Jjaejaepeach

Di hadapannya Esa berdiri menunduk. Saras kemudian tersenyum pelan melihat lelakinya ini.

“Jangan marah,” ucap Esa.

Lagi-lagi Saras tersenyum.

“Duduk sini,” ucap Saras.

Esa mendekat lalu kemudian duduk di samping Saras.

“Sumpah, maaf, aku gak maksud biarin kamu pulang sendiri,” ucap Esa.

“Tadi tuh aku dari rumah Diego di ajak makan dulu sama anak-anak, yaudah kan masa aku nolak,”

“Terus tadi handphone aku mati, lupa bawa charger

“Ter—“

“Terus tadi kamu keasikan sama Nada?” Ucap Saras memotong membuat Esa terdiam.

“Sar—“

Saras terkekeh, “becanda, aku gapapa kok serius, kamu jangan minta maaf, ya?” Ucap Saras.

“Aku gak ada apa-apa sama Nada, kita temen sekarang. Seriusan, jangan marah ....” ucap Esa menunduk.

Saras menghela napasnya, ia kemudia mengusap pelan wajah lelakinya itu.

“Esa, aku gak pernah marah, aku gapapa kok, mau kamu main sama siapapun, sekalipun itu mantan kamu. Jujur, aku gapapa, jadi jangan minta maaf, ya?” Ucap Saras lembut.

Ia kemudia merentangkan kedua tangannya.

“Sini peluk dulu,” ucap Saras.

“Maaf ....” ucap Esa.

Dengan segala letih yang ia pikul, kakinya melangkah masuk ke rumah itu.

Menyinggungkan senyum paling tulus di wajahnya, ia lantas mengusap peluhnya.

“Papa pulang,” ucapnya dengan kedua tangan yang terbuka lebar.

“Papa ....” teriak dua putri kecil kesayangannya.

Sambil merengkuh tubuh kecil kedua anak itu, ia tersenyum, mengusap kemudian mengecup kening mereka berdua.

“Cantiknya papa kenapa belum bobo?”

Raisha namanya, ia tersenyum.

“Karena Raisha sama Raina nungguin papa pulang,” ucapnya tersenyum, membuat segala letih dan pilu yang sebelumnya ia pikul hilang begitu saja.

Di hadapannya, ada Ratih, perempuan hebat yang selalu mampu membuat tenang.

Pria itu melepaskan pelukan si kecil, kemudia ia beranjak mendekat ke arah Ratih.

“Maaf,” ucapnya.

Pria itu hanya bisa berucap maaf. Karena sebelum pulang, dirinya ternyata mengalami hari yang buruh.

Ia dipecat.

Ratih tersenyum.

“Gapapa,” ucapnya.

“Nanti kita kerja sama-sama, ya?” Wanita itu tersenyum.

Pria itu kemudian merengkuh daksa istrinya, sambil menangis pelan.

Diusapnya pundak suaminya itu oleh Ratih.

“Berat, ya?” Ucapnya.

“Gapapa ya mas, nanti kita usaha bareng-bareng, ya?”

Ratih melepaskan pelukannya, kemudian ia menangkup wajah suaminya itu.

Ratih tersenyum, membuat Maraka yang tadinya menangis ikut tersenyum.

Lagi dan lagi.

Ratih adalah penawar atas segala luka yang Maraka rasakan.

Senyum itu selalu mampu membuat Maraka kembali utuh.

Senyum itu selalu mampu membuat Maraka kembali kuat.

Senyum itu selalu mampu membuat Maraka kembali hidup.

Sebyum itu selalu mampu menjadi rumah bagi Maraka.

“Ratih, makasih ....”

Image Tangannya terulur menyapu helaian surai hitam pekat itu. Kemudian ia berkata, “nanti kalau waktu sudah tepat, izinkan saya untuk menggenggam kamu lebih jauh lagi, ya, Git?”

Lengkungan manis itu terpatri di wajahnya.

Lagi-lagi ia paham, jika lengkungan itu adalah salah satu hal dari sekian banyak yang saya sukai dari dirinya.

