Empty
Deva mengacak rambutnya frustasi, matanya fokus menyetir menuju tempat yang sudah pasti di datangi oleh perempuan itu.
“Ah anjing,” umpatnya.
Jujur, Deva tidak suka jika ada seseorang yang sampai seperti ini hanya karena dirinya.
Ini sudah hampir satu tahun Zeya meninggalkan Deva, dan selama ini juga perempuan itu terus saja berusaha membuat Deva luluh.
Jika boleh dibilang, terkadang Deva peduli padanya, tapi easa peduli dia jauh lebih kecil dibanding rasanya pada Zeya.
Jalanan cukup macet malam ini, ditambah hujan deras yang terjadi sejak sore hari.
Ponsel Deva bergetar menandakan beberapa pesan masuk dari perempuan itu.
Deva menghela napasnya ketika mendengar tangisan perempuan itu.
Butuh waktu beberapa menit hingga akhirnya Deva sampai.
Buru-buru lelaki itu masuk mencari keberadaannya.
Mata lelaki itu bergerak kesana kemari mencari keberadaan perempuan itu.
Bau alkohol menyengat dari berbagai arah, suasana yang cukup gelap pun membuat Deva kesulitan.
Namun tiba-tiba saja fokusnya berhenti ketika ia melihat perempuan itu tengah duduk dan menangis sambil meminum alkohol.
Deva menghela napasnya, ia marah sangat marah.
Tanpa pikir panjang Deva langsung saja menarik perempuan itu agar mengikutinya.
Napas Deva memburu, lelaki itu kemudian langsung saja membawa perempuan itu ke dalam mobilnya.
“Lo kenapa sih Mim!” Teriaknya.
Entah sadar atau tidak tapi Mima—perempuan itu hanya menatap Deva dan tersenyum.
“Deva hehe …,” ucapnya.
Deva hanya terdiam memperhatikan tingkah perempuan itu.
Mima menangis lalu tertawa, lalu sedetik kemudian ia menarik Deva ke dalam pelukannya.
“Guenitu harus gimana Deva biar lo mau sama gue …,” lirihnya sambil menangis.
“Gue kurang apa sih!”
Deva menghela napasnya, aroma tubuh perempuan itu mirip dengan aroma tubuh Zeya.
Sial, kenapa Mima menjadi seperti ini.
Demi apapun, Deva sangat merindukan aroma ini.
Deva hanya terdiam membiarkan Mima memeluknya sambil menangis.
Jujur saja, Deva sangat kesepian, ia sangat merindukan Zeya.
Tanpa sadar Deva memejamkan matanya dan kembali menyesap aroma tubuh Mima yang sama seperti Zeya.
Entah apa yang ada dipikiran Deva, namun tiba-tiba saja ia melepaskan pelukan Mima dan kemudian ia menatap Mima lekat.
Deva mengikis jaraknya. “Kenapa lo selalu kayak gini, Mim?” Tanyanya.
Jarak mereka semakin menipis.
Mima bisa dengan jelas melihat sorot mata Deva dari dekat.
“Dev, lo sadar, kan?” tanya perempuan itu dengan matanya yang sayu.
Deva mengangguk pelan mendengar pertanyaan dari perempuan itu.
“Iya.”
Mereka saling menatap, terlihat sorot mata Deva yang menyiratkan jika dia benar-benar kesepian dan juga banyak kerinduan di sana.
Deva semakin mengikis jaraknya hingga posisi perempuan itu sedikit tertidur.
“Ok, do whatever you want, I'm yours.”
Deva semakin mengikis jaraknya, lantas perempuan itu memejamkan matanya.
“Gue sayang sama lo Dev, hehe …”