Don’t Leave Me.

Kedua mata mereka bertemu, Agam menatap Ocean yang berdiri di ambang pintu.

Agam memperhatikan Ocean sejenak, sebelum akhirnya ia melangkah maju dan memeluk Ocean begitu saja. Lantas ketika mereka tengah saling memeluk, suara petir muncul membuat Ocean mengeratkan oelukannya pada Agam.

It’s okay, aku disini Oce,” ucap Agam lembut.

Perlahan Agam membawa Ocean masuk ke dalam dan mereka duduk di sofa.

Gelap, ruangan itu gelap, hanya lampu dapur yang menyala, bahkan gorden pun tertutp rapat. “Sebentar aku nyalain dulu lampinya,” ucap Agam sembari melangkah ke arah sakali untuk menyalakan lampu.

Agam berbalik kemudian kembali melangkah mendekati Ocean yang tengah duduk.

Agam menghela napasnya. Ia lalu duduk di samping Ocean. Mata Agam bergerak memeriksa setiap bagian dari tubuh Ocean, takut jika ada luka disana.

Ocean hanya menunduk, jemari Agam perlahan bergerak mengusap kepala Ocean lalu ia meraih tangannya dan mengusap dengan lembut.

Are you okay?” Tanya Agam lembut.

Ocean masih menduduk.

“Ocean …,” panggil Agam.

“He—“ ucapan Agam terhenti ketika ia mendengar suara isakan kecil dari Ocean.

Ocean menatap Agam dengan matanya yang sudah mengeluarkan air mata. “Takut,” ucap Ocean.

Agam menatap perempuannya itu, ia lalu mengusap air matanya. Tanpa aba-aba Agam kembali memeluk Ocean.

Ocean menangis di pundak Agam, pelukan Agam semakin erat, dan lelaki itu menepuk-nepuk pundak Ocean lembut membiarkan Ocean menangis.

Hangat, pelukan Agam selalu hangat.

Ocean semakin terisak, ia benci situasi ini. Situasi ketika ia ingin lepas dari Agam, namun kenyataannya Ocean selalu perlu Agam.

Tanpa sadar, Ocean pun mengeratkan pelukannya.

“Tutup telinganya, aku disini Oce,” gumam Agam lembut.

Agam masih saja mengusap Ocean, ia berusaha meneangkan perempuannya itu.

Agam paham, dan ia sangat tahu mengenai Ocean. Bahkan jika dibanding teman-teman yang sudah lama mengenal Ocean, Agam adalah orang yang lebih paham.

Ocean ini sangat takut pada petir. Sebab katanya ketika Ocean kecil, ia selalu mendengar pertengkaran antara kedua orang tuanya, dan anehnya pertengkaran mereka selalu dimulai bersamaan dengan hujan dan petir.

Ocean benci, sebab rasanya telinga Ocean seperti akan pecah, selalu ada bayang teriakan-teriakan mengerikan di kepalanya. Bahkan Jaydan pun tidak pernah tahu akan hal itu.

Selama ini, Agam yang selalu ada. Agam selalu jadi yang pertama.

Ocean, benar-benar selalu merasa aman jika bersama Agam.

Meskipun nyatanya Agam terlihat tidak memperhatikan, namun tanpa Ocean sadar, Agam adalah orang yang paling tahu mengenai dirinya.

Bahkan sekarang Agam rela pergi menemui Ocean, padahal ia masih harus ada di rumah sakit.

“Oce, jangan ngehindar.”

“Jangan selalu ngerasa kamu gak pantes.”

Agam menghela napasnya. “Aku tau apa yang kamu pikirin selama ini.”

“Oce …”

“Gak seharusnya gini.”

“Masih kurang ya usaha aku?”

Ocean menggeleng.

“Gam, i’m scared.”

“Aku …”

“Aku takut Gam.”

Agam terdiam.

“Aku takut jadi beban buat kamu, masa depan ka—“

Agam melepaskan pelukannya lalu ia menangkup wajah Ocean.

“Udah aku bilang, kamu gak pernah jadi beban buat aku Ocean.”

I love you, i love you so much, Oce.”

Ocean menatap Agam, ia kemudian kembali menangis.

Ocean mengeratkan pelukannya. Agam menghela napasnya.

“Jangan kayak gini, ya? Sakit Ce, rasanya hancur banget.”

“Maaf …,” lirih Ocean pelan.

Don’t leave me, Ocean.”

I don’t want to lose you.

I’m not going anywhere, Oce. Gak akan pernah.”

Agam mengusap Ocean lembut, berkali-kali ia mencium kepala perempuan itu.

Sulit bagi Agam untuk menerima keputusan Ocean waktu itu, bahkan sampai sekarang Agam masih selalu dan akan selalu berusaha ada untuk Ocean.

“Maaf Agam …,” lirih Ocean.

“Iya, gapapa,” jawab Agam lembut.

Tidak banyak yang Agam minta, ia hanya ingin Ocean bersamanya, sudah itu saja.