium temen gue sana sini.”

“Brengsek lo semua,” ucap Zeya yang langsung saja pergi meninggalkanntempat itu, disusul oleh Sena yang segera meletakkan asal kue ulang tahun itu.

“ZEY TUNGGU!” Teriak Sena.

Deva mengacak rambutnya frustasi.

“Dev sorry, gue kebawa suasana …,” lirih Mima.

“Ah anjing!” umpat Deva sebelum akhirnya pergi meninggalkan Mima dan teman-temannya berniat menyusul Zeya.

Deva dan Zeya saat ini tengah berada di dalam mobil, berniat mencari tempat makan.

“Mau makan apa?” Tanya Deva.

Zeya menoleh pada Deva. “SATE TAICHAN! Boleh, gak?” Jawab Zeya pada Deva membuat Deva terkekeh.

Jemari Deva bergerak mengacak pucuk kepala Zeya. “Boleh sayang,” balasnya membuat Deva menyerengeh.

Saat ini hubungan Deva dan Zeya hampir berjalan satu bulan. Semuanya baik-baik saja dan semoga akan tetap baik-baik saja.

Jujur saja, bagi Deva, kepribadian Zeya benar-benar berubah. Deva pikir sikap dinginnya akan terus melekat jika mereka sudah berpacaran, namun ternyata tidak. Zeya benar-benar lebih ceria.

Kepala Zeya bergerak bersandar pada bahu Deva yang tengah menyetir.

“Wangi banget,” ucap Deva mengendus rambut Zeya, membuat perempuan itu terkekeh.

“Iyalah, kalau aku bau mana mau kamu sama aku.”

“Mau lah.”

Zeya menatap Deva kemudian berdecak. “Heleh, dusta. Cowok kayak lo mana ada mau sama orang yang bau,” ucap Zeya membuat Deva tergelak.

“Ya emang kamu mau punya badan bau?” Tanya Deva.

“Ya enggak, hehe.”

Deva hanya menggeleng kemudian terkekeh.

Sepanjang perjalanan Deva tak henti mengelus tangan Zeya. Rasanya sangat hangat.

Berkali-kali Deva mengecup tangan Zeya.

Tak hanya itu, obrolan-obrolan singkat pun tak henti. Zeya selalu mempunyai cara untuk mencari topik. Entah itu topik serius atau tentang hal-hal random lainnya.

“Nah sampai,” ucap Deva ketika sampai di tempat sate taichan.

Zeya menghela napasnya sebab tempat itu terlihat penuh.

Deva terkekeh. “Penuh, ya?”

Zeya mengangguk, kemudian terdengar suara perut berbunyi yang lagi-lagi membuat Deva tertawa.

“Haha, yaudah ayo gapapa, itu perut kamu bunyi.”

Zeya hanya menyerengeh.

Deva dan Zeya kemudian bersiap untuk keluar.

Deva memberhatikan Zeya yang tengah merapikan rambutnya dan sedikit memoles bibirnya menggunakan pelembab.

“Cantik banget,” gumam Deva yang terdengar oleh Zeya membuat perempuan itu tertawa pelan.

Gila, Deva benar-benar dibuat jatuh cinta pada Zeya.

“Yuk ah,” ucap Zeya.

“Yang …,” Deva menahan Zeya.

“Apa?”

Deva menatap Zeya sejenak kemudian tanpa aba-aba ia mengecup bibir Zeya sekilas membuat perempuan itu terkejut.

“IH KEBIASAAN!”

Deva terkekeh, kemudian tangannya bergerak megusap kepala Zeya.

“Yuk makan,” ucap Deva sebelum akhirnya mereka pergi ke luar dari mobil untuk makan.

Sepertinya jalanan kota malam ini benar-benar mendukung. Tidak terlalu padat dan tidak terlalu kosong.

“Diem aja Zey,” ucap Deva menoleh sekilas pada Zeya yang sejak tadi hanya terdiam memperhatikan jalanan.

“Berisik ah.”

Deva hanya terkekeh.

“Katanya gak cupu, tapi gak ngobro—“

“DIEM DEV!”

Deva tergelak ketika Zeya tiba-tiba saja memukulnya.

“Sakit.”

“Ngomong terus ih, fokus tuh nyetir. Nabrak tau rasa,” ucap Zeya dengan raut wajah kesalnya.

Deva hanya tertawa pelan sebab menurutnya Zeya ini mudah sekali salah tingkah.

