Jjaejaepeach

Netra lelaki itu menatap satu persatu lukisan yang ada disana.

Jujur saja, Esa memang tidak pernah paham apa makna dari setiap lukisan yang ia lihat.

Hanya satu hal yang membuat dirinya senang mengunjungi tempat-tempat seperti ini.

Saras.

Iya, ini semua karena Saras.

Perempuannya ini sangat suka melukis. Bahkan dulu, saat mereka masih bersama. Saras pernah bilang jika ia ingin sekali membuka gallery untuk semua hasil karyanya.

Ah, jika diingat kembali, ternyata masih banyak hal-hal yang belum sempat Esa lakukan untuk bahagianya perempuan itu.

Jika sudah seperti ini, yang bisa Esa lakukan hanya menyesali atas kesalahan yang ia perbuat.

calm down, Sa” gumamnya berusaha menstabilkan emosinya.

Lelaki itu kemudian melangkah pelan menyusuri setiap sudut di ruangan itu.

Ia tersenyum, kala netranya menangkap sebuah lukisan seorang wanita.

Mirip Saras” batinnya sambil terus manatap lukisan di hadapannya ini.

Tiba-tiba saja memori-memori ia bersama dengan Saras terlintas.

Bayangan tentang bagaimana Saras tertawa. Bayangan tentang bagaimana Saras berbicara. Bayangan tentang bagaimana Saras tersenyum. Dan bayangan tentang bagaimana Saras menatap saat Esa memutuskan untuk mengakhiri semuanya.

Sesak lalu menyeruak begitu saja. Seolah melarang Esa untuk bisa bernapas lega.

Esa kemudian menjatuhkan tubuhnya sambil memukul pelan dadanya, guna menghilangkan sesak luar biasa.

Lelaki itu kemudian mengatur napasnya. Agar rasa sesak perlaham menghilang.

Ah, Esa benci jika sudah seperti ini.

Lelaki itu lalu terkekeh pelan.

Lihat, bahkan akibat bayangan saja, Esa bisa merasa sakit.

Belum sempat Esa melangkah pergi. Fokusnya teralihkan kala ia mencium wangi ini.

Wangi vanilla yang benar-benar terasa manis.

Wangi ini.

Wangi yang sejak lama Esa rindukan.

Saras

“Ngga, ini bukan Saras” ia menggeleng kuat.

“Ini buk—“ ucapannya terpotong saat seseorang memanggilnya.

“Esa ....”

Lelaki itu menoleh.

how was your day?

Bak terhantam benda tajam, dada Esa benar-benar terasa sakit saat mendengar suara ini.

Berkali-kali ia menggeleng, berusaha menolak, jika perempuan yang baru saja memanggilnya adalah Saras.

Kini, perempuan itu tersenyum di hadapan Esa.

Entah keberanian darimana, Esa tiba-tiba saja memeluknya.

i miss u, i miss u so much,” Esa memeluk erat tubuh perempuan itu.

Yang dipeluk hanya bisa terdiam. Lalu dengan perlahan tangan perempuan itu terulur mengusap pelan pundak lelaki yang kini tengah memeluknya.

me too, Sa ....” lirihnya pelan.

Esa kemudian melepas pelukan itu, lalu menelisik setiap inc wajah perempuan di hadapannya ini.

Sorot mata Esa menyiratkan jika ia benar-benar merindukannya.

Perempuan itu hanya bisa tersenyum.

“Apa kabar, Sa?” Ucapnya.

Sambil sedikit memberi jarak, Esa melangkah mundur.

“Baik ....”

Saras mengangguk.

“Uhm, sorry barusan refleks tiba-tiba meluk” ucap Esa.

Saras hanya terkekeh pelan, “it’s ok”

“Lagi ngapain disini?” Tanya Esa.

“Esa, ini gallery lukisan punyaku ....” ucaonya membuat Esa membulatkan matanya.

For real?

Saras mengangguk.

“Ah maaf, aku gatau ....” ucap Esa.

“Gapapa.”

Seperti orang bodoh, Esa dibuat canggung hanya dengan melihat mata perempuan ini.

Ah, sudah lama sekali ia tidak melihat betapa cantiknya Saras.

“Sama siapa kesini, Sa?” Tanya Saras.

“Sendirian kok, kamu?”

“Aku sam—“

“Sayang!” Teriak seseorang memotong ucapan Saras.

