Seluas Semesta
Tangannya terulur menyapu helaian surai hitam pekat itu. Kemudian ia berkata, “nanti kalau waktu sudah tepat, izinkan saya untuk menggenggam kamu lebih jauh lagi, ya, Git?”
Lengkungan manis itu terpatri di wajahnya.
Lagi-lagi ia paham, jika lengkungan itu adalah salah satu hal dari sekian banyak yang saya sukai dari dirinya.
Saya mengangguk pelan kala netra kecoklatan itu menatap saya lekat.
“Iya ....” ucap saya tersenyum.
“Inggit, kamu mau apa?” Tiba-tiba saya ia bertanya.
Saya mengangkat sebelah alis saya, bingung.
Pria itu terkekeh, “Inggit mau apa dari saya? Biar saya berikan semua keinginan kamu,” ucapnya.
Saya menatapnya, lalu tersenyun.
“Memangnya kamu sanggup memberikan semua keinginan saya?”
Pria itu mengangguk,” tentu saja! Apapun itu, saya akan mewujudkannya,” ia berucap dengan begitu percaya diri.
Saya hanya tersenyum, lalu tangan saya bergerak mengusap pelan wajah pria di hadapan saya ini.
“Saya mau sesuatu boleh?”
Pria itu lantas mengangguk.
“Katakan, apa yang kamu mau?”
Lagi-lagi saya tersenyum.
“Tolong tetap ada di samping saya, ya?”
“Jangan hilang tiba-tiba, saya hanya ingin kamu mencintai saya,” saya berucap dengan netra yang terus menatap dalam pria ini.
Ada jeda beberapa detik, sebelum akhirnya ia balik mengusap pucuk kepala saya dengan lembut.
Sorot matanya terlihat begitu hangat kala ia menatap saya.
“Itu aja?” Ucapnya.
Saya mengangguk.
Lagi-lagi, ia menyinggungkan senyum manis itu.
“Jangan khawatir perihal mencintai, Inggit ....” ia berucap.
“Sejak kamu mencintai saya, sejak kamu datang ke dalam hidup saya, sejak saya memilih kamu untuk menjadi bagian dari kehidupan saya, saya sudah lebih dulu meyimpan sejuta rasa, hanya untuk kamu.”
Saya terdiam. Untuk kesekian kalinya, pria ini selalu mampu membuat saya tersipu.
Jagat namanya, pria dengan lesung menggemaskan di kedua pipinya.
Pria dengan sejuta kehangatan.
Pria dengan segala yang mampu menjadikan saya tenang.
Iya, namanya Jagat. Pria kedua yang sangat saya cintai setelah Ayah.
“Inggit, perihal mencintai kamu, saya enggak pernah main-main.”
“Bagi saya, mencintai kamu itu salah satu kesempatan paling indah yang Tuhan berikan untuk saya.”
“Kamu itu dunia saya, Inggit.”
“Jangan takut akan kehilangan, ya?”
“Saya disini, cinta saya untuk kamu seluas yang bahkan tidak akan pernah bisa saya genggam sendiri, Inggit”
“Jadi jangan takut, ya?”
Ia tersenyum, kemudian mendekat dan mendaratkan sebuah kecupan pada kening saya.
“Saya sayang kamu,”