Jemari Deva bergerak untuk memutar musik.

“Suka lagu apa, Zey?”

“Apa aja,” jawab Zeya.

Deva hanya mengangguk, kemudian ia memutarkan lagu Ed Sheeran – Photograph

Musik terdengar, baik Deva dan Zeya, mereka berdua fokus pada pikirannya masing-masing.

Loving can hurt Loving can hurt sometimes

Zeya bersenandung mengikuti lirik lagu. Membuat Deva memperhatikannya sesekali.

Tiba-tiba saja Zeya terkekeh.

“Bener juga, ya.”

“Apa?” Sahut Deva.

“Kadang cinta bikin sakit, walau kenyataannya moment bahagia juga banyak,” lanjut Zeya membuat Deva memelankan laju kendaraannya.

Zeya menoleh pada Deva.

“Lo gimana, Dev?”

Deva tidak menjawab, ia malah memutar arah mobilnya entah kemana.

“Dih kemana ini?”

Perlu waktu hampir sepuluh menit hingga akhirnya Deva memberhentikan mobilnya di sebuah lapangan dengan danau dan lampu-lampu di hadapannya.

Deva merubah posisinya menghadap pada Zeya.

“Gimana apanya?” Tanya Deva menyinggung pertanyaan Zeya sebelumnya.

Zeya menatap Deva yang tengah menatapnya. Lantas perempuan itu terkekeh pelan.

“Gue kira gak bakal disambung.”

Deva hanya menyerengeh.

“Yaudah, jadi apanya yang gimana?”

“Ya lo gimana? Menurut lo cinta itu lebih banyak bahagianya atau sakitnya?”

Deva terdiam sejenak, sedangkan Zeya memperhatikan.

“Tergantung.”

Zeya mengangkat sebelah alisnya.

“Apa?”

“Tergantung orangnya. Tergantung pasangaannya juga.”

“Maksudnya?”

Deva terkekeh.

“Ya antara orang itu mau bahagia atau sakit. Kalo mau banyak bahagianya ya jangan bikin sakit, ngerti, gak?”

Zeya terdiam, lantas ia kembali berpikir.

“Tapi kan kadang yang awalnya bikin bahagia bisa aja bikin sakit?”

“Contihnya temen lo tuh si kampret Raka. Awalnya bikin bahagia Sena, tapi akhirnya apa? Brengsek banget!” Balas Zeya dengan raut wajah kesalnya membuat Deva tertawa.

“Haha, ya emang itu mah tolol,” jawab Deva.

“Iya sepupu lo gatel,” sahut ya membuat Deva kembali tertawa.

“Udah, jangan bahas orang lain.”

Zeya mengangkat sebelah alisnya. “Terus?”

“Bahas kita aja.”

Demi apapun, jantung Zeya benar-benar tak karuan.

Zeya berusaha mengalihkan fokusnya agar tidak terlihat sedang salah tingkah. Namun sayang, Zeyabterlalu payah menyembunyikan.

Deva benar-benar terus dibuat tertawa oleh tingkah Zeya yang galak namun dibalik itu dia sedang susah payah menahan rasanya.

“Zey …,” ucap Deva menatap Zeya.

Zeya menarik napasnya kemudian ia memberanikan diri menatap Deva dan lagi-lagi menampilkan wajah cueknya.

“Apa?”

Deva memperhatikan wajah Zeya. Cantik sekali ternyata.

Jemari Deva tiba-tiba saja bergerak membenarkan helaian rambut Zeya yang berantakan.

Sial. Zeya bisa-bisa dibuat mati mendadak oleh Deva.

“Ekhem.”

Deva terkekeh pelan.

“Gue tuh harus gimana ya Zeya biar lo percaya kalo sekarang gue suka banget sama lo?”

Zeya berdecih. “Ah buaya lo.”

“Zey.”

Zeya menatap Deva.

Demi apapun, sorot mata Deva benar-benar menenangkan.

Hampir satu menit mereka hanya saling menatap. Hingga tiba-tiba saja jarak di antara mereka semakin menipis.

Zeya memejamkan matanya ketika tiba-tiba saja bibirnya beradu dengan bibir tipis milik lelaki di hadapannya.

Jantung Zeya berdegup kencang. Lantas kemudian Zeya menjauhkan tubuhnya dari Deva membuat Deva terkejut.

”FIRST KISS GUE!” teriak Zeya panik.

