Jjaejaepeach

Senjani dan Janu kini tengah berada di sebuah tempat makan yang biasanya di datangi oleh para mahasiswa disana.

“Mau makan apa?” Tanya Janu

Senjani membolak-balikan menu di hadapannya. “Ini aja deh salad”

“Loh? Gak makan nasi?”

Senjani menggeleng pelan “gamau hehe”

Janu menghela napasnya “yaudah”

Sambil menunggu makanan datang, diam-diam Janu memperhatikan wajah perempuan di hadapannya. Nampak kantung mata yang sedikit menghitam disana juga wajahnya tak secerah dulu.

“Jani...”

Senjani menoleh “apa?”

“Jangan keseringan nangis, ya?” Ucap Janu.

Senjani hanya tersenyum “Susah”

“Jan—“

“Kamu tau gak sih Nu? Tiap hari aku kangen banget sama Bumi, tiap hari aku ngerasa ada yang hilang disini” ucap Senjani sambil menunjuk dada sebelah kirinya.

“Disini rasanya kosong Nu, ada bagian yang hilang entah kemana, aku juga berusaha buat kuat, tapi apa? Nyatanya aku gak bakal bisa sekuat itu Janu...” ucap Senjani dengan suara bergetarnya.

Memang benar, selepas kepergian Bumi, Senjani seperti kehilangan jiwanya, seperti ada yang hilang pada dirinya, terasa kosong dan hampa.

“Jani, lo tau gak?”

Senjani menggeleng pelan.

“Dulu, waktu awal kita disini, di Paris. Bumi selalu minta gue buat diem-diem jagain lo, Bumi selalu minta gue selalu di sisi lo Jan. Dan gue pun gak keberatan.”

“Jani, gue tau pasti berat bukan cuma buat lo, bahkan gue juga masih ngerasa sedih, bahkan setelah hampir setengah tahun Bumi pergi. Tapi lo sadar gak sih? Kalo lo sedih terus-terusan kayak gini, Bumi disana juga pasti sedih sekaligus ngerasa bersalah karena udah ninggalin lo.”

“Senjani, bukannya hidup harus terus berjalan walau masih ada luka yang bahkan masih basah dan belum kering? Jadi, jangan nangis lagi, ya? Gue disini sama lo...”

Definisi cinta itu apa sih sebenarnya?

Kata beberapa orang cinta itu indah, cinta itu hal luar biasa yang wajib di nikmati setiap insan, cinta abadi, cinta itu saling memiliki, cinta itu saling melengkapi, dan cinta itu saling menguatkan satu sama lain.

Lantas jika benar begitu adanya, kenapa harus ada perpisahan yang menyebabkan luka?

𝗘𝗺𝗽𝗮𝘁 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗟𝗶𝗺𝗮; 𝗧𝗲𝗿𝗶𝗺𝗮 𝗞𝗮𝘀𝗶𝗵 𝗕𝘂𝗺𝗶

Sore itu, merupakan hari pemakaman Bumi. Semua orang datang kesana, kecuali Clarissa.

Setelah Bumi menghembuskan napas terakhirnya, Clarissa bahkan tidak berhenti menangis, kadang kalah ia berusaha untuk mengakhiri dirinya sendiri.

Ah bicara soal pemakaman, hari ini. Johnny, Azri, Senjani, Janu, dan juga teman-teman Bumi, mereka semua ada disana, mengantarkan Bumi untuk berisirahat dengan tenang di rumah barunya.

Johnny, lelaki yang berperan sebagai ayah dari Bumi, kini ia mengusap pelan batu nisan bertuliskan nama putranya.

Ia menghela napas, sudah cukup ia menangis. Bumi bilang, Johnny tidak boleh menangis. Bumi bilang, Johnny harus bahagia.

Johnny mengusap dan mencium batu nisan itu “hei jagoan, udah gak sakit lagi, ya? Disana udah tenang, ya?”

Pertahanan Johnny akhirnya runtuh, ia tidak sekuat itu. Ia terisak “maafin papa, maaf, maaf papa belum bisa ngasih kebahagiaan buat kamu, maaf...” johnny terisak.

Azri berjongkok lalu mengusap pelan pundak Johnny. Ia lalu beralih menatap setumpuk tahan dihadapannya.

“Bro, udah gak sakit lagi, ya?” Azri terkekeh, lalu tak lama ia terisak.

“Maaf, maaf, maafin kakak. Harusnya dari dulu kakak ada di samping kamu...” azri terisak.