Deg

“Aku sama suami aku ....” ucap Saras pelan.

Lagi dan lagi, seperti terhantam benda tajam. Dadanya terasa sakit. Benar-benar sakit.

“K-kamu ....”

“Iya Esa, aku udah nikah, hehe” ucap Saras.

“Oh, aku gatau,” Ucap Esa canggung.

“Maaf ya,” ucap Esa lagi.

“Esa?” Tiba-tiba saja lelaki itu berucap.

Esa tersenyum canggung.

“Apa kabari, Di?”

Iya, ini Odi. Lelaki yang Saras sebut suami, itu adalah Odi.

Teman kampus mereka dulu.

Dalam diamnya, Esa hanya bisa tersenyum miris. Apalagi saat netranya tak sengaja melihat dua cin-cin kembar melekat dijari mereka.

Runtuh, harapannya perihal kepulangan runtuh.

“ayo pulang ....” ucap Odi pada Saras yang dibalas anggukan.

“Sa, kita duluan, ya? Gapapa, liat-liat aja disini.”

“Eh? Iya-iya. Makasih ya Ras,” ucap Esa.

“Kita pamit ya, Sa ...” ucap Saras, kemudian ia melangkah pergi dari sana.

-

Selepas kepergian Odi serta Saras. Esa hanya bisa menahan sesak.

Bahkan setelah 4 tahun.

Setelah empat tahun ia berharap. Setelah empat tahun ia menanti.

Nyatanya kesempatan itu tidak akan pernah datang.

Kesempatan perihal pulang. Pulang tempat yang dimana selalu Esa harapkan ke-kokohannya.

Tapi kenyataannya apa?

Tempat yang harusnya jadi milik dia, malah dimiliki oleh orang lain.

Esa terkekeh pelan, saat mengingat kenyataan jika semua angan yang selalu ia harap untuk terulang, tidak akan pernah bisa kembali seperti semula.

Bak pecahan kaca, sesuatu yang pernah ia hancurkan itu, tidak akan pernah bisa utuh kembali. Sekuat apapun ia merangkainya.

Kesalahannya.

Kebodohannya

Keserakahannya.

Dan segala hal yang selalu ia sesali, akan menjadi penyesalan mendalam seumur hidupnya.

Kehilangan yang ia alami, benar-benar membuatnya mati rasa.

Ia hanya ingin pulang kerumah yang dulu. Ia hanya ingin peluk yang dulu selalu berhasil membuatnya hangat.

“Selamat, Sa ....” gumamnya.

“Selamat menikmati penyesalan, lagi, hahaha” ia tertawa, meratapi kenyatannya.

Ah, memang benar. Sesuatu yang pernah dihancurkan itu tidak akan pernah bisa kembali seperti semula.

Kehilangan itu tidak pernah baik bagi siapapun yang mengalaminya.

Entah itu kehilangan keluarga, sahabat, atau orang terkasih.

Tidak ada manusia yang baik-baik saja ketika kehilangan.

Dan yang bisa Esa lakukan sekarang hanyalah berdamai dengan hatinya.

Berdamai, lalu menerima jika kenyataannya ia tidak pernah bisa kembali pada Saras.

Esa menyesal.

Sangat menyesal.

Biar.

Biar semuanya usai sampai disini.

Dan juga ....

Selamat merayakan kehilangan, Margadinata Esa.

Saras menggenggam erat pintu cafe itu. Berusaha menstabilkan detak jantungnya. Perempuan itu kemudian menghela napas, lalu melangkah masuk kesana.

Netranya menelisik setiap sudut tempat itu, mencari keberadaan seseorang.

Fokusnya teralihkan kala ia mendapati lambaian tangan dari meja yang tak jauh dari tempat ia berdiri.

Orang itu tersenyum melihat kehadiran Saras disana.

akhirnya

“Emm ....”

“Hi, Sa.”

Perempuan itu tersenyum canggung, ketika netranya saling bertatap satu sama lain.

“Hi, Ras. it’s been a long time,” ucap Esa, lelaki itu.

“Gimana kabarnya?” Tanya lelaki itu.

Saras tersenyum, “baik. Kamu gimana?”

Lelaki itu tersenyum.

Ah, rasanya sudah lama sekali tidak berhadapan secara langsung dengan perempuan ini.

“Ternyata, udah empat bulan ya, Ras. Kita gak ketemu langsung kaya gini,” ia terkekeh pelan.

