Jjaejaepeach

Sepertinya langit siang ini tampak begitu mendung, seolah ia tahu, jika disini, ada seseorang yang tengah menangis, menangisi betapa kejamnya takdir semesta.

Siang itu, di pemakaman Bumi, ada seseorang yang tengah menangis sambil memeluk batu bertuliskan “Bumi Putra Langit”.

Lelaki itu menangis, rasanya sesak sekali ketika ia mengetahui jika ternyata seseorang yang ia pikir hidup dengan menyenangkan, ternyata ia menyimpan begitu banyak luka sendirian.

“Kak...” lirih Biru pada setumpuk tanah di hadapannya.

“Kak Bumi...” lirih Biru.

“Kenapa? Kenapa lo kuat banget?”

“Kak, gue bahkan belum pernah ketemu sama lo, kenapa lo udah pergi”

“Kak Bumi... sakit banget rasanya” ucap Biru terisak pelan.

Gemuruh terdengar begitu keras, angin bertiup kencang, membuat suasana siang itu terasa begitu menyedihkan.

“Maaf, maafin gue kak” lirih Biru lagi.

“Maaf karena gue baru dateng sekarang. Harusnya dari dulu gue berusaha nyari lo, seandainya aja gue tau kalo ternyata lo serapuh itu, seandainya gue tau kalo ternyata gue juga bagian dari keluarga ini.”

“Kak... gue minta maaf”

Biru merasakan sesak di dadanya, lalu setelah itu hujan turun cukup deras, bersamaan dengan rintik hujan itu, Biru menangis sejadi-jadinya. Seolah semua rasa sakit yang pernah Bumi rasakan berpindah pada dirinya, seolah semua luka yang Bumi dapatkan juga didapatkan oleh Biru.

Batinnya tertekan, sakit sekali, sesak sekali.

Tanpa Biru sadari, di sampingnya ada seseorang yang sedang menatap pilu pada Biru.

”Biru, jangan nangis, kakak disini” ucapnya sambil berusaha mengusap pucuk kepala Biru namun sia-sia. Karena kenyataannya, ia sudah tidak ada, ia hanya bisa menatap Biru tanpa bisa memeluknya.

“Kak Bumi, gue kangen sama lo, gue pengen ketemu lo, disini di kehidupan nyata, bukan di dalam mimpi. Kak, gue mau ketemu lo...” Biru terisak sambil memeluk batu nisan itu.

Lagi-lagi tanpa Biru sadari, ada seseorang yang kini sedang berusaha keras agar bisa merengkuh tubuhnya, berusaha keras agar ia bisa mengusap air mata adiknya itu.

”maaf, maafin kakak ya Biru...”

Lalu setelah itu gemuruh terdengar, angin bertiup kencang lagi, dan hujan turun semakin deras.

Siang itu, di pemakaman, ada dua orang rapuh yang sedang memeluk dan berusaha menguatkan. Iya, Biru yang menangis dengan memeluk batu nisan, dan sosok Bumi yang sesang berusaha keras memeluk tanpa bisa menyentuh.

Mereka adalah dua orang yang di pertemukab ketika salah satunya sudah di ambil semesta.

Biru sedang menyeruput segelas soda yang sebelumnya ia pesan, di hadapannya ada seseorang yang begitu asing bagi dirinya. Biru menghela napasnya lalu menatap lelaki di hadapannya.

“Kenapa diem aja?” Tanya Biru.

Lelaki di hadapannya itu menapat Biru lalu tersenyum.

“Gapapa, kakak cuma ngerasa, aneh? Iya kayak gitu” ia terkekeh.

Azri, lelaki yang berada di hadapan Biru itu tidak berhenti menatap Biru. Matanya berbinar seperti sedang melihat seorang bayi yang baru saja lahir.

“Biru”

“Hmm?”

“Ini kakak, ini kakak kamu, kakak yang harusnya dari dulu ada disamping kamu...” ucap Azri.

Biru terdiam, terasa ada sengatan listrik di ulu hatinya, entah apa penyababnya.

Tatapan Azri tiba-tiba saja berubah menjadi sendu, sosok Biru di hadapannya benar-benar mirip dengan Bumi.

“Biru”

“Apa?”

“Mau tau tentang Bumi?”

Biru menatap Azri lalu mengangguk.

“Oke, tap—“

“Jangan jauhin lo, kan?”

Azri tersenyum, lalu mengangguk “iya”

“Oke”

Azri menghela napasnya, ia lalu menatap Biru.

Memori tentang Bumi, tentang apa yang pernah terjadi waktu itu benar-benar kembali memenuhi kepala Azri. Rasanya sesak, sampai-sampai membuat Azri sedikit tremor.

