Jjaejaepeach

Sejak tadi sore, hujan petir belum kunjung usai. Terdengar sangat riuh di telinga orang-orang yang mendengarnya. Deras dan berisik.

Jaydan, lelaki itu kini tengah duduk di samping Ocean yang sudah tertidur di kamar milik perempuan itu.

Tadi, setelah kejadian dimana Ocean menangis di rumah sakit, Jaydan langsung membawanya pulang.

Lelaki itu menghela napasnya seraya mengusap kepala Ocean dengan hati-hati.

Rasanya sesak. Jaydan benci melihat Ocean menangis.

Jika disuruh memilih, Jaydan bahkan lebih rela kehilangan apapun asalkan jangan Ocean.

Katakan saja Jaydan bodoh, sebab yang ia lakukan selama ini selalu saja berusaha terlibat dalam hidup Ocean.

Jaydan tidak ingin Ocean hilang dari hidupnya, meskipun pada kenyataannya Jaydan tidak lagi bisa mengenggam hati Ocean seperti dulu.

Iya, dulu sekali. Jaydan adalah pemenang perihal Ocean.

Seandainya saja dulu Jaydan tidak melakukan kesalahan. Seandainya saja dulu Jaydan lebih dewasa dalam bersikap. Dan seandainya saja dulu Jaydan lebih bisa menjaga hatinya pada orang lain. Mungkin sampai sekarang Ocean masih menjadi miliknya.

Bodoh, Jaydan bodoh. Sebab waktu itu ia malah memilih orang lain dibanding Ocean hanya karena Jaydan merasa kosong untuk sementara.

Mereka terlalu banyak berdebat waktu itu. Entah itu karena Jaydan yang keras kepala atau karena Ocean yang selalu bilang baik-baik saja padahal sebenarnya tidak.

Jaydan cemburu karena sekarang ia tidak bisa sedekat itu dengan Ocean.

Jaydan cemburu sebab sekarang yang Ocean cintai adalah lelaki lain dan bukan dirinya.

Jika bisa ia ingin egois sekali saja, namun terlalu mustahil.

Jaydan sudah merusak semuanya.

Ocean itu, tidak pandai mengutarakan perasaannya. Ia selalu merasa takut jika nanti ketakutannya, kecemasannya, kekhawatirannya ia utarakan, keadaan akan rumit. Ocean benci itu.

Jaydan menatap Ocean dalam, sangat dalam. Bahkan sejak tadi tangannya terus saja mengusap perempuan itu.

Tubuh Ocean menggigil, membuat Jaydan segera menyelimutinya.

Everything will be okay, don’t blame yourself. You’re not alone, Oce,” gumam Jaydan pelan.

Jaydan tidak ingin meninggalkak Ocean barang sedetik.

Jaydan lalu mengeluarkan ponselnya berniat mengabari Sang Ibu, memberitahukan jika ada hal buruk yang menimpa Ocean.

Namun niatnya ia urungkan ketika ia membaca pesan dari Agnes. Dan tanpa pikir panjang, Jaydan langsung saja beranjak dari kamar itu dan menelpon Agnes.

“Maksud lo apa ngirim chat gitu, Nes?” Tanya Jaydan dalam sambungan itu.

“Gue udah ngasih tau, kan? AGAM KECELAKAAN, OCEAN SENDIRIAN AGNES!” Teriak Jaydan.

Gue juga sendirian brengsek.

Jaydan memijat keningnya.

”Gue tau Oce tuh yang utama buat lo. Tapi seenggaknya hargain gue, Jay.

Anjing lo.”

“Lo mau berantem cuma gara-gara ini? Serius? Ocean bahkan gak punya siapa-siapa. Harusnya lo ngerti. Harusnya lo nyusul kesini bukan malah ngajak berantem gue.”

Jaydan menghela napasnya.

“Lo egois Agnes,” ucap Jaydan yang langsung saja menutup telepon itu.

Dan ketika Jaydan akan kembali ke kamar Ocean, tubuh Jaydan terpaku karena ia melihat Ocean berdiri di belakangnya.

“Pulang Jay, Agnes lebih butuh lo dibanding gue …”

Ocean hanya duduk di lorong rumah sakit sambil menggenggam ponselnya.

Tadi, sekitar satu jam yang lalu. Ocean berlari datang ke IGD ruma sakit mencari Agam.

Ia bahkan tidak peduli jika tangannya yang patah belum sepenuhnya pulih.

Ocean datang dengan bajunya yang basah sebab ia berlari dari gerbang rumah sakit menuju IGD, lantaran ia pergi menggunakan taxi.

Namun alih-alih menemukan Agam, ia malah bertemu dengan teman-temannya, serta ada Bunda Agam di sana.

Ocean hanya bisa diam dan menunduk ketika tadi Bunda Agam menghampirinya.

Mereka mengobrol cukup lama, sampai akhirnya yang dilakukan Ocean adalah duduk di lorong dan merenung menahan tangisnya.

Kenapa harus Agam?

Baru saja tadi ia bertemu Agam, baru saja tadi Agam memeluknya. Tapi kenapa sekarang Ocean harus mendengar kabar jika Agam kecelakaan?

Ocean bahkan tidak bisa melihat keadaan Agam saat ini.

Berkali-kali Ocean menyalahkan dirinya.

Seandainya saja tadi Ocean tidak membiarkan Agam pergi. Seandainya saja Ocean tidak membalas pesan Agam. Mungkin sekarang Agam baik-baik saja.

“Bodoh, Oce bodo,” gumamnya berkali-kali.

Rasanya sesak, dan sakit.

Harusnya Ocean tidak egois, harusnya Ocean tidak membiarkan Agam memohon padanya.

Ocean perlahan menangis.

Disana sunyi, hanya ada Ocean dan tangisnya.

Berkali-kali Ocean menggeleng berusaha menyingkirkan pikiran buruknya.

Sudah hampir satu jam Ocean duduk di dana sendirian menunggu seseorang datang menghampirinya untuk memberitahukan perihal keadaan Agam. Namun nihil, tidak ada yang datang.

Ocean kembali menangis.

Rasa bersalah kembali menyeruak.

