Jjaejaepeach

Mata lelaki itu tak lepas memperhatikan pergerakan perempuan di hadapannya yang tengah menyiapkan makan di meja.

“Nih,” ucapnya yang langsung di ambil alih oleh Deva.

Zeya—perempuan itu pun duduk berhadapan dengan Deva yang tengah menatapnya.

“Makan dulu, nanti abis ini baru ngomong,” ucap Zeya yang juga langsung bersiap untuk makan.

Deva menghela napasnya, kemudian ia pun menuruti perkataan Zeya.

Mereka berdua bungkam, hanya ada suara sendok dan piring yang beradu. Sesekali Deva melirik pada Zeya. Terlihat jelas oleh Deva wajah sembab perempuan itu.

Hampir lima belas menit mereka makan, hingga akhirnya Zeya beranjak untuk membersihkan piringnya.

Baru saja Deva akan menyusul, Zeya buru-buru menginstrupsi agar Deva duduk saja.

“Diem aja, nanti gue yang beresin.”

Deva lagi-lagi hanya menurut.

Sekitar lima menit berlalu, akhirnya Zeya selesai dengan kegiatannya.

Zeya melangkahkan kakinya ke arah halaman belakang dan duduk di kursi yang mengarah ke pemandangan belakang rumahnya.

Deva menyusul dan memilih duduk di samping Zeya.

Dingin, cuaca disini sangat dingin.

Deva menatap Zeya yang tengah fokus memperhatikan langit.

Terdengar helaan napas dari perempuan itu sebelum akhirnya ia angkat bicara. “Jelasin Dev, semuanya. Gue dengerin.”

Deva sedikit terkejut ketika mendengar ucapan Zeya yang langsung pada inti permasalahannya.

Deva menatap Zeya sejenak sebelum akhirnya ia menjelaskan semuanya.

“Sebelumnya aku minta maaf, ya? Karena semua ini pun salahku,” ucap Deva.

Zeya hanya diam membiarkan Deva menjelaskan semuanya.

Deva mengubah posisinya menghadap Zeya kemudian ia pun menjelaskan semuanya.

“Waktu itu awalnya pas kita lagi libur semester, pas kamu pulang ke rumah …,” jelas Deva.

“Aku lagi jalan, waktu itu aku lupa kenapa aku tiba-tiba langsung keinget tanggal ulang tahun kamu.”

“Dari situ pas aku nyampe kosan, aku iseng aja stalking akun kamu, terus aku nemu foto kamu sama Sena terus Mima tahun lalu waktu lagi rayain ulang tahun. Dari situ aku kepikiran buat nanyain apa aja yang kamu suka ke Mima. Dan kenapa aku ke Mima, karena waktu itu aku mikir, cuma sama Mima aja aku gak pernah ada urusan apa-apa.”

Zeya menatap Deva sekilas.

“Iya aku akuin kalo disini aku emang salah banget karena aku setuju-setuju aja sama apa yang Mima bilang. Dia yang ngasih ide buat kayak gini, karena Mima bilang kamu setakut itu kehilangan aku.”

Deva menunduk. “Maaf aku salah disini, karena gak mikir panjang akibat ke depannya.”

Deva menghela napasnya. “Dan setelah itu, Mima jadi suka chat buat sekedar nyaranin atau ngasih tau hal-hal apa aja yang kamu suka.”

Zeya menghela napasnya.

“Jujur, aku sama sekali gak ada niat buat bohongin kamu apalagi selingkuh, Demi Tuhan.”

“Dan juga, aku jalan beberapa kali buat beli hadiah persiapan ulang tahun kamu. Tapi sumpah, akungak ngapa-ngapain. Terus perihal foto, itu dia emang bilang kalau sengaja biar bikin kamu marah, dan bodohnya aku iya-iya aja. Tapi aku beneran gak tau kalau bakal diposting dan Mima bilang seolah-olah itu foto dia sama pacarnya. Aku bodoh, tolol juga, kamu pantes banget kalau sekarang mau nampar aku. Karena aku bener-bener salah disini. Aku minta maaf juga karena waktu itu aku juga sempet ketemu Mima, karena Mima minta tolong buat beli makan malam-malam. Disini aku beneran ngaku salah, karena gak seharusnya aku kayak gitu.”

“Kapan?” Tanya Zeya.

“Apanya?”

“Mima minta tolong nganter nyari makan.”

Deva berpikir sejenak. “Waktu kamu masih di rumah.”

Zeya tersenyum tipis.

Jadi Mima bohong? Pasalnya waktu itu Mima bilang dia pun pulang ke rumah, tapi ternyata tidak?

Zeya menghela napasnya.

Jujur saja, rasanya sesak sekali.

Iya, Zeya tahu, jika ini pun bukan murni kesalahan Deva, tapi kenapa setiap kali melihat Deva, kejadian itu tiba-tiba saja terlintas di pikiran Zeya.

“Terus apalagi?” Tanya Zeya yang kini memainkan kuku jarinya.

Deva meraih jemari Zeya. “Dan untuk masalah kemarin …”

“Demi Tuhan Zey, aku sama sekali gak ada niat buat lakuin itu. Aku sendiri bahkan kaget.”

“Maaf kalau kemarin aku malah diem seolah aku sengaja.”

“Enggak gak gitu, aku cuma kaget sama apa yang Mima lakuin.”

“Please aku mohon percay—“

“Iya,” Zeya memotong ucapan Deva.

“Aku percaya,” ucapnya sambil menarik napasnya dalam.

Zeya menatap Deva, matanya bahkan terlihat berkaca-kaca.

Zeya berusaha tersenyum, lantas ia mengusap Deva. “Makasih udah datang ke sini, makasih juga udah jelasin panjang lebar.”

“Maaf kalau kemarin aku ngehindar, aku cuma perlu waktu.”

Deva mengangguk, ia lantas menggenggam erat jemari Zeya.