Esa menatap lekat perempuan dihadapannya ini.

Berbeda dengan Saras, sejak ia melihat Esa. Susah payah ia mengalihkan pandangannya agar tidak menatap lelaki ini.

“Saras ....” ucap Esa.

“Boleh liat aku sebentar?”

Saras menghela napasnya, kemudian ia menatap Esa.

Ah, tatapan ini. Tatapan yang hampir setiap hari Saras rindukan.

“Saras ...”

“Hmm?” Saras hanya bergumam pelan.

“Aku seneng,”

“Aku seneng kamu mau nemuin aku,” ucap Esa dengan sorot mata berbinar.

Saras hanya tersenyum.

“Jadi, ada apa?” Ucap Saras pelan, namun dengan sorot mata yang nyimpan banyak ketakutan.

Esa menghela napasnya.

“Saras, aku tau. Aku brengsek banget. Aku tau ak—“

“Sa,” Saras memotong ucapan Esa.

“Langsung ke intinya, aja, ya?”

Esa menatap Saras. Kemudian lagi-lagi ia menghela napasnya.

“Saras,”

“Iya?”

can we go back to how things were before?” Esa berucap dengan tatapan yang sendu.

Saras terdiam.

“Saras ...”

i still love you a lot

“Nyatanya, kehilangan kamu. Aku gak pernah baik-baik aja, Saras”

Esa menghela napasnya, kemudia menatap Saras.

“Kasih aku kesempatan sekali lagi, ya?” ucap Esa lirih.

Entahlah, Saras benar-benar tidak bisa menjelaskan apa yang ia rasakan saat ini.

Jujur saja, Saras senang mendengar jika ternyata Esa masih mencintainya. Tapi disisi lain, rasa kecewa Saras tidak benar-benar sembuh.

“Esa ....”

Saras tersenyum lalu dengan pelan ia memberanikan diri untuk mengusap pelan lengan lelaki itu.

“Esa .....”

“Kita udah selesai, dari lama. Gak ada lagi yang bisa diperbaikin.”

“Ras ....” lirihnya.

“Aku seneng, seneng banget. Denger kalau ternyata kamu masih mau aku, aku seneng, Sa.”

Saras mengusap pelan jari-jemari lelaki itu.

“Bukan, Sa. Bukan karena aku udah gak sayang sama kamu. Aku sayang, kok sama kamu. Sayang banget,”

“Tapi, Sa ....”

“Kita gak bisa jadi apa yang dulu kita jalanin.”

Sesak.

Itu yang mereka berdua rasakan.

“Jadi, kita gak bisa kembali, ya, Ras?” Ucap Esa pelan.

Saras menggelen pelan.

“Maaf.”

Esa tersenyum tipis. “It’s okay, Ras. Jangan minta maaf, hehe

Matanya lelaki itu menyiratkan jika ia benar-benar tidak ingin kehilangan Saras. Bahkan untuk bernapas saja rasanya terlalu sesak.

“Cari perempuan lain, ya, Sa?”

Demi apapun, bukan hanya Esa. Tapi perempuan ini juga merasakan sesak luar biasa.

Esa menggeleng pelan.

i can’t” ucapnya sambil terkekeh pelan.

Esa kemudian membenarkan posisi duduknya. Berusaha meredakan sesak yang sejak tadi menyeruak ke seluruh ruang dadanya.

“Esa, baik-baik, ya?”

Esa mengangguk.

“Maaf ....” ucap Esa.

Saras menggeleng “jangan minta maaf, gak ada yang perlu dimaafkan.”

“Saras ....”

“Hmm?”

can i hug you?

Saras menatap Esa, lalu dengan ragu ia mengangguk.

Esa tersenyum.

Lelaki itu kemudian beranjak dari duduknya, dan mendekat ke arah Saras.

Dengan pelan ia memeluk tubuh perempuan itu.

Ah, Esa rindu sekali aroma tubuh perempuan ini.

Tidak peduli jika pengunjung sana memperhatikan kegiatan mereka.

Saras hanya terdiam, berusaha merasakan dan meluapkan kerinduan yang memang ia tahan selama ini.

Dengan pelan, ia memeluk balik tubuh Esa denga sangat erat. Seolah ia tidak ingin kehilangan pelukan ini, lagi.

“Saras makasih ....” bisik Esa.