Bu, hari ini anak bungsumu bertambah usia. Dan ini kali ke tiga aku merayakannya tanpa Ibu.

Pak, jika dengan pergi ke surga Bapak bisa bahagia. Lantas aku harus pergi kemana, Pak?

Hancur, semuanya hancur.

Aku berlari seperti orang kesetanan setelah mendengar kabar jika Bapak berpulang.

”Nas, Bapak sudah tidak ada.”

Satu kalimat yang membuat jantungku hancur bak terhantam bebatuan.

Seperti orang gila yang tengah mengamuk. Aku berlari kesana kemari mencari tumpangan. Menangis meminta tolong pada orang-orang supaya segera mengantarkan aku ke rumah sakit. Tempat Bapak.

Persetan dengan acara wisuda.

Aku menangis sangat kencang ketika melihat tubuh kaku yang sudah tertutup kain.

Aku menangis, menangis hingga lupa jika di sini tak hanya ada aku.

Aku menangis seolah di sini hanya ada aku dan Bapak.

Tidak, bukan seperti ini seharusnya.

“Bapak, bangun …,” lirihku berusaha membangunkan tubuh Bapak yang kaku.

Matanya terpejam, bibir tipisnya menyinggung seolah memberitahukan jika sekarang Bapak sudah baik-baik saja.

“BAPAK BANGUN!” Teriakku lagi.

Berkali-kali aku berteriak, berkali-kali aku membangunkan Bapak, namun tubuh itu tetap tidak merespon.

Pak, anakmu ini baru saja mendapat gelar. Gelar yang selalu Bapak nantikan. Gelar yang Bapak bilang bisa mengangkat derajat hidup kita.

“Bapak bangun, aku udah sarjana Pak. Cumlaude impian Bapak. Anak kesayangan Bapak, putri kesayangan Bapak lulus.”

“Bapak bangun, BAPAK BANGUN!”

Lagi-lagi aku berteriak, tak peduli jika sekarang penampilanku sudah tidak karuan.

Aku hanya ingin Bapak.

Padahal semalam, Bapak sudah berjanji akan datang. Bapak berjanji akan berdiri di barisan paling depan untuk aku—anak perempuan kesayangan Bapak.

Bapak bilang, Bapak akan jadi orang pertama yang dengan bangga menunjukkan pada dunia jika anak perempuannya sudah mendapat gelar sarjana.

Tapi kenapa Bapak berbohong?

Bapak bilang, jika rasa sakit yang Bapak rasakan sudah pulih.

Bapak bilang, jika semua derita yang Bapak tanggung selama ini sudah lenyap.

Tapi kenapa Bapak berbohong?

Kenapa Bapak malah pergi?

Bapak bahkan belum sempat lihat aku berdiri sambil memamerkan hasil jerih payahku untuk mendapatkan gelar ini.

Gelar yang selalu Bapak impikan.

Kenapa Bapak harus pergi secepat ini? Padahal semalam, Bapak masih bisa bercanda.

Kenapa Bapak harus pergi secepat ini? Padahal semalam, Bapak masih bisa memeluk.

Di sini Bapak yang egois atau memang Tuhan yang jahat? Kenapa Bapak harus pergi?

Bahkan Pak, banyak sekali hal yang belum sempat aku kasih untuk Bapak. Banyak hal yang masih jadi rencana perihal aku yang akan memberikan seluruh dunia untuk Bapak.

Tapi kenapa Bapak harus pergi secepat ini?

Tuhan, aku hanya ingin bersama Bapak untuk waktu yang lebih lama.

Iya memang, katakan aku egois. Karena terus meminta Bapak untuk tinggal, padahal aku tahu jika selama ini Bapak menahan sakitnya.

Tapi Pak, kalau bukan dengan Bapak? Aku harus hidup dengan siapa lagi?

Dengan Ibu?

Haha, jangankan tinggal bersama Ibu. Melihat rupanya saja aku tidak pernah.

Lagi-lagi aku kembali menangis ketika orang-orang itu memindahkan Bapak.

Aku menggeleng kuat, aku menangis tanpa malu.

Tidak ada yang memelukku selain Mama—adiknya Bapak.

“Bapak pulang Ma, Bapak pulang …,” lirihku terisak.

Mama tidak mengatakan apapun, ia hanya memelukku erat, tanpa suara.

“Pak, jika dengan pergi ke surga Bapak bisa bahagia. Lantas aku harus pergi kemana?”

