Love Words.
Mata lelaki itu bergerak memperhatikan setiap sudut yang ada di tempat itu. Pandangannya tak lepas dari lukisan-lukisan yang terpajang di sana.
Satu per satu ia amati dengan lekat. Dan pelan-pelan ia tersenyum.
Saat ini, Deva tengah berada di sebuah pameran lukisan yang diadakan oleh Zeya—seseorang yang masih Deva cintai.
Berbicara tentang Zeya. Sudah satu tahun lamanya ia tidak bertemu. Ah tidak, bahkan mungkin kebih dari satu tahun.
Sejak terakhir kali, dimana Zeya meminta untuk saling melupakan, mereka benar-benar melakukannya. Bahkan semua hal yang berhubungan dengan Deva terhenti begitu saja.
Semua sosial media yang tadinya berteman pun harus berakhir dengan pemblokiran.
Jujur saja, sampai sekarang Deva belum bisa melupakan Zeya. Yang ia lakukan hanya mencoba ikhlas.
Deva masih terlalu menyayangi Zeya, sampai terkadang ia rela mencari tahu tentang kabar Zeya dari orang-orang terdekatnya.
Hari ini, merupakan hari istimewa bagi perempuan itu. Dimana ia membuka sebuah pameran dari hasil lukisan yang ia buat. Maka dari itu Deva berinisiatif untuk datang.
Tidak, Deva tidak berharap akan kembali bersama Zeya, sebab ia tidak ingin membuatnya terluka untuk kesekian kali.
Langkah kaki Deva bergerak ketika mendengar suara Zeya berbicara dari sebuah microphone.
Langkahnya terhenti ketika melihat Zeya tengah berbicara di tengah kerumunan, menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan lukisannya.
Diam-diam Deva tersenyum dari kejauhan. Ia tidak berani mendekat.
Terlihat jelas oleh Deva, jika perempuannya itu sudah sangat baik-baik saja.
“I’m so proud of you, Zey,” gumamnya sambil tersenyum tipis.
Deva menarik napasnya dalam.
Kenapa rasanya sesak?
Kenapa sangat sulit untuk melepas?
Yang tadinya sangat dekat, kini terasa sangat jauh. Bahkan untuk sekedar bertanya kabar pun terlalu segan.
Mata lelaki itu sangat fokus memperhatikan setiap gerakan dan ucapan yang dilakukan Zeya. Deva hanya berdiri di dekat tembok, takut jika Zeya tidak melihatnya.
Deva ikut tertawa ketika Zeya tertawa di sana.
Cantik, Zeya cantik sekali.
Deva sangat merindukan Zeya.
Dan kalau bisa, ia ingin sekali berlari dan memeluknya dengan erat. Namun alih-alih mengikuti egonya, Deva masih cukup waras dan tahu diri.
Di sisi lain, napas Zeya tercekat ketika ia tak sengaja melihat Deva tengah berdiri jauh di belakang sana.
Sesekali matanya memperhatikan Deva yang tengah menunduk dan menatapnya.
Pandangan mereka tiba-tiba saja bertemu, membuat Zeya yang tengah berbicara terdiam sejenak.
Deva menarik napasnya dalam, ketika menyadari jika tatapan Zeya barusan sangatlah asing.
Deva menunduk dan tersenyum tipis. “Beneran udah lupa …,” gumamnya.
Deva membuang napasnya kasar berusaha menahan sesak, kemudian ia berusaha tersenyum sangat lebar ketika mendengar jika Seya sudah berhasil melakukannya dengan baik.
Melihat Zeya dikelilingi orang baik benar-benar membuat Deva bersyukur.
Terlihat di sana, Zeya tengah tersenyum bangga, tanpa ingin kembali menoleh pada Deva.
Deva lagi-lagi hanya tersenyum, lantas ia menunduk dan kembali menatap Zeya lama, sebelum akhirnya Deva memutuskan untuj berbalik badan dan pergi dari sana.
Walau pun akhirnya menjadi asing, tapi setidaknya Deva tahu. Bahwa perempuan yang ia cintai sudah baik-baik saja.
Tidak banyak yang lelaki ini minta, ia hanya ingin melihat perempuannya ini sekali lagi. Sebelum akhirnya nanti ia benar-benar melupa.
Dengan berat hati, Deva melangkahkan kakinya dari sana, berharap jika setelah ini ia pun bisa melupa dan bahagia sama seperti Zeya.
“DEVANDRA!”
Langkah kaki Deva terhenti lantas kemudian ia menoleh.
Deva terpaku ketika melihat Zeya yang kini berdiri tak jauh darinya. Mereka saling menatap untuk beberapa saat.
“Apa kabar?” Tanya Zeya tersenyum tipis.
Deva terdiam. Mata mereka saling menatap. Terlihat sangat jelas jika keduanya sama-sama menahan tangisan. Lantas, tanpa aba-aba perempuan itu berlari, begitu juga dengan Deva ia berlari mengikis jarak dan kemudian saling memeluk.
Zeya memeluk Deva setelah sekian lama.
Erat, sangat erat.
“I’m sorry,” gumam Zeya dalam pelukan itu.
Deva memeluk Zeya sangat erat, ia menyesap aroma tubuh yang sangat ia rindukan.
“I miss you Zey, I miss you so much.”
Zeya menangis dalam pelukan itu, begitu juga debgan Deva. Sebab kenyataannya, mereka masih sama-sama saling menyayangi.
Mungkin, bagi sebagian orang cinta itu omong kosong. Tapi bagi sebagian orang juga, cinta itu nyata adanya.
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk sekedar mengungkapkan perasaan.
Entah itu tindakan atau hanya perkataan.
Cinta itu luka sekaligus penyembuh.
Manusia bisa terluka karena cinta, tapi manusia juga bisa sembuh karena cinta.
Sama halnya seperti dua manusia ini.
Walau terkadang Deva terlalu banyak mengatakan cinta yang terlihat seperti omong kosong, namun jauh di dalam hatinya rasa cinta itu benar-benar sangat besar untuk Zeya.
Maka dari itu, yang Deva lakukan saat ini adalah memeluk Zeya erat seolah tidak ingin kehilangan lagi.
fin