“Namanya Bumi Putra Langit, anak kedua dari keluarga kami...” Azri menghela napasnya, berusaha menahan segala sesak yang memenuhi ruang dadanya.

“Bumi anak baik, baik banget, dia gak pernah sekalipun ngelawan kata-kata mama sama papa. Bumi itu sebernya cerewet...” Azri terkekeh sejenak.

“Bumi suka nyanyi, tiap malem kakak suka gak sengaja denger Bumi nyanyi di dalam kamarnya, dia juga suka banget ngegambar, apalagi pesawat. Soalnya dulua Bumi bilang kalo gak jadi penyanyi dia mau jadi pilot”

Biru menatap Azri dengan tatapan penuh tanya, bahkan banyak sekali pertanyaan yang ingin ia ajukan pada kakaknya itu.

“Terus?” Ucap Biru.

“Dia pinter, pinter banget, tapi...”

“Apa?”

Azri tersenyu “Bumi itu baik, baik banget Biru. Dia bahkan gak pernah marah, sekalipun dunia lagi jahat sama dia”

Azri tersenyum pilu, mengingat bagaimana tabahnya Bumi dahulu, ketika semua orang, ketika semesta bahkan tidak berpihak pada dirinya.

“Maksudnya?”

“Biru...”

“Kamu mirip banget sama Bumi, mirip banget”

“Biru, seandainya kamu tau kalau dulu, hidup Bumi itu terlalu menyakitkan...” ucap Azri lirih.

Biru mengerutkan dahinya “Maksudnya?”

Azri menghela napasnya, ah rasanya sesak sekali, apa ia harus memberi tahu Biru tentang semuanya?

“Jawab, maksudnya apa?”

“Bumi, dia...”

“Apa?”

Azri menundukkan kepalanya berusaha menahan tangis “Bumi...”

Jantung Biru berdegup cepat, entah karena apa, ia benar-benar takut akan apa yang di ucapkan oleh Azri.

“Bumi...”

“Seorang anak luar biasa yang gak pernah di anggap kehadirannya”

Biru membulatkan matanya “Maksdunya??!” Ucapan Biru sedikit meninggi.

Azri tersenyum kecut “Iya, Bumi gak pernah di anggap di keluarga ini, sama papa, mama, bahkan sama kakak.”

“Becanda, kan?” Ucap Biru.

Azri menggeleng “Enggak...”

“Jahat, kan? Iya emang jahat, bahkan bodohnya, dulu, kakak benci banget sama Bumi” air mata Azri mengalir behitu saja, Azri tersenyum pilu mengingat betapa jahat ya ia dahulu.

Biru terdiam, ia benar-benar kaget. Bahkan Bumi, kembarannya yang ia pokir hidup dengan enak, ternyata di perlakukan seperti ini?”

“Harusnya, harusnya kakak gak pernah ngarasa iri sama Bumi, harusnya dulu kakak yang ada di samping Bumi..”

Azri terisak pelan “dan harusnya kakak aja yang mati...”

“Kak?”

Isakan Azri tiba-tiba saja terdengar begitu keras, rasanya sakit sekali.

“Bumi, dia nyembunyiin penyakit kankernya selama hampir 4 tahun”

“Hah?”

“Iya Biru, bahkan di saat Bumi sakit, kakak, papa, bahkan mama gak pernah peduli sama Bumi. Jahat, semuanya jahat”

“Brengsek!”

Biru beranjak dari duduknya, lalu tiba-tiba saja melayangkan satu pukulan pada pipi Azri, ia menarik kerah baju Azri.

Tatapannya pada penuh dengan amarah, napasnya tersenggal-senggal. “Brengsek anjing, lo brengsek!!” Azri memukul Azri beberapa kali, membuat sudut bibir Azri berdarah.

Azri diam tanpa merespon tanpa melawan, ia tahu jika ini pantas ia dapatkan.

Biru menangis, entah kenapa rasanya sesak sekali.

“Maaf...” ucap Azri lirih.

“Lo, ahhh brengsek banget anjing, gue pikir hidup kembaran gue lebih baik tapi nyatanya lebih buruk dari gue? Wah gila!” Satu pukulan kembali mendarat di wajah Azri.

“LO TAU GAK?! GUE BAHKAN GAK PERNAH KETEMU KAK BUMI, ANJING LO BRENGSEK!”

“Maaf”

“KENAPA?”

Azri terdiam

“KENAPA LO SEMUA JAHAT?! JAWAB GUE? KENAPA GUE HARUS JADI ADEK DARI KAKAK BRENGSEK KAYAK LO?”