****

Untuk Bapak, laki-laki hebat dengan tubuh yang semakin lama semakin ringkih. Laki-laki yang tanpa rasa malu membawa anak semata wayangnya kesana kemari hanya untuk mencari sesuap nasi.

Maaf Pak, maaf karena hadirnya aku membuat hidup Bapak harus terbebani puluhan kali lipat. Maaf, karena hadirnya aku di hidup Bapak membuat Bapak mati-matian memikirkan perihal hidupku yang selalu harus bahagia.

Bapak, jika saja bisa, lebih baik aku tidak pernah lahir jika ternyata hadirnya aku ini hanya menambah beban Bapak.

Berkali-kali aku melihat Bapak menangis sendirian di dalam kamar sambil memegang buku rekening.

Berkali-kali aku melihat Bapak menangis sendirian di dalam kamar sambil mengobati kaki Bapak yang terluka.

Banyak luka yang Bapak tanggung. Banyak beban yang Bapak tanggung.

Tapi kenapa Bapak selalu tersenyum pada anak perempuannya?

Kenapa Bapak selalu mengatakan jika Bapak ini kuat? Padahal jelas-jelas dari sorot mata Bapak, banyak kegelisahan dan ketakutan perihal tumbuh kembang hidup aku yang mungkin saja tidak akan berjalan sesuai rencana.

Pak, gak banyak yang aku minta.

Aku, hanya ingin bersama Bapak, untuk waktu yang lama.

Persetan dengan materi, aku hanya ingin hidup bersama Bapak.

Selamanya.

Tapi, ternyata tidak bisa, ya, Pak? Kenyataannya malah Tuhan mengambil Bapak lebih dulu dari aku. Bahkan disaat aku belum sempat memberikan seisi dunia pada Bapak.

Maaf, Pak. Karena aku, pundak Bapak jadi banyak beban.

Entah harus bagaimana aku menggantikan semua jerih payah Bapak.

Bahkan kata ‘sayang’ pun tidak akan pernah cukup.

Bapak ….

Terima kasih, ya. Karena Bapak selalu memberikan seisi dunia Bapak pada anak perempuannya.

Tolong terbang yang tinggi, ya, Pak? Sampai nanti beban-beban itu berjatuhan dan menghilang.

Aku sayang Bapak.

Selepas pulang menonton bersama Deva. Kini Zeya tengah berkumpul di dalam kamarnya bersama Mima dan Sena.

Ini sudah satu jam sejak kepulangan Zeya. Mereka saat ini tengah memasangkan masker wajah bergantian. Rencananya Mima dan Sena akan menginap.

Mereka tertawa seolah tidak ada yang aneh, Mima dan Sena benar-benar mendengarkan cerita Zeya ketika pergi bersama Deva tadi.

Mata Zeya pun terlihat sangat berbinar setiap kali ia menyebut Deva.

“Terus, bagian sedihnya apa?” Tanya Sena pada Zeya membuat Zeya menatap Sena dan terdiam sejenak, kemudian tak lama ia terkekeh pelan.

“Iya, lo dari tadi cerita semangat banget. Sekarang bagian sedihnya apa?” Tanya Mima juga.

Zeya membenarkan posisi duduknya. Kemudian Zeya terkekeh. “Gak ada sih sebenernya.”

“Gue tadi sedih aja, soalnya …” Zeya menjeda ucapan sejenak dan menatap kedua sahabatnya itu.

“Lo nggak apa-apa, kan?” Tanya Mima.

Zeya merubah raut wajahnya menjadi terlihat sendu.

“Zey …,” ucap Sena. “Kenapa ih?”

“Gue sedih soalnya …”

“Apa anjir,” sahut Mima.

Zeya menatap kedua sahabatnya. “SOALANYA CUMA SEBENTAR HAHA.” Zeya tertawa membuat Mima dan Sena seketika berdecak dan memukul Zeya bersamaan.

“Sialan lo!” Sahut Mima.

“Ih gue udah panik.” Sena menimpal sedangkan Zeya tertawa.

Zeya tertawa sangat keras sampai air matanya keluar.

Bahkan Zeya sendiri tidak sadar, apakah ia tertawa sampai menanagis karena memang lucu atau karena Zeya tertawa sampai menangis karena ia merasa sakit mengingat perkataan Deva sebelumnya.

“Serius lo ih!” Mima menatap Zeya kesal.

“Serius anjir haha.”

