It’s Over.

Malam ini rasany seperti tercekik, lelaki itu bahkan merasa kesulitan untuk sekedar bernafas lega.

Jalanan terlihat cukup padat, apalagi suara klakson dari berbagai arah benar-benar membuatnya pening.

Tatapannya hanya kosong ke depan, dan yang ada dipikirannya saat ini hanya Ocean.

Tadi, Agam baru saja selesai menemui Dokter Pahmi, sebab seluruh kelompok koas Agam disuruh berkumpul. Banyak hal yang dibicarakan, terutama evaluasi para koas yang membuat kesalahan. Termasuk Agam, ia pun sempat terkena amarah karena Agam sempat telat untuk mem-follow up pasien.

Rasanya kepala Agam ingin pecah apalagi setelah ia membaca pesan dari Ocean.

Pikiran Agam kalut, dan tanpa berlama-lama Agam pergi menuju kediaman Ocean.

Kenapa harus seperti ini? Rasanya terlalu mendadak bagi Agam ketika tiba-tiba saja Ocean mengatakan ingin berakhir.

Butuh waktu setengah jam untuk sampai ke kediaman Ocean, labtaran jalanan yang macet ditambah hujan yang cukup deras.

Agam berlari kecil dengan tubuhnya yang sedikit kehujanan ketika akan masuk ke tempat itu.

Ketika sampai di depan pintu tempat tinggal Ocean, Agam buru-buru memencet kata sandi yang seperti biasanya. Namun alih-alih terbuka, justru peringatan salah sandi yang muncul.

“Oce …” panggil Agam.

“Buka dulu, ini aku,” lagi Agam memanggil Oce sambil mengetuk pintunya.

Agak menghela napasnya, ia berkali-kali menghubungi Ocean namun tidak ada jawaban. Sampai akhirnya pada panggilan ke-15, pintu itu terbuka.

Mata mereka bertemu, Agam bisa melihat jika tangan sebelah kiri Ocean di gips.

Agam menghela napasnya, tanpa berbicara apaoun ia masuk dan menarik Ocean pelan agar duduk di sofa. “Kenapa bisa gini?”

Ocean hanya terdiam. Sedangkan Agam, ia menatap Ocean lalu perlahan ia memeriksa setiap bagian dari tubuh perempuan itu, untuk melihat apakah ada luka parah atau tidak.

Agam kembali menghela napasnya ketika melihat ada lebam di pelipis Ocean, ia lantas berdiri dan segera membawa kain dengan air hangat, lalu ia membuka tasnya untuk mengambil beberapa plester di kotak P3K yang selalu ia bawa.

“Pulang aja G—“

“Mana lagi yang sakit?” Agam memotong ucapan Ocean.

“Kenapa bisa kayak gini? Kamu kenapa gak hati-hati?”

“Ini patah?” Tanya Agam dibalas anggukan oleh Ocean membuat Agam kembali menarik napasnya lalu mengusap tangan Ocean yang patah dengan pelan.

“Ocean …” Agam menatap Ocean lekat.

Lalu tanpa aba-aba Agam menarik tubuh Ocean agar masuk ke dalam pelukannya. Agam memeluk Ocean erat.

“Maaf ya, maaf aku gak pernah sigap disaat kamu perlu aku.”

Ocean terdiam, ia merasa sesak apalagi ketika kejadian sebelumnya dimana Ocean melihat Bella menggenggam tangan Agam erat, membuatnya menangis tanpa suara di pundak lelaki itu.

“Capek Gam …,” lirih Ocean pelan.

“Aku capek banget.”

Agam perlahan melepaskan pelukannya, ia kemudian menatap Ocean. Perlahan jemarinya bergerak mengusap air mata yang jatuh di kedua pipi perempuan itu.

“Ocean …”

Let’s break up, Gam.”

Agam terdiam.

“Kita sama-sama capek sekarang. Aku yang selalu ngerasa kamu gak peka, dan kamu yang terlalu percaya sama aku sampe kadang kamu lupa nanyain apa aku baik-baik aja atau nggak.”