“Agam maaf …,” lirihnya.

Ocean menangis tanpa suara, rasanya benar-benar sakit. Apalagi ketika ucapan Bunda Agam kembali melintas.

”You don’t deserve my son.

Kalimat itu terus saja melintas di pikirannya.

Ocean menutup wajahnya dan kembali menangis tanpa suara.

Rasanya benar-benar sakit.

Lalu ketika Ocean tengah menangis, tiba-tiba saja seseorang datang berlari menghampirinya dan tanpa aba-aba ia memeluk Ocean.

“Oce, don’t cry.

“Gue disini, Ce. Jangan nangis. *Everything will be fine …,” gumam lelaki itu sambil mengusap air mata Ocean.

Mereka saling menatap.

“Jay …”

Iya, lelaki itu Jaydan, yang datang ke sana menyusul Ocean.

Ocean menunduk. “Jangan kesini, pulang aja …”

Jaydan menggeleng.

“Agnes, jangan tinggalin dia demi g—“

Jaydab kembali menggeleng, ia lalu memeluk Ocean. “Biarin gue egois dulu ya, Ce. Gue mohon.”

“Biarin gue disini, jadi bahu buat lo sebentar aja, ya?”

Ocean hanya diam dan kembali menangis.

Jaydan menarik napasnya dalam seolah ia ikut merasakan sesak.

“Agam, Jay … gara-gara gue.”

Jaydan mengeratkan pelukannya. “Bukan salah lo.

Everything will be fine, Ce. Tenang, ya?”

Sorry sorry, harusnya lo gak ngerasain ini. Maafin gue,” ucap Jaydan meminta maaf pada Ocean, padahal semua ini hukan salahnya.

I’m here, i’m here. Nangis disini sama gue, jangan nangis sendirian,” ucap Jaydan.

Kedua mata mereka bertemu, Agam menatap Ocean yang berdiri di ambang pintu.

Agam memperhatikan Ocean sejenak, sebelum akhirnya ia melangkah maju dan memeluk Ocean begitu saja. Lantas ketika mereka tengah saling memeluk, suara petir muncul membuat Ocean mengeratkan oelukannya pada Agam.

It’s okay, aku disini Oce,” ucap Agam lembut.

Perlahan Agam membawa Ocean masuk ke dalam dan mereka duduk di sofa.

Gelap, ruangan itu gelap, hanya lampu dapur yang menyala, bahkan gorden pun tertutp rapat. “Sebentar aku nyalain dulu lampinya,” ucap Agam sembari melangkah ke arah sakali untuk menyalakan lampu.

Agam berbalik kemudian kembali melangkah mendekati Ocean yang tengah duduk.

Agam menghela napasnya. Ia lalu duduk di samping Ocean. Mata Agam bergerak memeriksa setiap bagian dari tubuh Ocean, takut jika ada luka disana.

Ocean hanya menunduk, jemari Agam perlahan bergerak mengusap kepala Ocean lalu ia meraih tangannya dan mengusap dengan lembut.

Are you okay?” Tanya Agam lembut.

Ocean masih menduduk.

“Ocean …,” panggil Agam.

“He—“ ucapan Agam terhenti ketika ia mendengar suara isakan kecil dari Ocean.

Ocean menatap Agam dengan matanya yang sudah mengeluarkan air mata. “Takut,” ucap Ocean.

Agam menatap perempuannya itu, ia lalu mengusap air matanya. Tanpa aba-aba Agam kembali memeluk Ocean.

Ocean menangis di pundak Agam, pelukan Agam semakin erat, dan lelaki itu menepuk-nepuk pundak Ocean lembut membiarkan Ocean menangis.

Hangat, pelukan Agam selalu hangat.

Ocean semakin terisak, ia benci situasi ini. Situasi ketika ia ingin lepas dari Agam, namun kenyataannya Ocean selalu perlu Agam.

Tanpa sadar, Ocean pun mengeratkan pelukannya.

“Tutup telinganya, aku disini Oce,” gumam Agam lembut.

Agam masih saja mengusap Ocean, ia berusaha meneangkan perempuannya itu.

Agam paham, dan ia sangat tahu mengenai Ocean. Bahkan jika dibanding teman-teman yang sudah lama mengenal Ocean, Agam adalah orang yang lebih paham.

Ocean ini sangat takut pada petir. Sebab katanya ketika Ocean kecil, ia selalu mendengar pertengkaran antara kedua orang tuanya, dan anehnya pertengkaran mereka selalu dimulai bersamaan dengan hujan dan petir.

Ocean benci, sebab rasanya telinga Ocean seperti akan pecah, selalu ada bayang teriakan-teriakan mengerikan di kepalanya. Bahkan Jaydan pun tidak pernah tahu akan hal itu.

Selama ini, Agam yang selalu ada. Agam selalu jadi yang pertama.

Ocean, benar-benar selalu merasa aman jika bersama Agam.

Meskipun nyatanya Agam terlihat tidak memperhatikan, namun tanpa Ocean sadar, Agam adalah orang yang paling tahu mengenai dirinya.

Bahkan sekarang Agam rela pergi menemui Ocean, padahal ia masih harus ada di rumah sakit.

“Oce, jangan ngehindar.”

“Jangan selalu ngerasa kamu gak pantes.”

Agam menghela napasnya. “Aku tau apa yang kamu pikirin selama ini.”

“Oce …”

“Gak seharusnya gini.”

“Masih kurang ya usaha aku?”

Ocean menggeleng.

“Gam, i’m scared.”

“Aku …”

“Aku takut Gam.”

Agam terdiam.

“Aku takut jadi beban buat kamu, masa depan ka—“

Agam melepaskan pelukannya lalu ia menangkup wajah Ocean.

“Udah aku bilang, kamu gak pernah jadi beban buat aku Ocean.”

I love you, i love you so much, Oce.”

Ocean menatap Agam, ia kemudian kembali menangis.

Ocean mengeratkan pelukannya. Agam menghela napasnya.

“Jangan kayak gini, ya? Sakit Ce, rasanya hancur banget.”

“Maaf …,” lirih Ocean pelan.