“Makasih karena udah ngajarin perihal jatuh cinta, kehilangan dan juga penyesalan .....”

“Makasih karena sempet jadi sesuatu luar biasa. Meskipun akhirnya aku juga yang ngelepas. Tapi aku seneng bisa jadi bagian dari hidup kamu, Ras ....” ucap Esa yang masih memeluk Saras.

Tanpa Esa sadari, Saras menjatuhkan air matanya.

Ia sangat mencintai lelaki ini. Tapi disisi lain, ia sangat kecewa pada lelakinya.

“Esa ....”

“Makasih juga,” ucap Saras pelan.

Kemudian Esa melepas pelukannya.

Lelaki itu menatap lembut Saras, lalu ia mengusap pelan wajah perempuan itu.

“Cantik ....” ucapnya tersenyum.

“Saras ....”

“Boleh gak aku ngabisin seharian ini sama kamu?”

for the last time, hehe

Saras tersenyum. Kemudian ia mengangguk.

“Ayo buat Ras, ayo buat kenangan terakhir sebelum kita benar-benar saling melepaskan.”

Sudah berlalu 2 minggu semenjak Esa memutuskan untuk melepaskan Saras.

Ah, ternyata seperti ini rasanya?

Saras hanya tersenyum sambil menatap kosong langit malam.

Jika ditanya, perihal Saras yang baik-baik saja atau tidak. Jawabannya tentu tidak.

Bahkan sejak awal. Sejak Esa mulai jarang menghubunginya, Saras tidak pernah baik-baik saja.

Memang benar, Saras terlihat baik, terlihat tidak peduli. Tapi, semenjak Esa memilih pergi, Saras selalu tidur diatas jam dua belas malam. Entah kenapa.

Fokus perempuan itu terganggu kala ia mendengar suara pemberitahuan dari ponselnya. Kemudian ia menghela napasnya.

“Ulang tahun mama Esa ....”

“Jalan-jalan sama Esa ....”

Saras bergumama, membaca pemberitahuan itu.

Lagi-lagi Saras tersenyum tipis, sambil menghapus pengingat yang memang sudah lama ia tuliskan di ponselnya.

Saras menghela napasnya ketika menyadari, masih banyak keinginan-keinginan yang belum ia laksanakan bersama lelaki itu.

Ah, lagi-lagi Saras hanya bisa tersenyum miris. Apalagi jika mengingat kenyataan bahwa ia sekarang sendirian.

Biasanya, dijam seperti ini, akan ada panggilan masuk berkali-kali pada ponselnya.

Biasanya, dijam seperti ini. Saras sedang tersenyum kala lelakinya memberi candaan lewat panggilan video.

Biasanya, dijam seperti ini. Saras sedang mendengarkan petikan gitar dari lelaki kesayangannya.

Ah Saras merindukannya.

“Esa ....” gumamnya, sambil sesekali ia menghela napas guna menahan sesak yang menyeruak.

Esa itu laki-laki kedua setelah ayah, yang berhasil membuat Saras jatuh cinta.

Kenapa? Kenapa Esa harus menginggalkan perempuan ini?

Saras sangat menyayangi Esa. Tapi kenapa harus berakhir? Ia bahkan belum mengatakan jika seluruh hatinya hanya untuk Esa.

Saras bahkan tidak ingin berpisah.

Saras itu tidak suka sendiri.

Tapi lihat sekarang, ia sendirian.

Lelaki kesayangan sekaligus teman baiknya. Mereka semua sekarang pergi.

Saras marah.

Saras kecewa.

Saras sakit.

Tapi Saras tidak ingin egois.

Ibu Saras bahkan pernah bilang.

”gapapa, semua orang itu datang dan pergi. Gapapa kalau nanti kamu disakitin. Tapi jangan kamu balas nyakitin, ya, sayang? Ibu gak mau kamu jadi orang jahat. Cukup bersikap biasa saja, jangan dendam, ya cantik?”

Saras selalu tersenyum jika mengingat perkataan ibu.

“Ibu ....”

“Liat, gak? Saras udah kuat, kan? Ibu liat di atas, kan?”

“Ibu ....”

“Saras sayang sama Esa, tapi Esa udah nyakitin Saras. Jadi Saras harus kuat, kan, bu?” Gumamnya sambol menatap langit.

Tanpa sadar, air mata perempuan itu jatuh.

Saras rindu Ibu.

Saras rindu Ayah.