“Kamu selalu ngerasa aku ini baik, padahal nggak Agam.”

Ocean menatap Agam.

“Karena tadi kamu liat aku jagain Bella makanya kamu mau udahan?” Agam bertanya.

Ocean menggeleng.

“Terus kenapa?”

“Kenapa tiba-tiba Oce?”

“Ada masalah ap—“

“Gan, kamu gak seharusnya selalu ngasih uang ke Mama aku tiap Mama minta.”

Agam terdiam.

“Kenapa gak pernah bilang ke aku kalo Mama selalu minta kamu buat kirim uang ke dia?”

“Buk—“

“Aku malu …,” lirih Ocean memotong ucapan Agam lantas kemudian ia terisak.

“Mama bukan tanggung jawab kamu. Aku nggak suka, Gam.”

Agam terdiam.

Benar, tanpa sepengetahuan Ocean, Alin selalu meminta Agam untuk mengirimkannya uang dengan dalih jika ia tidak ingin merepotkan Ocean.

Agam yang memang merasa simpati pun tidak bisa menolak apalagi mengingat jika Alin adalah ibu dari perempuan yang Agam cintai.

Bukan, ini bukan hanya tentang Agam yang terus saja dekat dengan Bella. Tetapi banyak sekali hal yang membuat Ocean merasa jika dirinya hanyalah beban bagi Agam, padahal sebenarnya Agam tidak pernah merasa begitu.

“Aku malu Gam …”

Agam kembali memeluk Ocean.

“Selama ini aku sering banget ngerasa gak sebanding sama kamu. Aku gak sehebat kamu. Gak sepinter kamu.”

I don’t deserve you, Gam.”

Agam menggeleng, ia mengeratkan oelukannya. “Jangan gitu, maaf, maaf karena aku gak terbuka karena aku gak mau bikin kamu kepikiran banyak beban.”

“Gak mau udahan. Kita bisa bica—“

“Gak bisa Gam.” Ocean menggeleng kemudian ia melepaskan pelukan Agam.

“Kenapa gak bisa, Ce?”

“Semua hal bisa diperbaiki kalau kit—“

“Gak bisa Agam.”

“Ocean …”

I don’t love you anymore.”

DEG!

Agam terpaku mendengar ucapan itu, lantas ia menatap lekat sorot mata Ocean.

“Jangan becanda Ocean. Aku tau kamu bohong.”

“Kita udah gak cocok, Gam. Dan kalau dipaksa kenyataannya malah kita sering berantem, kan?”

“Capek Gam. Dan aku tau, disini kamu lebih capek.”

Agam tidak lepas menatap Ocean. Ia lalu tersenyum tipis. “Jaydan lebih baik ya buatmu Ce?”

“Kenapa bawa Jaydan? Gak ada urusan.”

“Ya terus kenapa kamu tiba-tiba gini? Aku gak ngerti.”

“Kita udah gak cocok, Gam.”

“Alesan kamu gak masuk akal Ocean.”

Did I hurt you? aku bikin salah apa sampe kamu mutusin kayak gini?”

“Ini bukan kamu Oce.”

“Kamu ken—“

“YA KARENA KITA EMANG UDAH GAK COCOK AGAM!” Tiba-tiba saja Ocean berteriak membuat Agam terdiam.

Ocean menunduk ia kemudian beranjak dari duduknya dan mencoba menarik Agam. “Pulang.”

It’s over, kita selesai Gam.”

Agam berdiri menatap Ocean.

“Gak cocok, ya?”

Agam terkekeh pelan. “You liar.”

Ocean memejamkan matanya. “Pulang Gam.”

“PULANG!” Teriak Ocean lagi sambil menangis.

Lalu tanpa pikir panjang Agam meraih tasnya dan segera beranjak dari sana. “Oke kalo emang mau kamu gitu.”

“Egois,” ucap Agam sebelum akhirnya ia benar-benar pergi dari sana dan membanting pintu itu sangat keras.

Ocean menatap kepergian Agam kemudian ia menjatuhkan dirinya dan menangis sangat keras.