Just You.

Hanya terdengar suara samar klakson dari jalan raya malam ini. Lelaki itu memejamkan matanya sejenak, ketika beberapa saat yang lalu mengirimkan balasan pesan pada Mamanya.

Deva, lelaki itu menghela napasnya, matanya terbuka lantas ia menatap jalanan.

Mobil lelaki itu diam tak bergerak di pinggiran jalan, netranya lalu bergerak menatap sebuah gantungan foto kecil di depannya. Tangannya bergerak untuk melihat dengan jelas foto itu. Deva tersenyum kecil lalu jemarinya bergerak mengusap.

“Canrik …,” lirih Deva ketika melihat potret dirinya dengan Zeya.

Sesak, rasanya sesak sekali ketika mengingat jika sekarang ia sudah berpisah dengan Zeya.

Benar, yang dikatakan Zeya waktu itu benar. Semuanya terlalu tiba-tiba bagi mereka.

Katakan saja Deva lemah, sebab usahanya untuk mempertahankan Zeya kala itu selalu kalah.

Berada di posisi Deva ini sulit, bahkan lebih sulit dari dugaan siapapun.

Harus memilih antara mempertahankan perempuan yang ia cintai atau melawan permintaan perempuan yang sudah susah payah melahirkan dan merawatnya.

Berada di posisi Deva ini sulit. Apalagi ketika kala itu Deva dipaksa untuk meninggalkan Zeya dengan alasan bahagia.

”Hidup Mama sama Ayah gak lama lagi, Dev. Mama pengen yang terbaik buat kamu. Mama pengen lihat kamu hidup dengan wanita pilihan Mama, jadi nurut, ya, nak? Mama gak minta harta kamu, Mama gak minta hal lain selain ini. Jadi nurut ya, nak?

Sempat Deva menolak, namun malah berakhir dengan Mama yang menangis dan sakit.

Sungguh, kelemahan Deva itu adalah Mama. Ia sangat menyayangi Mama lebih dari apapun. Tapi di sisi lain ia juga menyayangi Zeya.

Deva hampir gila kala itu. Ia tidak ingin menyakiti keduanya, namun kenyataan ia harus memilih salah satu.

Berkali-kali Deva mengatakan jika yang ia cintai hanya Zeya, tapi lagi-lagi berakhir dengan penolakan dan restu yang tak kunjung diberikan.

Deva mengacak rambutnya frustasi, ia lelah. Tidak ada kagi sandaran untuknya sekarang.

Tanpa sadar Deva menangis, ia terlalu merindukan Zeya. Ia belum sempat memberikan banyak kebahagiaan untuk perempuan itu, sebab takdir lebih dulu memisahkan mereka.

Entah sadar atau tidak, tetapi saat ini Deva tengah mencari nama Zeya lalu tak lama ia segera menghubunginya.

Hening, hanya terdengar suara sambungan telepon menunggu si pemilik nomor mengangkatnya.

Satu kali.

Dua kali.

Tidak ada jawaban. Sampai akhirnya pada panggilan ke tiga pemilik nomor itu mengangkatnya.

Sial, suara ini yang Deva rindukan.

”Halo …,” ucapnya dari sebrang sana.

Deva hanya terdiam, rasa rindu, rasa sesak, serta rasa bersalah menyatu jadi satu.

Halo, Deva?”

Deva masih terdiam.

Kepencet kali ya? Dev? Gue tut—“

“Zey …,” Deva angkat suara sebelum Zeya menutup telepon itu.

“Gue kangen banget sama lo”

“Kangen banget sampe rasanya gue mau gila Zey.”

“Kosong banget disini, gue kesepian, hidup gue gak sehangat waktu sama lo.”

Hening, di sebrang sana Zeya tidak mengatakan sepatah kata apapun.

Deva terisak pelan, dadanya terlalu sesak.

“Capek Zey, gue capek banget.”

Deva terkekeh. “Kalo aja bisa, kalo aja boleh, rasanya gue pengen lari ke sana Zey buat sekedar minta pelukan lo sebentar aja,” ucap Deva.

“Gue masih pengen sama lo. Tapi kenapa harus kayak gini ya, Zey? Ke apa gue ahrus lepasin lo? Kenapa gue gak bisa mertahanin kita?”

“Zeya …”

“Masih banyak hal yang pengen gue lakuin sama lo, tapi gue gak bisa lakuin itu. Maaf …”

Demi apapun, saat ini Deva terlihat sangat kacau, yang ia pikirkan hanya Zeya, yang ia rindukan hanya Zeya.

“Zey …,” panggil Deva pelan.

Hmm?

Deva terkekeh. “Gue gak tau diri, ya? Nelepon lo jam segini cuma buat bilang hal sampah kayak tadi.”

“Maaf …” Deva menghela napasnya

“Gue cuma gak tau harus kayak gimana lagi.”

“Sesakit itu kehilangan lo Zey, sehancur itu gue tanpa lo Zey.”

“Maaf, maaf, maaf, maafin gue.”

Deva berkali-kali mengucap kata maaf, walau ia tahu jika itu tidak akan pernah bisa mengembalikan keadaan seperti semula.

Lagi, Deva kembali terkekeh pelan sambil menyeka air matanya.

“Gue harus kayak gimana ya, Zey? Sekuat apapun gue bersikap buat gak peduli sama lo, tapi kenyataannya gue gak bisa.”

“Zeya …”

“I miss you,” ucap Deva terisak, bahkan isakan itu terdengar jelas oleh Zeya.

“*It’s okay Dev, gak semua hal bisa berlalu gitu aja.”

Gapapa kalo sekarang lo gak baik-baik aja.

Zeya terdiam sejenak.

Maaf ya …,” ucapnya pelan.

”Maaf karena gue gak bisa lagi ngasih bahu gue buat lo ketika dunia lo lagi hancur.

Terdengar helaan napas dari Zeya. “Pulang Dev, gue tau sekarang lo pergi sendirian.

Pulang, ya? Jangan bikin Mama lo khawatir.”

“*Sekarang ada perempuan lain yang nunggu lo. Jadi pulang, ya, Dev? Jangan kayak gini. Jangan hancurin diri lo kayak gini.”

“Zey ….”

Gue tutup ya, Dev.”

Good night,” ucap Zeya sebelum akhirnya ia memutuskan sambungan telepon itu.

Deva tersenyum tipis lantas ia menarik napasnya dalam.

“Gimana bisa gue pulang ke perempuan lain Zey, sedangkan disini masih lo yang gue mau …,” gumam Deva sambil menatap layar ponselnya.

Deva lagi-lagi menghela napasnya dalam, sebelum akhirnya ia kembali menyalakan mobil dan segera pergi dari sana.

Lantas, tanpa Deva tahu, di sebrang sana Zeya tengah mati-matian menahan tangisnya dari dalam kamar.

“Gue juga sehancur itu Dev kehilangan lo …,” lirihnya.