Jjaejaepeach

“JANU AKU BILANG BERHENTI!”

Senjani berteriak, napasnya tersenggal-senggal. Lelaki di hadapannya itu lalu menghentikan langkah kakinya.

“AKU TAU ITU KAMU!” Teriak Senjani

Senjani menjatuhkan dirinya, ia lalu menangis sejadi-jadinya.

“Janu... itu kamu, aku tau.” Lirihnya.

Senjani menangis, lalu terdengar suara langkah kaki mengampirinya. Lalu mendekap erat tubuh perempuan itu.

“Jahat...” lirihnya.

Lelaki itu semakin mengeratkan pelukannya.

“Kenapa? Kenapa? KENAPA KAMU PERGI GITU AJA JANU KENAPA?!” Teriak Senjani dalam pelukannya.

“Aku tau, aku tau dari lama kalau itu kamu, AKU TAU JANU, AKU TAU!”

“J-ja... kamu, tau?” Ucap lelaki itu.

“Dari pertema aku lulus kuliah, aku dapat kerja, bahkan sampai terakhir kali aku nikah, aku tau kamu ada disana janu aku tau, kamu bahkan berdiri di barisan paling belakang dengan senyuman kamu. Aku tau itu...”

“Kenapa? Kenapa kamu selalu liat aku dari jauh? Kenapa kamu gak pernah nunjukin diri kamu? Jawab Janu... JAWAB!” Senjani terisak.

“M-maaf...” ucap Janu, ia lalu mengeratkan pelukannya.

“Aku tau Janu, bahkan selama ini kamu kan yang selalu ngirim aku bunga?”

“Senjani... maaf” ucap Janu.

Senjani lalu melepaskan pelukannya, ia lalu menatap wajah lelaki yang selama ini ia rindukan kehadirannya, kemudian ia mengusap pelan surai hitam lelaki itu.

“Aku tau, aku tau kamu gak pernah pergi aku tau itu Janu...” lirih Senjani.

“Maaf, maafin aku...” lirih Janu.

Lelaki itu kemudian kembali memeluk erat tubuh Senjani. Banyak sekali kerinduan yang ingin ia sampaikan pada perempuan itu.

Senjani benar, Janu tidak pernah pergi, ia selalu disini.

“Kenapa? Kenapa kamu bohong?”

Janu menghela napasnya.

“Waktu itu, saat ada berita kecelakaan pesawat, aku gak pernah naik pesawat itu...”

“Terus? Kenapa Ayah kamu bilang kalau kamu udah pergi? Kenapa kalian bohong?”

“Aku pikir, dengan aku bilang gitu, aku bisa pergi jauh dari kamu, aku bisa lupain kamu, tapi ternyata aku salah...”

“Bahkan sampai sekarang, aku gak pernah bisa lupain kamu Senjani. Maaf...” Janu terisak.

“Jahat, kamu bener-bener jahat. Kamu tau? Betapa tersiksanya aku waktu tau kamu pergi? Sakit janu sakit. AKU SAKIT!” Senjani kembali berteriak.

Janu mengeratkan pelukannya.

“Maaf untuk semuanya, maaf...”

Senjani melangkahkan kakinya di pinggiran pantai malam itu. Bahkan, udara dingin tidak menghalanginya untuk pergi ke tempat itu.

Entahlah, rasanya sakit sekali, saat ia mendapati pesan dari seseorang tadi.

Biru kenapa? Lagi apa? Dimana?

Hanya itu yang terus saja berputar di kepalanya.

Setelah pernikahannya dengan Biru, kehidupan Senjani benar-benar berubah dari biasanya. Kewajiban sebagai seorang istri sekaligus perempuan karir benar-benar membuat dirinya seperti kehilangan sesuatu.

Ada yang kosong dalam dirinya setiap kali ia sedang sendirian.

Perempuan itu menghela napasnya, ia lalu menengadah, berusaha menahan air matanya agar tidak turun.

Jujur saja, ini bukan kali pertama Senja mendapat pesan seperti itu. Bahkan sebelum mereka menikahpun, Senja sering kali mendapat pesan dari nomor tidak di kenal. Dan ya, kadang kala isi pesan itu membuat dirinya kalut dan bahkan menangis sendirian.