Don’t leave me, Ocean.”

I don’t want to lose you.

I’m not going anywhere, Oce. Gak akan pernah.”

Agam mengusap Ocean lembut, berkali-kali ia mencium kepala perempuan itu.

Sulit bagi Agam untuk menerima keputusan Ocean waktu itu, bahkan sampai sekarang Agam masih selalu dan akan selalu berusaha ada untuk Ocean.

“Maaf Agam …,” lirih Ocean.

“Iya, gapapa,” jawab Agam lembut.

Tidak banyak yang Agam minta, ia hanya ingin Ocean bersamanya, sudah itu saja.

Ocean hanya terdiam ketika Agam membawanya memutari jalanan.

Tadi, ketika Agam memintanya untuk keluar, dengan berat hati Ocean menurutinya. Dan berakhir sekarang Ocean bersama Agam menaiki motor.

Berkali-kali Agam memperhatikan Ocean dari kaca spion, terlihat perempuan itu tengah memejamkan matanya menikmati angin malam.

Agam tersenyum.

Mereka berkeliling hampir lima belas menit, hingga akhirnya Agam berhenti di sebuah tempat di perbatasan kota yang memperlihatkan lampu-lampu indah dari sebrang pulau.

Agam turun dari motornya, kemudian ia membantu Ocean membuka helmnya.

Dengan tangan Ocean yang masih belum pulih sempurna, dengan hati-hati Agam menuntun Ocean.

“Ini Sushinya,” ucap Agam menyerahkan sebuah kantung plastik.

Ocean menghela napasnya ia tidak berbicara apapun.

Agam berjalan kemudian ia duduk di kursi kayu yang ada di sana. Ocean pun menyusul Agam.

“Udah lama nggak kesini,” ucap Agam ketika Ocean duduk di sampingnya.

“Iya,” jawab Ocean pelan.

Agam menoleh dan tersenyum.

“Dingin nggak?”

Ocean menggeleng. Kemudian Agam tiba-tiba berdiri dan ia melepaskan kemeja menyisakan kaos, lalu kemeja itu ia alihkan untuk menutupi tubuh Ocean.

Agam kemudian berjongkok berhadapan dengan Ocean.

Lelaki itu menatap Ocean hangat, tangannya bergerak mengusap dan membenarkan helaian rambut yang terkena angin.

Ocean bergerak berusaha menghindar.

Agam hanya tersenyum, matanya beralih pada tangan Ocean. “Masih gak bisa gerak?”

Ocean menggeleng.

Agam kemudian meniup tangan Ocean yang patah, dan mengusapnya lembut penuh sayang. “Cepet sembuh,” gumam Agam.

Ocean hanya diam memperhatikan apa yang Agam lakukan.

Agam kembali menatap Ocean, mata mereka bertemu, lalu lelaki itu tersenyum.

“Jangan sakit Oce, jangan ngurung diri terus.”

Ocean menunduk.

“Oce …,” panggil Agam.

Sorry, karena mungkin selama ini aku masih banyak kurang dan jauh dari ekspektasi kamu dan berakhir kamu yang ngerasa gak cocok.”

Ocean hanya terdiam.

“Maaf juga karena waktu itu aku malah bilang kamu egois dan banting pintu.”

Agam menghela napasnya, ia lalu mengusap wajah Ocean. “Oce …”

Is it true that you don't love me anymore?

“Oce …”

“Harus gimana lagi ya Ce biar kamu percaya seberapa besar rasa aku buat kamu?” Tanya Agam membuat Ocean menatapnya.

“Gak harus gimana-gimana Gam.”

“Boleh nggak kalau aku coba lagi buat perbaiki apa yang salah dari kita?”

Ocean menatap Agam ia kemudian menghela napasnya.

“Gam, I told you before.

“Kita, udah gak cocok.”

“Dan aku …”

“Apa?”

I don’t love you anymore.”

Agam tersenyum tipis, ia lalu menghela napasnya.

“Oke …”

Agam berdiri, rasanya terlalu sesak.

Bukan ini yang Agam mau.

Agam sangat-sangat mencintai Ocean, sampai ketika Ocean mengatakan bahwa dirinya tidak mencintai Agam, rasanya dunia Agam runtuh.

Ocean menunduk sejenak sebelum akhirnya ia ikut berdiri.

“Ayo pulang Gam.”

Agam tersenyum, dan tanpa berbicara apapun lagi, Agam mengangguk.

Ocean menatap tubuh Agam dari belakang, ia kemudian menunduk dan bergumama pelan.

Sorry …

Malam ini rasany seperti tercekik, lelaki itu bahkan merasa kesulitan untuk sekedar bernafas lega.

Jalanan terlihat cukup padat, apalagi suara klakson dari berbagai arah benar-benar membuatnya pening.

Tatapannya hanya kosong ke depan, dan yang ada dipikirannya saat ini hanya Ocean.

Tadi, Agam baru saja selesai menemui Dokter Pahmi, sebab seluruh kelompok koas Agam disuruh berkumpul. Banyak hal yang dibicarakan, terutama evaluasi para koas yang membuat kesalahan. Termasuk Agam, ia pun sempat terkena amarah karena Agam sempat telat untuk mem-follow up pasien.

Rasanya kepala Agam ingin pecah apalagi setelah ia membaca pesan dari Ocean.

Pikiran Agam kalut, dan tanpa berlama-lama Agam pergi menuju kediaman Ocean.

Kenapa harus seperti ini? Rasanya terlalu mendadak bagi Agam ketika tiba-tiba saja Ocean mengatakan ingin berakhir.

Butuh waktu setengah jam untuk sampai ke kediaman Ocean, labtaran jalanan yang macet ditambah hujan yang cukup deras.

Agam berlari kecil dengan tubuhnya yang sedikit kehujanan ketika akan masuk ke tempat itu.

Ketika sampai di depan pintu tempat tinggal Ocean, Agam buru-buru memencet kata sandi yang seperti biasanya. Namun alih-alih terbuka, justru peringatan salah sandi yang muncul.

“Oce …” panggil Agam.

“Buka dulu, ini aku,” lagi Agam memanggil Oce sambil mengetuk pintunya.

