Sendirian.
Sejak tadi sore, hujan petir belum kunjung usai. Terdengar sangat riuh di telinga orang-orang yang mendengarnya. Deras dan berisik.
Jaydan, lelaki itu kini tengah duduk di samping Ocean yang sudah tertidur di kamar milik perempuan itu.
Tadi, setelah kejadian dimana Ocean menangis di rumah sakit, Jaydan langsung membawanya pulang.
Lelaki itu menghela napasnya seraya mengusap kepala Ocean dengan hati-hati.
Rasanya sesak. Jaydan benci melihat Ocean menangis.
Jika disuruh memilih, Jaydan bahkan lebih rela kehilangan apapun asalkan jangan Ocean.
Katakan saja Jaydan bodoh, sebab yang ia lakukan selama ini selalu saja berusaha terlibat dalam hidup Ocean.
Jaydan tidak ingin Ocean hilang dari hidupnya, meskipun pada kenyataannya Jaydan tidak lagi bisa mengenggam hati Ocean seperti dulu.
Iya, dulu sekali. Jaydan adalah pemenang perihal Ocean.
Seandainya saja dulu Jaydan tidak melakukan kesalahan. Seandainya saja dulu Jaydan lebih dewasa dalam bersikap. Dan seandainya saja dulu Jaydan lebih bisa menjaga hatinya pada orang lain. Mungkin sampai sekarang Ocean masih menjadi miliknya.
Bodoh, Jaydan bodoh. Sebab waktu itu ia malah memilih orang lain dibanding Ocean hanya karena Jaydan merasa kosong untuk sementara.
Mereka terlalu banyak berdebat waktu itu. Entah itu karena Jaydan yang keras kepala atau karena Ocean yang selalu bilang baik-baik saja padahal sebenarnya tidak.
Jaydan cemburu karena sekarang ia tidak bisa sedekat itu dengan Ocean.
Jaydan cemburu sebab sekarang yang Ocean cintai adalah lelaki lain dan bukan dirinya.
Jika bisa ia ingin egois sekali saja, namun terlalu mustahil.
Jaydan sudah merusak semuanya.
Ocean itu, tidak pandai mengutarakan perasaannya. Ia selalu merasa takut jika nanti ketakutannya, kecemasannya, kekhawatirannya ia utarakan, keadaan akan rumit. Ocean benci itu.
Jaydan menatap Ocean dalam, sangat dalam. Bahkan sejak tadi tangannya terus saja mengusap perempuan itu.
Tubuh Ocean menggigil, membuat Jaydan segera menyelimutinya.
“Everything will be okay, don’t blame yourself. You’re not alone, Oce,” gumam Jaydan pelan.
Jaydan tidak ingin meninggalkak Ocean barang sedetik.
Jaydan lalu mengeluarkan ponselnya berniat mengabari Sang Ibu, memberitahukan jika ada hal buruk yang menimpa Ocean.
Namun niatnya ia urungkan ketika ia membaca pesan dari Agnes. Dan tanpa pikir panjang, Jaydan langsung saja beranjak dari kamar itu dan menelpon Agnes.
“Maksud lo apa ngirim chat gitu, Nes?” Tanya Jaydan dalam sambungan itu.
“Gue udah ngasih tau, kan? AGAM KECELAKAAN, OCEAN SENDIRIAN AGNES!” Teriak Jaydan.
“Gue juga sendirian brengsek.”
Jaydan memijat keningnya.
”Gue tau Oce tuh yang utama buat lo. Tapi seenggaknya hargain gue, Jay.”
“Anjing lo.”
“Lo mau berantem cuma gara-gara ini? Serius? Ocean bahkan gak punya siapa-siapa. Harusnya lo ngerti. Harusnya lo nyusul kesini bukan malah ngajak berantem gue.”
Jaydan menghela napasnya.
“Lo egois Agnes,” ucap Jaydan yang langsung saja menutup telepon itu.
Dan ketika Jaydan akan kembali ke kamar Ocean, tubuh Jaydan terpaku karena ia melihat Ocean berdiri di belakangnya.
“Pulang Jay, Agnes lebih butuh lo dibanding gue …”