Saat sedang berjalan-jalan pelan sambil berusaha menenangkan pikirannya, tiba-tiba saja ia menghentikan langkahnya.

Senjani terdiam sejenak, lalu kembali melangkahkan kakinya.

Beberapa kali ia menghentikan langkah kakinya berulang kali, merasakan jika ada seseorang yang mengikutinya, bahkan sejak tadi siang.

Senjani menghela napasnya.

Ia lalu mempercepat langkah kakinya, hingga tiba-tiba saja ia kembali menghentikan langkah kakinya.

Jujur saja, Senjani sangat takut.

Senjani membalikkan badannya, dan benar saja ia melihat seseorang yang pergi menjauh dari sana.

“Berhenti...” teriaknya. Orang itu semakin mempercepat langkah kakinya.

Senjani berjalan menghampiri orang itu

“Berhenti hei!” Teriaknya.

Namun sayang, orang itu tetap saja tidak menghentikan langkahnya.

“Berhenti disana!”

“JANU AKU BILANG BERHENTI!”

Biru melangkahkan kakinya dengan sangat pelan. Sudah pukul satu pagi, dan Biru baru saja pulang dari pekerjaannya.

Dengan sangat hati-hati, lelaki itu berusaha menutup pintu dengan sangat pelan, takut-takut jika Senjani bangun dari tidurnya.

Biru berjalan memasuki kamarnya, lalu fokusnya tak sengaja tertuju pada seseorang yang sedang tertidur tanpa selimut. Biru tersenyum.

Lelaki itu lalu dengan pelan mendekat ke arah Senjani, ia lalu duduk di samping tubuh perempuan itu. Tangannya terur untuk mengusap pelan surai hitam legam yang menutupi sebagian wajah milik perempuan kesayangannya itu.

Biru lagi-lagi tersenyum, lalu menghela napasnya.

“Maaf...” ucapnya pelan.

Hampir beberapa menit ia hanya diam menatap wajah mungil milik Senjani, ia lalu menghela napasnya.

Rasa bersalah karena ia pulang larut, tiba-tiba saja menyelimuti dirinya.

Biru mendekatkan wajahnya, ia tersenyum, lalu mengecup pelan pipi Senjani.

“Selamat tidur, maafin aku ya...”

Dengan setelan jas hitamnya, lelaki itu berdiri di sebuah altar dengan senyum yang terpatri di wajahnya.

Jantungnya berdegup dengan kencang, kala ia menunggu seseorang untuk berdiri di sampingnya.

Senyumnya semakin melebar, kala netranya bertemu dengan sosok yang sejak tadi ia tunggu.

Di hadapannya, ada seorang perempuan yang tengah berjalan memakai gaun putih dengan bunga di genggamannya. Di sampingnya, ada seorang lelaki paruh baya yang menuntun dirinya dengan langkah yang sangat pelan.

Biru tersenyum, matanya berkaca-kaca, rasanya sangat bahagia.

Terdengar suara tepuk tangan di tempat itu. Semua orang yang berada disana terdengar sangat bahagia.

Tak butuh waktu lama, perempuan itu kini berdiri di hadapan Biru, dengan senyum indah miliknya. Perempuan itu tersenyum.

Acara di mulai, mereka berdua melewati tahap-tahap pernikahan dengan baik. Hingga akhirnya sampai di waktu pembacaan janji

“Ekhem...” ucap Biru.

Lelaki itu menatap perempuan di hadapannya sambil tersenyum.

”Hai...” ucapnya gugup, Biru terkekeh pelan.

“Umm...”

Lelaki itu menghela napasnya, berusaha menormalkan deguo jantungnya.

“Ekhem, tes satu... dua... tiga...” ucapnya membuat semua orang disana tertawa.

“Hai... saya Samudera Biru...”

Biru menghela napasnya.

“Ah, sebelumnya, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang sudah datang kesini...”

“Hari ini, adalah hari paling penting dalam hidup saya. Iya, hari dimana saya mengikat janji suci dengan perempuan luar biasa pilihan saya”

Biru menatap seorang pria paruh baya yang sedang terduduk.