Johnny lalu merangkul Azri, ia memeluknya, lalu mereka berdua menangis.

Di sisi lain, Senjani juga terisak pelan. Ia mengusap pelan batu bertuliskan nama lelaki kesayangannya.

“Bumi...”

Senjani terisak.

“Kamu hebat...”

“Makasih ya udah bertahan sejauh ini. Mulai sekarang kamu gak bakal lagi ngerasa sakit, kamu udah sembuh...”

Pertahanan Senjani semakin runtuh, ia menangis.

“Bumi, terima kasih untuk segala kebahagiaan yang kamu pancarkan, kamu hebat Bumi...”

“Aku sayang kamu, semuanya sayang kamu...”

“Bumi, terima kasih kasih sudah kuat dan menjadi seseorang paling berharga di dunia ini. Istirahat dengan tenang ya sayang. Aku sayang sayang kamu...”

“Bumi Putra Langit, terima kasih.”

𝗘𝗺𝗽𝗮𝘁 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗘𝗺𝗽𝗮𝘁; 𝗬𝗮𝗻𝗴 𝗣𝗮𝗹𝗶𝗻𝗴 𝗞𝗲𝗵𝗶𝗹𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻

Clarissa baru saja tiba di rumah sakit.

Pesan terakhir yang ia terima adalah pesan dari Bumi, anaknya. Bumi bilang, ia ingin memeluk Clarissa.

Entah mengapa, hati Clarissa begitu sakit saat membaca pesan terakhir itu.

Clarissa melangkahkan kakinya ke ruangan dimana Bumi di rawat. Namun tak lama, langkah kaki Clarissa terhenti saat melihat beberapa orang tengah menangis di depan ruangan itu. Termasuk Azri, anak kesayangannya. Anak itu sedang menatap kosong ruangan itu.

“Kakak...” ucap Clarissa pada Azri.

Azri menoleh, lalu tiba-tiba saja ia mengampiri Clarissa dan berteriak.

“BUMI PERGI! PUAS? MAMA PUAS HAH?!!”

Tangisan yang sejak tadi Azri tahan kini meluap kala melihat Clarissa.

“M-maksudnya?” Ucap Clarissa

“BUMI PERGI BUMI UDAH GAK ADA! MAMA, BUMI MA...” Azri berteriak frustasi, ia menangis di hadapan Clarissa.

Clarissa menjatuhkan dirinya.

“Gak, gak mungkin, ini bohong, bahkan mama belum ketemu Bumi...”

Clarissa beranjak, ia lalu masuk dan melihat jika di dalam sana Johnny dan Senjani sedang menangisi tubuh seseorang yang tertutup kain putih.

“B-bumi...”

Clarissa berlari, lalu memeluk tubuh anak yang sudah tidak bernyawa itu, ia menangis, berteriak sambil memeluk anaknya.

“Bumi nak, bangun sayang, maafin mama” Clarissa menangis.

Johnny yang melihat itu sangat sakit, bodoh, ia bahkan tidak bisa marah saat melihat tangisan Clarissa.

“Hei sayang, Bumi, bangun nak. Mama bahkan belum ngobrol sama kamu. Ayo bangun...”

“BUMI BANGUN!!! KAMU BAHKAN BELUM MELUK MAMA...” Clarissa berteriak, menangis. Ia berusaha membangunkan wajah pucat anak itu.

Sakit, sangat sakit. Semua perlakuannya terhadap Bumi selama ini, tiba-tiba saja terlintas di pikirannya.

Jahat, jahat sekali.

“Bumi bangun... ayo... mama... disini...” ucap Clarissa lirih

“Bumi, maafin mama...”

“Ayo marahin mama, ayo pukul mama, mama gak akan marah. Bumi bangun. BANGUN BUMI BANGUN!!!!” Teriakan Clarissa bahkan terdengar sangat menyedihkan.

Seketika dunianya runtuh.

Kenapa bisa Tuhan membawa anak ini pergi? Bahkan Clarissa belum sempat memeluk dan mengucap maaf pada anaknya itu. Hancur, ia sangat hancur.

Bahkan Clarissa tidak pernah berpikir bahwa kehilangan anak yang selama ini ia anggap sebagai anak pembawa sial, ternyata mampu membuat dunianya seketika runtuh.

Bodoh, Clarissa bodoh.

Kini hanya penyesalan yang menyeruak ke seluruh hatinya.

Anaknya pergi, anakn yang bahkan sebenarnya tidak bersalah.