Zeya manatap Mima dan Sena bergantian, kemudian ia kembali tertawa pelan.

“Gue aman, seneng kok serius. Deva baik juga walau emang ngeselin sih dikit dia. TAPI GAK SENGESELIN KAYAK SI JEAN KAMPRET!”

Seketika Mima tertawa. “Emang anjir gak bener tuh anak.”

Sena hanya tertawa.

“Untung lo udah putus sama si Raka,” sahut Zeya.

Setelah itu mereka semua saling tertawa bersama. Bahkan Zeya pun tertawa seolah tidak terjadi apa-apa. Walau sejujurnya, Zeya merasa sakit. Tetapi Zeya tidak ingin mengungkit masalah yang ia rasakan, apalagi berhubungan dengan pertemanan.

“Gue sayang banget sama kalian …” ucap Zeya menatap kedua sahabatnya.

“Ih geli.”

“ANJIR LU!” Balas Zeya pada Mima membuat mereka lagi-lagi tertawa.

Suasana di tempat bertuliskan angka romawi XXI itu cukup ramai hari ini, sebab katanya ada beberapa film terbaru yang sedang tayang, sehingga banyak sekali orang berdatangab termasuk Zeya dan Deva.

Zeya menyeruput soda miliknya yang tadi ia beli, dan di hadapannya ada Deva juga yang tengah memainkan ponsel sambil memakan pop corn.

“Jam berapa mulai?” Tanya Zeya pada Deva.

“Lima be—“ belum sempat Deva menyelesaikan kalimatnya, suara pengumuman perihal pintu teater yang sudah dibuka terdengar. Membuat orang-orang termasuk Zeya dan Deva langsung beranjak memasuki studio yang tertera di dalam tiket mereka.

Zeya dan Deva duduk di barisan kursi C di atas. Ramai sekali orang di dalam sana. Namun untungnya tempat yang mereka dapatnya cukup kosong, sehingga Zeya dan Deva cukup leluasa.

Jujur saja, Zeya merasa sangat canggung, jantungnya bahkan berdegup tak karuan. Zeya benar-benar menyukai Deva.

Walau dari luar Zeya terlihat dingin dan cuek, tapi dalam hati ia benar-benar merasa takut. Takut jika ia tidak disukai oleh Deva.

“Kata si Bima ini film seru sih,” ucap Deva tiba-tiba ketika menit pertama film dimulai.

“Gue jarang nonton sih sebenernya, Dev,” balas Zeya membuat Deva menoleh dan terkekeh.

“Gapapa gue juga kok.”

Demi apapun, di sana gelap, tetapi Zeya bisa melihat jelas sorot mata Deva.

Jantung Zeya kembali berdegup tidak karuan. Bahkan berkali-kali ia membatin agar dirinya bisa mengontrol ekspresi wajahnya yang sepertinya memerah.

Hening, mereka berdua fokus menyaksikan film. Di tengah-tengah mereka ada pop corn berukuran sedang.

“Lo terakhir nonton kapan, Dev?” Tanya Zeya berbisik.

“Lupa gue,” jawab Deva terkekeh.

Deva fokus menyaksikan film itu, terkadang ia angkat bicara ketika merasa aneh dengan adegan film yang tengah ia tonton. Membuat Zeya diam-dian tersenyum.

Dalam kegelapan itu, sesekali mata Zeya tak henti melirik Deva yang tengah fokus menonton.

Zeya benar-benar menyukai Deva.

“Anjir!” ucap Deva pelan ketika ia merasa terkejut dengan beberapa adegan.

Zeya hanya tekekeh pelan dan berusaha mengontrol rait wajahnya.

“Diem jangan berisik!” tegur Zeya membuat Deva terkekeh pelan.

“Ya maaf.”

“Wah ini kalo gue jadi nonton sama Sena kayaknya gue bakal nyesel anjir milih film ini,” ucap Deva dengan mata yang fokus menatap film sambil memakan pop corn dengan lahap.

Jantung Zeya terasa mencelos ketika mendengar ucapan Deva.

Zeya menoleh pada Deva.

Entah Deva sadar atau tidak dengan ucapannya, tetapi lelaki itu malah terus asik menyaksikan film tanpa tahu jika sekarang Zeya tengah menahan sesak.

”Jadi awalnya mau nonton sama Sena?” Zeya membatin.

“Dev …,” ucap Zeya pelan.

“Hmm?” balas Deva tanpa menoleh.

