Maafkan

“Senjani” ucap Biru pada perempuan di sampingnya.

“Iya Biru?”

“Salah enggak kalau aku masih marah sama papa sama mommy?”

Senjani menoleh pada lelaki di sampingnya itu.

“Marah?”

Biru mengangguk. “Iya, aku marah banget”

“Karena fakta itu?”

Biru mengangguk lagi “Iya”

Senjani tersenyum “Biru...”

“Hmm?”

“Gak salah kok kamu mau marah, kecewa, itu wajar. Tapi, ada satu hal yang perlu kamu tau” ucap Senjani.

“Apa?”

“Masalah gak bakal hilang dengan marah, kamu boleh kok marah, boleh banget. Tapi inget, ya? Semarah apapun kamu, cukup luapin aja sejenak, jangan sampai kamu lupa kalau memaafkan itu perlu”

Biru terdiam mendengar ucapan Senjani.

“Semesta pasti punya alasan Biru.”

“Sekarang kamu marah, kan? Gapapa marah aja. Tapi nanti kamu damai sama diri sendiri juga orang-orang yang bikin kamu marah, ya? Kata Bumi, memaafkan itu harus. Kata Bumi, jangan pernah nyimpen dendam, itu malah bakalan bikin kamu sakit sendiri” ucap Senjani sambil mengusap pelan punggung tangan Biru.

Biru menghela napasnya, sedetik kemudian ia tersenyum.

“Senja”

“Iya?”

“Bumi kayaknya sebaik itu, ya? Ah aku jadi penasaran sama kak Bumi. Kamu pasti kangen, ya?”

Senjani terdiam. Tentu, ia bahkan selalu merindukan lelaki itu, setiap hari.

“Senjani, makasih ya”

Senjanu menoleh

“Untuk?”

“Mau nerima aku walau sebenarnya kamu belum belum bener-bener lihat aku sebagai Biru...”

“Biru...”

Biru tersenyum, ia lalu mengusak pelan pucuk kepala Senjani.

“Gapapa, yang penting aku sayang kamu”

Lelaki itu lantas melentangkan kedua tangannya sambil terus tersenyum.

“Sini peluk”