Saya mengangguk pelan kala netra kecoklatan itu menatap saya lekat.

“Iya ....” ucap saya tersenyum.

“Inggit, kamu mau apa?” Tiba-tiba saya ia bertanya.

Saya mengangkat sebelah alis saya, bingung.

Pria itu terkekeh, “Inggit mau apa dari saya? Biar saya berikan semua keinginan kamu,” ucapnya.

Saya menatapnya, lalu tersenyun.

“Memangnya kamu sanggup memberikan semua keinginan saya?”

Pria itu mengangguk,” tentu saja! Apapun itu, saya akan mewujudkannya,” ia berucap dengan begitu percaya diri.

Saya hanya tersenyum, lalu tangan saya bergerak mengusap pelan wajah pria di hadapan saya ini.

“Saya mau sesuatu boleh?”

Pria itu lantas mengangguk.

“Katakan, apa yang kamu mau?”

Lagi-lagi saya tersenyum.

“Tolong tetap ada di samping saya, ya?”

“Jangan hilang tiba-tiba, saya hanya ingin kamu mencintai saya,” saya berucap dengan netra yang terus menatap dalam pria ini.

Ada jeda beberapa detik, sebelum akhirnya ia balik mengusap pucuk kepala saya dengan lembut.

Sorot matanya terlihat begitu hangat kala ia menatap saya.

“Itu aja?” Ucapnya.

Saya mengangguk.

Lagi-lagi, ia menyinggungkan senyum manis itu.

“Jangan khawatir perihal mencintai, Inggit ....” ia berucap.

“Sejak kamu mencintai saya, sejak kamu datang ke dalam hidup saya, sejak saya memilih kamu untuk menjadi bagian dari kehidupan saya, saya sudah lebih dulu meyimpan sejuta rasa, hanya untuk kamu.”

Saya terdiam. Untuk kesekian kalinya, pria ini selalu mampu membuat saya tersipu.

Jagat namanya, pria dengan lesung menggemaskan di kedua pipinya.

Pria dengan sejuta kehangatan.

Pria dengan segala yang mampu menjadikan saya tenang.

Iya, namanya Jagat. Pria kedua yang sangat saya cintai setelah Ayah.

“Inggit, perihal mencintai kamu, saya enggak pernah main-main.”

“Bagi saya, mencintai kamu itu salah satu kesempatan paling indah yang Tuhan berikan untuk saya.”

“Kamu itu dunia saya, Inggit.”

“Jangan takut akan kehilangan, ya?”

“Saya disini, cinta saya untuk kamu seluas yang bahkan tidak akan pernah bisa saya genggam sendiri, Inggit”

“Jadi jangan takut, ya?”

Ia tersenyum, kemudian mendekat dan mendaratkan sebuah kecupan pada kening saya.

“Saya sayang kamu,”

Image

Ah, kenapa harus ke rumah ini?

Lelaki itu menghela napasnya, kala Wira sang adik membawanya kesana.

“Wir, pulang aja ke rumah Bunda,” ucap Juang pada Wira.

Wira yang sedang menyetir hanya menoleh sekejap, kemudian berdecak.

“Bunda kan gak ada kak,” ucapnya.

“Ya ga—“

“Gak usah keras kepala kayak bunda, coba pegang badan lo kak, demam.” Ucap Wira.

Juang terdiam, dan yang bisa ia lakukan saat ini hanya pasrah saja.

Tak butuh waktu lama, mereka sudah sampai di rumah itu.

Sejujurnya Juang tidak ingin masuk ke rumah ini, meskipun pada kenyataannya ini adalah rumah sang ayah, tapi tetap saja. Di rumah ini Juang selalu merasa asing, sangat asing.

“Nanti kakak tidur aja di kamar adek,” ucap Wira.

Juang menoleh pada Wira, lalu tersenyum pelan sambil mengacak pelan pucuk kepala sang adik.

“Adek pulang,” ucap Juang.

“Darimana?” Ucap seorang wanita paruh baya.

“Jemput kakak,” ucap Wira.

Juang hanya tersenyum.