Lagi-lagi karma itu menang benar adanya. Clarissa, wanita yang bahkan tidak akan pantas di sebut sebagai ibu, kini ia kehilangan. Kehilangan orang paling berharga yang seharusnya ia rawat dari dulu.

Bahkan, dari semua orang, ia adalah satu-satunya orang yang yang paling kehilangan.

Mungkin benar, penyesalan paling pedih ialah saat orang yang bahkan seharusnya ia anggap, kini sudah tidak ada lagi.

Mulai sekarang, seumur hidup Clarissa, ia hanya akan hidup dalam penyesalan, bahkan sampai mati.

𝗘𝗺𝗽𝗮𝘁 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗧𝗶𝗴𝗮; 𝗦𝗲𝗴𝗮𝗹𝗮𝗻𝘆𝗮

Senjani dan Bumi tertawa, mereka berdua kini tengah berada di taman rumah sakit yang memang memiliki pemandangan yang cukup bagus.

“Senjani, duduk disana, yu” pinta Bumi.

Senjani lalu mendorong pelan kursi roda itu. Dengan pelan, ia menuntun Bumi agar bisa duduk di kursi taman itu.

Bumi menghela napas sesaat setelah ia duduk disana.

Senjani terkekeh, lalu memperhatikan dengan lekat wajah Bumi yang terlihat kurus.

Rambutnya, alisnya, bahkan wajah yang sebelumnya selalu terlihat ceria dan bersinar, kini terlihat sangat pucat.

Tangan Senjani terulur lalu mengusap pelan wajah Bumi.

“Bumi...”

Bumi menoleh “hmm?”

“Capek, ya?” Tanya Senjani.

Bumi hanya tersenyum, lalu mengangguk. “Capek, capek banget Ja”

Senjani menepuk pelan pundaknya “sini, senderan disini.” Ucap Senjani.

Bumi lalu bersandar di pundak Senjani.

“Bumi, tau gak? Aku udah list semua keinginan yang bakal kita lakuin nanti kalo kamu udah sembuh”

“Hmm, terus” ucap Bumi.

“Terus nanti, Bumi ikut ke Paris, ya? Aku udah izin sama papa kamu hehe”

“Bumi, aku pengen punya rumah deket pantai ih sama kamu, nanti biar kita gak jauh kalo lagi mau kesana”

Bumi hanya terkekeh pelan.

“Bumi..”

“Hmm”

“Sembuh, ya?”

“Senjani...” ucap Bumi dengan intonasi suara yang lemas.

“Apa?”

“Aku sayang kamu, sayang banget...”

“Ja, jangan terlalu peduli sama orang lain, ya? Kamu juga harus mikirin kebahagiaan kamu...”

“Bumi...”

“Senjani, jangan sakit, aku gak suka liatnya”

“Bumi...”

“Jani, aku capek banget, pengen tidur, ya?” Bumi lalu memejamkan matanya.

“Bumi...”

“Hmm?”

“Jangan ninggalin aku, ya? Aku sayang banget sama kamu tau gak? Jadi kamu harus sembuh, pasti sembuh...”

Entahlah, perasaan Senjani begitu buruk saat ini.

Ia takut, semua pikiran yang selalu menghantuinya terjadi. Ia takut, sangat takut.

Dengan pelan, Senjani menoleh pada Bumi yang kini memejamkan matanya dengan sangat tenang.

“Bumi...”

Senjani terisak, dunianya hancur, semestanya hancur, kala melihat Bumi terkulai di pundaknya.

“Bumi...” Senjani terisak.

“B-bangun...” lirih Senjani

“Bumi...”

“Jangan ninggalin aku”

Lagi-lagi Senjani terisak. Ia bahkan tidak bisa mendengar respon apapun dari Bumi.

“Bumi...” Senjani menghela napas, berusaha keras menahan sesak yang membuncah di dadanya.

“Bumi, capek, ya? Bobonya nyenyak, ya?”

“Bumi, aku sayang kamu, kita semua disini sayang kamu Bumi. Kamu segalanya, kamu hebat, kamu lelaki paling hebat. Aku sayang kamu sayang banget. Bumi...” Senjani terisak.

“Selamat beristirahat”

Perempuan itu lalu menangis sejadi-jadinya. Hancur, semestanya hancur, dunianya runtuh.

Lelakinya pergi, pergi ke tempat yang sangat jauh. Bahkan, tidak akan pernah bisa kembali.