“Gue ke toilet dulu, ya.”

Mendengar itu Deva menoleh dan mengangguk. “Oke Zey.”

Lantas setelah itu Zeya pergi dari sana meninggalkan Deva. Dan Zeya menangis di dalam toilet sendirian.

Zeya pikir, hari ini merupakan haru bahagia untuk Zeya. Tapi ternyata salah, semuanya salah. Bahkan ekspektasi Zeya sebelumnya pun salah.

“Kenapa gue selalu dijadiin opsi kedua terus, ya? Haha,” gumam Zeya sambil mengusap air matanya.

Jadi, sampai kapan kita akan bersama? Sampai rambut kita sama-sama menua, kan?

Mungkin, bagi sebagian orang, makan malam dan berkumpul bersama di ruang keluarga setiap malam adalah hal yang biasa saja. Bahkan mungkin, banyak orang yang menganggap jika itu tidak penting.

Perjalanan waktu merupakan satu hal yang tidak akan pernah bisa diulang. Dan terkadang secara tidak sadar, orang-orang banyak sekali menghabiskan waktunya untuk hal yang sia-sia tanpa pernah berpikir jika satu detik itu sangat berharga.

Kata kebanyakan orang, waktu itu adalah uang. Tapi bagi Haikal, waktu itu adalah sesuatu yang tiap detiknya adalah anugerah.

Setiap detik yang ia lalui, ia menganggap itu adalah anugerah yang tidak seharusnya ia abaikan.

Berbicara mengenai waktu. Ternyata sudah banyak sekali hal yang dilalui, termasuk oleh Haikal.

Dulu, jika diingat, Haikal hanyalah seorang anak laki-laki yang masih cukup kesulitan untuk mencari tujuan hidupnya. Anak lelaki yang dipaksa dewasa oleh keadaan. Anak lelaki yang kehilangan arah. Dan anak laki-laki yang hanya ingin dianggap ada dan berharga.

Terlalu banyak luka yang Haikal rasakan kala itu, ketika ia belum tahu jika di masa depan ia akan sangat begitu beruntung perihal dunianya.

Iya benar, sekarang Haikal beruntung sebab ia dikelilingi orang-orang yang menyayangijya dengan begitu hebat. Seperti sekarang contohnya.

Haikal bersama dengan perempuannya, dan juga kedua anak kesayangannya tengah berkumpul di ruang keluarga dengan suara gelak tawa yang tiada henti.

“Ayah! Jangan nyusul adek!” Jinan berteriak sambil memukul pelan kaki Haikal.

Ayah beranak dua itu hanya tertawa dan semakin jahil.

Saat ini, Haikal dan Jinan tengah fokus bermain game balapan di layar televisi.

Haikal lagi-lagi tertawa ketika melihat raut wajah si bungsu yang mengerut.

Di samping Haikal ada Ralita yang tengah memotong buah mangga. Perempuan itu hanya menggeleng.

“Jangan jail ih,” ucapnya membuat Haikal hanya menyerengeh.

“Mau dong,” ucap Haikal menunjuk pada potongan buah di piring.

Ralita hanya terkekeh kemudian menyuapi Haikal dengan telaten.

“Adek juga mau, Bu.” Jinan bangkit dari duduknya lalu mendekat ke arah Ralita.

Lagi-lagi Ralita hanya terkekeh. “Nih,” ucap Ralita yang kemudian menyuapi Jinan.

Perempuan itu menggeleng ketika menyadari jika Haikal dan Jinan mempunyai sifat manja yang sangat mirip. Bahkan tak jarang mereka bertengkar selayaknya kakak dan adik.

Ralita diam-diam memperhatikan kedua orang itu. Kemudian ia tersenyum.

Rasanya benar-benar sehangat itu mempunyai mereka di hidup Ralita.

Waktu menunjukan pukul setengah delapan malam. Bukannya semakin sunyi, suasana di rumah Haikal dan Ralita malah semakin terasa hangat dan menyenangkan. Apalagi sekarang Haikal tengah mengajarkan Jinan dan Caca bermain catur.

“Dahlah, Kakak gak ngerti,” ucap Caca menyerah membuat Haikal tertawa.

“Eh, Ayah tadi bilang apa? Kalau nyerah lebih dulu harus diputihin wajahnya pake bedak, terus harus foto,” ucap Haikal membuat Caca cemberut.

“Ibu liat nih si Ayah licik,” rengek Caca pada Ralita membuat Haikal semakin tertawa.