Wanita paruh baya itu hanya menatap Juang lalu tersenyum tipis.

“Kenapa?”

“Ayo ka—“

“Mama nanyain kakak kamu Wira, sebentar.”

Wira menghela napasnya.

“Kakak kehujanan, di rumah gak ada siapa-siapa. Kenapa? Gak boleh Wira bawa kakak ke rumah ayah?”

Lagi-lagi wanita itu hanya tersenyum.

“Kemana bundamu?” Tanyanya pada Juang.

Juang terdiam, karena ia juga tidak tahu kemana bundanya pergi malam ini.

“Ah, paling keluyuran di bar mungkin?” Celetuk wanita itu di hadapan Juang.

“Maksudnya?” Tanya Wira.

“Bukannya bunda kalian dari dulu suka main ke bar, ya? Makanya pernikahan bunda kalian sama ayah kalian berakhir, itu semua gara-gara bunda kalian yang gak tau diri,” ucapnya sambil tersenyum tipis.

Juang menatap wanita itu, kemudian ia tersenyum.

“Tante, maaf ya, kalau memang tante gak suka sama Juang gapapa kok, tapi jangan jelekin bundanya Juang sama Wira, ya?” Ucap Juang sambil tersenyum.

Sakit, sangat sakit.

Kenapa selalu Bunda yang dianggap remeh?

Kenapa selalu Bunda yang dihina?

Kenapa selalu Bunda?

Juang tidak peduli jika istri dari ayahnya ini tidak menyukai kehadiran Juang, tapi tolong, Juang tidak ingin jika Bundanya direndahkan seperti ini.

Juang lebih rela jika dirinya yang dihina, Juang lebih rela jika dirinya yang di sakiti ketimbang Bunda.

“Saya cuma bicara fakta saja Juang,” ucapnya lagi.

Di sampingnya ada Wira yang sudah mengepalkan tangannya.

Juang merasakan jika napas sang adik mulai tidak stabil, ia kemudian mengusap pelan pundak Wira.

“Tante, Juang izin tidur disini semalam, ya?”

Dengan senyum sinisnya wanita itu hanya mengangguk.

“Ya silahkan, toh kamu juga kakaknya Wira, silahkan saja,” ucapnya kemudian beranjak dari hadapan Wira serta Juang.

Wira menatap Juang.

“Kak ....”

Juang tersenyum “Gapapa Wira, Bunda gak kayak gitu kok, percaya kakak, ya?” Ucapnya lalu ia mengusap pelan Wira.

Entahlah jantung Rechan berdetak sangat kencang sekali, apalagi saat ia tiba di bandara malam ini. Rasa-rasanua ia seperti akan menemui pujaan hatinya yang telah lama hilang.

Ada-ada saja.

Jujur saja, ada sedikit perasaan malu, apalagi jika ia mengingat waktu itu. Saat dirinya dengan sengaja tidak menemui Mingyu waktu ia akan berangkat ke Aussie.

”bego”

Anak itu merutuk dalam hati.

“Dek, tuh liat si aa,” ucap ayah membuat Rechan menatap ke hadapannya.

Dan benar saja, Mingyu disana, di sebrangnya, sedang melambaikan tangan pada Ayah, Mama, serta Rechan.

Rechan merasa begitu emosional saat ini, anak itu kemudian berlari lalu dengan segera ia memeluk erat tubuh yang hampir satu bulan ini tidak ia temui.

“AA!” Teriaknya.

Mingyu terkekeh kala Rechan memeluknya sambil menangis.

“Heh, naha nangis?” Ucap Mingyu.

“Aing takut, kirain aa gak bakalan balik,” ucap Rechan menangis.

Di belakangnya ada Ayah serta Mama yang hanya tersenyum melihat interaksi si sulung dan si bungsu.

“Adek mimpi aa meninggal, adek mimpi aa ninggalin adek,” ucap Rechan.

Lagi-lagi Mingyu terkekeh.

“Sembarangan heh, liat atuh sekarang, aa baik-baik aja, kan? Ini buktinya adek bisa meluk aa?”