“KENAPA? KENAPA LO, PAPA, SAMA MAMA JAHAT?!”

“JAWAB ANJING!”

“KENAPA GUE SAMA BUMI HARUS LAHIR DI KELUARGA SIALAN INI?”

“AHH BANGSAT!” Biru melayangkan kembali beberapa pukulan di wajah Azri.

Biru terisak, lalu beranjak pergi meninggalkan Azri dengan luka lebam di wajahnya.

“Biru sorry...” ucap Azri

Untuk ukuran anak laki-laki yang berusia belasan tahun, umumnya mereka menjalani hari-hari mereka sebagaimana mestinya, sekolah, belajar, tak jarang mereka juga sering menghabiskan waktunya dengan bermain, menikmati betapa indahnya masa remaja.

Tapi, apakah semua anak memang merasakan masa itu sebagaimana mestinya? Jawabannya tidak.

Tidak semua anak dapat menikmati masa remajanya dengan bebas.

Seperti dua puluh tiga pria ini, sejak mereka menginjak umur remaja, mereka memilih untuk menempuh perjalanan yang berbeda dari kebanyakan anak.

Kedua puluh tiga pria ini, dahulu, mereka memilih jalan dimana mereka harus mengorbankan masa remaja mereka, hanya untuk meraih impian mereka sebagai orang-orang bertalenta.

Menjadi bintang adalah impian mereka.

Iya, mereka semua menghabiskan masa remaja mereka dengan berlatih, berlatih dan berlatih. Merelakan waktu bermainnya hanya untuk meraih apa yang mereka inginkan di kemudian hari.

Jika dipikir masa remaja mereka tidak terlalu menyenangkan seperti orang-orang. Bahkan beberapa dari mereka rela meninggalkan rumah hanya untuk meraih impian itu.

Mereka rela hidup sendirian di negara orang lain tanpa adanya hangat dari sebuah rumah.

Hidup sendiri tanpa kehangatan rumah itu sungguh menyakitkan. Di saat orang-orang pulang dari penatnya dunia luar, di saat orang-orang di peluk dan di rangkul oleh kehangatan. Mereka hanya bisa membayangkan apa itu rumah.

Tak jarang beberapa dari mereka sering kali berpikir untuk menyerah dengan impian mereka.

Ah, rasanya sakit sekali ternyata.

Tapi, ada satu hal yang mereka miliki, kebersamaan.

Dua puluh tiga orang itu, mereka memiliki kekuatan yang memang tidak bisa di dapatlan dari orang lain. Mereka saling memeluk, mereka saling menghangatkan, mereka saling menguatkan.

Semua peluh yang mereka hasilkan hilang begitu saja dengan keceriaan. Canda tawa yang mereka tunjukan benar-benar menenangkan.

Memang sulit menjadi mereka, bahkan lebih dari itu.

Tapi, jika dipikir kembali, tidak ada usaha yang sia-sia. Semua lelah, semua peluh, semua tangis yang mereka rasakan kini membuahkan hasil.

Iya, kedua puluh tiga pria itu kini menjadi orang-orang yang di cintai banyak orang. Mereka yang layak mendapatkan cinta, mereka yang layak mendapat pengakuan.

Perjuangan mereka itu tidak mudah, mereka di remehkan oleh orang-orang, mereka di kucilkan, bahkan tak jarang mereka mendapat komentar-komentar menyakitkan.

Jika saja mereka tidak teguh pada impian mereka, mungkin sejak dulu mereka semua akan memilih untuk menyerah.

Ternyata sepanjang itu perjalanan mereka agar bisa di cintai banyak dan di akui.

Tapi, mereka memang pantas, pantas mendapatkan itu semua, talenta yang mereka miliki tidak banyak di miliki orang-orang.

Ada keunikan masing-masing dari mereka yang mampu membuat semua orang melihat dan mencintai mereka semua.

Mereka memiliki hati yang hangat, tatapan, ucapan, perlakuan, semua yang di miliki mereka mampu menenangkan siapa saja yang melihatnya.

Kini, kerja keras mereka selama ini terbayarkan dengan pengakuan dari seluruh dunia.

Dan kini, untuk kedua puluh pria kesayangan semua orang. Selamat, selamat karena telah mencapai apa yang selama ini di harapakan.

Kalian semua luar biasa, luar biasa hebatnya.

Terima kasih Taeil, Taeyong, Johnny, Yuta, Kun, Doyoung, Ten, Jaehyun, Winwin, Jungwoo, Lucas, Mark, Hendery, Xiaojun, Renjun, Jeno, Haechan, Jaemin, Yangyang, Shotaro, Sungchan, Chenle, Jisung.

