Janji.

Angin sore rasanya dingin seperti menusuk pori-pori kedua manusia itu.

Agam dan Ocean, dua orang yang saat ini tengah duduk di bangku taman sambil memperhatikan pemandangan danau di depannya.

Ada beberapa orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Entah itu hanya berduaan, bersama hewan peliharaannya, atau yang sedang memotret beberapa spot disana.

Ocean tersenyum tipis kala matanya melihat beberapa anak kecil yang tengah berlarian tak jauh dari tempatnya duduk.

“Ngetawain apa?” Tanya Agam ketika menyadari hika Ocean tengah tertawa.

Ocean menunjuk ke arah anak-anak membuat mata Agam ikut bergerak mengikuti arah telunjuknya.

Agam memperhatian Ocean, lantas tiba-tiba daja ia pun mengacak puncak kepala Ocean gemas.

“Berantak Agam,” sambung Ocean sambil berusaha merapikan kembali rambutnya yang sedikit acak akubat Agam.

Agam hanya terkekeh pelan. “Cantik kok,” jawab Agam membuat Ocean berdecih namun sedikit malu.

Agam menggerakan tangannya untuk menarik tubuh Ocean supaya mendekat. Kemudian ia merangkul dan mengusap bahu Ocean lembut.

Ocean hanya diam mengikuti, kemudian kepalanya ia sandarkan pada pundak lelakinya itu.

Agam menghela napasnya. “Oce,” ucap Agam.

“Hmm.”

“Tau gak?”

Ocean menggeleng. “Nggak.”

“Ish, kan aku belum selesai.”

Ocean tertawa pelan. “Haha iya, apa?”

I don’t love you anymore,”ucap Agam pelan, membuat Ocean langsung menghadapa Agam.

“Gam?”

Agam menoleh pada Ocean.

“Lima kata yang selamanya bakal aku benci.”

“Aku, nggak suka ketika waktu itu kamu ngeluarin lima kata itu.”

Ocean terdiam.

Agam menatap Ocean dalam, jemarinya kembali bergerak mengusap dan membenarkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Ocean akibat tertiup angin.

“Jangan bilang itu lagi, ya, Ce.”

Ocean menunduk, kemudian tak lama ia mengerucutkan bibirnya. “Maaf,” gumamnya.

Agam hanya tersenyum. “Gapapa.”

“Yang penting sekarang kamu masih disini, Ce.”

Sungguh, terkadang Ocean bertanya-tanya. Kenapa bisa ia mendapatkan sosok seperti Agam?

Ocean benar-benar beruntung.

Tiba-tiba saja sesuatu memenuhu pikiran Ocean.

Haruskan ia mengatakannya sekarang?

Raut wajah Ocean berubah gelisah dan Agam menyadarinya. “Kenapa?”

“Hmm? Kenapa apanya?” Tanya Ocean balik.

“Ada yang mau diomongin?”

Sial, Agam terlalu peka untuk semua hal yang terjadi diri Ocean.

Ocean terkekeh. “Kamu emang bisa ngerasa, ya? Tau aja,” ucap Ocean.

Agam hanya tersenyum. Jemarinya perlahan turun dan meraih jemari Ocean yang terlihat lebih mungil dari ukuran jemari tangannya.

“Kenapa sayang?” Tanya Agam lembut.

Ocean perlahan menatap Agam. Ia kemudian menghela napasnya.

“Gam.”

“Apa?”

“Kamu nggak malu, ya? Pacaran sama aku?”

Agam menatap tajam Ocean.

“Ih maksudnya tuh. Aku kan belum kerja, kerja juga kadang aku dapet uang jajan cuma karena bantu edit-edit naskah orang. Itu juga kalo diminta. Atau gak aku cuma dapet uang dari Ayah.”

Ocean menunduk. “Kamu gak malu?”

Agam menggeleng.

Ocean menghela napasnya. “Gam.”

“Hmm?”

“Mau nunggu nggak?” Tanya Ocean.

Agam mengangkat sebelah alisnya. “Nunggu? Maksudnya?”