“Udah diem jangan nangis, udah kuliah masih cengeng,” ucap Mingyu kemudian ia mengusap pelan pucuk kepala si bungsu.

“Aa maafin adek ya, waktu itu adek gak nganterin aa ke bandara terus malah marah,” ucap Rechan.

“Harusnya mah adek teh mengucap salam perpisahan. Aa maafin adek, jangan ninggalin adek, nya? Adek gak mau sendirian” ucap Rechan memeluk erat Mingyu.

Mingyu tergelak, “hahahaha, maneh lucu ih lagi gini mah.”

“Kayak bukan Rechan si ganteng kalem,”

“Ih anying, aing serius,” ucap Rechan.

“Teuing lah anjir!” Rechan melepaskan pelukannya, membuat Mingyu semakin tergelak.

“Hahaha,”

Dalam hatinya, Rechan sangat bersyukur, jika ketakutannya perihal kehilangan itu tidak benar-benar terjadi.

Rechan tersenyum.

“A,”

“Hmm?”

“Motor kesayangan aa kegores, hehe.”

“ANJING RECHAN,”

Kemudian Rechan berlari meninggalkan Mingyu sambil tertawa.

Hari ini, ya? Hari dimana Adrian akan melepas status lajangnya dengan mengikat seorang perempuan ke dalam hidupnya.

Adrian tersenyum saat melihat dirinya di depan cermin.

Lelaki itu kemudia menarik napasnya.

“Sudah siap,?” Tanya Bunda pada Adrian.

Adrian mengangguk.

Di sampingnya juga ada Papa.

“Jangan nakal lagi,” ucap Papa yang dibalas kekehan oleh Adrian.

Adrian merentangkan tangannya.

“Bunda ayah, peluk Ian dulu sini,” ucap Adrian.

Di dalam pelukan itu, Bunda menangis.

“Anak bunda sudah besar, Audah mau jadi milik perempuan lain,” ucapnya sambil terisak pelan.

Adrian tersenyum, ia lalu mengeratkan pelukannya.

“Papa, Bunda, makasih ya udah besarin Ian, makasih udah ngajarin Ian tentang banyak hal. Maafin Ian kalau selama ini Ian kadang suka bandel dan gak nurut sama bunda sama papa,” ucap Adrian.

“Bandel,” ucap Papa sambil mengetok kepala Adrian.

“Jagain Dira kayak kamu jagain Bunda, ya? Dia perempuan, dia harus dapat perlakuan yang layak, jangan pernah kamu nyakitin Dira,” ucap Papa yang dibalas anggukan oleh Adrian.

“Ayo kedepan, perempuan kesayangan kamu sudah menunggu.”

-

Dengan langkah pelannya, Adrian berjalan menyusuri karpet merah itu.

Di hadapannya, ada perempuan yang tengah berdiri tersenyum sambil mengenalan gaun putih.

Demi apapun, Dira cantik sekali.

Tanpa sadar, air mata jatuh di pipi Adrian saat netranya bertemu dengan netra milik perempuan itu.

cantik

Dia tersenyum saat Adrian berdiri di hadapannya.

“Hai,” ucapnya sambil tersenyum.

“Baik, karena kedua mempelai sudah disini, mari kita mulai acaranya,” sahut MC.

-

Acara berjalan lancar, hingga kini masuk ke tahap pembacaan janji kedua mempelai.

“Baik, untuk saudara Adrian di persilahkan,”

Adrian menghela napasnya, ia lalu menatap Dira dan tersenyum.

“Halo, saya Aksara Adrian ....” ucap Adrian.

“Emm ....”

“Untuk perempuan yang berada di hadapan saya saat ini ....”

“Terima kasih, ya?”

“Terima kasih untuk semua hal-hal kecil yang selalu membuat saya sadar akan satu hal, makasih karena kehadiran kamu di hidup saya benar-benar mampu merubah saya untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Untuk semua hal yang sudah kamu beri pada saya, perhatian kecil yang selalu kamu berikan, itu semuanya mampu membuat saya bahagia ....”