Kalian luar biasa hebatnya. Aku mencintai kalian sangat.

“Senjani” ucap Biru pada perempuan di sampingnya.

“Iya Biru?”

“Salah enggak kalau aku masih marah sama papa sama mommy?”

Senjani menoleh pada lelaki di sampingnya itu.

“Marah?”

Biru mengangguk. “Iya, aku marah banget”

“Karena fakta itu?”

Biru mengangguk lagi “Iya”

Senjani tersenyum “Biru...”

“Hmm?”

“Gak salah kok kamu mau marah, kecewa, itu wajar. Tapi, ada satu hal yang perlu kamu tau” ucap Senjani.

“Apa?”

“Masalah gak bakal hilang dengan marah, kamu boleh kok marah, boleh banget. Tapi inget, ya? Semarah apapun kamu, cukup luapin aja sejenak, jangan sampai kamu lupa kalau memaafkan itu perlu”

Biru terdiam mendengar ucapan Senjani.

“Semesta pasti punya alasan Biru.”

“Sekarang kamu marah, kan? Gapapa marah aja. Tapi nanti kamu damai sama diri sendiri juga orang-orang yang bikin kamu marah, ya? Kata Bumi, memaafkan itu harus. Kata Bumi, jangan pernah nyimpen dendam, itu malah bakalan bikin kamu sakit sendiri” ucap Senjani sambil mengusap pelan punggung tangan Biru.

Biru menghela napasnya, sedetik kemudian ia tersenyum.

“Senja”

“Iya?”

“Bumi kayaknya sebaik itu, ya? Ah aku jadi penasaran sama kak Bumi. Kamu pasti kangen, ya?”

Senjani terdiam. Tentu, ia bahkan selalu merindukan lelaki itu, setiap hari.

“Senjani, makasih ya”

Senjanu menoleh

“Untuk?”

“Mau nerima aku walau sebenarnya kamu belum belum bener-bener lihat aku sebagai Biru...”

“Biru...”

Biru tersenyum, ia lalu mengusak pelan pucuk kepala Senjani.

“Gapapa, yang penting aku sayang kamu”

Lelaki itu lantas melentangkan kedua tangannya sambil terus tersenyum.

“Sini peluk”

Di hamparan rerumputan hijau dengan pemandangan sebuah danau di depannya, Janu dan Senja terduduk sambil menikmati sebungkus bubur yang sebelumnya mereka beli di pinggir jalan.

Janu tersenyum sambil memeperhatikan perempuan yang tengah sibuk memakan bubur itu. Janu terdiam sejenak, lalu terkekeh pelan.

“Yang bener Senja makannya, itu bubur belepotan loh” ucap Janu.

Senjani hanya terkekeh “Maaf”

Butuh waktu beberapa menit untuk mereka menghabiskan makanannya.

Senjani menghela napasnya, membuat Janu menoleh “Kenapa?” tanya Janu.

“Janu...”

“Hmm?”

“Aku jahat, ya?”

Janu terdiam mendengar ucapan perempuan itu.

“Aku jahat ya karena jadiin Biru pelampiasan? Janu aku jahat banget” ucap Senjani lirih.

Janu menghela napasnya, ia lalu menatap perempuan di sampinga itu.

“Ja, coba liat mata aku” ucap Janu.

Senjani menoleh.

“Iya kamu Jahat” ucap Janu.

“Tapi Ja, bahkan mungkin kalau aku jadi kamu aku bakal lakuin hal yang sama”

“Karena apa? Karena gak mudah lupain kenangan yang bahkan udah di lama di laluin bareng-bareng.”

“Capek, ya?”

Senjani mengangguk pelan.

Janu tersenyum dengan mata yang hampir menutup, lalu dengan berani, ia mengulurkan tangannya untuk mengusap pelan pucuk kepala Senjani.

“Kamu hebat Senja”

Lalu tiba-tiba saja Senjani menangis “Janu...” ucapnya lirih.

Janu terkekeh kala melihat ekspresi wajah Senjani yang menurutnya terlalu menggemaskan.

“Sini” ucap Janu menepuk pelan pundaknya.

“Sini kepalanya, jangan sedih sendirian Ja”

“Janu, kenapa ya takdir aku terus aja muter bahkan mungkin seakan-akan terulang?”

“Senjani, Tuhan pasti tahu kamu hebat. Percaya, ya? Cepat atau lambat, semua bakal baik-baik”

“Udah, ya? Disini kamu gak sendirian Ja, ada aku disini, aku gak bakal biarin kamu nanggung semuanya sendiri”

“Janu, makasih”

Janu tersenyum mendengar ucapan Senjani.