“Untuk bapak Adi, selaku ayah dari Senjani, perempuan yang berdiri di hadapan saya. Terima kasih, terima kasih karena sudah menjaga dan memberi kasih sayang putri cantiknya dengan sangat baik. Terima kasih sudah rela mengorbankan segala luka dan peluh demi bisa membahagiakan putri kecilnya. Terima kasih sudah menjadi cinta pertama yang hebat untuk putri kecilnya...”

“Dan untuk ibu Ayu, selaku ibu dari Senjani. Terima kasih karena sudah melahirkan dan membesarkan putri kecilnya dan cantik seperti Senjani. Terima kasih karena sudah rela bertaruh nyawa demi melahirkan Senjani, saya amat bersyukur untuk itu. Terima kasih untuk segalanya”

“Sekarang, izinkan saya, ya? Izinkan saya menjadi seseorang yang akan mengambil alih semua tugas itu, tugas untuk menjaga dan membahagiakan putri kecil kalian mulai sekarang dan seterusnya. Izinkan saya menjadi seseorang yang rela mengorbankan segala peluh dan luka untuk putri kecil kesayangan kalian...” ucap Biru berusaha menahan tangisnya.

Di hadapannya, baik orang tua Senja maupun Biru, mereka semua tak kuasa nenahan tangis. Begitu pula Senjani, ia bahkan sudah menangis sejak awal.

Fokus Biru beralih pada perempuan di hadapannya itu, ia lalu tersenyum.

“Dan untuk kamu, Senjani Sekar Ayu, terima kasih, ya? Terima kasih karena sudah datang ke dalam hidup saya. Terima kasih karena kamu sudah memilih saya sebagai pendamping hidup kamu. Terima kasih, karena berkat kamu, saya bisa bertemu dengan keluarga kandung saya...” ucapnya lalu ia menoleh sekilas pada Johnny dan Raya, serta Azri.

“Senjani, terima kasih untuk segalanya... saya sangat menyayangi kamu...”

Biru menghela napasnya, ia lalu mengeluarkan sebuah cincin dan ia menarik pelan lengan mungil milik perempuan di hadapannya.

“Senjani Sekar Ayu, mulai detik ini dan seterusnya, saya akan menjadi seseorang yang bertanggung jawab atas bahagia dan kebutuhan kamu. Izinkan, ya? Izinkan saya mengikat janji suci ini...”

“Senjani Sekar Ayu, tolong tetap di samping saya, ya?”

“Senja, tolong tetap jadi semestanya saya, ya?”

Senjani mengangguk pelan, dengan tangis haru yang membasahi pipinya.

Biru tersenyum, ia lalu memasangkan sebuah cincin di jari manis perempuan itu. Ia mendekat, lalu mengecup pelan kening Senjani.

“Terima kasih, sayang...”

“Hai...” ucap seorang lelaki.

“Apa kabar, kak Bumi?” Ucapnya lagi, sambil mengusap pelan batu bertuliskan nama kakaknya itu.

Lelaki berusia dua puluh enam tahun itu menghela napasnya. Seperti ada sesuatu yang menyesakkan dadanya setiap kali ia melihat nama itu.

“Kak Bumi...” ucapnya lagi.

“Ini Biru, hehe. Inget, kan?”

Biru tersenyum, seolah ia sedang berhadapan dengan seseorang disana.

“Kak, besok Biru sama perempuan kesayangan kakak mau mengikat janji, kakak keberatan enggak?”

Biru terkekeh “maaf, ya? Maaf karena baru sempat kesini”

“Kak Bumi, Biru tau kok, selama ini kakak selalu mantau Biru perihal jagain Senja. Biru payah enggak? Biru bikin kecewa kakak enggak?” Ucapnya.

“Kak... ini udah berlangsung 6 tahun semenjak aku punya keluarga utuh lagi bareng sama papa, mommy, sama kak Azri. Aku seneng banget kak” ucap Biru dengan matanya yang berbinar.

“Andai aja ya kak, andai aja kakak masih disini. Mungkin kita bakal jadi kelaurga yang lebih bahagia haha. Tapi sayangnya gak begitu”

Lagi-lagi lelaki itu menghela napasnya.