Agak menghela napasnya, ia berkali-kali menghubungi Ocean namun tidak ada jawaban. Sampai akhirnya pada panggilan ke-15, pintu itu terbuka.

Mata mereka bertemu, Agam bisa melihat jika tangan sebelah kiri Ocean di gips.

Agam menghela napasnya, tanpa berbicara apaoun ia masuk dan menarik Ocean pelan agar duduk di sofa. “Kenapa bisa gini?”

Ocean hanya terdiam. Sedangkan Agam, ia menatap Ocean lalu perlahan ia memeriksa setiap bagian dari tubuh perempuan itu, untuk melihat apakah ada luka parah atau tidak.

Agam kembali menghela napasnya ketika melihat ada lebam di pelipis Ocean, ia lantas berdiri dan segera membawa kain dengan air hangat, lalu ia membuka tasnya untuk mengambil beberapa plester di kotak P3K yang selalu ia bawa.

“Pulang aja G—“

“Mana lagi yang sakit?” Agam memotong ucapan Ocean.

“Kenapa bisa kayak gini? Kamu kenapa gak hati-hati?”

“Ini patah?” Tanya Agam dibalas anggukan oleh Ocean membuat Agam kembali menarik napasnya lalu mengusap tangan Ocean yang patah dengan pelan.

“Ocean …” Agam menatap Ocean lekat.

Lalu tanpa aba-aba Agam menarik tubuh Ocean agar masuk ke dalam pelukannya. Agam memeluk Ocean erat.

“Maaf ya, maaf aku gak pernah sigap disaat kamu perlu aku.”

Ocean terdiam, ia merasa sesak apalagi ketika kejadian sebelumnya dimana Ocean melihat Bella menggenggam tangan Agam erat, membuatnya menangis tanpa suara di pundak lelaki itu.

“Capek Gam …,” lirih Ocean pelan.

“Aku capek banget.”

Agam perlahan melepaskan pelukannya, ia kemudian menatap Ocean. Perlahan jemarinya bergerak mengusap air mata yang jatuh di kedua pipi perempuan itu.

“Ocean …”

Let’s break up, Gam.”

Agam terdiam.

“Kita sama-sama capek sekarang. Aku yang selalu ngerasa kamu gak peka, dan kamu yang terlalu percaya sama aku sampe kadang kamu lupa nanyain apa aku baik-baik aja atau nggak.”

“Kamu selalu ngerasa aku ini baik, padahal nggak Agam.”

Ocean menatap Agam.

“Karena tadi kamu liat aku jagain Bella makanya kamu mau udahan?” Agam bertanya.

Ocean menggeleng.

“Terus kenapa?”

“Kenapa tiba-tiba Oce?”

“Ada masalah ap—“

“Gan, kamu gak seharusnya selalu ngasih uang ke Mama aku tiap Mama minta.”

Agam terdiam.

“Kenapa gak pernah bilang ke aku kalo Mama selalu minta kamu buat kirim uang ke dia?”

“Buk—“

“Aku malu …,” lirih Ocean memotong ucapan Agam lantas kemudian ia terisak.

“Mama bukan tanggung jawab kamu. Aku nggak suka, Gam.”

Agam terdiam.

Benar, tanpa sepengetahuan Ocean, Alin selalu meminta Agam untuk mengirimkannya uang dengan dalih jika ia tidak ingin merepotkan Ocean.

Agam yang memang merasa simpati pun tidak bisa menolak apalagi mengingat jika Alin adalah ibu dari perempuan yang Agam cintai.

Bukan, ini bukan hanya tentang Agam yang terus saja dekat dengan Bella. Tetapi banyak sekali hal yang membuat Ocean merasa jika dirinya hanyalah beban bagi Agam, padahal sebenarnya Agam tidak pernah merasa begitu.

“Aku malu Gam …”

Agam kembali memeluk Ocean.

“Selama ini aku sering banget ngerasa gak sebanding sama kamu. Aku gak sehebat kamu. Gak sepinter kamu.”

I don’t deserve you, Gam.”

Agam menggeleng, ia mengeratkan oelukannya. “Jangan gitu, maaf, maaf karena aku gak terbuka karena aku gak mau bikin kamu kepikiran banyak beban.”

“Gak mau udahan. Kita bisa bica—“

“Gak bisa Gam.” Ocean menggeleng kemudian ia melepaskan pelukan Agam.

“Kenapa gak bisa, Ce?”

“Semua hal bisa diperbaiki kalau kit—“

“Gak bisa Agam.”

“Ocean …”

I don’t love you anymore.”

DEG!

Agam terpaku mendengar ucapan itu, lantas ia menatap lekat sorot mata Ocean.

“Jangan becanda Ocean. Aku tau kamu bohong.”

“Kita udah gak cocok, Gam. Dan kalau dipaksa kenyataannya malah kita sering berantem, kan?”

“Capek Gam. Dan aku tau, disini kamu lebih capek.”

Agam tidak lepas menatap Ocean. Ia lalu tersenyum tipis. “Jaydan lebih baik ya buatmu Ce?”

“Kenapa bawa Jaydan? Gak ada urusan.”

“Ya terus kenapa kamu tiba-tiba gini? Aku gak ngerti.”

“Kita udah gak cocok, Gam.”

“Alesan kamu gak masuk akal Ocean.”

Did I hurt you? aku bikin salah apa sampe kamu mutusin kayak gini?”

“Ini bukan kamu Oce.”

“Kamu ken—“

“YA KARENA KITA EMANG UDAH GAK COCOK AGAM!” Tiba-tiba saja Ocean berteriak membuat Agam terdiam.

Ocean menunduk ia kemudian beranjak dari duduknya dan mencoba menarik Agam. “Pulang.”

It’s over, kita selesai Gam.”

Agam berdiri menatap Ocean.

“Gak cocok, ya?”

Agam terkekeh pelan. “You liar.”

Ocean memejamkan matanya. “Pulang Gam.”

“PULANG!” Teriak Ocean lagi sambil menangis.

Lalu tanpa pikir panjang Agam meraih tasnya dan segera beranjak dari sana. “Oke kalo emang mau kamu gitu.”