“Jadi kita baik—“

“Dev,” lagi-lagi Zeya memotong ucapan Deva.

“Sekarang giliran aku yang ngomong,” ucapnya.

Demi apapun, jantung Deva benar-benar tidak karuan saat ini.

Zeya menatap Deva, kemudian terdengar lagi helaan napas dari perempuan itu.

“Kita selesai, ya?”

Deg!

Jantung Deva mencelos mendengar ucapan Zeya.

“Sayang …,” ucap Deva lirih. “Jangan becanda gini …”

“Kamu udah gak percaya lagi? Zey please jangan gini …”

Zeya menatap Deva kemudian jemarinya bergerak mengusap wajah lelaki itu.

“Percaya kok, tapi kayaknya lebih baik kita udahan aja,” ucap Zeya sambil berusaha menahan tangisnya.

“Tapi kenapa? Kita masih bisa perbaikin ini. Please jangan gini …,” pinta Deva menggenggam erat jemari Zeya.

Zeya menunduk, ia berusaha keras menahan tangisnya agar tidak keluar.

“Aku percaya kamu kok, cuma untuk sekarang kayaknya lebih baik kita sampai disini aja, Dev. Maaf …”

“Bukan karena aku gak percaya, aku beneran percaya sama apa yang kamu bilang. Tapi setelah aku pikir lagi, disini aku terlalu ngerasa sakit.”

“Setiap kali aku liat kamu, kejadian kemarin terus aja ada di otak aku Dev, dan aku benci itu.”

Zeya menarik napasnya dalam berusaha meredakan sesaknya.

“Dan juga Dev …”

I have to go

“Kemana Zey? Pergi kemana? Kenapa tiba-tiba gini …”

Zeya menggeleng. “Gak ada yang tiba-tiba, ini udah ada di rencana. Dan setelah aku pikir, lebih baik kita selesai Dev, aku gak mau nanti kalau makin lama, perasaan aku ke kamu makin besar, aku takut buat ngambil langkah ini.”

Zeya lagi-lagi menatap Deva. “Lagian hubungan kita juga belum selama itu, kan?”

“Dan setelah dipikir lagi, aku gak sebaik itu. Masih banyak kurangnya Dev buat kamu.”

“Aku gak kayak orang lain, bahkan kadang omongan aja aku masih nyablak gini. Kadang aku juga malu dan takut sama diriku sendiri Dev.”

“Kamu baik banget, dan aku pikir juga selama ini aku yang terlalu berlebihan sayang sama kamu. Dan kalau boleh dibilang, aku juga mungkin disini yang hancurin harapan kamu buat dapet Sena.”

Zeya kembali menunduk. “Maaf ya Dev karena aku tiba-tiba aja hadir, padahal udah jelas kalau waktu itu hati kamu bukan buat aku. Disini aku yang gak tau diri, dan bodohnya aku baru sadar, maaf …”

Deva menggeleng berkali-kali, ua kemudian menarik Zeya ke dalam oelukannya. “Jangan gini, jangan gini …”

“Aku dayang banget sama kamu Zey, jangan udahan.”

“Gapapa kalau misal kamu mau pergi, entah itu buat ngejar cita-cita atau hal lainnya, aku gak masalah. Tapi please jangan kemana-mana.”

“Aku beneran sayang kamu Zey, sesayang itu aku sama kamu.”

“Maaf, maaf kalau aku nyakitin kamu, maafin aku …,” lirih Deva mengeratkan pelukannya.

Zeya menangis dalam pelukan Deva, kemudian tak lama Zeya melepaskan pelukannya.

“Sebelum makin jauh dan terlalu dalam Dev, ya?”

Zeya tersenyum. “Kita masih bisa temenan kok,” ucapnya.

“Biar nanti gak terlalu sakit baik di aku atau kamu.”

Deva mengalihkan pandangannya untuk menahan tangis.

“Jadi, kita sampai disini aja, ya?”

“Cari yang lebih baik, yang mungkin rasanya lebih besar dari aku.”

“Kita masih bisa temenan kok, aku janji …,” ucap Zeya yang kini mengusap pundak Deva.

Deva menatap Zeya.

“Kamu mau pergi kemana nanti?”

Zeya tersenyum. “Ikut Abang …”

Deva menunduk menahan tangisnya.

“Emang gak bisa ya kita terus sama-sama, Zey?”

Zeya terdiam sejenak.

“Zey …”

Zeya menatap Deva, kemudian ia menggeleng pelan. “Maaf Dev …”

Deva mengacak rambutnya frustasi, demi apapun rasanya terlalu sesak.

Tapi mau bagaimana lagi? Bahkan jika Deva memohon sambil merangkak pun, keputusan Zeya tidak akan pernah berubah.

Maka dari itu yang Deva lakukan saat ini adalah memeluk Zeya erat, sebelum nantinya mereka kembali pada keadaan dulu, dimana keduanya tidak mempunyai status apapun.

“Kita baru sebentar tapi aku sayang banget sama kamu,” ucap Deva.

Dalam pelukan itu Zeya mengangguk. “Aku juga …”

Deva menarik napasnya dalam, Deva lantas melepaskan pelukannya dan menatap Zeya lama.

Deva hanya bisa tersenyum tipis. Dan kemudian jemari Deva mengusap wajah Zeya lembut.

“Kalau itu mau kamu, oke aku terima. Makasih ya udah mau jujur perihal perasaan dan keadaan kamu.”

Deva terkekeh pelan. Ia kembali menatap wajah Zeya.

“Kalau gitu, hati-hati, ya? semoga apapun jalan yang kamu ambil, itu yang terbaik,” ucap Deva tersenyum sebelum akhirnya ia beranjak dari duduknya.

Sebelum benar-benar pergi Deva kembali menatap Zeya. “Boleh meluk, gak? Sekali lagi …,” pintanya.

