Jjaejaepeach

Janu sedang duduk lalu memperhatikan lelaki di sepannya yang kini tengah tertidur atau lebih tepatnya memejamkan matanya sejenak di tempat tidur miliknya.

“Lo pikir ini rumah lo apa?” Tanya Janu.

“Hmm” jawab Biru.

“Ck. Kita bahkan gak akrab tapi lo nyerobot masuk aja ke rumah gue” ucap Janu.

Biru menghela napasnya tanpa menjawab perkataan Janu.

“Jan...” ucap Biru.

“Lo tau gak rasanya jadi anak buangan?”

Janu mengangkat sebelah alisnya, tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Biru.

“Gue pikir selama ini gue itu anak paling beruntung, gue pikir selama ini, gue itu anugerah bagi orang tua gue...”

“Biru...”

“Iya Jan, ternyata selama ini gue bukan anak kandung dari keluarga yang selama ini besarin gue, dan parahnya, gue itu anak yang di buang di depan panti asuhan. Hahahahahaha. ANJINGGG!”

Jujur saja, Janu bahkan terkejut mendengar perkataan Biru, tapi entah kenapa, saat ia melihat raut wajah lelaki itu, Biru mengingatkannya pada Bumi. Raut wajah menyedihkan itu benar-benar sama persis.

“Papa, dia akhir-akhir ini terus nyariin gue Jan. Awalnya gue pikir dia cuma iseng, tapi ternyata dia itu beneran orang yang selama ini gue cari-cari”

“Papa?” Tanya Janu.

Biru bergumam “hmm, papa.”

“Biru, kayaknya gue tau sesuatu deh...”

Sore itu, Senjani dan Biru pergi ke tempat dimana Bumi beristirahat.

Dengan perasaan bahagianya, Senjani duduk di samping makan itu.

“Hai Bumi...” ucap Senjani, lalu perempuan itu mengusap pelan batu nisan bertuliskan nama lelaki kesayangannya.

“Kangen Senja, gak?” Tanya Senjani, meskipun ia tahu tidak akan ada jawaban.

“Bumi, maaf ya Senja baru makin kesini, maaf Senja baru pulang.”

Perempuan itu lalu menyimpan bucket bunga disana.

“Liat deh, aku bawa bunga matahari, suka enggak?”

Senjani terkekeh, lalu tak lama ia terdiam.

“Bumi, Senja kangen banget sama Bumi” ucap Senja sambil bersusah payah menahan tangisnya.

Di sampingnya, Biru mengulurkan tangannya lalu mengusap pelan pundak Senjani, guna menenangkannya.

Senjani menoleh pada Biru.

“Oh iya...”

“Bumi, coba tebak aku bawa siapa? Kamu pasti kaget, ya?” Senjani terkekeh.

Biru tersenyum “Hai Bumi, gue Biru, kata Senja, kita mirip kayak kembar” ucap Biru.

Senjani lagi-lagi terkekeh “Iya! Kalian mirip banget haha”

“Bumi...” tiba-tiba saja Biru berucap.

“Makasih ya udah dateng ke mimpi gue dan nyuruh gue buat jagain perempuan itu, sekarang gue tahu, kalau Senjani sangat-sangat berharga...” Biru tersenyum.

“Gue janji, gue bakal jaga dia seperti yang lo lakuin, mungkin? Tapi beneran deh, gue bakal jadi pelindung buat dia mulai sekarang”

Senjani menoleh lalu tersenyum pada Biru.

“Biru...”

“Terima kasih”

Lagi dan lagi, hanya rasa sesal yang kembali menyelimuti hidup Johnny. Lelaki berusia empat puluh tujuh tahun itu bahkan berkali-kali menangis sendirian di sudut kamarnya.

Saat ini, lelaki paruh baya itu tengah berdiri di suatu bangunan yang tampak asing baginya. Johnny bahkan tidak pernah berpikir akan seberani ini untuk menginjakkan kakinya disini.

Johnny menghela napasnya, lalu perlahan ia mulai memencel bel rumah itu. Perasaannya sungguh tidak karuan, rasa takut pun menyeruak hampir ke suluruh ruang di dadanya.

Tak membutuhkan waktu lama, pintu itu terbuka, dan menampakkan seseorang, yang sepertinya tidak jauh berbeda dengan umurnya.

“Tunggu, jangan di tutup” ucap Johnny sambil menahan pintu yang di paksa untuk tertutup oleh perempuan itu.

