Masih Sama.
Dengan setelan formalnya, lelaki itu berjalan menuju tempat dimana pembukaan akan berlangsung. Banyak sekali orang di sana.
Jujur saja, Deva tidak terbiasa untuk datang ke tempat seperti ini. Bahkan selama ini ia paling enggan berurusan dengan acara perkantoran. Namun karena permintaan sang Ibu mau tidak mau Deva harus menurutinya.
Lelaki itu datang ke acara pembukaan kantor cabang yang entah milik siapa. Ia bahkan tidak tahu perusahaan apa itu.
Deva datang bersama dengan Shabira, perempuan yang beberapa bulan terakhir ini dekat dengan dirinya sebab permintaan orang tua.
Deva menghela napasnya dalam ketika melihat banyak orang di dalam sana.
“Ayo masuk,” ucap Shabira pada Deva. Lelaki itu hanya mengangguk dan berjalan ke dalam.
Orang-orang di sini terlihat sangat berbeda dengan lingkungan kerja Deva, sangat berbeda.
Deva dan Shabira duduk di sebuah meja bertuliskan nama perusahaan milik Ayah Deva.
Mereka berdua disambut hangat membuat Deva dan Shabira tersenyum.
“Rame banget ya, Dev,” ucap Shabira membuat Deva mengangguk.
“Mau minum, gak? Aku ambilin,” tanya Shabira membuat Deva menggeleng.
“Gak usah Sha, nanti aja ngambil sendiri.”
“Yaudah, aku ngambil dulu dessert ya,”* ucap Shabira lagi lantas kemudian dirinya segera beranjak.
Deva menghela napasnya memperhatikan tubuh Shabira yang perlahan menghilang dari pandangannya. Matanya kemudian bergerak memperhatikan orang-orang di sekitar sana.
Awalnya tidak ada yang salah, hingga akhirnya pandangan Deva berhenti pada sosok perempuan yang tengah berjalan kesana-kemari sambil mengambil beberapa potret menggunakan kameranya.
Deva tertegun ketika melihat perempuan itu. Matanya bahkan tak lepas mengikuti pergerakannya.
Tanpa sadar tubuh Deva bergerak berdiri lantas berjalan mendekat dan mengikuti perempuan itu.
Jantungnya berdegup sangat kencang. Langkahnya bergerak cepat mengikuti kemana perempuan itu pergi.
“Zeya!” Teriaknya membuat perempuan itu menoleh ke belakang.
Keduanya sama-sama tertegun.
Tanpa sadar langkah kaki Deva bergerak mendekat.
“Zey …,” panggilnya lagi ketika dirinya kini berdiri tepat di hadapan perempuan itu.
“Dev …”
Demi apapun, Deva merindukannya, sangat.
Sorot matanya, bibirnya, hidungnya, dan semua hal yang ada pada perempuan itu Deva merindukannya.
Tanpa aba-aba Deva kemudian memeluk Zeya, membuat Zeya terpaku.
“Zey, I miss you,” lirihnya.
Zeya terdiam, ini terlalu tiba-tiba baginya. Setelah sekian lama, kenapa harus bertemu di sini?
Hatinya mencelos ketika Deva memeluknya.
Pelukan itu sangat erat, membuat Zeya berusaha melepaskan pelukannya.
“Dev … sorry,” ucap Zeya yang langsung membuat Deva melepaskan pelukannya dan sedikit menjauh.
“Maaf, maaf Zey,” ucapnya kemudian menunduk.
Hening beberapa saat, Zeya menunduk dan sesekali memperhatikan Deva yang tengah memainkan ujung lengan bajunya.
“Apa kabar?” tanya mereka berbarengan.
Deva tersenyum kaku, begitu juga dengan Zeya.
“Lo duluan,” ucap Zeya.
“Apa kabar, Zey?” Tanya Deva pada Zeya.
“Baik, lo gimana?”
Deva menatap Zeya sekilas. “Baik juga,” jawabnya kemudian tersenyum.
“Emh …”
“Lo, lo ke sini juga?” Tanya Zeya sedikit terbata-bata.
Deva mengangguk Lantas terlekeh pelan. “Iya di suruh Mama,” jawabnya membuat Zeya mengangguk.
Zeya kembali menundukkan kepalanya kemudian kakinya bergerak, berusaha menghilangkan rasa gugupnya.