Dan Saras rindu Esa.

Saras kesepian, sangat kesepian.

Lelaki itu menghela napasnya saat menatap perempuan yang tengah berdiri sambil menenteng sebuah kantung plastik.

Sorot matanya terpancar sangat cerah pada Esa.

Perempuan itu tersenyum.

“Hai ....” ucapnya, kemudian ia mengecup pelan pipi Esa dengan tiba-tiba.

Esa terdiam.

“Saras ....” ucapnya.

Yang dipanggil tersenyum, “gak mau nyuruh aku masuk? Pegel nih,” ucap Saras.

Esa menggeser tubuhnya guna memberikan jalan masuk untuk Saras.

Sambil melangkah kedalam, Saras menarik lengan Esa agar mengikutinya.

“Duduk,” ucap Saras mendudukan Esa.

“Saras ....” ucap Esa.

Saras tidak mengindahkan panggilan Esa, ia sibuk membuka sesuatu yang ada di dalam kantung plastik yang ia bawa.

“Aku beli ini,” ucap Saras tersenyum pada Esa.

“Tadaa ....”

“Kue kesukaan kamu,” ucap Saras terkekeh.

“Saras ....”

Saras menatap Esa, kemudia tangannya terulur ngusap wajah lelaki itu.

Diusapnya lembut lelaki itu, kemudian Saras mendekat lalu memeluknya.

Lagi-lagi Esa hanya terdiam.

“Aku mau cerita,”

“Saras, aku mau ngomong,”

“Tadi tuh aku sama Raga, kan, ya? Nah, aku tuh beli ini buat kamu,” Saras terkekeh.

“Eh, tau gak? Masa proposal aku ada revisi lagi dikit, kesel banget!” Ucap Saras.

Esa hanya terdiam mendengar ocehan perempuannya.

Lelaki ini bahkan tidak mengerti. Kenapa Saras bersikap seolah tidak terjadi apa-apa?

“Saras ....”

“Dengerin aku dulu,” ucap Esa

Saras menatap mata lelaki dihadapannya itu.

Rasanya sesak, entah kenapa.

“Esa ....” ucap Saras pelan.

“Esa, sayang engga sama aku?”

Esa terdiam.

Saras tersenyum.

“Udah gak sayang, ya?” Ucap Saras.

Lagi-lagi, perempuan itu kembali mengusap wajah Esa dengan lembut.

“Wangi banget kamu,” ucap Saras terkekeh.

“Ras ....”

“Esa....”

“Mau jalan-jalan ke angkringan. Kangen banget, yuk?”

“Saras ....”

“Kita selesai sampai disini aja, ya?”

Demi apapun, apa yang sudah Esa katakan barusan?

Bak terhantap benda tajam, dada Saras benar-benar terasa sakit dan menyesakkan.

Esa menatap raut wajah Saras yang seketika terdiam.

Namun tiba-tiba saja Saras tersenyum. Seolah tidak ada apa-apa.

“Udahan, ya?” ucapnya dengan tenang.

“Esa mau udahan sama aku?” Ucap Saras dengan nada suara yang sulit diartikan.

“Ras ....”

Saras tersenyum “gapapa,”

“Maaf ....”

Saras menghela napasnya, kemudian ia beranjak.

“Esa ....”

“Karena sekarang kamu mau kita udahan, jadi aku bilang sekarang aja, ya?”

Esa mengerutkan alisnya.

“Sa ....”

“Selamat ulang tahun ....”

“Selamat sidang ....”

“Dan selamat hari jadi ke tiga tahun ....”

Perempuan itu tersenyum pada Esa.

“Aku ucapin sekarang gapapa, ya? Soalnya nanti aku gak bisa bilang selamat. Kan kitanya udahan, hehe” ucap Saras.

Esa hanya terdiam.

“Kalo gitu aku pulang, ya?”

“Ini kue dari aku tolong dimakan, ok?”

Demi apapun, Saras bahkan tidak menangis. Hanya senyum dan sorot mata sendu yang ditampilkan Saras pada Esa saat ini.

“Saras ....” ucap Esa saat Saras berada di ambang pintu keluar rumah itu.

Perempuan itu menoleh sambil tersenyum

“Esa, makasih, ya? Makasih buat selama ini, hehe”

“Jaga kesehatan.”

“Aku pamit, ya?” Ucap Saras sebelum akhirnya ia pergi dari hadapan Esa.