“kak, terima kasih ya untuk semuanya...”

“Mulai besok dan seterusnya, izinin Biru buat jadi pendamping hidup Senja sampai nanti semesta yang misahin, izinin Biru untuk jadi satu-satunya laki-laki di hati Senja kak” ucapnya.

“Biru sayang kakak, sekali lagi, terima kasih ya kak Bumi? Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya kak...” Biru mengusap pelan batu itu, lalu mengecupnya.

“Biru pamit ya kak”

Maafin Abang

Malam itu, di bawah langit malam, ada seorang laki-laki yang sedang menangis di depan sebuah gundukan tanah.

Dirinya sangat rapuh, bahkan rasanya terlihat sakit sekali, jika saja melihat sorot mata sendunya.

“Papa...” ucapnya, lalu mengulurkan tangannya untuk mengusap batu nisan bertuliskan nama sang ayah.

“Papa...”

“Maafin abang...” lirihnya.

Lelaki itu terisak, ia sungguh merasa gagal untuk menjadi penjaga bagi adik satu-satunya.

“Abang payah banget, ya, pah? Abang gak bisa jagain kakak...” ucapnya.

“papa, kenapa sih abang gak becus banget? Papa pasti marah, ya?” Lirihnya.

Rasanya sangat sakit. Seharusnya ia bisa menjadi penjaga yang baik untuk adiknya, seharusnya ia mampu menjadi tumpuan bagi adiknya, seharusnya ia bisa melindungi adiknya dari segala bahaya. Tapi apa? Bahkan saat ini, lelaki bermata sipit itu tidak tahu keberadaan Najendra adiknya.

“AAAAA BODOH!” Teriaknya tiba-tiba, lalu kembali menangis.

Arjeno memeluk erat batu itu, merasakan seolah-olah ia sedang memeluk raga Dirga. Ia merasa seolah Dirga tengah memeluk tubuhnya, mengusapnya, serta menenangkannya.

“Papa, maafin abang, ya?” Ucapnya terisak

Biru memeluk erat tubuh Senjani. “Jangan nangis, aku disini Ja...” ucap Biru.

Sejak mendengar kabar itu, Senjani menangis sejadi-jadinya. Rasanya tidak mungkin, baru kemarin Janu memeluknya, baru kemarin mereka bersenda gurau. Kenapa tiba-tiba seperti ini?

“Biru please, bilang kalau ini bohong, Janu gak mungkin pergi kan?” Ucap Senjani sambil menangis.

Biru mengeratkan pelukannya, ia mengusap dan menciumi pucuk kepala perempuan itu, guna menanangkannya.

“Biru, kenapa? Kenapa semuanya pergi?” Ucap Senjani lirih

“Kenapa orang-orang yang aku sayang pergi gitu aja?”

“Biru jawab”

Biru terdiam, ia hanya memeluk tanpa menjawab semua racauan perempuan itu.

“Biru, Janu biru...” lirihnya.

Jujur saja, ada perasaan sesak ketika mendengar tangisan Senjani

“Senjani... maaf, maafin aku”

“Biru, Janu....” lirihnya lagi.

“Kenapa Biru? Kenapa Janu pergi? Kenapa dia ninggalin aku? Biru... sakit banget”

Biru menghela napasnya “Senjani udah, ya? Liat, kamu gak sendiri, ada ak—“

“KAMU GAK TAU RASANYA BIRU! KAMU GAK AKAN PERNAH TAU!” Tiba-tiba saja Senjani berteriak, membuat Biru terdiam.

“Ja...”

“SEMUANYA JAHAT, DARI MULAI BIRU SAMPAI JANU, KENAPA SIH?! KENAOA MEREKA PERGI? JAWAB, JAWAB BIRU JAWAB!!!” Teriak Senjani frustasi.

Lagi-lagi Biru hanya memeluknya, berusaha keras menenangkan perempuan itu.

Butuh waktu cukup lama untuk menenangkan Senjani, hingga akhirnya, isakan Senjani terdengar mereda.

“Biru...” lirih Senjani.

“Apa kamu juga bakal ninggalin aku?”