Lelaki itu menghela napasnya.

Iya Ja, kamu gak bakal nanggung semuanya sendiri, gue disini, selalu. Bahkan sekalipun gue gak bisa dapetin hati lo. Gue mau jadi cahaya dan tempat buat lo ngeluarin semuanya, meskipun posisi gue masih kalah di banding Biru.

“Senjani, gue sayang sama lo” ucap Janu pelan, sangat pelan.

Hilang

Dengan cepat Arjeno melajukan kendaraannya ke arah arena, tenpat dimana dulu biasanya ia bermain-main.

Pikiran Arjeno sungguh kalut, ia takut sangat takut. Bagaimana tidak, Herry tiba-tiba saja mengatakan jika adiknya tengah berada di arena balapan. Kakak mana yang tidak khawatir saat mendengar adiknya memasuki tempat yang bahkan tidak pernah ia kunjingi.

Sesampainya disana Arjeno langsung berlari masuk ke arena. Napas Arjeno tesenggal-senggal, emosinya memuncak kala melihat kerumunan orang disana sedang asik bercanda. Terutama Gita, perempuan yang bahkan tidak pernah ia sangka akan mengkhianatinya seperti ini.

Arjeno segera berlari mendekat “Dimnaa Najendra?” Tanya Arjeno pada Gita.

“Woah, ini pak ketua geng sebelah udah dateng?” Ucap Gitu di sertai kekehan orang-orang di belakangnya.

“Bacot! Mana Adek gua?”

Gita terkekeh “kok nanya aku sih? Kan itu adek kamu, mana aku tau”

Arjeno mengepalkan tangannya, hampir saja Arjeno menampar Gita, jika saja tidak ada Herry yang tiba-tiba menyeretnya.

“Lepasin anjing” ucap Jeno.

“DIEM, JANGAN MAEN LABRAK GITU AJA ANJING!”

“Najendra ilang”

Dengan matanya yang menyipit, Biru berusaha melihat dengan jelas siapa sosok yang kini berjalan ke arahnya.

Biru mengangkat sebelah alisnya kala melihat siapa orang itu.

Jantungnya tiba-tiba saja berdetak sangat kencang, ada sesuatu terasa begitu menyakitkan saat melihat sosok itu.

“B-Bumi...?” Ucap Biru dengan lirih.

Lelaki yang kini berdiri di hadapannya tersenyum, lalu ia duduk mensejajarkan tubuhnya dengan Biru.

“Hei, ini kakak...” ucapnya sambil tersenyum.

Tiba-tiba saja Biru menangis, air matanya keluar begitu saja, rindu, senang, marah, kecewa, semuanya menyatu. Sakit sekali rasanya.

Dengan pelan, Bumi mengulurkan tangannya, ia lalu mengusap air mata Biru, adiknya.

“Kok nangis?”

Biru hanya terdiam.

Bumi lalu menarik tubuh Biru, dan ia memeluknya dengan sangat erat.

Sungguh, rasanya hangat, hangat sekali.

Biru memeluk Bumi dengan sangat erat.

“Kenapa nangis hmm?” Tanya Bumj.

“Sakit, ya?”

Biru mengangguk pelan, membuat Bumi terkekeh.

“Biru, kamu mirip banget sama kakak, wajah kamu, mata kamu, hidung kamu, senyum kamu, semuanya, semuanya sama”

Bumi mengusap pelan pucuk kepala Biru.

“Tau gak? Kakak bahkan gak pernah tau kalau Biru itu adalah adik kakak, tapi sekarang kakak tau kok”

“Biru...”

“Kamu pasti marah, ya? Sakit, ya?”

“Iya, kakak tau rasanya kok. Tapi Biru, kenapa kamu gak denger dulu penjelasan papa?” Tanya Bumi.

Biru menggeleng “Karena dia bilang, Biru sama Bumi gak pernah di inginkan”

Bumi tersenyum “hei denger...”

“Semua yang di lakukan papa ada alasannya Biru”

“Tap—“

“Kamu, kakak, bahkan papa, semuanya juga ngerasa sakit”

“Lo gak ngerti Bumi, gue sakit sakit banget”

Bumi terkekeh, ia lalu menyentil pelan jidat sang adik.

“Kamu keras kepala ternyata, kayak mama sama kak Azri” ucap Bumi sambil terkekeh.

Biru terdiam.

“Kayak mama sama kakak?”

Bumi mengangguk. “Iya, sifat keras kepala mu kayak mereka Biru”

Lagi-lagi tanpa sadar, Biru terisak, Bumi lalu kembali memeluknya.