“Untuk perempuan yang tengah berdiri di hadapan saya, terima kasih, ya? Untuk semuanya terima kasih ....”

“Dan untuk kedua orang tua dari perempuan kesayangan saya, saya ingin berterima kasih karena sudah melahirkan dan membesarkan seorang putri cantik yang hebat, terima kasih karena telah melahirkan sosok luar biasa, terima kasih sudah merawat dan rela memberikan semua kebahagiaan untuk putri kecil kalian ....”

Adrian menghela napasnya.

“Dah mulai detik ini, Izinkan saya mengambil alih semua tanggung jawab kalian perihal putri kalian. Izinkan saya untuk memberikan semua hal yang saya punya untuk kebahagiaan putri kalian. Saya berjanji akan memberikan kebahagiaan yang pantas untuk putri kalian, saya berjanji akan selalu ada untuk putri kalian, saya berjanji untuk tidak menyakiti putri kalian, dan saya berjanji, untuk tetap menyayangi putri kalian apapun keadaannya.”

Tidak hanya Dira, bahkan semua orang yang ada disana menangis mendengar ucapan Adrian.

“Ian ....” lirih Dira.

Adrian tersneyum, ia lalu menatap netra kecoklatan perempuan itu.

“Dan terakhir ....”

“Nindira Azzura ....”

“Iya?”

“Terima kasih, terima kasih karena sudah menjadi jawaban atas segala doa yang selalu saya panjatkan.”

“Terima kasih karena sudah berhasil menjadi pelabuhan terakhir saya,” ucap Adrian, lalu mengecup kening Dira di altar itu.

“Saya sayang kamu Dira, terima kasih ....” bisiknya.

Akhirnya.

Setelah perjalanan panjang yang dilalui, akhirnya Adrian berhasil menemukan rumahnya.

Rumah paling hangat yang selalu Adrian dambakan.

Adrian berhasil, ia berhasil menemukannya.

Selamat menempuh kebahagiaan baru Aksara Adrian.

fin

Setelah kesepakatan bersama,Adrian dan Dira tengah dalam perjalanan menuju rumah Dira.

“Degdegan,” ucap Adrian yang dibalas kekehan oleh Dira.

“Ayah gak galak kok,” ucap Dira.

Tak butuh waktu lama, mereka berdua kini sudah sampai di sebuah rumah berwarna putih yang cukup luas.

Adrian menoleh pada perempuan di sampingnya, Dira tersenyum, ia lau mengusap pelan punggung tangan Adrian.

“Ayo,” ucap Dira.

Mereka berdua turun dari mobil, lalu melangkah untuk mengetuk pintu rumah itu.

Sungguh, jantung Adrian saat ini benar-benar berdetak kencang, bahkan peluh mengucur dari dahinya.

“Mama,” ucap Dira saat pintu terbuka dan menampakkan sosok wanita paruh baya.

“Maaf Dira jarang pulang,” ucap Dira.

Wanita paruh baya itu menoleh pada Adrian.

“Adrian, ya?” Ucapnya, membuat Adrian sedikit terkejut namun sedetik kemudian ia tersenyum manis.

Lelaki itu kemudian membungkuk lalu meraih tangan mama Dira.

“Halo tante, saya Adrian,” ucap Adrian tersenyum.

Wanita paruh baya itu tersenyum sambil menepuk punda Adrian.

“Ayo masuk, ayah di dalam,” ucapnya.

Dengan langkah yang sedikit ragu, Adrian menghela napas, lalu memberanikan diri untuk masuk.

Sial.

Jantungnya semakin berdegup kencang saat netranya menangkap sosok pria paruh baya yang tengah duduk sambil menyeruput gelas berwarna putih itu.

“Duduk,” ucap pria paruh baya itu.

Dira terdiam, begitupun Adrian.

“Ini yang namanya Adrian?” Ucapnya membuat Adrian mengangguk.

“Kenalin om, saya Adrian.”

“Kenapa?”

Adrian mengangkat sebelah alisnya, “gimana om?”

“Kenapa kamu ingin putri saya?”