“Sini muka Kakak, Ayah bedakin, haha,” ucap Haikal sambil membalur wajah Caca dengan bedak putih membuat Caca merengek namun kemudian ia tertawa keras ketika melihat wajahnya di cermin.

“JELEK BANGET KAK CACA, HAHA,” ucap Jinan membuat Caca melotot padanya.

“Nanti Kak Adip gak jadi nemb—“

“ADEK!” Caca panik ketika mendengar Jinan menyebut nama itu.

Haikal mengerutkan keningnya. “Cie, Adip siapa nih, Kak?” Tanya Haikal pada Caca.

Caca mengarahkan pandangannya pada Ralita, kemudian dalam hari ia menyumpah serapahi Jinan.

Pasalnya, Caca tidak pernah berani membicarakan tentang laki-laki kepada Ayahnya ini.

Apalagi sejak dulu, Haikal selalu mengatakan jika Haikal tidak ingin Caca patah hati karena memilih lelaki yang salah.

“Pacar Kakak?” Tanya Haikal lagi membuat Caca buru-buru menggeleng takut dimarahi.

“Bukan!”

Haikal menyipitkan matanya. “Kok gak bilang Ayah kalo punya pacar?” Tanya Haikal.

“Ih bukan ayah,” sangkal Caca membuat Ralita diam-diam tertawa pelan.

“Bukan kan, Bu? Kakak gak punya pacar ih ayah,” ucap Caca lagi.

Haikal menghela napasnya. “Sini Kakak,” ucap Haikal menyuruh Caca mendekat.

Caca kemudian mendekat dan duduk di hadapan Haikal.

Haikal menatap anak perempuannya hangat.

“Kenapa Kakak? Kok kayak takut?” Tanya Haikal.

Haikal terkekeh kemudian tangannya bergerak mengusap wajah anak perempuannya.

“Kakak beneran udah punya pacar?” Tanya Haikal.

“Enggak Ayah, Kakak cuma deket aja, hehe,” ucap Caca.

Ralita hanya memperhatikan percakapan Ayah dan Anak itu. Terlihat oleh Ralita tatapan hangat Haikal pada anak perempuannya.

Jemari Haikal mengusap rambut Caca. “Gapapa Kakak,” ucap Haikal.

“Memang Ayah pernah bilang kalau Kakak gak boleh pacaran?”

Caca menggeleng.

Haikal terkekeh kemudian mengacak pelan pucuk kepala Caca.

“Denger, Ayah gak marah kok. Asal Kakak harus janji, ya, sama Ayah. Sekiranya apa yang Kakak suka itu bikin sakit, tolong jangan diterusin, ya?”

“Ayah gak mau anak perempuan Ayah yang cantik nangis cuma gara-gara cowok,” ucap Haikal.

Caca menatap Haikal, kemudian ia tersenyum. “Jadi Ayah gak marah kalo Kakak deket sama cowok?”

“Marah, kalo cowoknya nyakitin anak ayah, nanti ayah ajak berantem!” ucap Haikal membuat Caca dan Ralita tertawa.

“Berantem, berantem aja, udah tua,” sahut Ralita membuat Haikal menatapnya.

“Ayahmu ini emang suka ribut dari dulu,” ucapnya lagi membuat Jinan segera beranjak dan mendekat pada Ralita.

“Kayak Adek, Bu?” Sahut Jinan membuat Caca meledeknya.

“Kayak Adek apaan, berantem sama Kakak aja kamu ngadu ke Ibu,” ucap Caca menyahuti Jinan.

Jinan hanya berdecih. “Beda urusan!”

“Bocah freak!” ucap Caca sambil menatap Jinan membuat Haikal terkekeh.

“Heh jangan gitu ke Adeknya,” sahut Haikal.

“Dah ah Kakak mau ke kamar dulu, makasih Ayah!” ucap Caca yang kemudian memeluk Haikal membuat Haikal terkekeh.

“Gih istirahat, Adek juga sana istirahat,” ucap Haikal membuat Jinan mengangguk dan segera memeluk Ralita.

“Dadah Ibu, Adek ke kamar dulu,” ucap Jinan yang kemudian mencium pipi Ralita.

“Ayah gak dicium?”

Jinan terkekeh kemudian ia pun menghampiri Haikal. “Good night Ayah!” Jinan memeluk Haikal membuat Haikal tersenyum.