“Udah berapa lama ya, Zey, kita gak ketemu? Dari mulai kita balikan sampai akhirnya udahan lagi, kayaknya baru kali ini kita ketemu lagi,” ucap Deva kemudian terkekeh.
“Haha iya, udah lama,” jawabnya.
“Lo kesini sama siapa?” Lagi, mereka kembali bertanya berbarengan.
“Haha,” Zeya tertawa begitu juga Deva.
“Lo sama siapa ke sini, Dev?” Tanya Zeya membuat Deva terdiam.
Zeya memperhatikan raut wajah Deva yang seketika berubah. “Sama calon lo, ya?” tanya Zeya lagi.
Zeya terkekeh. “Mana Dev calon, lo? Kenalin dong,” lagi, Zeya kembali berbicara sedangkan Deva hanya menggaruk kepalanya dan tersenyum kaku.
“Itu Zey anu emh …”
“Iya, gue ke sini sama Shabira.”
“Di suruh Mama,” lanjutnya.
Zeya hanya mengangguk.
“Lo sama siapa?”
“Gue?”
“Gue ke sini sama temennya Abang, Jarel,” ucap Zeya.
“Jarel? Laki-laki yang selalu Zeya posting?”
Pikir Deva.
Keduanya kembali terdiam. Entah kenapa tapi ini rasanya canggung sekali, padahal jauh di dalam lubuk hati Deva, banyak sekali hal yang ingin ia katakan pada Zeya, termasuk ia yang masih mencintainya.
“Emh, Zey …,” panggil Deva pelan.
“Iya Dev?”
“Asing banget ya kita sekarang, hehe.”
Zeya terdiam.
“Padahal Zey, banyak banget hal yang pengen gue bilang sama lo setelah sekian lama kita gak ketemu, tapi rasanya sulit banget, haha.”
Deva menghela napasnya. “Maaf ya tadi gue tiba-tiba meluk lo,” ucap Deva pada Zeya. “Dan tiba-tiba bilang kangen haha, sorry bikin lo gak nyaman.”
Deva menatap Zeya, kemudian entah keberanian dari mana Deva mengikis jaraknya dengan Zeya.
“Zey …”
“Gue gak bahagia …,” lirihnya menunduk.
“Setelah kehilangan lo, gue gak bahagia Zey.”
“Gue harus gimana?”
Zeya menatap Deva yang tengah menunduk.
“Lo bahagia gak, Zey?” Tanya Deva lagi yang kini mengalihkan pandangannya untuk menatap mata Zeya.
Mata mereka bertatapan satu sama lain, dalam sangat dalam.
Sial, Deva ternyata benar-benar merindukan perempuan ini.
Zeya menghela napasnya kemudian ia tersenyum.
“Gue bahagia Dev,” ucapnya membuat Deva terpaku.
“Apapun yang gue jalanin sekarang, gue selalu bahagia Dev,” jawabnya.
“Termasuk kehilangan kita, Zey?”
Zeya terdiam.
Deva terkekeh.
“Dev.”
“Kehilangan itu konsekuensi, kan? Lo gak perlu nanya apa gue bahagia atau enggak ketika kehilangan lo. Dan jawabannya pun lo pasti tau, kalo gue gak bahagia ketika kehilangan lo.”
“Tapi Dev, kalo ditanya. Apa sekarang gue bahagia? Jawabannya iya, Dev. Gue bahagia.”
“Gue bahagia karena gue udah bisa nerima semuanya, termasuk kehilangan lo,” jawab Zeya lagi membuat Deva menunduk.
Rasanya sesak sekali.
Zeya kembali menghela napasnya lantas tangannya bergerak mengusap pundak Deva dan ia tersenyum.
“Lo juga harus gitu, ya, Dev?”
“Zey …”
“Gue masih sayang sama lo.”
Zeya menatap Deva lembut. “Gue juga Dev.”
“Tapi jalannya udah beda, kan?”
“Zey …,”
Zeya menghela napasnya.
“Dev, acaranya mau di mulai, gue ke dalam dulu, ya? Lo juga gih, takut dicariin sama calon lo.”
Zeya tersenyum dan menepuk pundak Deva. “Gue duluan, ya,” ucap Zeya yang kemudian melangkah pergi meninggalkan Deva.
Tubuh Deva berputar mengikuti arah kepergian perempuan itu, lantas ia menarik napasnya dalam berusaha melepaskan rasa sesaknya.
“Zey, perasaan gue buat lo masih sama …,” lirih Deva.