Tidak, Saras tidak menangis. Bahkan ketika perempuan itu meninggalkan rumah Esa.

Saras hanya tidak mengerti

Esa tersenyum melihat perempuan yang duduk disampingnya. Sambil mengusap pelan lengan perempuan itu.

“Jangan cemberut,” ucap Esa.

Saras hanya menghela napasnya.

“Fokus nyetir aja,” ucap Saras.

Entahlah, perasaan Saras saat ini tidak sebahagia kemarin-kemarin.

Ada sesuatu yang sangat mengganjal di hati perempuan itu.

Fokus Saras teralihkan saat mendapati ponsel Esa yang terus bergetar.

Esa pun hanya melirik sekilas pada ponselnya tanpa berani membuka.

“Buka dulu, berisik,” ucap Saras.

Esa menoleh, kemudian mengangguk menuruti perkataan Saras.

Untung saja, mereka berada di tengah-tengah kemacetan saat ini. Sehingga Esa tidak perlu membuka ponsel sambil menyetir.

Entah pesan dari siapa yang datang saat ini. Namun Saras bisa melihat jika raut wajah Esa bener-bener terlihat cerah.

Pikiran Saras terus saja bertanya-tanya

Siapa yany chat?

Kenapa Esa keliatan seneng

Hanya itu yang terus saja berputar dipikiran Saras.

Esa menoleh pelan pada Saras yabg tengah fokus melihat jalanan.

“Bukan siapa-siapa,” ucap Esa.

“Jangan takut,” ucapnya, seolah tahu jika perempuannya itu sedang mengkhawatirkan sesuatu.

Saras menoleh, “engga kok, gapapa.”

Esa menghela napasnya.

“Mau liat? Nih buka aja,” ucapnya.

Saras mengerutkan alisnya, lalu sedetik kemudian ia menggeleng.

“Gak usah, bukan hak aku. Aku percaya kok,” ucap Saras tersenyum.

Tiba-tiba saja Esa menarik tubuh Saras kedalam pelukannya.

“Maaf ya ....” ucap Esa sambil mengecup pelan pucuk kepala perempuan itu.

Saras terdiam sejenak saat Esa menariknya kedalam pelukan itu. Lalu, sesaat kemudian Saras balik memeluk tubuh Esa.

Perempuan ini sangat merindukannya.

Wangi tubuh yang selalu menjadi ciri khas lelaki itu benar-benar Saras rindukan.

Tanpa sadar, Saras terisak pelan dalam pelukan itu.

Ia benar-benar tidak ingin kehilangan Esa.

“Hei, kok nangis?”

Saras menggeleng pelan dalam pelukannya.

“Kangen ....” lirih Saras.

Esa terkekeh pelan.

“Maaf ya ....”

“Maaf karena akhir-akhir ini aku cuek,” ucap Esa sambil mengusap pelan pundak perempuannya itu.

“Esa ....” lirih Saras mengeratkan pelukannya.

“Jangan kayak kemarin lagi, takut .... “lirihnya lagi.

Esa tersenyum pelan.

“Maaf, maaf, ya?”

“Aku gak bakal kemana-mana, jangan takut.”

“Mau mampir dulu ngga?” Tanya Saras pada lelaki dihadapannya.

Esa hanya tersenyum sambil mengusap pelan pipi perempuan itu, kemudian ia menggeleng pelan.

“Besok, ya?” Ucap Esa.

Raut wajah Saras sedikit sendu.

“Mau kemana?” Tanya Saras.

“Mau ke kosan Haksa sayang,” ucap Esa.

Saras hanya mengerucutkan bibirnya, membuat Esa terkekeh pelan.

“Kangen ....” lirih Saras.

Esa tersenyum, lalu dengan pelan ia menarik tubuh Saras kedalam pelukannya.

“Besok, ya? Maafin,” ucap Esa.

Saras hanya mengangguk pelan.

“Jangan cemberut, besok minggu. Aku kesini besok, ya?”

Saras lagi-lagi mengangguk.

“Iya,”

“Aku pulang, ya?” Esa melepaskan pelukannya.

“Iya,” ucap Saras.

Esa tersenyum, ia kemudian mengacak pelan pucuk kepala perempuan itu.

“Aku pulang dulu,” ucap Esa, kemudian ia beranjak pergi dari hadapan Saras.