“Egois,” ucap Agam sebelum akhirnya ia benar-benar pergi dari sana dan membanting pintu itu sangat keras.

Ocean menatap kepergian Agam kemudian ia menjatuhkan dirinya dan menangis sangat keras.

Agam bernafas lega, setelah ia berhasil menyelesaikan tugas presentasi kasusnya.

Butuh waktu yang cukup lama untuk Agam bisa menyelesaikan tugas ini. Apalagi sebelumnya kasus yang Agam ambil pernah ditolak dan diminta ganti oleh pembimbingnya, sehingga dirinya harus bekerja dua kali lipat dari teman-temannya yang lain.

Agam menghela napasnya ketika keluar dari ruangan itu, ia lalu membuka botol minumnya dan langsung meneguknya habis.

“Lancar bro?” Tanya Djiwa pada Agam yang dibalas anggukan.

Setelah itu Agam langsung beranjak dari sana meninggalkan Djiwa. “Gue kesana dulu ya Wa, laper,” ujar Agam membuat Djiwa mengangguk.

Sesaat setelah sampai di kantin Agam memesan makan dan kemudian ia berjalan mencari tempat duduk.

Namun, belum sempat ia duduk, terdengar suara Bella memanggilnya.

Agam menghela napasnya.

Lagi-lagi, kenapa harus bertemu Bella.

Bella melambaikan tangannya supaya Agam menghampirinya. Mau tak mau Agam pun duduk di sana.

“Udah?”

Agam mengangguk. “Iya.”

Bella tersenyum.

“Tenang aja, aku bentar lagi pergi kok. Mau ketemu Dr. Hasbi. Lagi nungguin,” jelas Bella.

Agam memperhatikan perempuan itu, kemudian ia mengerutkan keningnya sebab ia melihat wajah Bella sangat pucat.

“Bel, lo gapapa?” Tanya Agam.

Bella menggangguk. “Gapapa Gam,” jawab Bella tersenyum.

Hening beberapa saat. Mata Agam terus bergerak melihat apakah makanannya sudah selesai atau belum. Namun hampir sepuluh menit makanannya tak kunjung datang.

Tiba-tiba saja Bella beranjak. “Gam, aku duluan. Mau ketemu dok—“ belum sempat Bella menyelesaikan kalimatnya, ia tiba-tiba saja memegang perutnya. Wajahnya terlihat sangat pucat dan berkeringat.

“Bel, lo kenapa?” Tanya Agam yang juga ikut berdiri.

Bella terdiam, matanya terpejam berusaha menahan sakit. “Aku gapapa …,” ucap Bella lalu melangkah.

Namun baru saja Bella melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja ia oleng, dan dengan sigap Agam menahannya.

“BEL!”

Bella mengenggam lengan Agam. Bella menatap Agam dengan wajahnya yang pucat. “Agam sakit ..,” lirihnya. Dan tanpa berpikir panjang, Agam segera menggendong Bella.

Agam ikut panik sebab Bella hampir saja pingsan. Saking paniknya, ia bahkan meninggalkan dompet dan ponselnya di meja begitu saja.

Butuh waktu sekitar 4 jam untuk sampai ke kediaman Alin—Mama Ocean.

Selama perjalanan, Ocean tidak berhenti berdoa supaya nanti Alin tidak mengatakan hal yang tidak mengenakan.

Saat ini, Agam dan Ocean sudah berada di sana.

Benar kata Akin, ia sudah mengundang teman-teman arisannya untuk datang.

Sejak sampai di sana, yang Ocean lakukan hanya duduk sambil memperhatikan setiap sudut rumah itu. Rumah yang duluanya menjadi tempat ia pulang.

Ocean rindu, apalagi ketika memorinya bersama Sang Ayah terlihtas.

Ocean bahkan masih ingat, dulu ketika semuanya belum berakhir. Mereka merupakan keluarga yang bahagia. Ocean bahkan tidak pernah berpikir jika ternyata Alin sangat haus akan uang.

Semuanya berubah ketika waktu itu Praga—Ayah Ocean mengalami kendala keuangan di perusahaannya. Yang menyebabkan mereka harus mengadapi krisis ekonomi untuk waktu yang cukup lama. Hingga akhirnya Alin memutuskan untuk bercerai karena ia tidak ingin gaya hidupnya yang selalu mewah harus berhenti begitu saja.

Waktu perceraian itu, Ocean masih berada di kelas 1 sekolah menengah atas.

Setelah perceraian, Ocean tinggal bersama Alin sampai ia menginjak semester 3 perkuliahan, sampai akhirnya Ocean memutuskan untuk tinggal sendiri sampai sekarang.

Ocean menghela napasnya, ia kemudian menunduk sejenak berusaha menahan air matanya agar tidak keluar.

Are you okay?” tanya Agam yang duduk di sampingnya.

Ocean menoleh lantas ia mengangguk.

“Adik kamu gak di sini?” Tanya Agam pada Ocean.

“Bukan adik aku, Gam. Dia anak selingkuhannya Mama.”

Agam terdiam kemudian ia menghela napasnya. Agam lalu beranjak. “Ayo ke sana. Gak enak sama Mama kamu,” ajak Agam sambil menarik Ocean agar mengikutinya. Mau tak mau Ocean pun menurut.

Sekarang mereka sudah duduk di meja makan. Ada Alin dan juga beberapa temannya.

Sungguh, Ocean sangat benci melihat gaya hidup Alin yang selalu berfoya-foya. Padahal kenyataannya finansial dirinya masih kurang untuk itu.

“Nih, ini calon menantuku. Dia dokter loh say,” ucap Alin sambil menarik pundak Agam dan membanggakannya di depan kerabatnay itu.

“Wah, hebat sekali. Kamu dokter apa?” Tanya salah seorang.

Agam hanya tersenyum kaku. “Saya masih ngejalanin koas tante, masih dokter muda, hehe …,” jawab Agam.

Alin hanya tersenyum. “Tidak apa-apa. Sudah hebat! Mama bangga sekali sama kamu.”

Agam tersenyum kaku. Sedangkan Ocean hanya terdiam.