“Pergi, kamu salah orang” ucapnya.

Namun sayang, sekuat apapun perempuan itu menarik pintunya agar tertutup, tetap saja, tenaganya terlalu kecil di banding dengan Johnny.

Mau tidak mau, perempuan itu terpaksa membuka pintu dan mempersilahkan Johnny untuk masuk.

Johnny menatap perempuan yang kini tengah duduk di hadapannya.

“Ada perlu apa?” Tanya perempuan itu.

“Raya?” Ucap Johnny.

Perempuan itu menghela napas.

“Iya, saya Raya” ucapnya.

Kini Johnny yang menghela napas.

“Raya, boleh saya bertemu Biru?” Ucap Johnny.

Perempuan bernama Raya itu diam.

“Saya tahu ini semua kesalahan saya tap—“

“Kemana saja?” Potong Raya

“Selama dua puuh tahun terakhir ini, kemana saja? Kenapa baru mencari Biru sekarang?”

“Raya...”

“Selama ini Biru hanya punya saya, saya yang mati-matian menghidupi Bumi dengan jerih payah saya sendiri”

“Maaf” Johnny menunduk.

Memang benar, selama ini Raya hanya hidup bersama Biru, ia yang merawat Biru dari kecil hingga bisa seperti sekarang, ia yang mati-matian berjuang demi bisa membiaya segala kebutuhan Biru.

“Kenapa?” Tanya Raya.

Johnny mengangkat kepalanya, lalu menatap perempuan di hadapannya itu.

“Kenapa kamu dulu ninggalin Biru di depan panti asuhan?”

Johnny hanya diam.

“Kenapa kamu tega meninggalkan seorang bayi dengan hanya sepucuk surat yang terselip di bajunya?”

Lagi dan lagi, penyesalan kembali menyesakkan dada Johnny. Kejadian wkatu itu, tiba-tiba saja terlintas di pikirannya.

Bodoh, Johnny bodoh.

“Kenapa?”

“JAWAB!” Teriak Raya tiba-tiba.

“Kamu tahu? Betapa menderitanya anak itu selama ini? Di saat semua teman-temannya dengan lantang membanggakan sosok ayah di hidupnya, Biru cuma bisa menangis diam-diam. Kamu tahu? SELAMA INI YANG SELAMU BIRU CARI ITU ADALAH SOSOK AYAH!”

Dengan napas yang tersenggal-senggak, Raya terisak.

Johnny beranjak, lalu bersimpuh di hadapan Raya sambil terisak meminta maaf.

“Maaf, maaf, maafkan saya” ucap Johnny.

“Harusnya dulu saya tidak melakukan hal itu, harusnya dulu saya tetap membawa anak itu pulang, harusnya saya tidak memisahkan dua orang putra saya, harusnya saya tidak takut akan kenyataan saat itu. Saya bodoh, maaf, tolong maafkan saya” ucap Johnny terisak.

Dan tanpa mereka sadari, di luar sana, ada seseorang yang sejak awal mendengar dengan jelas percakapan mereka.

“Jadi, Biru bukan anak kandung mommy...?”

Biru melangkahkan kakinya dengan cepat sesaat setelah ia mendapat sebuah pesan dari, papa?

Entahlah, bahkan perasaan Biru saat ini tidak karuan, tapi anehnya, ia tetap melangkahkan kakinya untuk menemui lelaki itu.

Jantung Bumi berdetak sangat cepat, pikirannya berkecamuk.

Papa? Apakah benar jika yang kini tengah menunggunya itu papanya?

Biru menghentikan langkahnya,

“Biru!!” Teriak seseorang membuat Biru menoleh.

“Mom?”

Perempuan yang barusan memanggil Bumi itu berlari, lalu mendekap erat tubuh anak lelakinya.

“Ayo pulang, udah malam ayo.” Ucap Raya sembari menarik tangan Biru.

“Ayo cerita, kenapa?” Tanya Senjani pada Biru yang kini tengah duduk bersandar di bawah pohon.

Biru menoleh pada perempuan di sampingnya.

“Senja, kenapa Tuhan selalu ngasih skenario yang gak terduga, ya?”

Senjani terdiam saat mendengar ucapan Biru.

Kata-kata ini...

Dengan cepat Senjani menggelengkan pelan kepalanya, lalu ia menatap Biru sambil tersenyum “lagi ada masalah, ya?”

Biru mengangguk pelan.

