Seharusnya

Lagi dan lagi, hanya rasa sesal yang kembali menyelimuti hidup Johnny. Lelaki berusia empat puluh tujuh tahun itu bahkan berkali-kali menangis sendirian di sudut kamarnya.

Saat ini, lelaki paruh baya itu tengah berdiri di suatu bangunan yang tampak asing baginya. Johnny bahkan tidak pernah berpikir akan seberani ini untuk menginjakkan kakinya disini.

Johnny menghela napasnya, lalu perlahan ia mulai memencel bel rumah itu. Perasaannya sungguh tidak karuan, rasa takut pun menyeruak hampir ke suluruh ruang di dadanya.

Tak membutuhkan waktu lama, pintu itu terbuka, dan menampakkan seseorang, yang sepertinya tidak jauh berbeda dengan umurnya.

“Tunggu, jangan di tutup” ucap Johnny sambil menahan pintu yang di paksa untuk tertutup oleh perempuan itu.

“Pergi, kamu salah orang” ucapnya.

Namun sayang, sekuat apapun perempuan itu menarik pintunya agar tertutup, tetap saja, tenaganya terlalu kecil di banding dengan Johnny.

Mau tidak mau, perempuan itu terpaksa membuka pintu dan mempersilahkan Johnny untuk masuk.

Johnny menatap perempuan yang kini tengah duduk di hadapannya.

“Ada perlu apa?” Tanya perempuan itu.

“Raya?” Ucap Johnny.

Perempuan itu menghela napas.

“Iya, saya Raya” ucapnya.

Kini Johnny yang menghela napas.

“Raya, boleh saya bertemu Biru?” Ucap Johnny.

Perempuan bernama Raya itu diam.

“Saya tahu ini semua kesalahan saya tap—“

“Kemana saja?” Potong Raya

“Selama dua puuh tahun terakhir ini, kemana saja? Kenapa baru mencari Biru sekarang?”

“Raya...”

“Selama ini Biru hanya punya saya, saya yang mati-matian menghidupi Bumi dengan jerih payah saya sendiri”

“Maaf” Johnny menunduk.

Memang benar, selama ini Raya hanya hidup bersama Biru, ia yang merawat Biru dari kecil hingga bisa seperti sekarang, ia yang mati-matian berjuang demi bisa membiaya segala kebutuhan Biru.

“Kenapa?” Tanya Raya.

Johnny mengangkat kepalanya, lalu menatap perempuan di hadapannya itu.

“Kenapa kamu dulu ninggalin Biru di depan panti asuhan?”

Johnny hanya diam.

“Kenapa kamu tega meninggalkan seorang bayi dengan hanya sepucuk surat yang terselip di bajunya?”

Lagi dan lagi, penyesalan kembali menyesakkan dada Johnny. Kejadian wkatu itu, tiba-tiba saja terlintas di pikirannya.

Bodoh, Johnny bodoh.

“Kenapa?”

“JAWAB!” Teriak Raya tiba-tiba.

“Kamu tahu? Betapa menderitanya anak itu selama ini? Di saat semua teman-temannya dengan lantang membanggakan sosok ayah di hidupnya, Biru cuma bisa menangis diam-diam. Kamu tahu? SELAMA INI YANG SELAMU BIRU CARI ITU ADALAH SOSOK AYAH!”

Dengan napas yang tersenggal-senggak, Raya terisak.

Johnny beranjak, lalu bersimpuh di hadapan Raya sambil terisak meminta maaf.

“Maaf, maaf, maafkan saya” ucap Johnny.

“Harusnya dulu saya tidak melakukan hal itu, harusnya dulu saya tetap membawa anak itu pulang, harusnya saya tidak memisahkan dua orang putra saya, harusnya saya tidak takut akan kenyataan saat itu. Saya bodoh, maaf, tolong maafkan saya” ucap Johnny terisak.

Dan tanpa mereka sadari, di luar sana, ada seseorang yang sejak awal mendengar dengan jelas percakapan mereka.

“Jadi, Biru bukan anak kandung mommy...?”