Zeya menatap Deva lantas ia mengangguk.

Keduanya pun saling memeluk, erat, sangat erat.

“Hati-hati di jalan Dev …,” ucap Zeya berbisik.

Zeya menghela napasnya ketika ia baru saja mengirim cuitan twitter.

Padahal dari tadi yang Zeya lakukan hanya duduk sambil memainkan ponsel, tapi rasanya kenapa lelah sekali?

Zeya terdiam sejenak sampai akhirnya tiba-tiba saja air matanya keluar tak bisa ditahan.

Perempuan itu lantas menangis sangat keras di ruang tengah sambil melemparkan ponselnya asal. Ia memeluk tubuhnya sendiri.

Sungguh, ini sangat sakit sekali.

Bukannya apa-apa tapi Zeya merasa dirinya sangat payah. Ia bahkan tidak pernah menyangka jika ia akan bertengkar seperti ini dengan Mima—sahabatnya.

Zeya menangis kencang, dadanya sesak. Apalagi ketika tiba-tiba saja adegan kejadian dimana Mima mencium Deva terlintas. Zeya benci itu.

Berkali-kali Zeya memukuk kepalanya supaya ingatan itu hilang dari kepalanya, namun tetap saja tidak bisa.

Demi apapun, kalau saja bukan Mima, Zeya tidak akan merasa sekecewa itu. Tapi ini Mima, sahabat baiknya. Orang yang sudah Zeya percaya, orang yang Zeya anggap saudara dan bahkan Zeya rela melakukan apapun untuk Mima selama ini.

Tidak pernah sekalipun Zeya membiarkan Mima atau Sena mengalami kesulitan. Bahkan ketika para sahabatnya itu merasa sakit, Zeya akan maju paling depan untuk membentengi rasa sakit itu.

Jujur, dari sekian banyak hal yang membuat kecewa hari ini, Zeya lebih kecewa terhadap Mima dan dirinya sendiri.

Zeya tidak mau seperti ini, tapi hatinya tidak bisa berbohong kalau dirinya benar-benar merasa sakit. Apalagi mengingat jika Deva adalah laki-laki pertama yang Zeya percayai untuk menjalin hubungan.

Zeya kecewa, pada Mima, Deva, dan semuanya.

“Heh, kok nangis?” Tiba-tiba saja Damar—kakak laki-laki Zeya datang dari arah dapur.

Lelaki itu keheranan melihat adik perempuannya menangis.

Tanpa pikir panjang Zeya langsung saja memeluk Damar.

“Abang … sakit banget,” isak Zeya memeluk Damar erat.

Damar terdiam sejenak karena terkejut, namun akhirnya ia pun menghela napasnya dan mengusap pelan pucuk kepala Zeya.

“Kamu kenapa?”

Zeya semakin menangis, ia mengeratkan pelukannya.

Damar hanya bisa terdiam, karena jika sudah seperti ini Zeya benar-benar sedang merasa sakit. Maka dari itu yang Damar lakukan hanya memeluk dan mengusap sayang sang Adik tanpa bertanya lagi.

“Iya gapapa nangis aja, ada Abang disini …”

Zeya terisak lagi.

“Abang sakit banget, rasanya sakit banget.”

“Iya nangis aja gapapa,” ucap Damar yang kemudian mengecup pelan kening Zeya.

Damar menghela napasnya.

“Abang gak bakal nanya kamu kenapa. Tapi, kalau ada yang nyakitin kamu, jangan diem aja, ya? Abang gak mau kamu disakitin gitu aja sama orang lain.”

“Abang sama Ayah selalu ngasih kamu bahagia, masa orang lain nyakitin kamu?”

Zeya semakin terisak.

“Maaf ya kalo Abang sibuk kerja sampai gak tau kalau Adik Abang lagi kayak gini.”

“Sekarang Adek nangis aja gapapa, kalau udah baikan nanti cerita sama Abang, ya?”

“Ab—“

Baru saja Damar akan berbicara, ucapannya terpotong ketika mendengar bel masuk.

Buru-buru Damar beranjak dan memeriksa siapa yang datang.

Alis lelaki itu terangkat ketika melihat siapa yang datang.

“Bang, ada Zey—“

“Oh jadi lo yang bikin Adek gue nangis?”

Tanpa aba-aba Damar langsung saja melayangkan pukulan pada Deva.

“Anjing lo.”

“Dari awal gue bilang jangan nyakitin Ade—“

“ABANG!” Tiba-tiba saja Zeya berteriak dan berusaha menarik Damar dari tubuh Deva.

Napas Damar tak beraturan.

Zeya langsung saja menghampiri Deva dan membantunya berdiri.

Zeya menatap Deva sekilas.

“Zey …,” lirih Deva meraih tangab Zeya.

“Pulang,” ucap Zeya tanpa basa-basi pada Deva.

“Zey dengerin dulu.”

“Izinin aku jelasin, ya?” Pinta Deva.

“Pulang, Dev.”

Deva menggeleng. “Please den—“

We’re done, kita udah selesai.”

Lagi-lagi Deva menggeleng. “Enggak Ze—“

“GUE BILANG PULANG! KITA UDAH SELESAI!” Teriak Zeya.

“Gue gak mau liat muka lo.”

“Pulang Dev.”

Zeya benar-benar enggan menatap Deva.

“Dengar gak? Balik!” Sambung Damar sebelum akhirnya ia menutup pintu dan membiarkan Deva sendirian di luar.

Zeya kembali menangis dipelukan Damar.

“Abang sakit …”

Deva menyusul Zeya yang kini tengah berdiri di pinggir jalan menunggu taxi.

“ZEY!” Teriak Deva.

Seolah tuli, Zeya mengabaikan Deva yang kini sudah mendekat ke arahnya.

Deva meraih tangah Zeya namun perempuan itu menepisnya.