Entah keberanian dari mana, Senjani tiba-tiba saja meraih tangan Biru, ia lalu mengusapnya pelan.

“Aku gatau masalah apa yang lagi kamu hadapi Biru, tapi apapun itu masalahnya, tolong tetap kuat, ya? Semuanya pasti ada jalan, semua bakal baik-baik aja”

“Jangan sedih, ya? Senja gak suka liatnya”

Biru menatap lekat netra coklat milik perempuan itu, lalu Biru tersenyum.

“Senjani, kamu cantik.

“Terima kasih, ya?”

Saat ini Senjani sudah berada di dalam mobil bersama lelaki bernama Biru.

Sepanjang jalan, perempuan itu hanya diam, sesekali ia melirik wajah lelaki yang kini tengah menyetir.

Untuk kesekian kalinya, Senjani merasa jika lelaki ini adalah Bumi, padahal jelas-jelas mereka itu dua orang yang berbeda.

“Kenapa liatin?” Ucap Biru, membuat Senjani kaget.

“E-engg”

“Keliatan, kalau mau liat saya jangan setengah-setengah” ucapnya lagi membuat Senjani terdiam.

Lalu terdengar suara kekehan, membuat Senjani menoleh.”kenapa?”

Biru menggeleng “gapapa, lucu aja”

“Hah?”

“Kamu lucu, tiap kali saya ngomong kamu kayak takut gitu, padahal santai aja kali”

Senjani hanya diam. Tapi sebenarnya dia memang takut sih.

“Senja”

Perempuan yang di panggil namanya itu menoleh “iya?”

“Perihal yang saya bilang tadi malam di chat”

Senjani mengangkat sebelah alisnya “apa?”

“Kamu siapa? Kenapa kamu ada di mimpi saya?”

“Hah?”

“Sudah dua kali kamu ada di mimpi saya. Lalu ada lagi satu orang yang mirip saya”

Perempuan itu terdiam sejenak, mencoba mencerna perkataan lelaki di sampingnya itu.

“Dia bilang...”

“Tolong jaga Senjani”

Senjani terduduk di balkon apart miliknya, sambil menyeduh sebuah teh hangat, perempuan itu menghela napasnya.

Hampir satu tahun lamanya, Senjani masih saja merasa kesepian, masih ada sesuatu yang hilang dalam dirinya.

Hatinya masih terluka, serpihan-serpihan yang pecah begitu saja masih belum kembali utuh.

Tanpa ia sadari, ia meneteskan air matanya. “Bumi...” gumamnya.

Angin malam itu semakin membuatnya terasa seperti manusia yang kehilanhan jiwanya.

Rasanya terlalu dingin dan sepi.

“Hei...” Tiba-tiba saja sebuah suara membuyarkan fokusnya.

Senjani mematung kala melihat seseorang berdiri di hadapannya sambil tersenyum.

Perempuan itu menangis “Bumi...” Ia lalu berlari memeluk erat tubuh itu. Tubuh yang selalu ia rindukan.

Lelaki di hadapannya tersenyum, lalu ia mengusap pelan pucuk kepala Senjani, mengusapnya dengan lembut, lalu mengecupnya.

“Hei, kok nangis?”

Senjani terisak “Bumi, kemana aja? Aku kangen banget sama kamu...”

Terdengar suara kekehan “Senja, jangan nangis...” ucap Bumi.

“Inget gak aku pernah bilang apa?”

“Aku gak pernah suka liat kamu nangis, apalagi gara-gara aku...”

Perempuan itu terisak “Bumi, jangan pergi, jangan ninggalin Senja...” lirihnya.

Bumi lalu memeluk erat tubuh mungil perempuan itu “Aku gak pernah pergi Senja...” ucapnya.

“Capek, ya?”

Senjani mengangguk.

“Maafin aku, ya? Maaf karena aku gak ada di saat kamu lagi sedih” ucap Bumi, membuat Senjani semakin terisak.

“Bumi, tau gak? Aku gak pernah tidur tenang, aku selalu inget sama kamu.”

“Aku kangen suara kamu, aku kangen tatapan kamu, aku kangen Bumi, aku kangen semua tentang kamu. Kamu yang selalu ada di samping aku, kamu yang selalu berusaha ngasih apapun buat aku. Bumi, aku kangennn banget.” Senjani terisak

“Bumi, jangan pergi lagi, ya? Aku takut sendirian..” lirihnya.