Sekarang Bumi sudah tertidur, ia tidak akan merasakan sakit apapun lagi. Semesta bahkan terlalu menyayangi Bumi, sampai-sampai di detik terakhir hidupnya, ia memiliki perempuan hebat yang selalu bersamanya sampai akhir.

Bumi, terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Sekarang, kamu baik-baik saja.

Bumi Putra Langit.

Selamat beristirahat.

𝗘𝗺𝗽𝗮𝘁 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗧𝗶𝗴𝗮; 𝗦𝗲𝗺𝗯𝘂𝗵, 𝘆𝗮?

Senjani mengusap pelan lengan milik Bumi, perempuan itu tidak berhenti tersenyum.

Ini sudah tiga hari sejak Bumi bangun dari koma. Bumi hanya tersenyum pelan saat melihat perempuan kesayangannya kini berada disini bersamanya.

“Kenapa hmm?” Ucap Bumi dengan intonasi suara yang masih terdengar lemas.

Senjani menggeleng pelan “gapapa ih, seneng aja liat kamu bangun”

Bumi tersenyum, ia lalu berusaha mengusap pelan wajah mungil milik Senjani.

“Kamu gak capek, ya?” Tanya Bumi.

“Apa?”

“Jagain aku terus”

Senjani menggeleng, “gak akan capek tau”

Bumi hanya terkekeh.

“Bumi, tau gak sih? Aku tiap malam selalu berdoa semoga kamu bangun, dan akhirnya kamu bangun”

“Aku takut banget, takut kalau ternyata aku gak bakal bisa ngobrol sama kamu lagi, aku takut kamu pergi Bumi...” ucap Senjani.

Lagi-lagi Bumi mengusap pelan wajah Senjani “Aku disini ja, aku gak kemana-mana, maaf, ya?”

“Bumi, jangan nyembunyiin apapun lagi, ya? Aku janji gak bakal ninggalin kamu sendirian Bumi.”

Bumi tersenyum “iya enggak”

“Bumi, sembuh, ya? Aku sayang banget sama kamu, jadi kamu harus sembuh, oke?”

Bumi mengangguk “iya, aku bakalan sembuh Senjani, makasih banyak”

𝗘𝗺𝗽𝗮𝘁 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗗𝘂𝗮; 𝗦𝗲𝗺𝘂𝗮 𝗦𝗮𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗕𝘂𝗺𝗶

Tiba-tiba saja, alat pengukur denyut jantung berbunyi dengan cepat, membuat Senjani, Janu, serta Azri yang berada disana kaget.

Janu segera memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Bumi.

Tak lama setelah itu, beberapa perawat datang dengan membawa berbagai alat medis.

Tiba-tiba saja Senja menangis sambil memegang erat lengan Janu, ia takut sangat takut.

Janu yang melihat itu segera menenangkan Senjani “gapapa, gapapa, semua bakal baik-baik aja”

Jujur, bahkan sebenarnya Janu sangat takut melihat keadaan Bumi sekarang.

Bahkan beberapa orang perawat bolak-balik keluar masuk ruangan itu.

Azri terduduk lemas memperhatikan adik satu-satunya sedang berada dalam keadaan hidup dan mati.

“Dok, tolong selamatkan Bumi...” ucap Azri lirih.

Hampir dua puluh menit dokter berusaha menstabilkan keadaan Bumi.

Hingga akhirnya dokter Titan menghentikan aktivitasnya.

Titan menghela napasnya.

“Bumi...”

“Dia sudah kembali dari tidur panjangnya...”

Baik Senjani, Janu dan juga Azri mereka bertiga segera menghampiri Bumi.

Senjani memeluk pelan tubuh Bumi, ia menangis, begitu pula dengan Azri.

“Bumi, lihat, aku disini, kakak kamu disini, temen kamu disini. Bumi liat semuanya disini, semuanya sayang sama kamu...”

Azri menangis, ia bahkan tak henti-hentinya mengecup pucuk kepala Bumi.

“Terimakasih Ya Tuhan...”

𝗘𝗺𝗽𝗮𝘁 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗦𝗮𝘁𝘂; 𝗦𝗲𝗻𝗷𝗮 𝗗𝗶𝘀𝗶𝗻𝗶

Tanpa sadar, Senjani ikut menangis kala melihat Azri di dalam sana yang sedang terisak menangisi keadaan Bumi, lelaki kesayangannya yang terbaring di ruangan itu.

“Ja, ayo masuk” ucap Janu yang berada di samping Senjani.

Senjani mengangguk, lalu melangkahkan kakinya kedalam ruangan itu.