“Kenapa kamu ingin dia untuk jadi milik kamu?”

“Kenapa kamu sangat yakin kalau anak saya bisa jadi milik kamu?”

“Kamu punya apa? Sampai berani untuk meminang putri saya satu-satunya?”

Adrian meneguk ludahnya.

Ia kemudian menghela napas.

“Sebe—“ ucapan Adrian terpotong.

“Kenapa kamu sangat yakin?”

“Sehebat apa kamu, hah?” Ucap pria paruh baya itu dengan suara tegasnya.

“Say—“

“Jangan gagap gitu, laki-laki bukan?”

Sial

Di sampingnya, Dira menatap Adrian, lalu mengusap lengannya pelan.

“Ayah ....” lirih Dira.

“Om ....”

Adrian menatap pria paruh baya di hadapannya itu.

“Saya punya hati, saya punya kepercayaan, saya punya cinta, dan saya akan melakukan apapun demi bisa membahagiakan Dira,”

“Saya sayang Dira, om, sayang sekali.

“Maaf kalau saya lancang....”

“Saya tidak pernah setakut ini perihal mencintai om, dan ya, putri om berhasil bikin saya jatuh dan rela lakuin apa saja buat ngelindungin Dira.”

“Maka dari itu saya berani untuk meminang Dira,”

“Saya tidak kekurangan harta, saya bahkan rela beli apapun demi bahagiain Dira,”

“Kalau om khawatir perihal materi, saya bisa buktikan semuanya. Saya cuma ingin Dira ada di samping saya....” ucap Adrian membuat pria paruh baya itu terdiam.

“Jadi om, apakah om merestui saya?”

Hening.

“En—“

“Ayah!” Ucap mama Dira.

“Dira ....” ucapnya pada Dira.

“Iya ayah?”

“Kamu sayang dia?”

Dira mengangguk.

“Lalu Arian?”

Dira menggeleng.

“Aku gak pernah mau ayah ....”

“Ayah, Dira mohon ....” lirih Dira.

Pria paruh baya itu menghela napasnya.

“Adrian,”

“Iya om?”

“Tolong jaga putri saya, tolong bahagiakan putri saya, dan tolong jangan hancurkan kepercayaan saya,”

Adrian tertegun.

“Jadi, saya boleh meminang putri om?”

Lagi-lagi ayah Dira menghela napas.

“Ya, demi kebahagiaan putri saya,”

Dira berdiri, ia kemudian memeluk erat tubuh pria itu.

“Ayah, makasih banyak,” ucap Dira.

“Maafin ayah, ya sayang, maaf ayah selalu maksa kamu buat ngikutin kemauan ayah,” ucapnya berbisik pelan.

“Dira putri ayah, ayah sayang sekali sama Dira, maafin ayah ya. Dan Adrian, tolong jaga putri saya ....”

Entah kenapa, setelah tadi Adrian membaca pesan dari Arian—lelaki yang katanya akan menjadi suami dari perempuannya itu benar-benar membuat Adrian merasa ketakutan.

Adrian bahkan tidak paham, kenapa dirinya tiba-tiba merasa sangat takut. Bahkan perasaan takutnya membuat Adrian terkulai lemas di dalam rumahnya itu.

Sejak tadi, pikirannya hanya perihal kehilangan.

Adrian takut, sangat takut.

“Adrian ....” terdengar suara perempuan yang memasuki rumah itu.

Adrian beranjak ketika ia mendengar suara Dira yang mendekat.

“Adri—“

Perempuan itu terdiam sesaat setelah Adrian memeluknya secara tiba-tiba.

Adrian memeluk Dira dengan sangat erat.

Sedikit bingung, tetapi tangan Dira bergerak menepuk pundak Adrian.

“Hei, kenapa?”

“Dira, saya takut ....” lirih Adrian.

“Saya takut kehilangan kamu,”

Dira terdiam, lalu sedetik kemudian ia tersenyum.

Dira melepaskan pelukan lelaki itu, kemudian ia mengusap wajah Adrian dengan sedikit berjinjit.