“Biru denger, ya? Sesakit apapun masa lalu, sejahat apapun papa maupun mama, tolong jangan pernah kamu benci mereka, ya? Karena mereka kita ada...”

“Biru, kakak tau kok kamu baik, cuma kamu belum bisa nahan ego kamu sendiri”

“Maafin papa, ya? Datang kesana, peluk dia, papa cuma mau kamu Biru.”

“Tolong... Jangan sampai papa nyesel seumur hidup, cukup aku aja yang pergi ninggalin papa, kamu jangan, ya?”

Biru terdiam, entahlah, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan di otaknya, tapi sulit sekali ia keluarkan.

“Bumi sayang Biru, sayang papa, sayang mama, sayang kak Azri. Jadi Biru juga harus sayang semuanya, ya? Maafin, maafin semuanya, kakak yakin semua bakal baik-baik aja...”

“Kakak...” lirih Biru.

Bumi tersenyum.

“Kenapa kakak pergi? Bahkan Biru belum pernah kenal sama kakak...”

Lagi-lagi Bumi tersenyum, ia lalu mengusak pucuk kepala Biru “nanti kamu tau kok”

Bumi menghela napasnya, ia lalu tersenyum ke arah Biru.

“Kakak pergi, ya? Kamu jangan nakal oke?”

“Mau kemana?”

“Tempat kakak bukan lagi disini, tapi disana” ucap Bumi sambil menunjukke arah cahaya di sebrang sana.

“Kak, jangan pergi...” lirih Biru.

Bumi perlahan mulai melangkahkan kakinya dari hadapan Biru, sebelum akhirnya menghilang, ia sempat mengatakan sesuatu pada Biru.

“Biru, jagain Senjani, ya? Dia kesayangan kakak, dan sekarang dia jadi kesayangan kamu, jadi tolong jaga, ya?”

“Kakak pergi dulu Biru... Dadah”

Lalu setelah itu Bumi menghilang dari hadapan Biru.

*

“Ayo cerita, Biru kenapa?” Tanya Senjani pada Biru yang kini tengah terduduk di sampingnya.

Biru menghela napasnya “Senja...

“Iya?”

“Kenapa takdir rumit banget, ya”

“Biru ada apa?”

“Ja, tadi aku ketemu papa...”

Senja membulatkan matanya “IH BENERAN???”

Biru mengangguk pelan.

Dari raut wajah Senjani, ia terlihat begitu senang saat mendengar ucapan Biru.

“Terus gimana?”

Biru hanya tersenyum kecut.

“Di peluk papa hangat banget Ja...” lirih Biru.

“Tapi... Rasanya sakit banget”

“Biru...”

“Jadi anak buangan itu sakit banget Ja, aku bahkan gak nyangka kalo ternyata aku gak pernah di inginkan haha”

Senjani terdiam, melihat raut wajah menyedihkan Biru tiba-tiba saja kembali membuat memori di kepalanya memutar kejadian dulu, saat ia melihat betapa hancurnya Bumi. Ini sama, semuanya sama. Ucapan Biru barusan seolah membawanya kembali pada kejadian dulu.

Perempuan itu kemudian menatap teduh lelaki di sampingnya, lalu ia meraih tangan Biru dan mengusapnya.

“Biru, gak ada di dunia ini orang tua yang tega buang anaknya. Mungkin memang ada, tapi Biru, sejahat-jahatnya mereka, pasti mereka punya alasan”

“Denger, kamu bukan anak buangan, kamu itu anugerah Biru. Cuma mungkin dulu, cara pandang orang tua kamu beda”

“Pasti sakit, ya? Di saat kamu berharap akan mendapat kebahagiaan saat ketemu papa kamu, justru kamu malah nemu fakta menyakitkan kayak gini.”

Senjani tersenyum, ia lalu menepuk pelan pundaknya.

“Sini, sandaran disini...” ucap Senjani.

“Gapapa, nangis aja, gak usah di tahan Biru. Mungkin saat ini, dunia lagi jahat sama kamu. Tapi Senja yakin kok, suatu saat kamu bakal nemu bahagia, jangan nyerah sama keadaan, ya?”

Senjani lalu mengusap pelan kepala Biru “gapapa, gapapa, Senja disini Biru, jangan sedih”

Ah, lagi dan lagi, untuk kesekian kalianya, kehadiran Senjani mampu membawa tenang bagi siapa saja yang berada di dekatnya. Tatapan teduhnya, usapan lembutnya, senyum indahnya, seolah itu adalah obat penawar bagi setiap luka.

