Thank You For Goodbye
“Haha, bukan kayak gitu ih!”
Gelak tawa terdengar nyaring ketika sepasang kekasih itu tengah membicarakan hal-hal yang tidak penting.
“Kata aku juga sebelum ayam ya telur dulu, kalo gak ada telur ya ayam juga gak ada,” ucap Zeya—perempuan yang kini tengah menahan tawanya.
Lelaki di hadapannya berdecak. “Kalo gak ada ayam, telur gak bakal ada sayang,” ucapnya menyangkal.
Zeya lagi-lagi tertawa.
Entahlah, rasanya sangat menyenangkan membeicarakan hal-hak tidak penting ini bersama Deva.
Jika dipikir, ini sudah lama sekali sejak terakhir kali Zeya menemui Deva dan mengobrol lama seperti ini.
Seingatnya, terakhir kali Zeya melihat Deva adalah ketika mereka melakukan wisuda. Itu pun Zeya hanya melihat Deva dari kejauhan.
Tidak pernah sekali pun Zeya berpikir jika dirinya akan bertemu lagi dengan Deva secepat ini.
Terdengar helaan napas dari Deva yang kini tengah merebahkan tubuhnya dengan kepala yang bertumpu pada paha sebelah kiri si kekasih.
“Berat ih,” ucap Zeya.
Deva hanya terkekeh pelan sambil memejamkan matanya.
“Zey …,” panggil Deva.
“Hmm?”
Deva terdiam, membuat Zeya menatapnya.
Terlihat oleh Zeya, wajah lelaki itu sangat jelas. Setiap inci dari wajah lelaki itu Zeya perhatikan, dan tanpa disadari tangannya pun bergerak mengusap secara perlahan wajah kekasihnya.
Lengkungan tipis mulai terbentuk pada wajah Deva, seiring usapan yang Zeya lakukan.
Deva merain tangan Zeya dan menggenggamnya. Lantas perempuan itu hanya tersenyum.
“Makasih ya, Zey.”
“Makasih terus,” balas Zeya membuat Deva terkekeh.
“Makasih karena waktu itu kamu milih buat lepasin aku,” ucapnya lagi membuat Zeya mengerutkan keningnya.
“Kok makasih?”
Deva tersenyum, kemudian ia membuka matanya dan menatap Zeya dari bawah.
“Karena berkat itu, aku jadi sadar Zey. Kalau ternyata aku memang sesayang itu sama kamu, sampai saat kamu pergi pun aku sama sekali gak bisa lihat orang lain.”
“Berkat kepergian kamu waktu itu, aku jadi ngerti Zey, kalau sesuatu bakal terasa berharga kalau memang udah pergi dan hilang. Maka dari itu, aku sadar kalau seharusnya aku yang berdiri paling depan buat kamu, bukan malah nyia-nyiain kamu dengan kebodohan aku gitu aja.”
Deva berbicara panjang lebar membuat Zeya tertegun.
“Makasih ya sayang, berkat kata selamat tinggalnya waktu itu. Aku bener-bener berterima kasih karena akhirnya aku sadar, kalau memang cuma kamu yang aku mau.”
“Makasih, karena udah mau pulang lagi, walau faktanya aku masih belum bisa janjiin banyak hal perihal bahagia. Tapi dengan kembalinya kamu kesini, aku mau Zey …”
“Aku mau belajar buat perbaikin semuanya jadi lebih baik, walau mungkin juga masih banyak retak yang belum tertutup sempurna.”
Deva kemudian mengubah posisinya menjadi duduk berhadapan dengan Zeya yang masih tertegun mendengar ucapan Deva barusan.
Zeya menatap Deva.
“Kok diem?” Tanya Deva?”
“Aku salah ngomong?” Tanya Deva lagi.
Zeya hanya menggeleng.
“Terus ke—“ belum sempat Deva menyelesaikan kalimatnya tiba-tiba saja Zeya mengecup bibir lelaki itu sekilas, membuatnya terdiam karena terkejut.
Zeya hanya tersenyum membuat Deva terkekeh. “Bandel,” ucapnya.
Zeya hanya menyerengeh. “Hehe …”
“Sini peluk,” ucap Deva sambil merentangkan tangannya yang langsung saja membuat Zeya menghamburkan tubuhnya ke dalam pelukan lelaki itu.
Deva tersenyum hangat, ia kemudian mengecup pucuk kepala perempuan itu berkali-kali.
“I love you, Zey.”