Senjani hai.....

kalau kamu baca ini, berarti aku udah pergi ya hehe

Ja, maaf ya? Maafin aku karena tiba-tiba pergi, tapi emang ini jalannya. Pasti marah, ya? Jangan marah, lo jelek kalo lagi marah haha

Ja, makasih, ya? Makasih banyak karena udah mau jadi seseorang berharga di hidup aku, entah harus berapa kali aku bilang ini. Tapi aku beneran sayang sama kamu

Dulu awalnya aku pikir, aku bakal bisa nempatin posisi itu, posisi yang selalu aku inginkan dari dulu, tapi kayaknya gak mungkin, ya? Di hati kamu cuma ada lelaki hebat, di hati kamu cuma ada Bumi. Bahkan, sekeras apapun aku berusaha, aku tetep bakal kalah, kan?

Sekarang, aku izin pamit ya Ja? Pamit dari segala hal yang berkaitan dengan kamu. Enggak, bukan karena aku benci dan marah, aku gak marah kok, sama sekali enggak.

Gapapa kalo misal setelah baca surat unu kamu benci sama aku, tapi inget ya Ja? Sejauh apapun aku pergi, aku bakal tetep sayang sama kamu.

Aku payah, ya? Aku pengecut, ya? Iya Ja, aku emang payah haha. Aku takut Ja, takut kalau semakin lama aku disini, rasa aku ke kamu semakin gak bisa di kendaliin. Jadi dari pada aku ngerusak bahagia kamu sama Biru, lebih baik aku pergi, kan?

Sekali lagi, maafin aku, ya? Maaf karena aku gak bisa menuhin janji aku buat selalu ada di samping kamu.

Inget kataku kemarin, bahagia selalu, ya, Ja? Jangan sakit, dan jangan pernah nyakitin diri kamu sendiri.

Jangan khawatir, aku bakal baik-baik aja kok hehe

Senjani, sekarang ada Biru, dia sayang banget sama kamu, bahagia, ya, Ja? Jangan pernah hilangin senyum kamu

Terakhir deh Ja...

Jangan berusaha buat nyari aku, ya? Maaf seki lagi. Aku pamit Senjani

Semoga nanti, semesta ngasih kesempatan buat aku ketemu kamu lagi, ya?

Senjani Sekar Ayu, perempuan cantik juga hebat yang selalu bisa bikin jatuh hati. Aku sayang kamu, sekali lagi maaf dan maaf

Selamat tinggal Senjani, semoga kita bertemu lagi

-

Senjani meremas lembar surat itu, ia lalu menangis sejadi-jadinya.

“pembohong, dasar pembohong!”

Lagi dan lagi, untuk kesekian kalinya, tempat ini menjadi saksi keresahan dan ketakutan bagi beberapa insan.

“Janu...” ucap Senjani pada Janu yang tengah duduk di sampingnya.

Janu menoleh “hmm? Apa Senja?”

“Tumben ngajak ke pantai?” Ucap Senja.

Janu terkekeh “ini kan tempat kesukaan kamu”

Matanya menyipit kala lelaki itu tersenyum pada perempuan di sampingnya. Menggemaskan.

“Janu kenapa sih, tiap kamu senyum gemes banget?” Ucap Senja menahan gemas pada sahabatnya itu.

Lagi-lagi Janu terkekeh “Kamu juga”

“Apa?”

“Gemes”

Senjani hanya tersenyum mendengar ucapan Janu. Perempuan itu lalu mengalihkan fokusnya pada langit sore itu.

Tangannya terulur, seolah sedang berusaha menggenggam sinar yang perlahan menghilang itu.

“Janu liat deh, itu Bumi...” ucap Senja tersenyum.

Janu mengalihkan pandangannya ke arah telunjuk perempuan itu.

“Bumi kayaknya tau ya aku mau kesini, indah banget”

Seperti ada yang menghantap relung hatinya, sesak.

“Ja...” ucap Janu.

Tangannya terulur, lalu mengusap pelan surai hitam milik perempuan itu.

“Kangen ya sama Bumi?”

Senjani mengangguk.

“Katanya mau buka lembaran baru?”

Senjani terdiam.

“Biru sayang kamu, sayang banget”

“Janu...”