“Ian ....” lirihnya pelan.

“Aku gak kemana-mana, aku disini loh,” ucap Dira sambil tersenyum.

Adrian menatap netra kecoklatan milik perempuan itu.

Cantik

“Badan kamu anget Adrian,” ucap Dira.

Adrian terkekeh, ia lalu kembali memeluk tubuh perempuan dihadapannya itu.

“Maaf, maaf,” ucap Adrian.

“Jangan kemana-mana ya Dira, saya sayang kamu, sayang banget ....”

“Jangan khawatir”

i’m here, Adrian”

Entah kepercayaan dari mana, Adrian langsung pergi ke tempat dimana ia dan Ellea dulu sering kunjungi.

Adrian bodoh, pergi begitu saja tanpa menunggu balasan dari Ellean.

Tapi namanya Adrian tetap Adrian, lelaki keras kepala yang sering kali bertingkah sesukanya.

Sudah hampir 20 menit ia menunggu, namun tanda-tanda kedatangan Ellean belum juga terlihat.

Adrian memperhatikan bungkus rokok yang memang sengaja ia bawa.

Rasanya sudah lama Adrian tidak mencicipinya.

Tanpa pikir panjang, Adrian lalu mengeluarkan sebatang rokok, menyalakannya, lalu menyesapnya dengan nikmat.

Sambil menatap pemandangan di depannya, Adrian hanya tersenyum tipis kala ingatan-ingatannya tentang Ellean terlintas.

Adrian masih ingat dengan jelas, bagaimana perempuan itu berbicara, bagaimana perempuan itu bertingkah, bagaimana perempuan itu mengungkapkan perasaannya.

Addian masih ingat dengan jelas, bagaimana hangatnya pelukan itu, pelukan paling hangat yang selalu ia rindukan.

Adrian masih ingat dengan jelas, bagaimana perempuan itu tersenyum. Senyuman paling indah di seluruh jagat semesta yang selalun Adrian sukai.

Adrian masih ingat dengan jelas, bagaimana sabarnya perempuan itu dalam menghadapi dirinya.

Lelaki itu lagi-lagi tersenyum tipis.

Bodoh sekali ia dulu, melepaskan perempuannya begitu saja.

“Bajingan.” Umpatnya pada diri sendiri.

Sudah satu tahun berlalu, tapi dirinya bahkan tidak bisa sedikitpun melupakan Ellean.

Ia ingin Ellean. Ia rindu Ellean.

Tiba-tiba saja rokok yang berada di genggaman Adrian ditarik lalu dibuang.

“Jangan ngerokok,”

Adrian menoleh. Seketika matanya berbinar saat melihat sosok ini.

“El?” Ucapnya.

Tanpa basa-basi ia langsung menarik daksa perempuan itu kepelukannya.

Ellean terdiam sejenak, lalu dengan perlahan ia melepas pelukan itu.

“Ada apa, Ian?”

Adrian terdiam sambil menatap perempuannya itu.

Adrian tersenyum, ia lalu mengulurkan tangannya untuk merapikan helaia rambut Ellean yang sedikit berantakan.

Ellean terdiam.

Lelaki itu lagu-lagi tersenyum, ia lalu menangkuo wajah mungil perempuan itu.

“Cantik,” ucap Adrian.

“Adrian jangan gini ....” lirihnya.

“El ....”

“Ayo selesaikan semuanya,” ucap Ellean.

Adrian menunduk.

Rasanya sesak saat mendengar kata itu.

selesai

Kata yang tidak pernah Adrian pikirkan selama ini.

“Apa yang mau kamu omongin, ian ?” Ucap Ellean lembut.

Dengan berani Adrian lalu menatap wajah Ellean.

“El, buat semuanya, aku minta maaf.”

“Untuk aku yang pernah nyakitin kamu aku minta maaf,”

“El, seandainya aja aku gak egois, seandainya aja aku gak bodoh, mungkin sekarang kita masih sama-sama ya, El?”

Adrian terkekeh.

Tangannya terulur mengusap kepala perempuan itu.