Sebelum Esa menjauh, Saras berteriak membuat lelaki itu menoleh pada Saras

“Esa!

“Aku sayang kamu, hati-hati!”

“Esa, gapapa?” Ucap Saras ketika melihat lelaki itu berdiri dihadapannya.

Esa terdiam, lalu sedetik kemudian ia menarik Saras kedalam pelukannya.

Lelaki itu kemudian menyembunyikan wajahnya di leher Saras.

Saras hanya terdiam, kemudia dengan pelan ia menepuk pundak Esa.

”are you okay, Sa?”

Lelaki itu menggeleng pelan dalam pelukan Saras.

“Cape ....” ucap lelaki itu pelan.

Jujur saja, Saras tidak tahu apa yang sudah ia alami hari ini. Seingatnya, Esa baik-baik saja.

Memang, hampir seminggu ini Esa dan Saras jarang bertemu, dikarenakan mereka sibuk dengan urusan perkuliahan masing-masing.

Tidak, mereka tidak bertengkar.

Saras, menghela napasnya. Biar saja Esa yang menceritakannya sendiri apa yang sudah terjadi hari ini.

“Jangan lepasin dulu, kangen ....” lirih Esa yang semakin mengeratkan pelukannya.

“Adek, kakak pulang,” ucap Juang ketika ia memasuki rumahnya.

Juang melangkahkan kakinya ke dalam kamar miliknya. Karena biasanya, jika Wira kesini, ia selalu masuk kedalam kamarnya.

Juang terkekeh pelan saat melihat Wira yang sedang fokus bermain game.

Ah ya, perihal Wira. Lelaki itu sudah mengetahui dimana Juang atau Bundanya menyimpan kunci rumah. Sehingga setiap kali ia kesana dan tidak menemukan siapapun, ia langsung saja mencari kunci rumah yang diselipkan di atas ventilasi udara.

“Dek,” ucap Juang.

“Hmm,” Wira hanya bergumam dengan mata yang fokus pada layar ponsel.

“Nih, makan dulu,”

“Hmm,” gumam Wira lagi.

Juang menghela napasnya, ia kemudian mendekat lalu meraih ponsel adiknya itu.

“Makan dulu,” ucap Juang.

Wira menatap Juang, kemudian terkekeh pelan.

“Kalem kak,” ucapnya.

Mereka berdua kemudian beranjak ke ruang makan.

“Nih makan,” ucap Juang sambil memberikan sebungkus pecel lele pada adiknya itu.

Juang tersenyum memperhatikan betapa lahapnya Wira makan.

Pecel lele itu, makanan kesukaan Wira. Dari kecil Juang selalu ingat apa saja yang Wira suka dan tidak suka.

Tangannya terulur kemudian mengacak pelan pucuk kepala Wira.

Entah kenapa tiba-tiba saja hati Juang terasa sakit.

Melihat Wira yang tumbuh dengan sangat baik tanpa kekurangan apapun, membuat Juang sedikit merasakan sesak.

Jujur saja, kadang kala, Juang iri pada Wira yang mempunyai segalanya.

Iya memang, Wira dan Juang adalah saudara kandung. Tapi dari kecil, Juang tidak pernah merasakan bagaimana rasanya dijadikan sosok jagoan oleh seorang ayah.

Juang bahkan tidak mengerti, kenapa ayahnya selalu saja melihat Juang selayaknya orang asing.

Ayah bahkan rela memberikan apapun demi Wira, tapi tidak untuk Juang.

Juang masih ingat, dulu waktu Juang masih kecil, ayah selalu bilang,

”jangan jadi lemah, kamu laki-laki. Ayah gak bakal manjain kamu.”

”harus kuat, jagain adeknya, jangan lemah,”

Selalu saja ayah bilang itu pada Juang, tanpa tahu kalau sebenarnya anak sulungnya ini tidak pernah bisa sekuat itu.

Juang itu rapuh, tapi dipaksa kuat oleh keadaan.

“Kenapa ngelamun?” Tiba-tiba saja Wira menyadarkan lamunan Juang.

Juang menggeleng pelan. Ia kemudian beranjak untuk perg masuk kedalam kamar.

“Kakak ke kamar dulu, mau beresin deadline,” ucapnya.

Bohong, Juang bohong.

Dia tidak mempunyai deadline apapun malam ini.

Juang hanya ingin menangis, tanpa Wira lihat.