“Aku takut”

Janu tersenyum, ia lalu menarik pelan tubuh perempuan agar masuk ke dalam pelukannya. Lelaki itu mengeratkan pelukannya, rasanya sesak sekali.

“Janu...” ucap Senjani.

“Biarin gini dulu ya Ja?” Ucap Janu s memejamkan matanya, sambil merasakan betapa hangatnya tubuh perempuan itu.

Senjani menepuk pelan pundak Janu, entahlah, ia merasa jika lelaki ini sedang rapuh?

“Janu, gapapa?” Tanya Senjani.

“Gapapa”

Lagi, Janu semakin mengeratkan pelukannya, seolah ia tidak ingin kehilangan kehangatan ini.

“Senja...”

“Hmm?”

“Bahagia selalu, ya? Apapun dan dimanapun, janji kalau kamu bakal terus bahagia”

“Janu...”

“Senja, makasih ya udah jadi bagian dari hidup aku, walaupun mungkin emang disini, posisi kita hanya sekedar teman? Tapi aku bersyukur bisa kenal kamu. Perempuan cantik juga tangguh”

“Janu, maaf”

Janu terkekeh “jangan minta maaf”

“Janu, terus sama aku, ya?”

Lelaki itu terdiam, lalu sedetik kemudian ia mengangguk pelan “iya Ja.”

Ah, sore itu, di bawah langit jingga, ada dua insan yang sedang sama-sama rapuh.

“Btw Janu...”

“Sejak kapan kamu ngobrol sama aku pake aku-kamu an? Haha”

Sudah hampir tiga jam Abimanyu berdiri di depan ruang bersalin, namun belum terdengar suara tangisan apapun dari dalam sana.

Sejak tadi, detak jantung milik lelaki itu berdetak tidak karuan, keringat dingin tiba-tiba saja mengucur di keningnya, pikirannya sangat kalut dikarenakan pikiran-pikiran dan bayang-bayang yang tidak pernah ingin ia alami itu tiba-tiba saja muncul begitu saja.

Tapi memang, bagi siapa saja yang sedang menanti kehadiran buah hatinya, pasti akan merasakan ketakutan yang sama seperti Abimanyu.

Tak henti-hentinya ia merapalkan doa, meminta pada Tuhan agar dua orang yang sedang berjuang di dalam sana di beri keselamatan.

Tiba-tiba saja Abimanyu beranjak dari duduknya, sesaat setelah ia mendengar suara tangis kencang seorang bayi.

Lelaki itu langsung mendekat ke arah pintu ruangan itu, lalu tak lama seorang perawat memintanya untuk masuk ke dalam.

Sejak Abimanyu masuk, tak henti-hentinya ia tersenyum kala melihat sosok yang selama ini ia nantikan kehadariannya. Buah hati kecil kesayangannya.

“Pak, selamat, anak bapak perempuan, silahkan pak di beri nama. Anaknya cantik seperti ibunya” ucap seorang dokter yang membantu persalinan Ratih istrinya.

Air mata bahagia tak bisa terbendung lagi, Abimanyu menangis, ia lalu mengusap pelan jari jemari mungil milik putirnya itu.

Sungguh, ini adalah hari paling bahagia bagi dirinya.

“Mas...” ucap Ratih membuat Abimanyu menoleh lalu tersenyum ke arahnya.

Ratih menangis, rasanya lelah sekaligus bahagia.

Abimanyu mendekat lalu mengecup pelan kening istirnya itu.

“Makasih, ya? Makasih udah berjuang buat anak kita, makasih sayang, kamu hebat” ucap Abimanyu.

Ratih tersenyum sambil menangis bahagia mendengar ucapan suaminya itu.

“Mas, siapa namanya?”

Abimanya terdiam sebentar, sambil memikirkan nama apa yang cocok untuk putri kecilnya ini.

“Ratih, gimana kalau kita namain Ayyara...”

“Ayyara?”

Abimanyu mengangguk “iya, Ayyara, artinya puisi. Ayyara Jia Annulika...”

Ratih tersneyum, lalu menangguk “Bagus mas, Ratih suka.”

Abimanyu menatap hangat putrIp kecilnya itu, lalu ia tersenyum.

“Selamat datang putri ayah...”