“Denger dulu, bukan gitu. Beneran aku juga kaget sayang please …,” lirih Deva berusaha menjelaskan.

Zeya menahan tangisnya.

Ia benar-benar sakit hati ketika tadi melihat Mima yang mencium Deva begitu saja dan juga respon Deva yang hanya terdiam.

“Aku beneran gak ada niat kayak gitu, denger d—“

Ucapan Deva terpotong ketika Zeya menoleh padanya.

Terlihat wajah Zeya yang sudah membengkak.

Zeya manatap Deva, dan ia menangis.

“Gue salah apa sih sama lo, Dev”

“Sayang gak gi—“

“Lo tau gak?”

“Ini ulang tahun terburuk yang pernah gue dapetin. Makasih, ya?” ucap Zeya yang kemudian berusaha melepaskan genggaman Deva.

“Kita udahan aja Dev, gue gak mau. Lo semua ngegampangin banget perasaan orang, gue gak suka.”

“Udahan aja, terserah lo abis ini mau ngapain sama Mima atau sama siapapun juga, gak peduli gue,” ucap Zeya sebelum akhirnya ia pergi ketika Taxi pesanannya datang.

“Zey!” Deva berteriak frustasi, Deva menangis ketika melihat Zeya yang pergi begitu saja.

Tidak, bukan seperti ini seharusnya.

Padahal Deva sudah menyiapkan segalanya dengan baik, ia bahkan membeli sebuah cincin untuk Zeya.

Deva menjatuhkan tubuhnya dan mengumpat pada dirinya sendiri.

Lantas tiba-tiba saja Mima datang.

“Dev maaf, karena gue semuanya hancur, maafin gue Dev …,” lirih Mima yang kemudian memeluk Deva berusaha menenangkannya.

U

Dengan napasnya yang memberat Zeya sebisa mungkin menahan tangisnya selama perjalanan bersama Bima.

Selama perjalanan itu Bima sesekali melirik Zeya.

Butuh waktu hampir sepuluh menit hingga akhirnya mereka sampai di suatu tempat.

Zeya terdiam sejenak. “Ini kenapa ke apart? Tempat siapa?”

Bima tak menjawab, dia langsung saja turun diikuti oleh Zeya.

Demi apapun, jantung Zeya benar-benar berdetak tak karuan. Pikirannya benar-benar liar saat ini.

Lift berhenti di lantai bernomor sembilan, Bima masih tak berbicara, ia terus berjalan diikuti Zeya.

“Bim.”

Bima melirik Zeya.

“Mereka di dalam,” ucap Bima membuat Zeya manahan napasnya.

“Gue disini aja,” lanjut Bima.

“Kodenya tanggal lahir Mima,” ucap Bima lagi.

Demi apapun, saat ini Zeya mengumpat dalam hati berkali-kali.

Zeya memencet tanggal lahir Mima guna membuka sandi pintu itu, dan benar saja pintu itu terbuka.

Zeya menahan napasnya, air matanya bahkan tertahan di ujung matanya.

“Dev …,” ucap Zeya.

“Deva …,” lagi, Zeya memanggil Deva.

Perempuan itu berjalan menyusuri setiap sudut tempat itu.

Langkah kaki Zeya terhenti ketika melihat sebuah hoodie berwarna abu-abu yang tergeletak di sofa, ia raih hoodie itu dan benar saja. Itu milik Deva, Seya sangat hapal wanginya.

Napas Zeya memburu, ia tidka bisa menahannya lagi.

“DEVA MIMA! KELUAR LO BERDUA!” Teriaknya lagi.

Zeya berjalan kesana kemari, sampai akhirnya ia berhenti ketika melihat Deva dan Mima tengah berduaan di halaman belakang.

Napas Zeya memburu. Ia buru-buru menghampiri Deva dan Mima.

“HAPPY BIRTHDAY TO YOU!” tiba-tiba saja dari arah samping ada Sena, Jeano, dan Bima, serta Raka yang datang sambil membawa kue dan menyanyikan lagi selamat ulang tahun pada Zeya.

Zeya benar-benar terpaku, ia seolah tuli, matanya fokus kepada dua orang di hadapannya yang kini terlihat gelagapan dengan raut wajah terkejut ya.

“ANJING LO!” Teriak Zeya ketika tadi ia melihat Mima dan Deva berciuman.

Semua orang menoleh ke arah Deva dan Mima, Jeano yang tadinya sangat girang langsung terdiam. Bingung.

Mima buru-buru berdiri dan menjauhkan tubuhnya dari Deva dan segera menghampiri Zeya.

Mata Zeya memerah, ia menahan napasnya.

Deva pun segera menghampiri Zeya.

Sena terdiam, ia menatap Mima tak percaya.

“Zey sumpah ini gak kayak yang lo liat,” ucap Mima meraih tangah Zeya.

Zeya menangis namun ia tetap tersenyum dan menatap Mima sinis.

Tanpa berpikir panjang Mima langsung saja menampar Mima.

“Lo anjing, lo juga!” umpat Zeya menunjuk Deva dan Mima secara bergantian.

“Sayang gak gitu, in—“

Napas Zeya memburu, ia memotong ucapan Deva.

“Biar apa kayak gini?”

Zeya kembali mengarahkan pandangannya ke arah teman-temannya.

“Lucu?”

“Lo pikir semua ini lucu?”

Semua orang terdiam.

“GUE NAHAN KETAKUTAN GUE SENDIRIAN DAN LO SEMUA NGELAKUINNYA CUMA BUAT KAYAK GINI?”

“DAN LO LIAT SENDIRI, TEMEN LO MALAH CIUMAN ANJING!” Teriak Zeya tak kuasa menahan amarahnya.

Mima menunduk.

Deva menarik rambutnya frustasi.

“Denger du—“

“LO DIEM!” Teriak Zeya pada Deva.