Azri yang memang sedang berada disana menoleh saat mendengar suara pintu terbuka. Tubuhnya memaku, melihat siapa yang datang.

“Senja?” Ucap Azri.

Senjani hanya mengangguk pelan, lalu ia duduk di samping ranjang yang Bumi tempati.

“Ja, gue sama Azri keluar, ya?” Ucap Janu yang hanya di balas anggukan oleh Senjani.

Setelah mereka berdua keluar, kini hanya ada Senjani dan Bumi disana.

Senjani meringis saat melihat keadaan lelaki kesayangannya seperti ini. Ia terisak pelan.

Perempuan itu lalu mengulurkan tangannya untuk mengusap pelan kepala Bumi yang kini.

Senjani tersenyum pilu, saat mengetahui bahwa rambut tebal milik Bumi kini sudah menghilang.

Lagi-lagi ia menangis.

“Bumi, kenapa gak pernah bilang hmm?” Ucap Senjani sambi terus mengusap Bumi.

“Katanya kamu baik-baik aja, kenapa bohongin Senja?”

“Bumi maaf, harusnya waktu itu aku gak pergi. Kamu pasti menderita sendirian, ya?” Senjani terisak.

Sakit sekali melihat keadaan Bumi saat ini. Anak lelaki yang biasanya selalu berisik, anak lelaki yang biasanya begitu bersemangat saat bertemu perempuannya. Kini ia hanya terbaring dengan berbagai alat menempel di tubuhnya.

Senjani menghela napasnya, berusaha meredakan tangisannya. “Bumi, Senjani gak bakal nangis lagi, Senja harus kuat, kan? Demi Bumi iya,kan? Maaf, maaf karena aku ninggalin kamu, maaf”

“Bumi, ayo bangun, Senjani sekarang disini, kesayangan kamu disini, Senja gak bakal pergi lagi. Jadi, ayo bangun Bumi, jangan ninggalin Senja sendirian, ya? Senjani sayang banget sama Bumi, jadi ayo bangun Bumi...”

𝗘𝗺𝗽𝗮𝘁 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵 𝗦𝗮𝘁𝘂; 𝗞𝗮𝗸𝗮𝗸 𝗗𝗶𝘀𝗶𝗻𝗶

Memang benar kata orang-orang, penyesalan selalu datang di akhir.

Entah sudah berapa kali Azri memukuli dirinya sendiri, merutuki betapa bodohnya ia selama ini.

Di hadapannya, terdapat seseorang yang kini tengah terbaring dengan berbagai alat rumah sakit yang menempel di tubuhnya. Azri memperhatikan dengan lekat adiknya itu, tubuhnya kini sedikit kurus dari biasanya, rambutnya bahkan sudah sangat menipis.

Azri meringis perih saat memperhatikan adik satu-satunya itu. Azri diam-diam menangis sembari mengusap pelan punggung tangan Bumi.

“Bumi...” ucap Azri lirih.

Lelaki itu lalu meraih tangan Bumi, kemudian menciumi dan mengusapnya dengan lembut.

Sakit rasanya ketika ia menyadari bahwa adiknya semenderita ini. Ia tak habis pikir, bisa-bisanya selama ini ia hanya mementingkan ego daripada perasaan Bumi.

Azri terisak, semua perbuatan yang selama ini ia tunjukan dan lakukan pada Bumi, tiba-tiba saja terlintas di pikirannya. Ia jahat, sangat jahat.

“Bumi, maafin kakak, ya?” Ucapnya.

“Harusnya dari dulu kakak ada di samping kamu. Harusnya kakak gak pernah nyakitin kamu. Harusnya kakak jadi sosok pelindung buat kamu, maaf, maaf, maaf...” Azri terisak.

Hancur, hari Azri begitu hancur ketika ia sadar bahwa Bumi tidak bisa menjawab perkataannya, anak itu hanya memejamkan matanya dengan tenang.

Lagi-lagi Azri terisak, ia bahkan tidak sanggup melihat keadaan adiknya itu.

Bagaimana bisa, selama in Bumi menanggung lukanya sendirian, bagaimana bisa ia sekuat itu.

“Bumi, bangun, ya? Sekarang kamu gak sendirian, ada papa disini, ada kakak disini. Kita gak bakal nyakitin kamu lagi, kakak janji. Maafin kakak...” Azri terisak.