Setelah itu Jinan pergi dari ruang keluarnya mengikuti Caca, meninggalkan Haikal dan Ralita.

Sepeninggalan kedua anaknya, Haikal pun beranjak dan duduk di samping Ralita.

“Haduh,” ucap Haikal merebahkan tubuhnya bersandar di samping Ralita.

Ralita kemudian menyandarkan kepalanya di pundak Haikal.

Haikal menatap Ralita. “Kenapa cantik?” Tanya Haikal.

Ralita hanya menggeleng kemudian jemarinya bergerak menggenggam jemari Haikal yang ukurannya lebih besar dari telapak tangan Ralita.

Ralita mengusap tangan lelakinya itu. Terlihat kulit yang mulai mengeriput, tidak sekekar dahulu.

Haikal memperhatikan Ralita, sebelah tangannya mengusap kepala Ralita lembut.

“Anak-anak udah mulai dewasa, ya, Ta. Perasaan baru kemarin aku ngajarin Caca sama Jinan jalan,” ucap Haikal membuat Ralita tersenyum.

“Masa mau kecil terus?”

Haikal terkekeh. “Anak-anak makin dewasa, dan kita makin menua, Ta.”

Ralita terdiam mendengarkan ucapan Haikal.

“Kita, bakal terus sehat kan, ya, Ta? Sampai anak-anak punya hidup masing-masing.”

Ralita menengadah menatap Haikal yang juga menatapnya.

“Iya,” ucap Ralita.

“Jadi, kamu kalo aku suruh jangan ngopi terus itu nurut, biar sehat,” ucap Ralita membuat Haikal tertawa.

“Kok jadi kopi?”

“Ya lagian kamu makin tua makin sering minum kopi,” ucapnya.

Haikal tergelak. “Yaudah sayang maaf,” ucap Haikal mengacak pelan rambut perempuannya.

Ralita hanya tersenyum kemudian Ralita memeluk Haikal dari samping dengan erat.

“Ta …,” panggil Haikal.

“Hmm?”

“Makasih banyak, ya?”

Ralita terkekeh. “Makasih buat apalagi, Kal?”

Haikal mengangkat bahunya. “Gak tau, makasih aja pokoknya.”

Lagi, Ralita kembali terkekeh. “Dasar,” jawab Ralita yang kembali mengeratkan pelukannya pada Haikal.

Ralita menyesap aroma tubuh lelaki itu. Sama seperti dulu, tidak pernah berubah. Dan Ralita menyukainya.

Haikal tersenyum ketika memperhatikan Ralita yang tengah memeluknya. Tubuh perempuan itu seakan tenggelam dalam pelukan Haikal.

Jemari Haikal kembali bergerak mengusap Ralita lembut.

Haikal kemudian membenarkan posisinya dan kemudian ia pun memeluk Ralita.

Hangat, selalu hangat.

“Cantik banget ini, istrinya siapa?” ucap Haikal sambil mengusap dan memperhatikan Ralita.

Ralita hanya terkekeh pelan. “Istri kamu,” jawab Ralita membuat Haikal tergelak.

Haikal mengeratkan pelukannya sangat erat. Berkali-kali juga Haikal mengecup kening Ralita.

”Cantik, cantik, cantik.”

Mendengar itu Ralita hanya tersenyum dalam pelukan Haikal.

Sungguh, baik Haikal dan Ralita, mereka benar-benar beruntung sebab mereka saling melengkapi.

Tidak banyak yang Haikal minta, tidak banyak juga yang Ralita minta.

Mereka, hanya ingin bersama, sampai nanti mereka sama-sama menua. Sampai umur mereka sembilan puluh, rambut mereka sama-sama memutih. Walau mungkin akan banyak kerikil terjal nantinya. Tapi mereka percaya, semua akan baik-baik saja.

Mereka hanya ingin bersama sampai akhirnya nanti mereka beristirahat di rumah yang sama.

Ralita aman bersama Haikal, dan Haikal nyaman bersama Ralita.

Dan lagi, dari sekian banyaknya waktu yang akan dilalui. Semoga hal-hal baik tetap ada di sekitar mereka. Dan kebahagiaan akan selalu datang kepada mereka.

Setiap detik yang akan dihabiskan, mereka berdua hanya berdoa, semoga semua berjalan sesuai rencana.

Tumbuh dengan saling mencintai satu sama lain, menyaksikan anak-anaknya tumbuh dewasa.

Selamanya, sampai menua.