Zeya manatap Mima. “Lo enak banget ya? Niat mau ngasih kejutan buat gue tapi malah punya kesempatan buat nyium Deva?”

“Lo sadar gak sih Mim? Kalo Deva itu pacar gue?”

“Lo bego apa emang pura-pura bego?”

Mima menggeleng, ia berusaha meraih tangan Zeya.

“Zey dengerin gue, gue gak maksud, gu—“

“Apa?”

“Mau alesan apa? Kebawa suasana? Hahaha tai!”

Demi apapun Zeya benar-benar marah saat ini.

“Lo berdua udah gue percaya banget, tapi kenapa gini?”

“Lo sengaja, Dev?”

Deva terdiam ia berusaha mendekat namun Zeya menepisnya.

“Sayang de—“

“Udahan aja Dev, gue gak suka.”

“Terusin aja rencana lo, biar bisa bebas nyium temen gue sana sini.”

“Brengsek lo semua,” ucap Zeya yang langsung saja pergi meninggalkanntempat itu, disusul oleh Sena yang segera meletakkan asal kue ulang tahun itu.

“ZEY TUNGGU!” Teriak Sena.

Deva mengacak rambutnya frustasi.

“Dev sorry, gue kebawa suasana …,” lirih Mima.

“Ah anjing!” umpat Deva sebelum akhirnya pergi meninggalkan Mima dan teman-temannya berniat menyusul Zeya.

Deva dan Zeya saat ini tengah berada di dalam mobil, berniat mencari tempat makan.

“Mau makan apa?” Tanya Deva.

Zeya menoleh pada Deva. “SATE TAICHAN! Boleh, gak?” Jawab Zeya pada Deva membuat Deva terkekeh.

Jemari Deva bergerak mengacak pucuk kepala Zeya. “Boleh sayang,” balasnya membuat Deva menyerengeh.

Saat ini hubungan Deva dan Zeya hampir berjalan satu bulan. Semuanya baik-baik saja dan semoga akan tetap baik-baik saja.

Jujur saja, bagi Deva, kepribadian Zeya benar-benar berubah. Deva pikir sikap dinginnya akan terus melekat jika mereka sudah berpacaran, namun ternyata tidak. Zeya benar-benar lebih ceria.

Kepala Zeya bergerak bersandar pada bahu Deva yang tengah menyetir.

“Wangi banget,” ucap Deva mengendus rambut Zeya, membuat perempuan itu terkekeh.

“Iyalah, kalau aku bau mana mau kamu sama aku.”

“Mau lah.”

Zeya menatap Deva kemudian berdecak. “Heleh, dusta. Cowok kayak lo mana ada mau sama orang yang bau,” ucap Zeya membuat Deva tergelak.

“Ya emang kamu mau punya badan bau?” Tanya Deva.

“Ya enggak, hehe.”

Deva hanya menggeleng kemudian terkekeh.

Sepanjang perjalanan Deva tak henti mengelus tangan Zeya. Rasanya sangat hangat.

Berkali-kali Deva mengecup tangan Zeya.

Tak hanya itu, obrolan-obrolan singkat pun tak henti. Zeya selalu mempunyai cara untuk mencari topik. Entah itu topik serius atau tentang hal-hal random lainnya.

“Nah sampai,” ucap Deva ketika sampai di tempat sate taichan.

Zeya menghela napasnya sebab tempat itu terlihat penuh.

Deva terkekeh. “Penuh, ya?”

Zeya mengangguk, kemudian terdengar suara perut berbunyi yang lagi-lagi membuat Deva tertawa.

“Haha, yaudah ayo gapapa, itu perut kamu bunyi.”

Zeya hanya menyerengeh.

Deva dan Zeya kemudian bersiap untuk keluar.

Deva memberhatikan Zeya yang tengah merapikan rambutnya dan sedikit memoles bibirnya menggunakan pelembab.

“Cantik banget,” gumam Deva yang terdengar oleh Zeya membuat perempuan itu tertawa pelan.

Gila, Deva benar-benar dibuat jatuh cinta pada Zeya.

“Yuk ah,” ucap Zeya.

“Yang …,” Deva menahan Zeya.

“Apa?”

Deva menatap Zeya sejenak kemudian tanpa aba-aba ia mengecup bibir Zeya sekilas membuat perempuan itu terkejut.

“IH KEBIASAAN!”

Deva terkekeh, kemudian tangannya bergerak megusap kepala Zeya.

“Yuk makan,” ucap Deva sebelum akhirnya mereka pergi ke luar dari mobil untuk makan.

Sepertinya jalanan kota malam ini benar-benar mendukung. Tidak terlalu padat dan tidak terlalu kosong.

“Diem aja Zey,” ucap Deva menoleh sekilas pada Zeya yang sejak tadi hanya terdiam memperhatikan jalanan.

“Berisik ah.”

Deva hanya terkekeh.

“Katanya gak cupu, tapi gak ngobro—“

“DIEM DEV!”

Deva tergelak ketika Zeya tiba-tiba saja memukulnya.

“Sakit.”

“Ngomong terus ih, fokus tuh nyetir. Nabrak tau rasa,” ucap Zeya dengan raut wajah kesalnya.

Deva hanya tertawa pelan sebab menurutnya Zeya ini mudah sekali salah tingkah.

Jemari Deva bergerak untuk memutar musik.

“Suka lagu apa, Zey?”

“Apa aja,” jawab Zeya.

Deva hanya mengangguk, kemudian ia memutarkan lagu Ed Sheeran – Photograph

Musik terdengar, baik Deva dan Zeya, mereka berdua fokus pada pikirannya masing-masing.

Loving can hurt Loving can hurt sometimes

Zeya bersenandung mengikuti lirik lagu. Membuat Deva memperhatikannya sesekali.

Tiba-tiba saja Zeya terkekeh.

“Bener juga, ya.”