“Senjani...”

“Iya?”

“Boleh ceritain tentang Bumi?”

Biru menghela napasnya, kini ia tengah berada di halaman rumah milik lelaki yang akhir-akhir ini mengali sebagai papanya.

Dengan langkah yang ragu, ia lalu melangkahkan kakinya ke depan pintu rumah itu.

Biru memencet bel rumah itu beberapa kali, lalu tak lama pintu terbuka, menampakkan sosok lelaki yang sangat asing bagi dirinya.

Lelaki di hadapan Biru terlihat sangat terkejut, matanya membulat, lalu ia menjatuhkan gelas yang sedang di pegangnya.

“B-bumi?” Ucap Lelaki di hadapannya itu.

Lelaki itu lalu tiba-tiba saja terduduk.

Biru hanya terdiam.

Lalu tak lama terdengar suara lelaki paruh baya “Kak, siap—“

Lelaki paruh baya itu terdiam kaku saat melihat siapa yang kini berdiri di hadapannya.

“B-biru...?”

Ia lalu melangkahkan kakinya, lalu ia memeluk tubuh Biru dengan sangat erat, lalu ia menangis.

“Maaf, maaf, maaf, maafin papa...” ucap Johnny lirih.

Di sisi lain, Azri yang terdiam tidak paham melihat apa yang sedang terjadi di hadapannya kini.

“Biru? Siapa? Kenapa papa minta maaf...” ucap Azri.

Biru hanya terdiam tanpa menjawab ucapan Azri, ia lalu mengalihkan pandangannya kepada Johnny yang kini tengah memeluknya.

“Maaf, maafin papa nak maafin papa” ucap Johnny lagi sambil tersu mengeratkan pelukannya pada Biru.

Anak itu hanya terdiam tanpa membalas pelukan Johnny. Di dalam lubuk hatinya, ada sesuatu yang terasa hidup kembali. Entah lah, tapi ini rasanya hangat.

Pelukan ini, pelukan yang selalu Biru inginkan, pelukan yang selama ini selalu biru cari. Iya, pelukan ini, pelukan seorang ayah terhadap anaknya. Biru ingin itu, sangat

Dengan keras, Biru menahan air matanya agar tidak menangis. Ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan lelaki ini.

“Kenapa?” Tiba-tiba saja Biru berucap.

“Kenapa kamu buang saya?”

Johnny melepaskan pelukannya, lalu ia menatap anak lelaki di hadapannya.

“Biru...”

“Kenapa? Kenapa kamu buang saya ke depan panti asuhan? Kenapa? KENAPA?!”

Johnny terdiam.

“Kenapa? Kenapa kamu lakuin itu hah?! JAWAB!” Ucap Biru dengan penuh emosi.

Johnny menunduk “maaf...”

“Kamu tatu? Gimana saya selama ini selalu mencari sosok ayah? Tau gak gimana sakitnya saya selama ini? Di saat semua orang mempunyai sosok lelaki tangguh di hidupnya, lelaki yang bisa di andalkan, lelaki yang mampu memberi segala kebahagiaan pada anaknya, saya cuma diem. Kamu tau gak betapa sakitnya saya saat orang-orang menghina saya hanya karena saya tidak mempunyai seorang ayah. Kenapa? Kenapa kamu buang saya, hah?”

Lagi-lagi Johnny hanya terdiam.

“Kenapa diem aja? Ayo jawab. JAWAB!!!” Bentak Biru, napasnya tersenggal-senggal, matanya memerah, air matanya tanpa sadar turun.

“Jawab, ayo jawab. Kenapa kamu buang saya? PAPA JAWAB!”

“KARENA PAPA TAKUT!” Ucap Johnny, lalu ia menjatuhkan dirinya sambil menangis.

“Papa takut Biru, papa takut...” ucap Johnny sambil memegang sebelah dadanya, sesak.

“Kenapa?”

“JAWAB!”

“KARENA KAMU DAN BUMI GAK PERNAH DI HARAPKAN!” Johnny menangis, meraunh, ia berteriak frustasi.

Demi apapun, dunia Biru tiba-tiba terasa hancur, hatinya remuk, langitnya runtuh.

Biru terduduk, kakinya lemas, bahkan sorot matanya terlihat kosong.

Ia anak yang tidak di inginkan? Kehadirannya tidak pernah di harapkan? Kenapa? Kenapa bisa?

Tanpa Biru sadar, Azri beranjak lalu memeluk erat Biru.

“Maaf, maafin papa...” ucap Azri berbisik.

Biru menangis di pelukan Azri. Kenapa rasanya sakit sekali?