Bumi lagi-lagi gersenyum “Aku disini, aku gak pernah pergi.”

“Tidur, ya?”

Senjani menggeleng.

“Enggak, aku gamau, aku takut kamu pergi.

Bumi terkekeh “aku gak pergi Senja, ayo tidur, nanti aku usapin kepalanya”

“Janji gak pergi?”

Bumi mengangguk “Iya”

“Yaudah ayo bobo, usapin, ya?”

Bumi dan Senjani lalu tertidur, Senjani memeluk tubuh Bumi dengan erat.

Perempuan itu takut, sangat takut jika lelakinya pergi lagi.

Bumi lalu mengecup pelan pucuk kepala Senjani.

“Selamat tidur Senja...”

*

Senja diam-diam mengikuti seseorang yang memang sudah ia lihat sejak Senja dan Jani sampai di sebuah taman disana.

Entah kenapa Senjani sangat penasaran dengan orang itu.

Dia Bumi? Dia siapa? Pertanyaan ini selalu saja terlintas di pikiran Senjani.

Saking penasarannya, Senja nekat membuntuti lelaki itu dan Senja memmotretnya diam-diam.

Benar saja, seperti dugannya selama sebulan terakhir ini. Lelaki itu mirip Bumi, percis seperti Bumi. Dari mata, hidung, bahkan senyumnya. Lelaki itu benar-benar seperti Bumi.

Tanpa sadar Senjani berlari menghampiri lelaki itu.

“BUMI!!!” Teriak Senjani.

Perempuan itu tersenyum sambil melambaikan tangannya pada Bumi.

Lelaki itu menoleh pada Senjani.

“Bumi... ini Bumi, kan?” Ucap Senjani yang kini berada di hadapan lelaki itu.

Lelaki mirip Bumi itu mengangkat sebelah alisnya.

“Bumi jawab.. kamu Bumi, kan? Iya, kan?”

“Bumi, sumpah, ini kamu, kan?”

Senjani menggenggam sebelah lengan milik lelaki itu.

“Bumi, ini aku Senja, inget? Ini aku Bumi...” ucap Senjani dengan matanya yang berbinar.

“Bumi ja—“

Lelaki itu melepaskan genggaman Senjani.

“Samudera, nama saya Samudera.”

“Bisa tolong lepaskan? Saya buru-buru”

Senjani terdiam, lalu ia melepaskan genggamannya.

Senjani menggelengkan kepalanya.

Bagaimana bisa? Kenapa ada orang semirip itu? Dari mulai mata, hidung, bahkan suaranya?

Senjani lagi-lagi terdiam. Perempuan itu bahkan tidak bisa mencerna apa yang terjadi sekarang.

Perempuan itu menatap punggung lelaki yang kini menjauh dari pandangannya.

“Kamu bukan Bumi?” Gumamnya.

Saya disini

Lea membaringkan Galen di kursi depan mobil miliknya. Setelah sebelumnya ia pergi ke tempat yang telah Tara kirimnya, lalu menemukan Galen yang tengah mabuk berat.

Entahlah, Lea juga tidak mengerti mengapa ia bisa merasa se khawatir ini pada Galen.

Lea membuka jas yang Galen pakai, menyisakan kemeja putih di tubuhnya.

Perempuan itu dengan hati-hati mengusap pelan keringan di kening Galen, lalu diam-diam menatapnya.

“Eung...” lenguh Galen.

Lea terperanjat kaget, lalu menjauhkan dirinya dari Galen.

Tubuh Galen bergerak tidak nyaman.

Dengan memberanikan dirinya, Lea mengusap pelan kepala Galen lalu menyandarkan kepala itu pada pundaknya.

“Dara...” gumam Galen.

Lea terdiam saat mendengar ucapan Galen.

Tiba-tiba saja terdengar suara isakan dari lelaki itu.

“Andara...” ucapnya lagi.

Lea menghela napasnya. Entah kenapa rasanya sesak sekali mendengar Galen mengucap nama itu.

“Galen, hei. Bangun...” ucap Lea sambil berusaha membangunkan Galen.

Isakan lelaki itu semakin keras dan terdengar menyedihkan.

Galen kenapa? Ada masalah apa?

Pertanyaan itu terus saja berputar di kepala Lea.

“Andara...” lagi, Galen bergumam, lalu tak lama ia memeluk erat tubuh Lea.