“Apa?” Sahut Deva.

“Kadang cinta bikin sakit, walau kenyataannya moment bahagia juga banyak,” lanjut Zeya membuat Deva memelankan laju kendaraannya.

Zeya menoleh pada Deva.

“Lo gimana, Dev?”

Deva tidak menjawab, ia malah memutar arah mobilnya entah kemana.

“Dih kemana ini?”

Perlu waktu hampir sepuluh menit hingga akhirnya Deva memberhentikan mobilnya di sebuah lapangan dengan danau dan lampu-lampu di hadapannya.

Deva merubah posisinya menghadap pada Zeya.

“Gimana apanya?” Tanya Deva menyinggung pertanyaan Zeya sebelumnya.

Zeya menatap Deva yang tengah menatapnya. Lantas perempuan itu terkekeh pelan.

“Gue kira gak bakal disambung.”

Deva hanya menyerengeh.

“Yaudah, jadi apanya yang gimana?”

“Ya lo gimana? Menurut lo cinta itu lebih banyak bahagianya atau sakitnya?”

Deva terdiam sejenak, sedangkan Zeya memperhatikan.

“Tergantung.”

Zeya mengangkat sebelah alisnya.

“Apa?”

“Tergantung orangnya. Tergantung pasangaannya juga.”

“Maksudnya?”

Deva terkekeh.

“Ya antara orang itu mau bahagia atau sakit. Kalo mau banyak bahagianya ya jangan bikin sakit, ngerti, gak?”

Zeya terdiam, lantas ia kembali berpikir.

“Tapi kan kadang yang awalnya bikin bahagia bisa aja bikin sakit?”

“Contihnya temen lo tuh si kampret Raka. Awalnya bikin bahagia Sena, tapi akhirnya apa? Brengsek banget!” Balas Zeya dengan raut wajah kesalnya membuat Deva tertawa.

“Haha, ya emang itu mah tolol,” jawab Deva.

“Iya sepupu lo gatel,” sahut ya membuat Deva kembali tertawa.

“Udah, jangan bahas orang lain.”

Zeya mengangkat sebelah alisnya. “Terus?”

“Bahas kita aja.”

Demi apapun, jantung Zeya benar-benar tak karuan.

Zeya berusaha mengalihkan fokusnya agar tidak terlihat sedang salah tingkah. Namun sayang, Zeyabterlalu payah menyembunyikan.

Deva benar-benar terus dibuat tertawa oleh tingkah Zeya yang galak namun dibalik itu dia sedang susah payah menahan rasanya.

“Zey …,” ucap Deva menatap Zeya.

Zeya menarik napasnya kemudian ia memberanikan diri menatap Deva dan lagi-lagi menampilkan wajah cueknya.

“Apa?”

Deva memperhatikan wajah Zeya. Cantik sekali ternyata.

Jemari Deva tiba-tiba saja bergerak membenarkan helaian rambut Zeya yang berantakan.

Sial. Zeya bisa-bisa dibuat mati mendadak oleh Deva.

“Ekhem.”

Deva terkekeh pelan.

“Gue tuh harus gimana ya Zeya biar lo percaya kalo sekarang gue suka banget sama lo?”

Zeya berdecih. “Ah buaya lo.”

“Zey.”

Zeya menatap Deva.

Demi apapun, sorot mata Deva benar-benar menenangkan.

Hampir satu menit mereka hanya saling menatap. Hingga tiba-tiba saja jarak di antara mereka semakin menipis.

Zeya memejamkan matanya ketika tiba-tiba saja bibirnya beradu dengan bibir tipis milik lelaki di hadapannya.

Jantung Zeya berdegup kencang. Lantas kemudian Zeya menjauhkan tubuhnya dari Deva membuat Deva terkejut.

”FIRST KISS GUE!” teriak Zeya panik.

Bu, hari ini anak bungsumu bertambah usia. Dan ini kali ke tiga aku merayakannya tanpa Ibu.

Pak, jika dengan pergi ke surga Bapak bisa bahagia. Lantas aku harus pergi kemana, Pak?

Hancur, semuanya hancur.

Aku berlari seperti orang kesetanan setelah mendengar kabar jika Bapak berpulang.

”Nas, Bapak sudah tidak ada.”

Satu kalimat yang membuat jantungku hancur bak terhantam bebatuan.

Seperti orang gila yang tengah mengamuk. Aku berlari kesana kemari mencari tumpangan. Menangis meminta tolong pada orang-orang supaya segera mengantarkan aku ke rumah sakit. Tempat Bapak.

Persetan dengan acara wisuda.

Aku menangis sangat kencang ketika melihat tubuh kaku yang sudah tertutup kain.

Aku menangis, menangis hingga lupa jika di sini tak hanya ada aku.

Aku menangis seolah di sini hanya ada aku dan Bapak.

Tidak, bukan seperti ini seharusnya.

“Bapak, bangun …,” lirihku berusaha membangunkan tubuh Bapak yang kaku.

Matanya terpejam, bibir tipisnya menyinggung seolah memberitahukan jika sekarang Bapak sudah baik-baik saja.

“BAPAK BANGUN!” Teriakku lagi.

Berkali-kali aku berteriak, berkali-kali aku membangunkan Bapak, namun tubuh itu tetap tidak merespon.

Pak, anakmu ini baru saja mendapat gelar. Gelar yang selalu Bapak nantikan. Gelar yang Bapak bilang bisa mengangkat derajat hidup kita.

“Bapak bangun, aku udah sarjana Pak. Cumlaude impian Bapak. Anak kesayangan Bapak, putri kesayangan Bapak lulus.”

“Bapak bangun, BAPAK BANGUN!”

Lagi-lagi aku berteriak, tak peduli jika sekarang penampilanku sudah tidak karuan.

Aku hanya ingin Bapak.