“Ini Alula, ya? Sudah besar sekarang. Kamu kerja dimana?” Tanya salah satu teman Alin.

Belum sempat Ocean menjawab, Alin lebih dulu memotong.

“Alula gak kerja say, dia memang rada pemalas. Dia cuma nulis novel-novel apalah itu aku juga gak ngerti apa benefitnya, haha …,” Alin tertawa sedangkan Ocean mengerutkan keningnya.

Agam menoleh pada Ocean kemudian ia meraih tangan Ocean dan mengusapnya.

“Waduh, gimana? Masa pacarmua dokter tapi kamunya gak kerja? Aduh, kalau tante jadi kamu mah malu atuh neng,” ucap teman Alin lagi membuat Ocean menarik napasnya.

“Ya namanya anak muda say. Susah di bilang. Memang sifat Alula juga keras kepala seperti ayahnya. Pusing aku juga, gak tau mau jadi apa kedepannya,” ucap Alin lagi.

“Berarti selama ini kamu minta uang sama pacar kamu dong Lula?” Tanya teman Alin lagi.

“Eh Jeng, jangankan sama Lula. Ini Jeng Alin aja dibeliin tas mahal.”

Agam menatap orang itu. Sungguh ia tidak berpikir jika semua ucapan itu akan keluar.

“Wajar sih ya, Alula cantik gini. Tinggal dandan dan senyum juga siapa yang gak tertarik ya Jeng,” ucap salah satu orang di sana lagi.

“Memang kalau perempuan cantik seperti kamu pintar narik laki-laki, entah itu dengan wajah atau mungkin, badan? Haha,” mereka tertawa.

Ocean tiba-tiba saja berdiri dan menatap semua orang.

“Tante …”

“Saya memang belum kerja, kuliah S2 pun nggak. Tapi saya gak pernah jadi murahan cuma buat uang,” ucap Ocean sambil menatap Alin dan teman-temannya bergantian.

Agam menarik tangan Ocean supaya ia tetap tenang, namun Ocean sudah sakit hati oleh perkataan mereka.

“Uang-uang terus yang ada di otak kalian.”

“ALULA!” Bentak Alin.

“APA?! Mau marah? Mau nampar?”

“Mama juga, sadar Ma. Gak semua hal harus pake uang. Aku muak banget.”

“Dari awal juga aku gak mau pulang. Liat buktinya apa? Mama sama temen-temen Mama ini malah ngerendahin aku. Padahal aku anak Mama.”

“Ayo balik Gam! Gak ada guna terus disini,” ucap Ocean sambil menarik Agam.

“ALULA OCEANA!” Alin berteriak namun Ocean tak mendengarkannya.

Ocean berjalan sangat cepat sambil menggenggam tangab Agam.

Lalu, sesampainya di dalam mobil Ocean hanya terdiam menatap kosong ke depan lantas ia menangis.

Agam yang menyaksikan itu langsung menarik Ocean ke dalam pelukannya.

“Agam aku gak pernah jual apa-apa ke kamu. Aku gak pernah kayak gitu …” isak Ocean.

Agam memeluk Ocean, ia berkali-kali mengecup puncak kepala Ocean dan mengusapnya. “Iya nggak, kamu gak kayak gitu.”

“Jangan diinget lagi.”

“Maaf ya … maaf kamu harus denger hal kayak gitu tadi.”

Ocean memeluk Agam erat. “Agam jangan kemana-mana.” Ocean terisak dengan wajah yang ia sembunyikan di leher Agam.

Agam menghela napasnya.

“Aku gak bakal kemana-mana.”

“Maaf ya, harusnya aku gak maksa kamu buat nurutin kemauan Mama buat pulang.”

“Maaf, Ocean …”

“Mau pulang …,” pinta Ocean.

“Iya kita pulang ya, udah jangan nangis lagi,” ucap Agam sambil mengusap air mata Ocean kemudian setelah itu ia pun langsung menancapkan gasnya untuk pergi dari rumah itu.

Sore ini tepatnya pukul 16.30 WIB, Agam dan Ocean tengah berada di dalam mobil. Keduanya sedang dalam perjalanan untuk menonton bioskop.

Hari ini kebetulan Agam tidak mempunyai jadwal apapun, maka dari itu Ocean berinisiatif mengajak Agam untuk keluar sekedar menghabiskan waktu bersama.

Jalanan cukup macet, karena mungkin mendekati cuti, sehingga banyak orang mungkin tengah mudik atau sekedar liburan.

“Lama banget,” ucap Ocean memperhatikan jalanan yang bisa dibilang cukup macet. Bahkan kobil yang mereka tumpangibhanya bergerak sedikit-sedikit.

Ocean menoleh pada Agam yang tidak menyahuti ucapannya. Kerutan di dahi Ocean terbentuk.

“Kamu baca apa?” tanya Ocean melihat Agam yang fokus pada layar ponselnya.

Agam kemudian memberikan ponselnya kepada Ocean. “Tuh mantan sekaligus sahabat kamu nungguin kita putus,” ucap Agam sambil terkekeh pelan.

Ocean fokus membaca pesan yang dikirimkan Jaydan melalui instagram itu kemudian ia berdecak.

“Gak usah dibales, sinting dia,” jawab Ocean lalu mengembalikan ponsel itu pada Agam.

Agam kembali terkekeh. “Gitu juga pernah sayang.”

Ocean menatap Agam tajam. “Cinta buta,” jawabnya.

Agam menggeleng, ia lantas mengacak pelan puncak kepala Ocean gemas.

“Kalo dikasih kesempatan mau balikan sama Jaydan gak?” Tanya Agam pada Ocean yang lagi-lagi mengundang sebuah tatapan tajam dari Ocean.

Ocean lantas menggeleng. “Nggak.”

“Kenapa?”

“Hmm apa, ya? Mungkin karena aku tau gimana rasanya kehilangan sosok sahabat kalau akhirnya kita malah jalin status yang beda.”

“Kayak, aku gak bisa nemuin sosok sahabat setelah kita mutusin buat pacaran. Dan aku gak mau kehilangan itu, Agam.”