Mereka saling berpandangan. Lidah Ocean sedikit kelu ketika ingin berbicara. Lantaran ia takut.

“Apa Oce? Nunggu apa?”

Alih-alih berbicara, Ocean malah kembali menunduk.

Agam kembali mengeratkan genggamannya dan berusaha membuat Ocean menatapnya. “Hei ada apa?” Tanya Agam.

“Nunggu apa? Kamu mau kemana?”

Ocean memberanikan diri menatap Agam.

“Gam,” lagi-lagi Ocean memanggil Agam.

“Iya apa Oce? Ada apa?”

“Aku mau ngejar S2.”

Mata Agam membulat. “SERIUS?” ucapnya menaikkan nada suara.

“Ih jangan kenceng-kenceng.”

Mata Agam terlihat berbinar. Ia kemudian langsung memeluk Ocean. “Aku dukung, aku bantu, kamu butuh apa? Bilang sama a—“

“Bukan disini,” jawab Ocean memotong.

Agam mengerutkan dahinya.

“Maksudnya?”

“Bukan disini, Gam.”

“Lah, terus?”

“Jerman,” balas Ocean menunduk.

Agam terdiam berusaha mencerna perkataan Ocean.

“Nggak disini aja?” Tanya Agam.

Ocean menggeleng.

“Kenapa harus Jerman?”

“Ce?”

Ocean menghela napasnya. Ia kemudian mengusap punggung tangan milik kekasihnya itu. “Karena waktu itu, aku mau ngehindar dari semua hal yang berhubungan sama kamu, Gam. Aku mau nyoba buat buka lembaran baru tanpa ngelibatin kamu. Makanya kamu pilih buat lanjut ke luar.”

“Kenapa? Kenapa harus gitu?” Tanya Agam.

“Karena waktu itu, aku takut. Aku takut sama banyak hal. Dan aku pikir, kita gak bakal balik lagi. Tapi nyatanya sekarang aku balik lagi ke kamu,” ucap Ocean menjelaskan.

“Bisa nggak, kalo disini aja?”

Ocean menggeleng. “Nggak bisa Agam.”

“Aku udah nyiapin semuanya. Dan juga, aku gak mau ngerepotin ayah lagi.”

“Ayah udah nyiapin semua yang aku perluin buat disana. Dan kalau aku bilang gak jadi, aku takut ayah mikirnya aku gak bener.”

“Aku gak mau ngecewain ayah juga,” ucap Ocean.

“Terus aku?” Tanya Agam menatap Ocean.

“Aku gimana?”

Ocean menunduk.

“Kita harus jauhan lagi, ya, Ce?”

“Maaf …,” gumam Ocean.

“Maafin aku,” ucapnya lagi.

Agam menghela napasnya. Namun, alih-alih marah. Agam malah mengusap Ocean dan perlahan menarik tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya.

“Ce …,” ucap Agam sambil memeluk Ocean.

I will support you. Semua hal yang berkaitan dengan kamu, aku bakal selalu ada disini buat dukung kamu.”

“Pergi, aku gak bakal ngehalangin kamu buat raih apa yang kamu mau.”

Ocean mengeratkan pelukannya pada Agam sambil menahan tangisnya.

I’m here. I’m not going anywhere. Selamanya aku bakal disini buat kamu. Sekali pun aku harus nunggu seribu tahun, aku bakal nunggu kalo memang itu perlu.”

Agam menarik napasnya dalam lantas tersenyum.

“Jangan nangis, masa mau tinggal di negara orang gampang nangis?”

Agam terkekeh ketika Ocean menangis dalam pelukannya.

Agam lantas melayangkan kecupan pada puncak kepala Ocean.

“Selamat berproses ya, Ocean. Dan kamu harus inget satu hal. Dalam semua hal, dalam setiap proses yang kamu tempuh. Aku disini, Ce. Jadi jangan banyak takut, ok? You’re not alone.

“Tapi janji, Ce.”

“Janji buat pulang, ya?” Pinta Agam kemudian Ocean mengangguk.

“Janji.”