Padahal semalam, Bapak sudah berjanji akan datang. Bapak berjanji akan berdiri di barisan paling depan untuk aku—anak perempuan kesayangan Bapak.

Bapak bilang, Bapak akan jadi orang pertama yang dengan bangga menunjukkan pada dunia jika anak perempuannya sudah mendapat gelar sarjana.

Tapi kenapa Bapak berbohong?

Bapak bilang, jika rasa sakit yang Bapak rasakan sudah pulih.

Bapak bilang, jika semua derita yang Bapak tanggung selama ini sudah lenyap.

Tapi kenapa Bapak berbohong?

Kenapa Bapak malah pergi?

Bapak bahkan belum sempat lihat aku berdiri sambil memamerkan hasil jerih payahku untuk mendapatkan gelar ini.

Gelar yang selalu Bapak impikan.

Kenapa Bapak harus pergi secepat ini? Padahal semalam, Bapak masih bisa bercanda.

Kenapa Bapak harus pergi secepat ini? Padahal semalam, Bapak masih bisa memeluk.

Di sini Bapak yang egois atau memang Tuhan yang jahat? Kenapa Bapak harus pergi?

Bahkan Pak, banyak sekali hal yang belum sempat aku kasih untuk Bapak. Banyak hal yang masih jadi rencana perihal aku yang akan memberikan seluruh dunia untuk Bapak.

Tapi kenapa Bapak harus pergi secepat ini?

Tuhan, aku hanya ingin bersama Bapak untuk waktu yang lebih lama.

Iya memang, katakan aku egois. Karena terus meminta Bapak untuk tinggal, padahal aku tahu jika selama ini Bapak menahan sakitnya.

Tapi Pak, kalau bukan dengan Bapak? Aku harus hidup dengan siapa lagi?

Dengan Ibu?

Haha, jangankan tinggal bersama Ibu. Melihat rupanya saja aku tidak pernah.

Lagi-lagi aku kembali menangis ketika orang-orang itu memindahkan Bapak.

Aku menggeleng kuat, aku menangis tanpa malu.

Tidak ada yang memelukku selain Mama—adiknya Bapak.

“Bapak pulang Ma, Bapak pulang …,” lirihku terisak.

Mama tidak mengatakan apapun, ia hanya memelukku erat, tanpa suara.

“Pak, jika dengan pergi ke surga Bapak bisa bahagia. Lantas aku harus pergi kemana?”

****

Untuk Bapak, laki-laki hebat dengan tubuh yang semakin lama semakin ringkih. Laki-laki yang tanpa rasa malu membawa anak semata wayangnya kesana kemari hanya untuk mencari sesuap nasi.

Maaf Pak, maaf karena hadirnya aku membuat hidup Bapak harus terbebani puluhan kali lipat. Maaf, karena hadirnya aku di hidup Bapak membuat Bapak mati-matian memikirkan perihal hidupku yang selalu harus bahagia.

Bapak, jika saja bisa, lebih baik aku tidak pernah lahir jika ternyata hadirnya aku ini hanya menambah beban Bapak.

Berkali-kali aku melihat Bapak menangis sendirian di dalam kamar sambil memegang buku rekening.

Berkali-kali aku melihat Bapak menangis sendirian di dalam kamar sambil mengobati kaki Bapak yang terluka.

Banyak luka yang Bapak tanggung. Banyak beban yang Bapak tanggung.

Tapi kenapa Bapak selalu tersenyum pada anak perempuannya?

Kenapa Bapak selalu mengatakan jika Bapak ini kuat? Padahal jelas-jelas dari sorot mata Bapak, banyak kegelisahan dan ketakutan perihal tumbuh kembang hidup aku yang mungkin saja tidak akan berjalan sesuai rencana.

Pak, gak banyak yang aku minta.

Aku, hanya ingin bersama Bapak, untuk waktu yang lama.

Persetan dengan materi, aku hanya ingin hidup bersama Bapak.

Selamanya.

Tapi, ternyata tidak bisa, ya, Pak? Kenyataannya malah Tuhan mengambil Bapak lebih dulu dari aku. Bahkan disaat aku belum sempat memberikan seisi dunia pada Bapak.

Maaf, Pak. Karena aku, pundak Bapak jadi banyak beban.

Entah harus bagaimana aku menggantikan semua jerih payah Bapak.

Bahkan kata ‘sayang’ pun tidak akan pernah cukup.

Bapak ….

Terima kasih, ya. Karena Bapak selalu memberikan seisi dunia Bapak pada anak perempuannya.

Tolong terbang yang tinggi, ya, Pak? Sampai nanti beban-beban itu berjatuhan dan menghilang.

Aku sayang Bapak.

Selepas pulang menonton bersama Deva. Kini Zeya tengah berkumpul di dalam kamarnya bersama Mima dan Sena.

Ini sudah satu jam sejak kepulangan Zeya. Mereka saat ini tengah memasangkan masker wajah bergantian. Rencananya Mima dan Sena akan menginap.

Mereka tertawa seolah tidak ada yang aneh, Mima dan Sena benar-benar mendengarkan cerita Zeya ketika pergi bersama Deva tadi.

Mata Zeya pun terlihat sangat berbinar setiap kali ia menyebut Deva.

“Terus, bagian sedihnya apa?” Tanya Sena pada Zeya membuat Zeya menatap Sena dan terdiam sejenak, kemudian tak lama ia terkekeh pelan.

“Iya, lo dari tadi cerita semangat banget. Sekarang bagian sedihnya apa?” Tanya Mima juga.

Zeya membenarkan posisi duduknya. Kemudian Zeya terkekeh. “Gak ada sih sebenernya.”

“Gue tadi sedih aja, soalnya …” Zeya menjeda ucapan sejenak dan menatap kedua sahabatnya itu.

“Lo nggak apa-apa, kan?” Tanya Mima.

Zeya merubah raut wajahnya menjadi terlihat sendu.