Sorot mata Agam tidak lepas dari Ocean, ia menatapnya lekat memperhatikan setiap ucapan yang keluar dari bibir kekasihnya itu.

Tidak, Agam tidak pernah marah ketika membahas hal-hak sepertinini. Ia malah selalu ingin tahu tentang semua hal yang berkaitan dengan masa lalu Ocean.

Agam tidak pernah marah sebab ia pikir, semua hal yang terjadi di masa lalu kekasihnya sudah bukan lagi sesuatu yang harus dipermasalahkan. Karena sekarang yang sedang Ocean jalin adalah hubungan dengannya bukan dengan orang lain.

“Aku tuh aneh, kamu kenapa gak pernah marah sih tiap kali aku bahas Jaydan?” Tanya Ocean.

Agam tersenyum jemarinya mengusap punggung tangan Ocean yang ukurannya lebih kecil dari miliknya. “Kan udah aku bilang. Masa lalu ya masa lalu, aku gak bakalan permasalahin itu. Sekali pun saat ini Jaydan masih berhubungan baik sama kamu.”

“Kok kamu percaya? Kok kamu gak cemburu? Kalo aku bohong gimanav kalo aku selingkuh gimana? KOK GAK PERNAH MARAH SIH?!” Tanya Ocean bertubi-tubi membuat Agam tertawa gemas.

“Ngapain? Kan kamu sayang ya sama aku.”

Ocean mendelik. “Sok tau!”

“Kalo gak sayang, kenapa dong kita masih pacaran?”

“Iya sih …” jawab Ocean kemudian ia menyerengeh.

“Ah udah ah, kenapa jadi bahas gini,” ucap Ocean.

Agam lagi-lagi hanya terkekeh dan kembali mengacak puncak kepala kelasihnya itu karena menurut Agam Ocean sangat menggemaskan.

“Kalo aku punya pintu ajaib, kalo aku dikasih kesempatan buat ngulang waktu. Kayaknya aku tuh bakal milih buat ngejar kamu aja deh Gam,” ucap Ocean tiba-tuba.

“Kok gitu?”

“Karena …,” Ocean menghentikan ucapannya kemudian ia menatap Agam.

“Karena …”

“Karena kamu ganteng!” ucap Ocean sambil tiba-tiba melayangkan sebuah kecupan pada pili sebelah kiri Agam membuat lelaki itu terkejut.

“Kebiasaan kamu tuh,” ucapnya sembari terkekeh.

“Gembul pipinya,” jawab Ocean sambil menyentuh pipi Agam.

I love you ya Pak Dokter ganteng!” ucap Ocean yang kembali melayangkan sebuah kecupan kecil pada wajah Agam.

Agam hanya tersenyum dan mengusap Ocean. “Iya Oce iya. I know.”

I love you too nya mana?”

Agam tertawa, kemudian ia merah pergelangan tangan Ocean dan mengecupnya. “I love you too, Alula Ocean.”

Agam tersenyum manis ketika melihat lengkungan indah itu terukir di wajah Ocean.

Sungguh, jika harus ia memberikan semua hal untuk Ocean, Agam akan melakukannya.

Agam sangat mencintai Ocean. Walau kenyataannya ia tidak selalu mengatakan itu. Namun jauh di dalam lubuk hatinya, Ocean itu yang kedua, setelah Bunda.

I hope we are always fine, Oce

Dengan langkah kakinya yang terburu-buru, Agam segera masuk ke dalam apartmentnya. Dan benar saja, ketika ia masuk matanya langsung menangkap Ocean yang tengah duduk dengan matanya yang tengah fokus pada layar laptop di hadapannya.

Ocean menoleh pada Agam yang sudah berdiri sambil menggantungkan jaketnya.

“Udah lama?” Tanya Agam pada perempuan itu.

Ocean menggeleng. “Sekitar dua puluh menit lalu,” jawabnya.

Agam langsung saja menghampiri Ocean dan duduk di sampingnya. “Kok tiba-tiba kesini gak bilang dulu?”

Ocean tersenyum. “Gak boleh?”

“Boleh, cuma aku kaget,” jawab Agam membuat Ocean terkekeh.

Ocean menatap Agam, terlihat kantung matanya yang menghitam lantas jemarinya bergerak mengusap dan membenarkan beberapa helai rambut lelaki itu yang acak.

“Capek? Mandi gih,” perintah Ocean pada Agam.

Lelaki itu menggeleng pelan, kemudian tiba-tiba saja ia merubah posisinya menjadi berbaring dengan kepalanya yang bertumpu pada paha Ocean.

Ocean terkekeh, ia kemudian kembali mengusap lelaki itu.

“Sayang aku,” ucap Ocean sambil mengusap-usap sayang.

Agam memejamkan matanya merasakan usapan lembut itu, dibarengi dengan lengkungan yang merekah di wajahnya.

“Aku kira kamu masih kumpul Agnes,” ucap Agam memecah keheningan.

Ocean menggeleng. “Tadi cuma sebentar, terus aku kepikiran aja mau kesini ketemu kamu,” jawabnya.

“Kangen soalnya sama Pak Dokter,” lanjut Ocean membuat Agam tersenyum.

Jemari Agam bergerak meraih tangan Ocean lalu mengecupnya. “Nih udah aku cium biar kangennya kebayar,” jawab Agam.

Ocean tertawa. “Nih aku juga cium biar kangen kamu kebayar,” jawab Ocean sembari mengecup kening Agam.

“Emang aku bilang kangen gitu? Kok pede banget,” jawab Agam.

“Ih!”

“Awas ah!” Ocean memajukan bibirnya kesal membyat Agam tertawa.

“Becanda sayang.”

“Ayo usapin lagi,” pinta Agam membuat Ocean berdecih namun tangannya tetap menurut untuk terus mengusap Agam.

“Hari ini ada cerita apa?” Ocean bertanya.

“Hmm banyak,” jawab Agam.

“Apa?”

Lelaki itu tersenyum lantas ia menceritakan semuanya. Tentang semua yang ia lakukan di rumah sakit hari ini.

Ocean selalu suka jika Agam banyak berbicara seperti ini. Apalagi ketika ia menceritakan semua hal padanya tanpa harus diminta.

