perihal kehilangan
Netra lelaki itu menatap satu persatu lukisan yang ada disana.
Jujur saja, Esa memang tidak pernah paham apa makna dari setiap lukisan yang ia lihat.
Hanya satu hal yang membuat dirinya senang mengunjungi tempat-tempat seperti ini.
Saras.
Iya, ini semua karena Saras.
Perempuannya ini sangat suka melukis. Bahkan dulu, saat mereka masih bersama. Saras pernah bilang jika ia ingin sekali membuka gallery untuk semua hasil karyanya.
Ah, jika diingat kembali, ternyata masih banyak hal-hal yang belum sempat Esa lakukan untuk bahagianya perempuan itu.
Jika sudah seperti ini, yang bisa Esa lakukan hanya menyesali atas kesalahan yang ia perbuat.
“calm down, Sa” gumamnya berusaha menstabilkan emosinya.
Lelaki itu kemudian melangkah pelan menyusuri setiap sudut di ruangan itu.
Ia tersenyum, kala netranya menangkap sebuah lukisan seorang wanita.
“Mirip Saras” batinnya sambil terus manatap lukisan di hadapannya ini.
Tiba-tiba saja memori-memori ia bersama dengan Saras terlintas.
Bayangan tentang bagaimana Saras tertawa. Bayangan tentang bagaimana Saras berbicara. Bayangan tentang bagaimana Saras tersenyum. Dan bayangan tentang bagaimana Saras menatap saat Esa memutuskan untuk mengakhiri semuanya.
Sesak lalu menyeruak begitu saja. Seolah melarang Esa untuk bisa bernapas lega.
Esa kemudian menjatuhkan tubuhnya sambil memukul pelan dadanya, guna menghilangkan sesak luar biasa.
Lelaki itu kemudian mengatur napasnya. Agar rasa sesak perlaham menghilang.
Ah, Esa benci jika sudah seperti ini.
Lelaki itu lalu terkekeh pelan.
Lihat, bahkan akibat bayangan saja, Esa bisa merasa sakit.
Belum sempat Esa melangkah pergi. Fokusnya teralihkan kala ia mencium wangi ini.
Wangi vanilla yang benar-benar terasa manis.
Wangi ini.
Wangi yang sejak lama Esa rindukan.
Saras
“Ngga, ini bukan Saras” ia menggeleng kuat.
“Ini buk—“ ucapannya terpotong saat seseorang memanggilnya.
“Esa ....”
Lelaki itu menoleh.
“how was your day?
Bak terhantam benda tajam, dada Esa benar-benar terasa sakit saat mendengar suara ini.
Berkali-kali ia menggeleng, berusaha menolak, jika perempuan yang baru saja memanggilnya adalah Saras.
Kini, perempuan itu tersenyum di hadapan Esa.
Entah keberanian darimana, Esa tiba-tiba saja memeluknya.
“i miss u, i miss u so much,” Esa memeluk erat tubuh perempuan itu.
Yang dipeluk hanya bisa terdiam. Lalu dengan perlahan tangan perempuan itu terulur mengusap pelan pundak lelaki yang kini tengah memeluknya.
“me too, Sa ....” lirihnya pelan.
Esa kemudian melepas pelukan itu, lalu menelisik setiap inc wajah perempuan di hadapannya ini.
Sorot mata Esa menyiratkan jika ia benar-benar merindukannya.
Perempuan itu hanya bisa tersenyum.
“Apa kabar, Sa?” Ucapnya.
Sambil sedikit memberi jarak, Esa melangkah mundur.
“Baik ....”
Saras mengangguk.
“Uhm, sorry barusan refleks tiba-tiba meluk” ucap Esa.
Saras hanya terkekeh pelan, “it’s ok”
“Lagi ngapain disini?” Tanya Esa.
“Esa, ini gallery lukisan punyaku ....” ucaonya membuat Esa membulatkan matanya.
“For real?”
Saras mengangguk.
“Ah maaf, aku gatau ....” ucap Esa.
“Gapapa.”
Seperti orang bodoh, Esa dibuat canggung hanya dengan melihat mata perempuan ini.
Ah, sudah lama sekali ia tidak melihat betapa cantiknya Saras.
“Sama siapa kesini, Sa?” Tanya Saras.
“Sendirian kok, kamu?”
“Aku sam—“
“Sayang!” Teriak seseorang memotong ucapan Saras.
Deg
“Aku sama suami aku ....” ucap Saras pelan.
Lagi dan lagi, seperti terhantam benda tajam. Dadanya terasa sakit. Benar-benar sakit.
“K-kamu ....”
“Iya Esa, aku udah nikah, hehe” ucap Saras.
“Oh, aku gatau,” Ucap Esa canggung.
“Maaf ya,” ucap Esa lagi.
“Esa?” Tiba-tiba saja lelaki itu berucap.
Esa tersenyum canggung.
“Apa kabari, Di?”
Iya, ini Odi. Lelaki yang Saras sebut suami, itu adalah Odi.
Teman kampus mereka dulu.
Dalam diamnya, Esa hanya bisa tersenyum miris. Apalagi saat netranya tak sengaja melihat dua cin-cin kembar melekat dijari mereka.
Runtuh, harapannya perihal kepulangan runtuh.
“ayo pulang ....” ucap Odi pada Saras yang dibalas anggukan.
“Sa, kita duluan, ya? Gapapa, liat-liat aja disini.”
“Eh? Iya-iya. Makasih ya Ras,” ucap Esa.
“Kita pamit ya, Sa ...” ucap Saras, kemudian ia melangkah pergi dari sana.
-
Selepas kepergian Odi serta Saras. Esa hanya bisa menahan sesak.
Bahkan setelah 4 tahun.
Setelah empat tahun ia berharap. Setelah empat tahun ia menanti.
Nyatanya kesempatan itu tidak akan pernah datang.
Kesempatan perihal pulang. Pulang tempat yang dimana selalu Esa harapkan ke-kokohannya.
Tapi kenyataannya apa?
Tempat yang harusnya jadi milik dia, malah dimiliki oleh orang lain.
Esa terkekeh pelan, saat mengingat kenyataan jika semua angan yang selalu ia harap untuk terulang, tidak akan pernah bisa kembali seperti semula.
Bak pecahan kaca, sesuatu yang pernah ia hancurkan itu, tidak akan pernah bisa utuh kembali. Sekuat apapun ia merangkainya.
Kesalahannya.
Kebodohannya
Keserakahannya.
Dan segala hal yang selalu ia sesali, akan menjadi penyesalan mendalam seumur hidupnya.
Kehilangan yang ia alami, benar-benar membuatnya mati rasa.
Ia hanya ingin pulang kerumah yang dulu. Ia hanya ingin peluk yang dulu selalu berhasil membuatnya hangat.
“Selamat, Sa ....” gumamnya.
“Selamat menikmati penyesalan, lagi, hahaha” ia tertawa, meratapi kenyatannya.
Ah, memang benar. Sesuatu yang pernah dihancurkan itu tidak akan pernah bisa kembali seperti semula.
Kehilangan itu tidak pernah baik bagi siapapun yang mengalaminya.
Entah itu kehilangan keluarga, sahabat, atau orang terkasih.
Tidak ada manusia yang baik-baik saja ketika kehilangan.
Dan yang bisa Esa lakukan sekarang hanyalah berdamai dengan hatinya.
Berdamai, lalu menerima jika kenyataannya ia tidak pernah bisa kembali pada Saras.
Esa menyesal.
Sangat menyesal.
Biar.
Biar semuanya usai sampai disini.
Dan juga ....
Selamat merayakan kehilangan, Margadinata Esa.