Hai
Dengan matanya yang menyipit, Biru berusaha melihat dengan jelas siapa sosok yang kini berjalan ke arahnya.
Biru mengangkat sebelah alisnya kala melihat siapa orang itu.
Jantungnya tiba-tiba saja berdetak sangat kencang, ada sesuatu terasa begitu menyakitkan saat melihat sosok itu.
“B-Bumi...?” Ucap Biru dengan lirih.
Lelaki yang kini berdiri di hadapannya tersenyum, lalu ia duduk mensejajarkan tubuhnya dengan Biru.
“Hei, ini kakak...” ucapnya sambil tersenyum.
Tiba-tiba saja Biru menangis, air matanya keluar begitu saja, rindu, senang, marah, kecewa, semuanya menyatu. Sakit sekali rasanya.
Dengan pelan, Bumi mengulurkan tangannya, ia lalu mengusap air mata Biru, adiknya.
“Kok nangis?”
Biru hanya terdiam.
Bumi lalu menarik tubuh Biru, dan ia memeluknya dengan sangat erat.
Sungguh, rasanya hangat, hangat sekali.
Biru memeluk Bumi dengan sangat erat.
“Kenapa nangis hmm?” Tanya Bumj.
“Sakit, ya?”
Biru mengangguk pelan, membuat Bumi terkekeh.
“Biru, kamu mirip banget sama kakak, wajah kamu, mata kamu, hidung kamu, senyum kamu, semuanya, semuanya sama”
Bumi mengusap pelan pucuk kepala Biru.
“Tau gak? Kakak bahkan gak pernah tau kalau Biru itu adalah adik kakak, tapi sekarang kakak tau kok”
“Biru...”
“Kamu pasti marah, ya? Sakit, ya?”
“Iya, kakak tau rasanya kok. Tapi Biru, kenapa kamu gak denger dulu penjelasan papa?” Tanya Bumi.
Biru menggeleng “Karena dia bilang, Biru sama Bumi gak pernah di inginkan”
Bumi tersenyum “hei denger...”
“Semua yang di lakukan papa ada alasannya Biru”
“Tap—“
“Kamu, kakak, bahkan papa, semuanya juga ngerasa sakit”
“Lo gak ngerti Bumi, gue sakit sakit banget”
Bumi terkekeh, ia lalu menyentil pelan jidat sang adik.
“Kamu keras kepala ternyata, kayak mama sama kak Azri” ucap Bumi sambil terkekeh.
Biru terdiam.
“Kayak mama sama kakak?”
Bumi mengangguk. “Iya, sifat keras kepala mu kayak mereka Biru”
Lagi-lagi tanpa sadar, Biru terisak, Bumi lalu kembali memeluknya.
“Biru denger, ya? Sesakit apapun masa lalu, sejahat apapun papa maupun mama, tolong jangan pernah kamu benci mereka, ya? Karena mereka kita ada...”
“Biru, kakak tau kok kamu baik, cuma kamu belum bisa nahan ego kamu sendiri”
“Maafin papa, ya? Datang kesana, peluk dia, papa cuma mau kamu Biru.”
“Tolong... Jangan sampai papa nyesel seumur hidup, cukup aku aja yang pergi ninggalin papa, kamu jangan, ya?”
Biru terdiam, entahlah, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan di otaknya, tapi sulit sekali ia keluarkan.
“Bumi sayang Biru, sayang papa, sayang mama, sayang kak Azri. Jadi Biru juga harus sayang semuanya, ya? Maafin, maafin semuanya, kakak yakin semua bakal baik-baik aja...”
“Kakak...” lirih Biru.
Bumi tersenyum.
“Kenapa kakak pergi? Bahkan Biru belum pernah kenal sama kakak...”
Lagi-lagi Bumi tersenyum, ia lalu mengusak pucuk kepala Biru “nanti kamu tau kok”
Bumi menghela napasnya, ia lalu tersenyum ke arah Biru.
“Kakak pergi, ya? Kamu jangan nakal oke?”
“Mau kemana?”
“Tempat kakak bukan lagi disini, tapi disana” ucap Bumi sambil menunjukke arah cahaya di sebrang sana.
“Kak, jangan pergi...” lirih Biru.
Bumi perlahan mulai melangkahkan kakinya dari hadapan Biru, sebelum akhirnya menghilang, ia sempat mengatakan sesuatu pada Biru.
“Biru, jagain Senjani, ya? Dia kesayangan kakak, dan sekarang dia jadi kesayangan kamu, jadi tolong jaga, ya?”
“Kakak pergi dulu Biru... Dadah”
Lalu setelah itu Bumi menghilang dari hadapan Biru.
*