Lengkungan itu tak lepas dari wajah Ocean ketika mendengarkan setiap hal yang keluar dari mulut lelaki itu. Bahkan sesekali ia dibuat tertawa.

Tiba-tiba saja Ocean mengecup kembali kening Agam membuat lelaki itu terkejut.

“Kaget.”

“Hadiah biar capeknya hilang,” jawab Ocean membuat Agam terkekeh.

“Oce …,” panggil Agam.

“Apa?”

Agam menatap Ocean dari bawah lantas tersenyum.

I love you

Ocean tertawa. “Tiba-tiba banget?”

Agam kemudian membenarkan posisinya menjadi duduk dan berhadapan dengan Ocean. Jemarinya bergerak membenarkan rambut Ocean yang menghalangi matanya.

“Cantik banget kamu,” ucap Agam membuat Ocean tersipu.

“Cie salting,” lanjut Agam membuat Ocean memukulnya pelan.

Agam terkekeh, kemudian ia merentangkan tangannya.

“Mau isi baterai dulu sekarang boleh, gak?” Tanya Agam.

Ocean terkekeh kemudian ia mengangguk, lalu sedetik kemudian ia masuk ke dalam dekapan lelaki itu.

Agam memeluk Ocean dan menyesap aroma tubuhnya.

Candu, aroma tubuh perempuan ini selalu jadi candu bagi Agam.

Agam mengeratkan pelukannya. Begitu juga Ocean.

“Kamu tau nggak?”

Ocean menggeleng.

“Aku belum mandi,” lanjut Agam membuat Ocean berusaha melepas dekapan Agam namun lelaki itu menahannya.

“IH BAU!”

Agam tertawa. “Rasain!”

Mereka lantas tertawa bersama. Dan setelah itu melakukan hal-hal sederhana dibarengi dengan percakapan singkat yang terkadang tidak begitu penting.

Mereka membicarakan banyak hal, sampai-sampai mereka lupa bahwa waktu sudah berlalu.

I love you Oce”

Lelaki itu melirik pada perempuan di sebelahnya.

“Mau makan bebek gak? Yang deket rumah sakit,” tanya Agam pada Ocean.

Perempuan itu mengangguk membuat Agam tersenyum seraya mengacak pelan rambutnya.

Ini merupakan hari jumat, dan sudah satu minggu sejak terakhir kali Ocean bertemu dengan Agam.

Suara musik terputar di dalam mobil itu. Suasana jalanan sore pun tidak telalu padat.

Sejak keberangkatannya dari rumah sakit, Agam tidak berhenti tersenyum senang karena ia akan menghabiskan waktunya dengan Ocean—kekasihnya.

Berbicara mengenai Agam, ia dan Ocean sudah berpacaran sejak Agam dan Ocean sama-sama berada di semester enam perkuliahan, dan sekarang mereka sudah lulus.

Agam merupakan mahasiswa kedokteran yang sekarang tengah menjalani coass. Sedangkan Ocean, yang dia lakukan sekarang hanyalah menulis novel sambil mencari-cari info mengenai beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya.

Hubungan Agam dan Ocean sangat baik, bahkan mereka jarang bertengkar. Entah mungkin karena Agam yang selalu sibuk dan Ocean yang sangat pengertian. Sehingga bagi mereka, bertengkat hanya akan menghabiskan tenaga saja.

Agam bersenandung mengikuti alunan lagu yang terputar, sambil sesekali menoleh pada Ocean.

Aneh

Sejak Agam menjemput Ocean, raut wajah perempuan itu terlihat tidak baik. Entah apa yang membuatnya seperti itu.

“Kamu gapapa?” Tanya Agam pada Ocean membuat perempuan itu menoleh.

“Aku?”

“Gapapa kok, emang kenapa?” Ocean balik bertanya.

“Gak sih, aku cuma ngerasa kamu kayak lagi ada masalah dari mukanya. Ada masalah apa?” Tanya Agam sambil fokus pada jalanan.

Ocean hanya menggeleng. “Gapapa kok,” jawabnya kemudian ia terkekeh.

Agam hanya menghela napasnya.

“Beneran?” Tanya Agam memastikan.

Lagi-lagi Ocean mengangguk. “Iya dong,” jawabnya tersenyum.

“Ada juga aku yang harus nanya.”Ocean melanjutkan ucapannya.

“Apa?” Tanya Agam.

“Kamu ada masalah nggak? Gimana harinya? Capek?”

Agam menoleh sekilas kemudian terkekeh. Tangan sebelah kirinya bergerak meraih pergelangan tangan Ocean kemudian mengenggamnya.

“Capek, apalagi minggu ini banyak banget pasien. Mana aku sempet kena marah sama konsulen gara-gara gak teliti dan gak bisa jawab pertanyaan, haha.”

“Terus-terus?”

Agam terkekeh. “Ya gitu, untung aja cuma dimarahin bentar, abis tuh aku disuruh belajar lagi katanya.”

Ocean tertawa. “Kok bisa kamu nggak bisa jawab? Aneh banget, biasanya kamu pinter.”

Agam mengangkat bahunya. “Gak tau, lagi gak fokus kayaknya waktu itu, tapi ya udahlah.”

Keduanya tertawa, kemudian jemari Ocean bergerak mengusap tangan besar yang mengenggamnya itu.

“Gapapa, prosesnya. Semangat sayang aku. Hari ini kita seneng-seneng aja, ok?” ucap Ocean membuat Agam mengangguk dan tersenyum.

Lalu tanpa aba-aba Ocean mengecup pipi Agam membuat Agam terkejut lantas tertawa.

“Kaget.”

“Haha, bonus soalnya Pak Dokter hari ini ganteng!” Jawab Ocean lalu sedetik kemudian keduanya kembali tertawa.

Memang benar, jika mereka ini jarang bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Namun setiap kali mereka bertemu, selalu ada hal yang bisa membuat mereka merasa tenang, nyaman dan hangat.

Dan Agam sangat suka percakapan-percakapan sederhana seperti ini. Singkat namun baginya sangat bermakna.