“El, ada beberapa hal yang belum pernah aku bilang sama kamu,”

Adrian menatap Ellan, lalu menghela napasnya.

“Sesayang itu aku sama kamu, El ....” lirih Adrian.

“Aku bodoh, aku brengsek,”

“Aku terlalu dibutakan sama kasih sayang aku ke Jean sebagai teman, sampai aku lupa, kalau kamu itu satu-satunya kebahagiaan aku.

“Tapi lagi-lagi, aku bodoh, El”

“Maaf”

“Buat semuanya aku minta maaf ....” Adrian menunduk.

“Ian ....”

“Aku udah maafin kamu, selalu.”

“Ayo berdamai, Ian.”

“Aku sama kamu udah selesai, gak ada lagi yang perlu disesalin”

we’re done Adrian,” ucap Ellean.

Lagi-lagi sesak mengantap relung hatinya.

Jadi, beneran selesai, ya?

Adrian menatap Ellean.

“Selesai, ya? Gak ada kesempatan, ya?”

Ellean menggeleng pelan.

Adrian tersenyum kecut, ia lalu menghela napas.

“Ellean ....”

i love, you ....” lirih Adrian kemudian ia terisak pelan.

i know ....” ucap Ellean.

Adrian menatap Ellean, ia lalu mengusapnya dengan sangat lembut.

can i hug you, El? For the last time” ucap Adrian yang dibalas anggukan oleh Ellean.

Adrian lalu memeluk perempuan itu dengan sangat erat, seolah ia tidak ingin kehilanhan perempuannya.

Baik Adrian maupun Ellean, mereka sama-sama menangis.

Sakit sekali rasanya, seolah ada sesuatu yang berkali-kali menusuk dadanya.

“Ian, aku pamit, ya? Mulai detik ini, kamu harus bahagia, janji sama aku. Jangan siksa diri kamu,”

“Lupakan ya Ian,” ucap Ellean sebelum akhirnya ia melepas pelukan itu

“Ian, aku pulang, ya? Kevin nunggu di mobil, maaf dan terima kasih,”

Sebelum Ellean pergi, ia mengusap pelan wajah Adrian.

“Ian, be happy ....” lirihnya, lalu kemudian ia meninggalkan Adrian disana sendirian.

Pagi itu Adrian serta Dira tengah berada di sebuah tempat makan yang tak jauh dari kantor tempat mereka bekerja.

Meskipun sebenernya Adrian dan Dira bekerja di kantor yang berbeda, tapi ya tidak terlalu jauh juga.

“Kayaknya kamu suka banget sama kulit ayam, ya?” Tanya Adrian pada perempuan di hadapannya.

Dira mengangguk sambil tersenyum.

Adrian tersenyum tipis saat melihat anggukan Dira.

Lucu, pikirinya.

“Kamu gak suka kulit ayam?” Tanya Dira.

Adrian terkekeh pelan “suka aja, tapi ya gitu sih. Biasa aja,”

“Oh.”

Butuh waktu beberapa menit untuk mereka berdua menyelesaikan makannya.

Hingga Akhirnya Dira menghela napasnya, membuat Adrian menoleh.

Dira tersenyum.

Sejak tadi, lengkung di wajahnya sama sekali tidak hilang. Apalagi saat ia memperhatikan Adrian yang tengah fokus makan.

Saat ini, Adrian tengah fokus memainkan ponselnya, entah apa yang ia baca.

Dira hanya diam-diam tersenyum memperhatikan setiap inci dari wajah lelaki itu.

Ah, entah sihir apa yang Adrian gunakan sampai bisa membuat Dira tersenyum seperti orang gila seperti ini.

Padahal dari dulu, Dira ini paling anti dengan namanya jatuh cinta. Dira itu paling malas dengan namanya laki-laki. Tapi setelah ia tak sengaja mengenal Adrian, rasa-rasanya ada sesuatu yang beda. Dira juga tidak tahu apa itu, tapi yang jelas, di dekat Adrian, Dira selalu merasa nyaman.

“Adrian ....”

“Kalau saya suka kamu, gimana?