Meskipun Azri masih tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi, namun ia cukup pintar untuk menangkap point penting dari kejadian barusan.

Biru... Anak ini adalah adiknya.

Azri memeluk erat Biru, tiba-tiba saja rasa bersalah menyeruak ke ruang dada lelaki itu. Bayangannya akan Bumi seolah memenuhi kepalanya.

Sakit, sungguh sakit.

Kenapa semesta bisa serumit ini memberi takdir?

Johnny beranjak, lalu berusaha memeluk dan meminta maaf pada Biru. Namun sayang, Biru menepisnya.

Biru melepaskan pelukan Azri, lalu beranjak dari duduknya.

Ia menatap Johnny.

“Gak usah nemuin saya lagi...”

“Biru...” ucap Johnny lirih.

“Bukannya saya anak yang tidak di inginkan?”

Biru menghela napasnya, lalu ia beranjak pergi dari rumah itu.

Untuk pertama kalinya, ia merasakan sakit luar biasa.

Anak malang.

“Biru kayaknya gue tau sesuatu deh...”

Biru terbangun, lalu menatap Janu.

“Maksud lo?”

Janu menghela napasnya “Enggak deh, mungkin ini cuma pikiran gue aja”

“Apa? Bilang atau gue tonjok”

Janu terdiam, lalu tak lama ia tertawa. Entah kenapa perkataan Biru mengingatkannya pada Bumi.

“Lah malah ketawa” ucap Biru.

“Lo mirip banget sa—“

“Bumi” potong Biru dengan wajahnya yang datar.

Janu terkekeh “iya”

Biru menghela napasnya “gue gak paham, emang gue semirip itu apa?”

“Sama, semuanya sama. Yang beda cuma nasib sama sifatnya...”

Biru mengangkat sebelah alisnya “nasib?”

Janu mengangguk pelan, lalu lelaki itu menghela napasnya.

“Iya, takdir lo sama Bumi beda”

“Kenapa?”

Janu tersenyum, ia lalu beranjak dan mengambil sebuah album foto berisi foto-foto dirinya bersama teman-temannya termasuk Bumi.

“Ini, lo liat? Dia Bumi” ucap Janu sambil menunjukkan sebuah foto dimana disana terdapat Bumi yang sedang tertawa.

Biru terdiam memperhatikan foto itu.

“Dia itu anaknya baik banget, gue aja awalnya gak nyangka kalo dia se baik itu. Lo tau? Bahkan saat dunia ngejauhin dia, dia gak pernah ngeluh...” ucap Janu sambil berusaha menahan sesak yang tiba-tiba menyeruak ke seluruh ruang dadanya.

Biru terdiam, ia lalu membolak-balikan album foto itu, ia menelisin dengan cermat foto-foto itu.

Entah kenapa, ada perasaan aneh yang tiba-tiba saja terasa menganggu hatinya. Seperti ada sebuah tarikan batin?

“Janu...”

“Kenapa Bumi bisa meninggal?”

Janu terdiam. Lidahnya tiba-tiba saja terasa kelu, membuat dirinya kesulitan untuk berbicara sepatah katapun.

“Jawab gue”

“Kenapa dia sangat di bicarakan? Bahkan kemarin pas gue sama Senja kesana, Senja gak pernah berhati ngomong, dia senyum, dia nangis...”

Janu tersenyum kecut “Cinta pertama...”

“Bumi, dia cinta pertama Senjani.”

Biru terdiam, kenapa dadanya terasa sesak?

“Lo inget? Awal pertama Senja selalu diem-diem ngikutin lo? Karena dia mikir kalo lo itu sama banget kayak Bumi.”

“Lo tau gak Bir? Betapa terpuruknya perempuan itu pas Bumi milih buat pergi. Hancur semuanya hancur Bir, bahkan gue sendiri hancur liat sahabat gue pergi.”

Lagi dan lagi, sesak menyeruak di dada lelaki bernama Biru itu. Jika sebelumnya sesak yang ia rasa akibat cemburu, tapi kini sesaknya seakan tarasa begitu menyakitkan. Entah kenapa, bahkan lelaki itu juga tidak mengetahui alasannya.

“Dia...”

“Dia datang ke mimpi gue”

“Waktu itu, dia datang beberapa kali, disana dia selalu bilang...”

Biru menjeda perkataannya sejenak.

“Dia bilang, tolong jaga Senja”

Janu membulatkan matanya, ia begitu terkejut mendengar penuturan lelaki di hadapannya.

Perkataan Biru barusan semakin memperkuat dugaannya.

“biru, kayaknya lo kembar deh sama Bumi...”