Juang menjatuhkan tubuhnya dibalik pintu yang tertutup rapat.

Sesak rasanya.

Berkali-kali ia memukul kepalanya sendiri.

“Bunda ....” lirihnya pelan.

“Juang harus gimana?” Juang bergumam.

“Katanya Juang harus kuat,”

“Katanya Juang harus tangguh,”

“Katanya Juang gak boleh cengeng,”

“Bunda bilang Juang harus kuat buat lawan keadaan,”

“Tapi bun, gimana bisa Juang kuat kalau bunda gak ada disini?”

Lagi dan lagi, sesak menyeruak ke seluruh ruang dadanya.

“Bunda, Juang juga cape ....” lirihnya sambil terisak pelan.

Saras itu selalu suka perihal apapun tentang Esa.

Bagi Saras, Esa itu lelaki kedua yang selalu mampu membuatnya tersenyum.

Entahlah, Saras bahkan tidak paham, mengapa dirinya amat sangat menyayangi Esa.

“Makan, jangan senyum terus, aku tau aku ganteng,” ucap Esa pada perempuan di sampingnya.

Saras terkekeh, ia kemudian mencubit pelan pipi lelaki itu.

“Abisnya kamu ganteng,” ucap Saras.

Esa tersenyum, ia lalu mengacak pelan surai perempuan itu.

“Makan dulu aja, ya? Aku mau nyari minum dulu ke warung sebrang,” ucap Esa yang dibalas anggukan oleh Saras.

Saras tersenyum memperhatikan punggung lelaki itu yang semakin menjauh.

Lagi-lagi, Saras jatuh pada lelaki ini.

“Esa, Esa, dasar ....” gumamnya sambil terkekeh.

Tiba-tiba saja Netra Saras terpaku pada sebuah ponsel milik Esa yang sengaja ia tinggalkan disana.

Demi apapun, rasa penasaran selalu membuncah tiap kali Saras melihat ponsel Esa.

Bukannya apa-apa, hanya saja sesekali, Saras penasaran tentang apa yang ada di dalam ponsel itu.

Tidak, Esa tidak pernah melarang Saras untuk memainkan ponselnya.

Hanya saja, Saras yang tahu diri. Ia paham, jika itu bukan haknya untuk selalu tahu apapun.

Baru saja Saras ingin melanjutkan makannya.

Tiba-tiba saja notifikasi dari ponsel Esa berbunyi. Bersamaan dengan Esa yang datang sambil menenteng kantung plastik

“Maaf lama, bibinya banyak yang beli,”

“Ayo pulang, Sa,”

Dengan pelan, lelaki itu menyusuri setiap sisi kota siang ini. Bersama dengan perempuan yang daritadi selalu setia mengusap pelan lengan lelaki itu, guna memenangkannya.

“Istirahat dulu, ya?” Ucap Rachel, pada Juang saat mereka tengah menepi di pinggir jalan.

Juang menggeleng pelan, “enggak mau .... Aku belum ketemu Bunda,” ucap Juang lirih.

Sesak.

Itu yang Rachel rasakan.

Perempuan ini pun, bahkan bisa merasakan ketakutan luar biasa pada diri Juang.

“Achel ....” Juang berucap.

“Hmm? Kenapa?”

“Capek, ya? Mau makan dulu?” Tanya Juang.

Rachel menggeleng pelan, ia kemudian memperhatikan wajah lelah lelaki dihadapannya.

“Muka kamu pucet, istirahat, ya? Abis itu lanjut lagi nyari Bunda,” ucap Rachel.

Juang menghela napasnya.

“Achel ....”

“Apa?”

“Gimana kalau Bunda beneran ninggalin aku sendirian?” ucapnya lirih.

“Juang ....“

“Rachel, aku gak punya siapa-siapa lagi selain Bunda .....”

“Dari dulu ....

cuma Bunda yang selalu ada buat aku. Dari kecil Achel, cuma Bunda yang selalu ada buat aku. Bahkan disaat ayah mutusin buat ninggalin aku sama Bunda.”

Dengan pelan, perempuan itu menarik tubuh lelaki dihadapannya kemudian ia merengkuhnya dengan sangat hati-hati.

Rachel tahu, ia sangat tahu. Jika lelaki ini dari dulu memang selalu rapuh.

Juang rapuh.

“Juang ....“

“Achel, takut, takut banget ....” lirihnya dalam pelukan perempuan itu.