Mama.
Butuh waktu sekitar 4 jam untuk sampai ke kediaman Alin—Mama Ocean.
Selama perjalanan, Ocean tidak berhenti berdoa supaya nanti Alin tidak mengatakan hal yang tidak mengenakan.
Saat ini, Agam dan Ocean sudah berada di sana.
Benar kata Akin, ia sudah mengundang teman-teman arisannya untuk datang.
Sejak sampai di sana, yang Ocean lakukan hanya duduk sambil memperhatikan setiap sudut rumah itu. Rumah yang duluanya menjadi tempat ia pulang.
Ocean rindu, apalagi ketika memorinya bersama Sang Ayah terlihtas.
Ocean bahkan masih ingat, dulu ketika semuanya belum berakhir. Mereka merupakan keluarga yang bahagia. Ocean bahkan tidak pernah berpikir jika ternyata Alin sangat haus akan uang.
Semuanya berubah ketika waktu itu Praga—Ayah Ocean mengalami kendala keuangan di perusahaannya. Yang menyebabkan mereka harus mengadapi krisis ekonomi untuk waktu yang cukup lama. Hingga akhirnya Alin memutuskan untuk bercerai karena ia tidak ingin gaya hidupnya yang selalu mewah harus berhenti begitu saja.
Waktu perceraian itu, Ocean masih berada di kelas 1 sekolah menengah atas.
Setelah perceraian, Ocean tinggal bersama Alin sampai ia menginjak semester 3 perkuliahan, sampai akhirnya Ocean memutuskan untuk tinggal sendiri sampai sekarang.
Ocean menghela napasnya, ia kemudian menunduk sejenak berusaha menahan air matanya agar tidak keluar.
“Are you okay?” tanya Agam yang duduk di sampingnya.
Ocean menoleh lantas ia mengangguk.
“Adik kamu gak di sini?” Tanya Agam pada Ocean.
“Bukan adik aku, Gam. Dia anak selingkuhannya Mama.”
Agam terdiam kemudian ia menghela napasnya. Agam lalu beranjak. “Ayo ke sana. Gak enak sama Mama kamu,” ajak Agam sambil menarik Ocean agar mengikutinya. Mau tak mau Ocean pun menurut.
Sekarang mereka sudah duduk di meja makan. Ada Alin dan juga beberapa temannya.
Sungguh, Ocean sangat benci melihat gaya hidup Alin yang selalu berfoya-foya. Padahal kenyataannya finansial dirinya masih kurang untuk itu.
“Nih, ini calon menantuku. Dia dokter loh say,” ucap Alin sambil menarik pundak Agam dan membanggakannya di depan kerabatnay itu.
“Wah, hebat sekali. Kamu dokter apa?” Tanya salah seorang.
Agam hanya tersenyum kaku. “Saya masih ngejalanin koas tante, masih dokter muda, hehe …,” jawab Agam.
Alin hanya tersenyum. “Tidak apa-apa. Sudah hebat! Mama bangga sekali sama kamu.”
Agam tersenyum kaku. Sedangkan Ocean hanya terdiam.
“Ini Alula, ya? Sudah besar sekarang. Kamu kerja dimana?” Tanya salah satu teman Alin.
Belum sempat Ocean menjawab, Alin lebih dulu memotong.
“Alula gak kerja say, dia memang rada pemalas. Dia cuma nulis novel-novel apalah itu aku juga gak ngerti apa benefitnya, haha …,” Alin tertawa sedangkan Ocean mengerutkan keningnya.
Agam menoleh pada Ocean kemudian ia meraih tangan Ocean dan mengusapnya.
“Waduh, gimana? Masa pacarmua dokter tapi kamunya gak kerja? Aduh, kalau tante jadi kamu mah malu atuh neng,” ucap teman Alin lagi membuat Ocean menarik napasnya.
“Ya namanya anak muda say. Susah di bilang. Memang sifat Alula juga keras kepala seperti ayahnya. Pusing aku juga, gak tau mau jadi apa kedepannya,” ucap Alin lagi.
“Berarti selama ini kamu minta uang sama pacar kamu dong Lula?” Tanya teman Alin lagi.
“Eh Jeng, jangankan sama Lula. Ini Jeng Alin aja dibeliin tas mahal.”
Agam menatap orang itu. Sungguh ia tidak berpikir jika semua ucapan itu akan keluar.
“Wajar sih ya, Alula cantik gini. Tinggal dandan dan senyum juga siapa yang gak tertarik ya Jeng,” ucap salah satu orang di sana lagi.
“Memang kalau perempuan cantik seperti kamu pintar narik laki-laki, entah itu dengan wajah atau mungkin, badan? Haha,” mereka tertawa.
Ocean tiba-tiba saja berdiri dan menatap semua orang.
“Tante …”
“Saya memang belum kerja, kuliah S2 pun nggak. Tapi saya gak pernah jadi murahan cuma buat uang,” ucap Ocean sambil menatap Alin dan teman-temannya bergantian.
Agam menarik tangan Ocean supaya ia tetap tenang, namun Ocean sudah sakit hati oleh perkataan mereka.
“Uang-uang terus yang ada di otak kalian.”
“ALULA!” Bentak Alin.
“APA?! Mau marah? Mau nampar?”
“Mama juga, sadar Ma. Gak semua hal harus pake uang. Aku muak banget.”
“Dari awal juga aku gak mau pulang. Liat buktinya apa? Mama sama temen-temen Mama ini malah ngerendahin aku. Padahal aku anak Mama.”
“Ayo balik Gam! Gak ada guna terus disini,” ucap Ocean sambil menarik Agam.
“ALULA OCEANA!” Alin berteriak namun Ocean tak mendengarkannya.
Ocean berjalan sangat cepat sambil menggenggam tangab Agam.
Lalu, sesampainya di dalam mobil Ocean hanya terdiam menatap kosong ke depan lantas ia menangis.
Agam yang menyaksikan itu langsung menarik Ocean ke dalam pelukannya.
“Agam aku gak pernah jual apa-apa ke kamu. Aku gak pernah kayak gitu …” isak Ocean.
Agam memeluk Ocean, ia berkali-kali mengecup puncak kepala Ocean dan mengusapnya. “Iya nggak, kamu gak kayak gitu.”
“Jangan diinget lagi.”
“Maaf ya … maaf kamu harus denger hal kayak gitu tadi.”
Ocean memeluk Agam erat. “Agam jangan kemana-mana.” Ocean terisak dengan wajah yang ia sembunyikan di leher Agam.
Agam menghela napasnya.
“Aku gak bakal kemana-mana.”
“Maaf ya, harusnya aku gak maksa kamu buat nurutin kemauan Mama buat pulang.”
“Maaf, Ocean …”
“Mau pulang …,” pinta Ocean.
“Iya kita pulang ya, udah jangan nangis lagi,” ucap Agam sambil mengusap air mata Ocean kemudian setelah itu ia pun langsung menancapkan gasnya untuk pergi dari rumah itu.