“Ayo bangun Bumi, kamu pernah bilang kalo kamu pengen main sama kakak. Kamu bilang waktu itu pengen jadi adik kesayangan kakak. Bumi ayo bangun, kakak janji bakal selalu ada buat kamu, kakak gak bakal ninggalin kamu lagi. Bangun, ya? Kakak mohon...”

Isakan Azri terdengar begitu menyakitkan, mengisyaratkan bahwa itu merupakan sebuah tangisan penyeselan, kerinduan, dan ketakutan.

Demi apapun, Azri akan melakukan segala hal untuk menebus segala dosanya pada anak itu, ia akan menerima segala hukuman yang semesta beri, ia berjanji.

Tapi tolong, jangan pernah ambil Bumi. Ia bahkan belum memenuhi perannya sebagai kakak yang baik untuk Bumi.

”Tuhan, tolong, sekali saja, beri kesempatan untuk aku menebus segala dosa pada Bumi, aku mohon...” batin Azri sambil terisak

Tanpa Azri sadari, diluar sana juga ada seseorang yang sama terlukanya. Ia juga menangis, berusaha berteriak dan meminta pada semesta agar mencabut segala penderitaan Bumi. Ia menyayanginya, sangat menyayanginya.

𝗘𝗺𝗽𝗮𝘁 𝗣𝘂𝗹𝘂𝗵; 𝗞𝗲𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸𝘀𝗲𝗻𝗴𝗮𝗷𝗮𝗮𝗻 𝗣𝗮𝗹𝗶𝗻𝗴 𝗜𝗻𝗱𝗮𝗵

Semesta lucu, ya? Bisa saja membuat seseorang memainkan perannya dengan baik, meskipun perannya tidak seberuntung itu.

Janu Danuarta, ia adalah seseorang itu. Seseorang yang kkni sedang memainkan perannya menjadi sosok yang harus terus melindungi orang lain.

Ada di posisi seperti Janu itu sulit. Ia harus berusaha menempatkan dirinya menjadi seseorang yang tidak boleh memihak siapapun.

Selama beberapa tahun terakhir ini, Janu selalu bisa jadi sosok penengah, secara sadar ataupun tidak, ia juga cukup berpengaruh dalam lingkup takdir yang sedang semesta rancang ini.

Menjadi Janu itu tidak pernah mudah, apalagi saat ia harus berusaha menjadi sosok yang bisa diandalkan oleh perempuam yang hatinya milik orang lain.

Bicara perihal perempuan itu, Janu selalu merasa dirinya adalah tameng. Iya, tameng yang harus mengusir segala keresahan dan kesedihan perempuan itu. Entahlah, ia bahkan tidak paham dengan peran dirinya dalam lingkup takdir ini.

“Jani, udah ya? Jangan nangis lagi. Bumi baik-baik aja kok” lelaki itu berujar sembari mengusap pelan surai hitam milik perempuan itu.

Hatinya selalu hancur setiap kali melihat perempuan ini menangis.

Dalam diamnya, Janu tersenyum miris. Ia meringis ngeri jika mengingat bahwa posisinya selama ini hanya akan menjadi seseorang yang bahkan mungkin tidak begitu penting bagi perempuan yang kini tengah menangis.

Entah sudah berapa banyak Janh menyembunyikan luka yang bahkwa secara tak sadar semakin bertambah.

Ternyata, yang selalu di bicaran Bumi perihal perempuannya itu benar. Perempuan itu telalu indah, matanya, hidungnya, bibirnya, bahkan senyumnya mampu membuat siapa saja jatuh cinta. Termasuk Janu.

Lagi-lagi, ia hanya bisa tersenyum miris mengingat jika di hati perempuan itu cuma ada satu nama.

Jika mau, Janu bisa saja nekat mengutarakan seluruh perasaannya dan berusaha mengambil perempuan itu dari Bumi. Tapi sekali lagi, Janu tidak bisa egois, karena ia merasa perannya kali ini hanya untuk sebagai penengah.

Ah, kadang kala semesta memang jahat perihal memberi peran.

Janu mengusap pelan wajah mungil perempuan yang kini sedang tertidur di bahunya. Matanya terlihat sembab akibat menangis terlalu lama.

Lelaki itu tersenyum saat melihat wajah perempuan itu, lalu ia menghela napasnya. “Jani, andai bisa, gue pengen jadi seseorang yang selalu bisa lo andalkan, gue pengen jadi seseorang yang bisa jadi alasan lo buat senyum.” Gumam lelaki itu pelan, lalu ia terkekeh.

”Senjani, lo itu, ketidaksengajaan paling indah, gue sayang sama lo” batin Janu.