rumah
Dengan segala letih yang ia pikul, kakinya melangkah masuk ke rumah itu.
Menyinggungkan senyum paling tulus di wajahnya, ia lantas mengusap peluhnya.
“Papa pulang,” ucapnya dengan kedua tangan yang terbuka lebar.
“Papa ....” teriak dua putri kecil kesayangannya.
Sambil merengkuh tubuh kecil kedua anak itu, ia tersenyum, mengusap kemudian mengecup kening mereka berdua.
“Cantiknya papa kenapa belum bobo?”
Raisha namanya, ia tersenyum.
“Karena Raisha sama Raina nungguin papa pulang,” ucapnya tersenyum, membuat segala letih dan pilu yang sebelumnya ia pikul hilang begitu saja.
Di hadapannya, ada Ratih, perempuan hebat yang selalu mampu membuat tenang.
Pria itu melepaskan pelukan si kecil, kemudia ia beranjak mendekat ke arah Ratih.
“Maaf,” ucapnya.
Pria itu hanya bisa berucap maaf. Karena sebelum pulang, dirinya ternyata mengalami hari yang buruh.
Ia dipecat.
Ratih tersenyum.
“Gapapa,” ucapnya.
“Nanti kita kerja sama-sama, ya?” Wanita itu tersenyum.
Pria itu kemudian merengkuh daksa istrinya, sambil menangis pelan.
Diusapnya pundak suaminya itu oleh Ratih.
“Berat, ya?” Ucapnya.
“Gapapa ya mas, nanti kita usaha bareng-bareng, ya?”
Ratih melepaskan pelukannya, kemudian ia menangkup wajah suaminya itu.
Ratih tersenyum, membuat Maraka yang tadinya menangis ikut tersenyum.
Lagi dan lagi.
Ratih adalah penawar atas segala luka yang Maraka rasakan.
Senyum itu selalu mampu membuat Maraka kembali utuh.
Senyum itu selalu mampu membuat Maraka kembali kuat.
Senyum itu selalu mampu membuat Maraka kembali hidup.
Sebyum itu selalu mampu menjadi rumah bagi Maraka.
“Ratih, makasih ....”