Lea terdiam sejenak, lalu entah pikiran dari mana ia balik memeluk erat tubuh Galen.

“Galen, saya disini, jangan nangis...” ucap Lea sambil mengusap lembut pucuk kepala Galen.

Sore itu, Johnny dan Azri pergi ke sebuah tempat untuk menemui Clarissa, mantan istri sekaligus ibu dari anak-anaknya.

Tak membutuhkan waktu lama, mereka sudah sampai disana.

Ada beberapa orang disana yang sedang bermain dan duduk di halaman tempat itu.

Netra Johnny menangkap seorang perempuan yang sedang duduk di kursi halaman bangunan itu.

Johnny dan Azri mendekat ke arah perempuan itu.

“Mama...” ucap Azri tersenyum.

Perempuan itu menoleh, lalu tersenyum.

Azri memeluk erat Clarissa.

“Mama, lagi apa disini?” Tanya Azri.

Clarissa menatap Azri sambil tersenyum, lalu tangannya terulur untuk mengusap pelan pucuk kepala Azri.

“Ekhem...”

Clarissa menoleh kala mendengar suara deheman. Lalu perempuan itu tersenyum, ia berdiri dan memeluk tubuh Johnny.

“Sayanggg...” ucap Clarissa.

Johnny hanya tersenyum sambil balik memeluk tubuh perempuan itu.

“Lagi apa disini hmm?”

Clarissa terkekeh.

“Itu loh, Bumi lagi lari-larian disana, dia bilang pengen main. Yaudah aku temenin aja disini.” Ucap Clarissa sambil terkekeh.

Johnny dan Azri saling berpandangan mendengar ucapan Clarissa.

Azri menghela napasnya, sakit sekali rasanya ketika melihat keadaan Clarissa seperti ini.

Azri berdiri, lalu menuntun tubuh Clarissa agar duduk di sampingnya.

“Mama tebak, kakak sama papa bawa apa buat mama?”

“Jeng-jeng, makanan kesukaan mama. Cheesecake blueberry”

Clarissa tersenyum “ih, kalian beli dimana? Kok belinya gak ngajak mama...”

Azri terkekeh “tadi Azri sama papa beli di jalan ma”

Clarissa membuka bungkusan itu.

“Bumi sayang, sini nak. Papa sama kakak bawa cheesecake kesukaan mama. Sini makan bareng semuanya. Jangan lari-lari terus” ucap Clarissa.

Lagi dan lagi, hanya sesak yang memenuhi dada Azri serta Johnny.

Clarissa berbicara seolah-olah Bumi ada disini, seolah-olah Bumi ada di sampingnya.

Johnny berbisik pada Azri “jagain mama dulu ya kak, papa mau kesana”

Azri mengangguk.

“Sayang, aku beli minum dulu, ya? Lupa tadi gak beli” ucap Johnny pada Clarissa.

Clarissa mengangguk “John, ini katanya Bumi juga mau nitip minuman kesukaan dia. Beliin, ya?”

Johnny mengangguk “iya”

Tanpa mereka tahu, sebenarnya Johnny diam-diam pergi masuk ke mobilnya, ia menangis disana.

Sakit sekali rasanya melihat keadaan Clarissa, perempuan yang bahkan masih sangat ia cintai sampai sekarang.

Memang, sejak saat itu, saat dimana Bumi pergi. Clarissa sering menangis, bahkan tiba-tiba saja ia tertawa. Pikirannya seolah mengatakan jima semua ini hanya mimpi.

Keadaan Clarissa semakin memburuk, ia jadi selalu berhalusinasi seolah Bumi masih hidup, seolah Bumi adalah seorang anak kecil. Clarissa selalu merasa bahwa Bumi ada disini, bersamanya dan tidak pernah pergi kemana-mana.

Namun, dibalik itu semua. Diam-diam Clarissa juga sering menangis, jika pikirannya kembali mengingat tentang kejadian dimana Bumi pergi. Ia akan tiba-tiba saja mengingat perlakuannya pada Bumi selama ini.

Keadaan ini yang membuat Clarissa terpaksa di tempatkan di Rumah Sakit Jiwa. Karena sejak saat itu, mental Clarissa jadi terganggu, ia bisa tiba-tiba saja menangis dan mengamuk.

Hidup Clarissa kini hanya di penuhi dengan rasa penyesalan. Kesalahannya yang membuat dirinya jadi seperti ini. Berpikir seolah Bumi tetap disini, di sampingnya.