“Zey …,” ucap Sena. “Kenapa ih?”

“Gue sedih soalnya …”

“Apa anjir,” sahut Mima.

Zeya menatap kedua sahabatnya. “SOALANYA CUMA SEBENTAR HAHA.” Zeya tertawa membuat Mima dan Sena seketika berdecak dan memukul Zeya bersamaan.

“Sialan lo!” Sahut Mima.

“Ih gue udah panik.” Sena menimpal sedangkan Zeya tertawa.

Zeya tertawa sangat keras sampai air matanya keluar.

Bahkan Zeya sendiri tidak sadar, apakah ia tertawa sampai menanagis karena memang lucu atau karena Zeya tertawa sampai menangis karena ia merasa sakit mengingat perkataan Deva sebelumnya.

“Serius lo ih!” Mima menatap Zeya kesal.

“Serius anjir haha.”

Zeya manatap Mima dan Sena bergantian, kemudian ia kembali tertawa pelan.

“Gue aman, seneng kok serius. Deva baik juga walau emang ngeselin sih dikit dia. TAPI GAK SENGESELIN KAYAK SI JEAN KAMPRET!”

Seketika Mima tertawa. “Emang anjir gak bener tuh anak.”

Sena hanya tertawa.

“Untung lo udah putus sama si Raka,” sahut Zeya.

Setelah itu mereka semua saling tertawa bersama. Bahkan Zeya pun tertawa seolah tidak terjadi apa-apa. Walau sejujurnya, Zeya merasa sakit. Tetapi Zeya tidak ingin mengungkit masalah yang ia rasakan, apalagi berhubungan dengan pertemanan.

“Gue sayang banget sama kalian …” ucap Zeya menatap kedua sahabatnya.

“Ih geli.”

“ANJIR LU!” Balas Zeya pada Mima membuat mereka lagi-lagi tertawa.

Suasana di tempat bertuliskan angka romawi XXI itu cukup ramai hari ini, sebab katanya ada beberapa film terbaru yang sedang tayang, sehingga banyak sekali orang berdatangab termasuk Zeya dan Deva.

Zeya menyeruput soda miliknya yang tadi ia beli, dan di hadapannya ada Deva juga yang tengah memainkan ponsel sambil memakan pop corn.

“Jam berapa mulai?” Tanya Zeya pada Deva.

“Lima be—“ belum sempat Deva menyelesaikan kalimatnya, suara pengumuman perihal pintu teater yang sudah dibuka terdengar. Membuat orang-orang termasuk Zeya dan Deva langsung beranjak memasuki studio yang tertera di dalam tiket mereka.

Zeya dan Deva duduk di barisan kursi C di atas. Ramai sekali orang di dalam sana. Namun untungnya tempat yang mereka dapatnya cukup kosong, sehingga Zeya dan Deva cukup leluasa.

Jujur saja, Zeya merasa sangat canggung, jantungnya bahkan berdegup tak karuan. Zeya benar-benar menyukai Deva.

Walau dari luar Zeya terlihat dingin dan cuek, tapi dalam hati ia benar-benar merasa takut. Takut jika ia tidak disukai oleh Deva.

“Kata si Bima ini film seru sih,” ucap Deva tiba-tiba ketika menit pertama film dimulai.

“Gue jarang nonton sih sebenernya, Dev,” balas Zeya membuat Deva menoleh dan terkekeh.

“Gapapa gue juga kok.”

Demi apapun, di sana gelap, tetapi Zeya bisa melihat jelas sorot mata Deva.

Jantung Zeya kembali berdegup tidak karuan. Bahkan berkali-kali ia membatin agar dirinya bisa mengontrol ekspresi wajahnya yang sepertinya memerah.

Hening, mereka berdua fokus menyaksikan film. Di tengah-tengah mereka ada pop corn berukuran sedang.

“Lo terakhir nonton kapan, Dev?” Tanya Zeya berbisik.

“Lupa gue,” jawab Deva terkekeh.

Deva fokus menyaksikan film itu, terkadang ia angkat bicara ketika merasa aneh dengan adegan film yang tengah ia tonton. Membuat Zeya diam-dian tersenyum.

Dalam kegelapan itu, sesekali mata Zeya tak henti melirik Deva yang tengah fokus menonton.

Zeya benar-benar menyukai Deva.

“Anjir!” ucap Deva pelan ketika ia merasa terkejut dengan beberapa adegan.

Zeya hanya tekekeh pelan dan berusaha mengontrol rait wajahnya.

“Diem jangan berisik!” tegur Zeya membuat Deva terkekeh pelan.

“Ya maaf.”

“Wah ini kalo gue jadi nonton sama Sena kayaknya gue bakal nyesel anjir milih film ini,” ucap Deva dengan mata yang fokus menatap film sambil memakan pop corn dengan lahap.

Jantung Zeya terasa mencelos ketika mendengar ucapan Deva.

Zeya menoleh pada Deva.

Entah Deva sadar atau tidak dengan ucapannya, tetapi lelaki itu malah terus asik menyaksikan film tanpa tahu jika sekarang Zeya tengah menahan sesak.

”Jadi awalnya mau nonton sama Sena?” Zeya membatin.

“Dev …,” ucap Zeya pelan.

“Hmm?” balas Deva tanpa menoleh.

“Gue ke toilet dulu, ya.”

Mendengar itu Deva menoleh dan mengangguk. “Oke Zey.”

Lantas setelah itu Zeya pergi dari sana meninggalkan Deva. Dan Zeya menangis di dalam toilet sendirian.

Zeya pikir, hari ini merupakan haru bahagia untuk Zeya. Tapi ternyata salah, semuanya salah. Bahkan ekspektasi Zeya sebelumnya pun salah.

“Kenapa gue selalu dijadiin opsi kedua terus, ya? Haha,” gumam Zeya sambil mengusap air matanya.